Have you ever been robbed? Or had something you value forcibly taken from you against your will? It's violating. Feelings of fury, of assault and of helplessness. That's what corruption feels like. Corruption is theft. It is corrosive, it is criminal, it is toxic and it is predatory.
Pernahkah kau merasa kehilangan? Atau sesuatu yang berharga direbut paksa darimu, Bertentangan dengan kehendakmu? Itu adalah pelanggaran. Perasaan marah, diserang, dan tak berdaya. Seperti itulah korupsi Korupsi itu pencurian. Itu merusak, kriminal, toksik, dan bersifat predator.
Now, I'm from Kenya, and in Kenya, corruption takes different forms. I want to share the story of Karura Forest with you. This is my hometown of Nairobi. I love Nairobi. It's beautiful. But it is a city of paradoxes. It is at once beautiful and challenging. But at the heart of this beautiful city that I call home is Karura Forest, an oasis of green, expansive beauty that would be the envy of any city anywhere. We almost lost Karura Forest to corruption. Word has reached my mother, Wangari Maathai, that Karura Forest is under attack. There was a construction site coming up right in the middle of the forest. Government officials had stolen the forest. They had divided, sold and gifted hundreds of parcels of Karura to their friends and cronies.
Aku berasal dari Kenya, Di Kenya, praktik korupsi dilakukan dengan berbagai cara. Aku ingin berbagi cerita soal Hutan Karura. Itu adalah kampung halamanku di Nairobi. Aku cinta Nairobi. Tempatnya indah. Namun, kota ini penuh dengan paradoks. Dia indah, sekaligus menantang. Di jantung kota indah ini, yang kusebut rumah adalah Hutan Karura. Sebuah oasis hijau, keindahan tiada tara yang membuat kota lain di mana pun iri. Kami hampir kehilangan Hutan Karura akibat korupsi. Kabar telah sampai pada ibuku, Wangari Maathai, bahwa Hutan Karura sedang diserang. Ada proyek konstruksi yang sedang dibangun tepat di tengah hutan. Pejabat pemerintah telah mencuri hutan. Mereka telah membagikan, menjual, dan menghadiahkan ratusan hasil Karura ke teman-teman dan kroninya.
Now in 1977, my mother founded the Green Belt Movement to plant trees across Kenya, restore green spaces and protect green spaces, much like Karura Forest. She got together her friends and allies, and together, they created what became one of the most successful tree-planting campaigns in the world. It was therefore no surprise that when word got to her that Karura was under attack, they immediately sprang into action. They battled police and hired goons to stop the theft of this forest. But fortunately, there was an uprising of support from the clergy, politicians, students and the general public, all of whom came out to say no to corruption and greed. And pretty soon, that support was too strong and intense for the authorities to subdue. And Karura Forest was saved.
Di tahun 1977, ibuku mendirikan <i>Green Belt Movement</i> untuk menanam pohon di Kenya, mengembalikan ruang hijau, dan menjaga ruang hijau, seperti Hutan Karura. Dia mengajak teman-teman dan rekannya, bersama-sama menciptakan sebuah kampanye penanaman pohon dan lalu menjadi yang tersukses di dunia. Tak mengherankan saat tersiar kabar bahwa Karura sedang di serang, mereka segera beraksi. Mereka melawan polisi dan preman bayaran, untuk menghentikan pencurian hutan ini. Untungnya, ada dukungan perlawanan dari rohaniawan, politisi, mahasiswa, dan publik, yang semuanya bangkit menolak korupsi dan ketamakan. Dengan cepat, dukungan itu makin kuat dan gencar sehingga sulit untuk diredam oleh pihak berwenang. Hutan Karura pun berhasil diselamatkan.
In the 2000s, I joined my mother in the Green Belt Movement and witnessed the growth of the movement's advocacy activities, its expansion beyond Kenya and an extremely important growing consensus around the 2004 Nobel Peace Prize that she received -- that the environment, democracy and peace were inextricably linked. I also learned that what my mother had faced that many years ago trying to protect Karura Forest was not an isolated incident. The corruption and greed that manifested itself then is alive and well today, from greedy politicians and public servants willing to loot public coffers at their expense.
Di tahun 2000-an, aku bergabung dengan ibu di <i>Green Belt Movement</i> dan melihat berkembangnya kegiatan gerakan advokasi, ekspansinya ke luar Kenya, dan perkembangan konsensus yang sangat penting terkait Hadiah Nobel Perdamaian 2004 yang diterimanya, yaitu bahwa lingkungan hidup, demokrasi, dan perdamaian saling terkait erat. Aku juga menyadari bahwa apa yang dihadapi ibuku dahulu saat berusaha melindungi Hutan Karura bukanlah satu-satunya kejadian. Korupsi dan ketamakan yang terjadi saat itu masih hidup dan berkembang hingga saat ini, dari para politisi dan pegawai negeri yang rakus tega menjarah uang rakyat demi kepentingan mereka sendiri.
Corruption is everywhere. Now, corruption is devastating to any economy, democracy and the environment. It robs citizens of vital social services and renders human life worthless. When young men are willing to join gangs and brutalize their communities for a small fee, and women are raped on the way to work, and, when they report this, the perpetrators bribe their way out of jail, and when young girls have to sell their bodies to buy sanitary towels, you know the society is broken.
Korupsi ada di mana-mana. Kini, korupsi telah merusak ekonomi, demokrasi, dan lingkungan. Korupsi merampas layanan sosial vital bagi warga negara dan membuat kehidupan manusia menjadi tak berharga. Saat para pemuda bersedia menjadi anggota geng dan melakukan kekerasan terhadap komunitas mereka dengan imbalan kecil, para wanita dirudapaksa saat pergi ke tempat kerja, dan saat mereka melaporkan hal ini, para pelakunya menyogok agar terbebas dari hukuman, serta saat para gadis muda terpaksa menjual tubuh mereka demi membeli pembalut, kita tahu bahwa kondisi masyarakat sudah kacau-balau.
In recent years, Kenya has been ranked amongst the top 10 most corrupt countries in the world. Even more frustrating for me is that Kenya loses a third of her national budget to corruption each year. That is six billion dollars. It is totally unacceptable. In a country where anti-corruption efforts have been frustrated and ignored and interfered with, we absolutely need new strategies for dealing with this vice. We cannot complain forever. We either decide that we're going to live with it or we are going to change it.
Beberapa tahun terakhir, Kenya menduduki peringkat 10 besar negara terkorup di dunia. Bahkan yang lebih menyedihkannya lagi adalah Kenya kehilangan sepertiga APBN-nya per tahun akibat korupsi. Jumlahnya mencapai enam miliar dolar. Ini sungguh tak bisa diterima. Di sebuah negara dengan upaya antikorupsi dihambat, diabaikan, dan diintervensi, kita mutlak perlu strategi baru untuk menangani kejahatan ini. Kita tak bisa mengeluh selamanya. Kita harus memilih antara hidup seperti ini atau kita akan mengubahnya.
There's some good news. Human beings are not born corrupt. At some point, these behaviors are fostered by a culture that promotes individual gain over collective progