Jambo, bonjour, zdravstvujtye, dayo: these are a few of the languages that I've spoken little bits of over the course of the last six weeks, as I've been to 17 countries I think I'm up to, on this crazy tour I've been doing, checking out various aspects of the project that we're doing. And I'm going to tell you a little bit about later on. And visiting some pretty incredible places, places like Mongolia, Cambodia, New Guinea, South Africa, Tanzania twice -- I was here a month ago.
Jambo, bonjour, zdravstvujtye, dayo: ini adalah beberapa bahasa yang sedikit saya pakai selama enam minggu terakhir, ketika saya berkunjung ke 17 negara, dalam tur gila yang sedang saya lakukan, memeriksa berbagai aspek dari proyek yang sedang kami kerjakan. Saya akan menceritakannya sedikit pada anda nanti. Dan mengunjungi beberapa tempat yang mengagumkan, tempat seperti Mongolia, Kamboja, Nugini, Afrika Selatan, Tanzania dua kali -- Saya di sini sebulan yang lalu.
And the opportunity to make a whirlwind tour of the world like that is utterly amazing, for lots of reasons. You see some incredible stuff. And you get to make these spot comparisons between people all around the globe. And the thing that you really take away from that, the kind of surface thing that you take away from it, is not that we're all one, although I'm going to tell you about that, but rather how different we are. There is so much diversity around the globe. 6,000 different languages spoken by six and a half billion people, all different colors, shapes, sizes. You walk down the street in any big city, you travel like that, and you are amazed at the diversity in the human species.
Kesempatan melakukan tur keliling dunia seperti itu sungguh luar biasa, untuk banyak alasan. Anda melihat hal-hal luar biasa. Lalu anda dapat membuat perbandingan singkat antara orang-orang di seluruh dunia. Hal yang anda pelajari dari situ adalah, pelajaran kecil yang dapat anda ambil dari sana, bukan bahwa kita semua sama, meskipun nanti saya akan menjelaskan tentang itu, tapi lebih kepada betapa berbedanya kita. Ada begitu banyak perbedaan di seluruh dunia. 6.000 bahasa yang berbeda diucapkan oleh 6,5 milyar orang, semua warna, bentuk, dan ukuran yang berbeda. Anda jalan di kota besar manapun, anda berkeliling, dan anda akan terkagum-kagum oleh keragaman pada spesies manusia.
How do we explain that diversity? Well, that's what I'm going to talk about today, is how we're using the tools of genetics, population genetics in particular, to tell us how we generated this diversity, and how long it took. Now, the problem of human diversity, like all big scientific questions -- how do you explain something like that -- can be broken down into sub-questions. And you can ferret away at those little sub-questions.
Bagaimana kita menjelaskan perbedaan itu? Yah, itulah yang akan saya bicarakan hari ini, yaitu bagaimana kami menggunakan genetika sebagai alat, terutama genetika populasi, untuk mempelajari bagaimana kita menghasilkan keragaman ini, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Sekarang, masalah tentang keragaman manusia, seperti semua pertanyaan ilmiah lainnya -- bagaimana anda menjelaskan sesuatu seperti itu -- dapat dipecah-pecah menjadi beberapa pertanyaan kecil. Lalu anda dapat menyelidiki pertanyaan-pertanyaan kecil tersebut terlebih dahulu.
First one is really a question of origins. Do we all share a common origin, in fact? And given that we do -- and that's the assumption everybody, I think, in this room would make -- when was that? When did we originate as a species? How long have we been divergent from each other?
Yang pertama sebenarnya adalah pertanyaan tentang asal-muasal. Apakah sebetulnya kita semua memiliki asal yang sama? Bila iya, -- itu adalah asumsi yang saya rasa akan dibuat oleh semua orang di ruangan ini -- kapan itu terjadi? Kapan mulanya kita berkembang sebagai sebuah spesies? Berapa lama kita sudah berkembang terpisah satu sama lain?
And the second question is related, but slightly different. If we do spring from a common source, how did we come to occupy every corner of the globe, and in the process generate all of this diversity, the different ways of life, the different appearances, the different languages around the world?
Pertanyaan kedua terkait dengan pertama, tapi agak berbeda. Bila kita benar-benar berasal dari sumber yang sama, bagaimana kita bisa menghuni semua penjuru bumi, dan dalam prosesnya menghasilkan semua keragaman ini, berbagai cara hidup, penampilan yang berbeda, bahasa-bahasa yang berbeda di seluruh dunia?
Well, the question of origins, as with so many other questions in biology, seems to have been answered by Darwin over a century ago. In "The Descent of Man," he wrote, "In each great region of the world, the living mammals are closely related to the extinct species of the same region. It's therefore probable that Africa was formerly inhabited by extinct apes closely allied to the gorilla and chimpanzee, and as these two species are now man's nearest allies, it's somewhat more probable that our early progenitors lived on the African continent than elsewhere."
Pertanyaan tentang awal mula, seperti semua pertanyaan dalam biologi, sepertinya sudah dijawab oleh Darwin lebih dari satu abad yang lalu. Dalam buku "The Descent of Man," dia menulis, "Di setiap wilayah besar dunia, mamalia yang hidup mempunyai kekerabatan yang dekat dengan spesies yang punah pada daerah yang sama. Maka kemungkinan besar bahwa Afrika dulunya dihuni oleh kera-kera yang sudah punah yang berhubungan dekat dengan gorila dan simpanse, karena dua spesies tersebut saat ini adalah dua kerabat terdekat manusia, maka kemungkinannya lebih besar bahwa nenek moyang awal kita hidup di Afrika daripada di tempat lain."
So we're done, we can go home -- finished the origin question. Well, not quite. Because Darwin was talking about our distant ancestry, our common ancestry with apes. And it is quite clear that apes originated on the African continent. Around 23 million years ago, they appear in the fossil record. Africa was actually disconnected from the other landmasses at that time, due to the vagaries of plate tectonics, floating around the Indian Ocean. Bumped into Eurasia around 16 million years ago, and then we had the first African exodus, as we call it. The apes that left at that time ended up in Southeast Asia, became the gibbons and the orangutans. And the ones that stayed on in Africa evolved into the gorillas, the chimpanzees and us. So, yes, if you're talking about our common ancestry with apes, it's very clear, by looking at the fossil record, we started off here.
Nah, kita sudah selesai dan bisa pulang -- pertanyaan asal muasal sudah terjawab. Tapi tidak juga. Sebab Darwin berbicara tentang moyang jauh kita, moyang bersama antara kita dan kera. Cukup jelas bahwa kera berasal dari benua Afrika. Sekitar 23 juta tahun lalu, mereka muncul di catatan fosil. Afrika sebenarnya terpisah dari daratan lainnya pada saat itu, karena pergerakan hebat dari lempeng tektonik, mengapung di sekitar Samudera Hindia. Menabrak Eurasia sekitar 16 juta tahun lalu, lalu terjadi eksodus Afrika pertama, begitulah kita menamakannya. Kera yang pergi saat itu sampai di Asia Tenggara, menjadi siamang dan orangutan. Dan yang tinggal di Afrika berevolusi menjadi gorila, simpanse, dan kita. Jadi, bila anda bicara tentang moyang bersama antara kita dan kera, sudah sangat jelas, dengan melihat catatan fosil, bahwa kita bermula di sini.
But that's not really the question I'm asking. I'm asking about our human ancestry, things that we would recognize as being like us if they were sitting here in the room. If they were peering over your shoulder, you wouldn't leap back, like that. What about our human ancestry? Because if we go far enough back, we share a common ancestry with every living thing on Earth. DNA ties us all together, so we share ancestry with barracuda and bacteria and mushrooms, if you go far enough back -- over a billion years. What we're asking about though is human ancestry. How do we study that?
Tapi itu bukan pertanyaan yang sesungguhnya saya ajukan. Saya menanyakan tentang moyang manusia kita, makhluk yang akan kita terima sebagai makhluk seperti kita bila mereka duduk di ruangan ini. Bila mereka mengintip di atas bahu anda, anda tak akan loncat menghindar, seperti itu. Bagaimana dengan moyang manusia kita? Sebab bila kita mundur cukup jauh, kita punya moyang yang sama dengan semua makhluk hidup di Bumi. DNA mengikat kita semua, jadi kita punya moyang yang sama dengan ikan barakuda dan bakteri dan jamur, bila anda mundur cukup jauh - lebih dari satu milyar tahun. Apa yang kita tanyakan adalah moyang manusia. Bagaimana kita mempelajarinya?
Well, historically, it has been studied using the science of paleoanthropology. Digging things up out of the ground, and largely on the basis of morphology -- the way things are shaped, often skull shape -- saying, "This looks a little bit more like us than that, so this must be my ancestor. This must be who I'm directly descended from."
Sejarahnya, itu dipelajari dengan ilmu paleoantropologi. Menggali benda-benda dari dalam tanah, dan sebagian besar berdasarkan morfologi -- bagaimana bentuknya, seringkali bentuk tengkoraknya -- "Ini terlihat lebih mirip dengan kita daripada itu, jadi ini pasti moyang kita. Ini pasti moyang yang menurunkan kita secara langsung."
The field of paleoanthropology, I'll argue, gives us lots of fascinating possibilities about our ancestry, but it doesn't give us the probabilities that we really want as scientists. What do I mean by that? You're looking at a great example here. These are three extinct species of hominids, potential human ancestors. All dug up just west of here in Olduvai Gorge, by the Leakey family. And they're all dating to roughly the same time. From left to right, we've got Homo erectus, Homo habilis, and Australopithecus -- now called Paranthropus boisei, the robust australopithecine. Three extinct species, same place, same time. That means that not all three could be my direct ancestor. Which one of these guys am I actually related to? Possibilities about our ancestry, but not the probabilities that we're really looking for.
Menurut saya bidang paleoantropologi memberi kita banyak kemungkinan menarik tentang moyang kita, tapi itu tidak memberikan probabilitas yang sungguh kita inginkan sebagai ilmuwan. Apa yang saya maksud dengan itu? Anda melihat sebuah contoh yang sangat baik di sini. Ini adalah tiga spesies hominid yang sudah punah, kemungkinan moyang manusia. Semua digali di sebelah barat dari tempat ini di Ngarai Olduvai, oleh keluarga Leakey. Mereka semua berumur hampir sama. Dari kiri ke kanan kita punya Homo erectus, Homo habilis, dan Australopithecus -- sekarang disebut Paranthropus boisei, australopithecine yang kuat. Tiga spesies yang sudah punah, di tempat dan waktu yang sama. Itu berarti tak mungkin ketiganya adalah moyang langsung saya. Mana dari tiga spesies ini yang berhubungan dengan saya? Itu semua kemungkinan tentang nenek moyang, tapi bukan probabilitas yang kita cari.
Well, a different approach has been to look at morphology in humans using the only data that people really had at hand until quite recently -- again, largely skull shape. The first person to do this systematically was Linnaeus, Carl von Linne, a Swedish botanist, who in the eighteenth century took it upon himself to categorize every living organism on the planet. You think you've got a tough job? And he did a pretty good job. He categorized about 12,000 species in "Systema Naturae." He actually coined the term Homo sapiens -- it means wise man in Latin. But looking around the world at the diversity of humans, he said, "Well, you know, we seem to come in discreet sub-species or categories." And he talked about Africans and Americans and Asians and Europeans, and a blatantly racist category he termed "Monstrosus," which basically included all the people he didn't like, including imaginary folk like elves.
Cara pendekatan yang berbeda adalah dengan melihat morfologi manusia menggunakan data yang baru dimiliki belakangan ini -- sekali lagi, terutama bentuk tengkorak. Orang pertama yang melakukan ini secara sistematis adalah Linnaeus, Carl von Linne, seorang ahli botani Swedia, yang pada abad ke-18 mengerjakannya sendiri, mengkategorikan semua makhluk hidup di planet. Anda pikir pekerjaan anda berat? Dan dia melakukannya dengan cukup baik. Dia mengkategorikan sekitar 12.000 spesies dalam "Systema Naturae." Dia yang mencetuskan istilah Homo sapiens -- artinya manusia yang bijaksana dalam bahasa Latin. Tapi ketika melihat dunia dengan keragaman manusia, dia berkata, "Sepertinya kita punya sub-spesies atau kategori yang berbeda." Dia berbicara tentang orang Afrika, Amerika, Asia, dan Eropa, dan kategori rasis yang secara blak-blakan disebutnya "Monstrosus," yang pada dasarnya mencakup semua orang yang tidak dia sukai, termasuk makhluk khayalan seperti peri.
It's easy to dismiss this as the perhaps well-intentioned but ultimately benighted musings of an eighteenth century scientist working in the pre-Darwinian era. Except, if you had taken physical anthropology as recently as 20 or 30 years ago, in many cases you would have learned basically that same classification of humanity. Human races that according to physical anthropologists of 30, 40 years ago -- Carlton Coon is the best example -- had been diverging from each other -- this was in the post-Darwinian era -- for over a million years, since the time of Homo erectus. But based on what data? Very little. Very little. Morphology and a lot of guesswork.
Mudah menganggap bahwa ini mungkin mengandung niat baik namun sebenarnya adalah pemikiran yang sangat kelam dari seorang ilmuwan abad ke-18 yang bekerja di zaman sebelum Darwin. Kecuali, bila anda belajar antropologi fisik paling tidak 20 atau 30 tahun lalu, kemungkinan besar anda belajar klasifikasi yang sama tentang manusia. Ras manusia menurut antropolog fisik sekitar 30-40 tahun lalu -- Carlton Coon adalah contoh paling baik -- telah berpisah satu sama lain -- ini adalah zaman pasca-Darwin -- selama lebih dari satu juta tahun, sejak zaman Homo erectus. Tapi berdasar data apa? Sangat sedikit. Sangat sedikit. Morfologi dan banyak tebak-tebakan.
Well, what I'm going to talk about today, what I'm going to talk about now is a new approach to this problem. Instead of going out and guessing about our ancestry, digging things up out of the ground, possible ancestors, and saying it on the basis of morphology -- which we still don't completely understand, we don't know the genetic causes underlying this morphological variation --
Apa yang akan saya bicarakan hari ini, yang akan saya bicarakan hari ini adalah pendekatan baru untuk masalah ini. Bukannya pergi keluar dan menebak tentang moyang kita, menggali benda-benda dari dalam tanah, kemungkinan moyang, dan mengambil kesimpulan dengan dasar morfologi -- yang kita belum pahami sepenuhnya, kita tidak tahu penyebab genetik yang menyebabkan variasi morfologi ini --
what we need to do is turn the problem on its head. Because what we're really asking is a genealogical problem, or a genealogical question. What we're trying to do is construct a family tree for everybody alive today. And as any genealogist will tell you -- anybody have a member of the family, or maybe you have tried to construct a family tree, trace back in time? You start in the present, with relationships you're certain about. You and your siblings, you have a parent in common. You and your cousins share a grandparent in common. You gradually trace further and further back into the past, adding these ever more distant relationships. But eventually, no matter how good you are at digging up the church records, and all that stuff, you hit what the genealogists call a brick wall. A point beyond which you don't know anything else about your ancestors, and you enter this dark and mysterious realm we call history that we have to feel our way through with whispered guidance.
yang kita butuhkan adalah memutar masalahnya. Sebab yang kita tanyakan sebenarnya adalah masalah garis keturunan, atau sebuah pertanyaan genealogis. Apa yang sedang kita coba lakukan adalah membuat pohon keluarga untuk semua orang yang hidup hari ini. Seperti yang akan dikatakan semua genealog -- semua orang punya anggota keluarga, mungkin anda telah mencoba membuat pohon keluarga, melacak mundur ke masa lalu? Anda mulai di saat ini, dengan hubungan yang anda ketahui secara pasti. Anda dan saudara anda punya orangtua yang sama. Anda dan sepupu anda punya kakek nenek yang sama. Anda perlahan melacak lebih dan lebih jauh ke masa lalu, menambahkan semua hubungan yang lebih jauh. Tapi pada akhirnya, tak peduli seberapa hebat anda menggali catatan yang ada, dan semua sumber lain, anda membentur apa yang disebut genealog sebagai tembok bata. Sebuah titik di mana anda tak tahu apapun tentang moyang anda sebelumnya, dan anda masuk ke dunia gelap dan misterius yang kita sebut sejarah yang harus kita rasakan melalui bisikan panduan.
Who were these people who came before? We have no written record. Well, actually, we do. Written in our DNA, in our genetic code -- we have a historical document that takes us back in time to the very earliest days of our species. And that's what we study.
Siapakah para pendahulu itu? Kita tak punya catatan tertulis. Hmm, sebenarnya kita punya. Tertulis di DNA kita, di kode genetik kita -- kita punya dokumen sejarah yang membawa kita ke masa lalu sampai ke hari-hari awal spesies kita. Dan itulah yang kita pelajari.
Now, a quick primer on DNA. I suspect that not everybody in the audience is a geneticist. It is a very long, linear molecule, a coded version of how to make another copy of you. It's your blueprint. It's composed of four subunits: A, C, G and T, we call them. And it's the sequence of those subunits that defines that blueprint. How long is it? Well, it's billions of these subunits in length. A haploid genome -- we actually have two copies of all of our chromosomes -- a haploid genome is around 3.2 billion nucleotides in length. And the whole thing, if you add it all together, is over six billion nucleotides long. If you take all the DNA out of one cell in your body, and stretch it end to end, it's around two meters long. If you take all the DNA out of every cell in your body, and you stretch it end to end, it would reach from here to the moon and back, thousands of times. It's a lot of information.
Sekarang, penjelasan singkat tentang DNA. Saya menduga tidak semua orang di sini adalah seorang ahli genetika. DNA adalah molekul lurus yang sangat panjang, sebuah kode tentang bagaimana membuat salinan diri anda. Itu adalah cetak biru anda. DNA terdiri dari empat sub-unit: A, C, G, dan T. Urutan sub-unit itulah yang menentukan cetak birunya. Berapa panjangnya? Panjangnya milyaran sub-unit. Genom haploid -- kita sebenarnya memiliki dua salinan DNA di semua kromosom kita -- panjang genom haploid adalah sekitar 3,2 milyar nukleotida. Bila anda menggabungkan semuanya, panjangnya lebih dari enam milyar nukleotida. Bila anda mengeluarkan semua DNA dari satu sel tubuh anda, dan merentangkannya dari ujung ke ujung, panjangnya sekitar dua meter. Bila anda mengambil seluruh DNA dari semua sel di tubuh anda, dan merentangkannya, panjangnya akan mencapai bulan dan kembali lagi, ribuan kali. Itu informasi yang sangat banyak.
And so when you're copying this DNA molecule to pass it on, it's a pretty tough job. Imagine the longest book you can think of, "War and Peace." Now multiply it by 100. And imagine copying that by hand. And you're working away until late at night, and you're very, very careful, and you're drinking coffee and you're paying attention, but, occasionally, when you're copying this by hand, you're going to make a little typo, a spelling mistake -- substitute an I for an E, or a C for a T.
Jadi, menyalin molekul DNA itu untuk meneruskannya, adalah pekerjaan yang cukup berat. Bayangkan buku terpanjang yang dapat anda pikirkan, "War and Peace." Sekarang kalikan itu dengan 100. Dan bayangkan menyalinnya dengan tangan. Dan anda bekerja sampai larut malam, anda sangat berhati-hati, dan anda minum kopi dan anda sangat menaruh perhatian, tapi kadang, ketika anda menyalinnya dengan tangan, anda akan membuat sedikit typo, sebuah kesalahan mengeja -- mengganti sebuah I dengan E, atau sebuah C dengan T.
Same thing happens to our DNA as it's being passed on through the generations. It doesn't happen very often. We have a proofreading mechanism built in. But when it does happen, and these changes get transmitted down through the generations, they become markers of descent. If you share a marker with someone, it means you share an ancestor at some point in the past, the person who first had that change in their DNA. And it's by looking at the pattern of genetic variation, the pattern of these markers in people all over the world, and assessing the relative ages when they occurred throughout our history, that we've been able to construct a family tree for everybody alive today.
Beberapa hal terjadi pada DNA kita ketika diwariskan kepada generasi selanjutnya. Itu tidak sering terjadi. Kita punya mekanisme pencari kesalahan internal. Tapi ketika itu terjadi, dan perubahan itu diturunkan melalui generasi selanjutnya, mereka menjadi penanda keturunan. Bila anda memiliki sebuah penanda yang sama dengan seseorang, itu berarti anda memiliki seorang moyang yang sama di satu titik di masa lalu, orang pertama yang memiliki perubahan itu di DNA-nya. Dengan melihat pola keragaman genetik, pola dari penanda-penanda tersebut pada orang-orang di seluruh dunia, dan menentukan umur relatif terjadinya mutasi itu dalam sejarah, maka kita dapat membuat sebuah pohon keluarga untuk semua orang yang hidup sekarang.
These are two pieces of DNA that we use quite widely in our work. Mitochondrial DNA, tracing a purely maternal line of descent. You get your mtDNA from your mother, and your mother's mother, all the way back to the very first woman. The Y chromosome, the piece of DNA that makes men men, traces a purely paternal line of descent. Everybody in this room, everybody in the world, falls into a lineage somewhere on these trees. Now, even though these are simplified versions of the real trees, they're still kind of complicated, so let's simplify them. Turn them on their sides, combine them so that they look like a tree with the root at the bottom and the branches going up. What's the take-home message?
Ini adalah dua bagian DNA yang sering kami pakai di pekerjaan kami. DNA mitokondrial, melacak keturunan murni di garis ibu. Anda mendapatkan mtDNA dari ibu anda, dan ibu dari ibu anda, terus sampai ke perempuan pertama di spesies ini. Kromosom Y, bagian DNA yang membuat manusia jadi laki-laki, melacak keturunan murni dari garis ayah saja. Semua orang di ruangan ini, semua orang di dunia, masuk sebagai keturunan di salah satu pohon keluarga ini. Meskipun ini adalah versi yang disederhanakan dari pohon yang sesungguhnya, mereka masih cukup rumit, jadi mari kita sederhanakan. Putar mereka, lalu gabungkan sehingga mereka terlihat seperti sebuah pohon dengan akar di bawah dan cabang-cabang yang naik ke atas. Apa pesan yang dapat diambil?
Well, the thing that jumps out at you first is that the deepest lineages in our family trees are found within Africa, among Africans. That means that Africans have been accumulating this mutational diversity for longer. And what that means is that we originated in Africa. It's written in our DNA. Every piece of DNA we look at has greater diversity within Africa than outside of Africa. And at some point in the past, a sub-group of Africans left the African continent to go out and populate the rest of the world.
Hal pertama yang anda dapatkan adalah bahwa keturunan paling awal di pohon keluarga kita ditemukan di Afrika, di antara orang-orang Afrika. Ini berarti bahwa orang Afrika telah mengakumulasi keragaman mutasi ini lebih lama. Itu berarti bahwa kita berasal dari Afrika. Tertulis di DNA kita. Semua bagian DNA yang kita lihat memiliki keragaman yang lebih besar di Afrika daripada di luar Afrika. Pada suatu titik di masa lalu, sebuah kelompok kecil dari Afrika meninggalkan benua Afrika dan mengisi seluruh penjuru dunia.
Now, how recently do we share this ancestry? Was it millions of years ago, which we might suspect by looking at all this incredible variation around the world? No, the DNA tells a story that's very clear. Within the last 200,000 years, we all share an ancestor, a single person -- Mitochondrial Eve, you might have heard about her -- in Africa, an African woman who gave rise to all the mitochondrial diversity in the world today.
Kapan terakhir kita mempunyai moyang yang sama? Apakah bermilyar-milyar tahun yang lalu, seperti yang kita duga berdasarkan semua variasi mengagumkan yang tampak di seluruh dunia? Tidak, DNA mengisahkan sebuah cerita yang sangat jelas. Dalam 200.000 ribu tahun terakhir, kita semua memiliki moyang yang sama, satu orang -- Hawa Mitokondrial, anda mungkin pernah dengar tentangnya di Afrika, seorang perempuan Afrika yang menjadi sumber semua keragaman mitokondria di dunia.
But what's even more amazing is that if you look at the Y-chromosome side, the male side of the story, the Y-chromosome Adam only lived around 60,000 years ago. That's only about 2,000 human generations, the blink of an eye in an evolutionary sense. That tells us we were all still living in Africa at that time. This was an African man who gave rise to all the Y chromosome diversity around the world. It's only within the last 60,000 years that we have started to generate this incredible diversity we see around the world. Such an amazing story. We're all effectively part of an extended African family.
Tapi yang lebih mengagumkan adalah ketika anda melihat sisi kromosom Y, cerita dari sisi laki-laki, Adam kromosom-Y hidup hanya sekitar 60.000 tahun lalu. Itu cuma sekitar 2.000 generasi manusia, sekejap mata dalam hal evolusi. Ini menunjukkan kepada kita bahwa semua manusia masih hidup di Afrika pada saat itu. Ini adalah seorang laki-laki Afrika yang menjadi sumber semua keragaman kromosom Y di seluruh dunia. Hanya dalam 60.000 tahun terakhir kita telah mulai menghasilkan semua keragaman mengagumkan yang kita lihat di seluruh dunia ini. Sungguh kisah yang mengagumkan. Kita sebenarnya adalah bagian dari keluarga besar Afrika.
Now, that seems so recent. Why didn't we start to leave earlier? Why didn't Homo erectus evolve into separate species, or sub-species rather, human races around the world? Why was it that we seem to have come out of Africa so recently? Well, that's a big question. These "why" questions, particularly in genetics and the study of history in general, are always the big ones, the ones that are tough to answer.
Itu terlihat sangat baru. Mengapa kita tidak mulai berpisah lebih awal? Mengapa Homo erectus tidak berevolusi menjadi spesies tersendiri, atau bahkan sub-spesies, ras-ras manusia di seluruh dunia? Mengapa sepertinya kita keluar dari Afrika begitu baru? Itu adalah pertanyaan besar. Pertanyaan "mengapa," khususnya di genetika dan studi sejarah pada umumnya, selalu jadi pertanyaan besar, yang sulit dijawab.
And so when all else fails, talk about the weather. What was going on to the world's weather around 60,000 years ago? Well, we were going into the worst part of the last ice age. The last ice age started roughly 120,000 years ago. It went up and down, and it really started to accelerate around 70,000 years ago. Lots of evidence from sediment cores and the pollen types, oxygen isotopes and so on. We hit the last glacial maximum around 16,000 years ago, but basically, from 70,000 years on, things were getting really tough, getting very cold. The Northern Hemisphere had massive growing ice sheets. New York City, Chicago, Seattle, all under a sheet of ice. Most of Britain, all of Scandinavia, covered by ice several kilometers thick.
Ketika semua tidak berhasil, kita bicara tentang iklim. Apa yang terjadi pada iklim dunia sekitar 60.000 tahun lalu? Kita memasuki bagian terparah dari zaman es terakhir. Zaman es terakhir mulai sekitar 120.000 tahun lalu. Dinginnya naik turun, dan mulai bertambah lagi sekitar 70.000 tahun lalu. Banyak bukti dari inti sedimen dan jenis serbuk sari, isotop oksigen, dan lainnya. Kita mengalami glasial maksimum terakhir sekitar 16.000 tahun lalu, tapi sebenarnya, sejak 70.000 tahun terakhir, keadaannya sangat berat, sangat dingin. Belahan bumi utara punya lapisan es yang sangat tebal. Kota New York, Chicago, Seattle, semua berada di bawah lapisan es. Sebagian besar Inggris, seluruh Skandinavia, tertutup es setebal beberapa kilometer.
Now, Africa is the most tropical continent on the planet -- about 85 percent of it lies between Cancer and Capricorn -- and there aren't a lot of glaciers here, except on the high mountains here in East Africa. So what was going on here? We weren't covered in ice in Africa. Rather, Africa was drying out at that time. This is a paleo-climatological map of what Africa looked like between 60,000 and 70,000 years ago, reconstructed from all these pieces of evidence that I mentioned before. The reason for that is that ice actually sucks moisture out of the atmosphere. If you think about Antarctica, it's technically a desert, it gets so little precipitation.
Afrika adalah benua paling tropis di dunia -- sekitar 85 persen berada di sabuk Cancer dan Capricorn -- dan tidak banyak gletser di sini, kecuali di gunung tinggi di Afrika Timur. Jadi apa yang terjadi di sini? Afrika tidak tertutup es. Malahan, Afrika sedang mulai kekeringan pada saat itu. Ini adalah peta paleo-klimatologi yang memperlihatkan Afrika sekitar 60.000 - 70.000 tahun lalu, direkonstruksi dari semua bukti yang saya sebutkan tadi. Alasannya adalah karena es menyerap kelembaban dari atmosfer. Bila anda bayangkan Antartika, sebenarnya itu adalah gurun, hujan sangat sedikit di sana.
So the whole world was drying out. The sea levels were dropping. And Africa was turning to desert. The Sahara was much bigger then than it is now. And the human habitat was reduced to just a few small pockets, compared to what we have today. The evidence from genetic data is that the human population around this time, roughly 70,000 years ago, crashed to fewer than 2,000 individuals. We nearly went extinct. We were hanging on by our fingernails.
Jadi seluruh dunia sedang mengering. Permukaan air laut turun, dan Afrika berubah menjadi gurun. Sahara jauh lebih besar dari ukurannya saat ini. Habitat manusia berkurang jadi beberapa kantong kecil saja, dibandingkan apa yang kita miliki saat ini. Bukti dari data genetik adalah bahwa populasi manusia pada saat itu, sekitar 70.000 tahun lalu, jatuh sampai kurang dari 2.000 orang. Kita hampir punah. Kita bergantung pada ujung kuku kita.
And then something happened. A great illustration of it. Look at some stone tools. The ones on the left are from Africa, from around a million years ago. The ones on the right were made by Neanderthals, our distant cousins, not our direct ancestors, living in Europe, and they date from around 50,000 or 60,000 years ago. Now, at the risk of offending any paleoanthropologists or physical anthropologists in the audience, basically there's not a lot of change between these two stone tool groups. The ones on the left are pretty similar to the ones on the right. We are in a period of long cultural stasis from a million years ago until around 60,000 to 70,000 years ago. The tool styles don't change that much. The evidence is that the human way of life didn't change that much during that period.
Lalu sesuatu terjadi. Ini gambaran yang bagus tentang itu. Lihatlah alat-alat batu ini. Alat di kiri dari Afrika, sekitar 1 juta tahun lalu. Alat di kanan dibuat oleh Neanderthal, sepupu jauh kita, bukan moyang kita secara langsung, yang hidup di Eropa, dan mereka berumur sekitar 50.000 atau 60.000 tahun lalu. Meski beresiko menyinggung para ahli paleoantropologi atau ahli antropologi fisik di antara penonton, sebenarnya tidak ada banyak perubahan di antara dua kelompok alat batu ini. Alat di kiri cukup mirip dengan alat di sebelah kanan. Kita mengalami kemandekan budaya yang panjang sejak satu juta tahun lalu sampai sekitar 60.000 sampai 70.000 tahun lalu. Gaya peralatannya tidak berubah banyak. Bukti bahwa cara hidup manusia tidak berubah banyak selama periode itu.
But then 50, 60, 70 thousand years ago, somewhere in that region, all hell breaks loose. Art makes its appearance. The stone tools become much more finely crafted. The evidence is that humans begin to specialize in particular prey species, at particular times of the year. The population size started to expand. Probably, according to what many linguists believe, fully modern language, syntactic language -- subject, verb, object -- that we use to convey complex ideas, like I'm doing now, appeared around that time. We became much more social. The social networks expanded.
Tapi pada 50, 60, 70 ribu tahun lalu, di suatu tempat di daerah tersebut, perubahan besar terjadi. Seni mulai muncul. Peralatan batu dibuat dengan jauh lebih bagus. Ada bukti bahwa manusia mulai fokus pada buruan tertentu pada waktu tertentu dalam satu tahun. Jumlah populasi mulai berkembang. Kemungkinan besar, dari apa yang dipercaya para ahli bahasa, bahasa yang modern, yang punya tata bahasa -- subyek, predikat, obyek -- yang kita gunakan untuk menyampaikan ide kompleks, seperti yang saya lakukan, muncul pada masa itu. Kita menjadi jauh lebih sosial. Jaringan sosial berkembang.
This change in behavior allowed us to survive these worsening conditions in Africa, and they allowed us to start to expand around the world. We've been talking at this conference about African success stories. Well, you want the ultimate African success story? Look in the mirror. You're it. The reason you're alive today is because of those changes in our brains that took place in Africa -- probably somewhere in the region where we're sitting right now, around 60, 70 thousand years ago -- allowing us not only to survive in Africa, but to expand out of Africa. An early coastal migration along the south coast of Asia, leaving Africa around 60,000 years ago, reaching Australia very rapidly, by 50,000 years ago. A slightly later migration up into the Middle East. These would have been savannah hunters.
Perubahan perilaku ini membuat kita mampu bertahan di keadaan Afrika yang memburuk, dan memungkinkan kita untuk mulai menyebar ke seluruh dunia. Kita telah berbicara di konferensi ini tentang kisah-kisah sukses orang Afrika. Baiklah, anda mau kisah sukses orang Afrika yang paling besar? Lihatlah ke cermin. Andalah itu. Alasan bahwa anda hidup sekarang adalah karena perubahan di otak kita yang terjadi di Afrika kemungkinan di suatu tempat di wilayah yang kita duduki sekarang, sekitar 60 sampai 70 ribu tahun lalu -- memungkinkan kita bukan saja untuk bertahan hidup di Afrika, tapi juga menyebar ke luar Afrika. MIgrasi awal sepanjang pantai selatan Asia, meninggalkan Afrika sekitar 60.000 tahun lalu, mencapai Australia dengan sangat cepat, pada 50.000 tahun lalu. Migrasi yang agak belakangan terjadi ke Timur Tengah. Mereka kemungkinan pemburu padang rumput.
So those of you who are going on one of the post-conference tours, you'll get to see what a real savannah is like. And it's basically a meat locker. People who would have specialized in killing the animals, hunting the animals on those meat locker savannahs, moving up, following the grasslands into the Middle East around 45,000 years ago, during one of the rare wet phases in the Sahara. Migrating eastward, following the grasslands, because that's what they were adapted to live on.
Bagi anda yang akan mengikuti tur setelah konferensi ini, anda akan melihat sebuah sabana yang sesungguhnya. Pada dasarnya sabana adalah gudang daging. Orang yang berspesialisasi dalam membunuh hewan-hewan, memburu hewan-hewan di sabana gudang daging, pindah, mengikuti padang rumput sampai ke Timur Tengah sekitar 45.000 tahun lalu, dalam salah satu masa basah yang jarang terjadi di Sahara. Bermigrasi ke arah timur, mengikuti padang rumput, sebab mereka telah beradaptasi untuk hidup di daerah itu.
And when they reached Central Asia, they reached what was effectively a steppe super-highway, a grassland super-highway. The grasslands at that time -- this was during the last ice age -- stretched basically from Germany all the way over to Korea, and the entire continent was open to them. Entering Europe around 35,000 years ago, and finally, a small group migrating up through the worst weather imaginable, Siberia, inside the Arctic Circle, during the last ice age -- temperature was at -70, -80, even -100, perhaps -- migrating into the Americas, ultimately reaching that final frontier.
Ketika mereka mencapai Asia Tengah, mereka mencapai apa yang sebenarnya adalah jalan raya-super stepa, jalan raya-super padang rumput. Padang rumput pada waktu itu -- saat itu pada zaman es terakhir -- membentang dari Jerman sampai ke Korea, dan seluruh benua terbuka bagi mereka. Memasuki Eropa sekitar 35.000 tahun lalu, dan akhirnya, satu kelompok kecil bermigrasi melalui cuaca terburuk yang dapat dibayangkan, Siberia, dalam lingkaran Arktik, dalam zaman es terakhir -- suhu udara mungkin sekitar -50 sampai -70 derajat Celcius, bermigrasi ke Amerika, akhirnya mencapai perbatasan terakhir.
An amazing story, and it happened first in Africa. The changes that allowed us to do that, the evolution of this highly adaptable brain that we all carry around with us, allowing us to create novel cultures, allowing us to develop the diversity that we see on a whirlwind trip like the one I've just been on.
Sebuah kisah yang luar biasa, dan awalnya terjadi di Afrika. Perubahan yang memungkinkan kita untuk melakukan itu, evolusi pada otak yang dapat beradaptasi dengan baik, yang kita miliki sekarang, memungkinkan kita untuk menciptakan budaya baru, memungkinkan kita untuk mengembangkan keragaman, yang kita lihat dalam perjalanan keliling seperti yang baru saya lakukan.
Now, that story I just told you is literally a whirlwind tour of how we populated the world, the great Paleolithic wanderings of our species. And that's the story that I told a couple of years ago in my book, "The Journey of Man," and a film that we made with the same title. And as we were finishing up that film -- it was co-produced with National Geographic -- I started talking to the folks at NG about this work. And they got really excited about it. They liked the film, but they said, "You know, we really see this as kind of the next wave in the study of human origins, where we all came from, using the tools of DNA to map the migrations around the world. You know, the study of human origins is kind of in our DNA, and we want to take it to the next level. What do you want to do next?" Which is a great question to be asked by National Geographic.
Kisah yang baru saya ceritakan adalah tur keliling dunia tentang bagaimana kita mengisi dunia, penjelajahan besar pada zaman batu oleh spesies kita. Itu adalah kisah yang saya ceritakan beberapa tahun lalu dalam buku saya, "Perjalanan Manusia," dan sebuah film yang dibuat dengan judul yang sama. Saat kami menyelesaikan film itu -- film itu diproduksi bersama National Geographic -- saya mulai berbicara dengan orang-orang NG tentang pekerjaan ini. Mereka sangat tertarik. Mereka suka filmnya, tapi mereka berkata, "Kami melihat ini seperti gelombang baru dalam studi asal-usul manusia, dari mana kita semua berasal, menggunakan DNA sebagai alat untuk memetakan migrasi di seluruh dunia. Studi mengenai asal-usul manusia sebenarnya ada dalam DNA kita, dan kami mau membawanya ke tingkat selanjutnya. Apa yang ingin anda lakukan selanjutnya?" Itu adalah pertanyaan yang sangat bagus yang ditanyakan oleh National Geographic.
And I said, "Well, you know, what I've sketched out here is just that. It is a very coarse sketch of how we migrated around the planet. And it's based on a few thousand people we've sampled from, you know, a handful of populations around the world. Studied a few genetic markers, and there are lots of gaps on this map. We've just connected the dots. What we need to do is increase our sample size by an order of magnitude or more -- hundreds of thousands of DNA samples from people all over the world."
Saya berkata, "Saya baru saja memikirkan itu. Yang kita punya adalah sketsa kasar tentang bagaimana kita bermigrasi di planet ini. Itu berdasarkan sampel yang kita ambil dari beberapa ribu orang, sangat sedikit dibanding populasi dunia. Kita mempelajari beberapa penanda genetik, dan masih banyak celah di peta ini. Kita baru saja menghubungkan kisahnya. Yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan jumlah sampelnya sebanyak 10 kali lipat atau lebih -- ratusan ribu sampel DNA dari orang-orang di seluruh dunia."
And that was the genesis of the Genographic Project. The project launched in April 2005. It has three core components. Obviously, science is a big part of it. The field research that we're doing around the world with indigenous peoples. People who have lived in the same location for a long period of time retain a connection to the place where they live that many of the rest of us have lost. So my ancestors come from all over northern Europe. I live in the Eastern Seaboard of North America when I'm not traveling. Where am I indigenous to? Nowhere really. My genes are all jumbled up. But there are people who retain that link to their ancestors that allows us to contextualize the DNA results.
Itu adalah kelahiran dari Proyek Genografik. Proyek itu diluncurkan pada bulan April 2005. Ada 3 komponen besar di dalamnya. Sains adalah bagian besar di sana. Riset lapangan yang kami lakukan di seluruh dunia dengan penduduk pribumi. Orang-orang yang telah tinggal di tempat yang sama untuk jangka panjang memiliki hubungan dengan tempat tinggal mereka yang sebagian besar dari kita tidak memilikinya. Moyang saya berasal dari Eropa utara. Saya hidup di pantai timur Amerika Utara ketika saya tidak bepergian. Di mana tempat tinggal asli saya? Tidak ada. Gen saya sudah tercampur aduk. Tapi ada orang-orang yang mempertahankan hubungan dengan moyang mereka yang memungkinkan kita untuk menempatkan hasil DNA-nya.
That's the focus of the field research, the centers that we've set up all over the world -- 10 of them, top population geneticists. But, in addition, we wanted to open up this study to anybody around the world. How often do you get to participate in a big scientific project? The Human Genome Project, or a Mars Rover mission.
Itu adalah fokus dari riset lapangan, inti dari apa yang sudah kami kerjakan di seluruh dunia -- ada 10 orang, ahli genetika populasi terkemuka, Tapi sebagai tambahan kami ingin membuka studi ini pada semua orang di seluruh dunia. Seberapa sering anda berpartisipasi dalam proyek ilmiah besar? Proyek Genom Manusia, atau misi Rover Mars.
In this case, you actually can. You can go onto our website, Nationalgeographic.com/genographic. You can order a kit. You can test your own DNA. And you can actually submit those results to the database, and tell us a little about your genealogical background, have the data analyzed as part of the scientific effort.
Dalam hal ini, anda dapat melakukannya. Anda dapat pergi ke situs kami, nationalgeographic.com/genographic. Anda dapat memesan seperangkat alat khusus. Anda dapat memeriksa DNA anda sendiri. Lalu anda dapat mengirimkan hasilnya ke basis data kami, dan memberi tahu kami tentang silsilah anda, dan membuat datanya dianalisis sebagai bagian dari proyek ilmiah.
Now, this is all a nonprofit enterprise, and so the money that we raise, after we cover the cost of doing the testing and making the kit components, gets plowed back into the project. The majority going to something we call the Legacy Fund. It's a charitable entity, basically a grant-giving entity that gives money back to indigenous groups around the world for educational, cultural projects initiated by them. They apply to this fund in order to do various projects, and I'll show you a couple of examples.
Ini adalah perusahaan nonprofit, jadi uang yang kami dapatkan setelah dipotong biaya pembuatan komponen kit dan pengujiannya, dikembalikan ke proyek itu. Sebagian besar masuk ke sesuatu yang kami sebut Dana Peninggalan. Itu adalah yayasan amal, pada dasarnya yayasan pemberi dana yang memberikan uang kepada kelompok pribumi di seluruh dunia untuk pendidikan, proyek budaya yang mereka mulai. Mereka meminta dana ini untuk melakukan berbagai proyek, dan saya akan menunjukkan beberapa contoh.
So how are we doing on the project? We've got about 25,000 samples collected from indigenous people around the world. The most amazing thing has been the interest on the part of the public; 210,000 people have ordered these participation kits since we launched two years ago, which has raised around five million dollars, the majority of which, at least half, is going back into the Legacy Fund.
Bagaimana kabar proyek ini? Kami punya sekitar 25.000 sampel yang dikumpulkan dari orang-orang pribumi di seluruh dunia. Hal yang paling mengagumkan adalah ketertarikan sebagian publik; 210.000 orang telah memesan kit partisipasi ini sejak kami mulai proyeknya dua tahun lalu, dari sana kami mendapatkan lima juta dolar, sebagian besar, lebih dari setengahnya, masuk ke Dana Peninggalan.
We've just awarded the first Legacy Grants totaling around 500,000 dollars. Projects around the world -- documenting oral poetry in Sierra Leone, preserving traditional weaving patterns in Gaza, language revitalization in Tajikistan, etc., etc. So the project is going very, very well, and I urge you to check out the website and watch this space.
Kami baru saja memberikan Hibah Peninggalan dengan total sekitar 500.000 dolar. Proyek-proyek di seluruh dunia -- mendokumentasikan puisi lisan di Sierra Leone, menjaga pola anyaman tradisional di Gaza, revitalisasi bahasa di Tajikistan, dsb., dsb. Jadi proyek ini berjalan dengan sangat sangat baik, dan saya mengajak anda untuk mengunjungi situsnya dan melihat proyek ini.
Thank you very much. (Applause)
Terima kasih banyak. (Tepuk tangan)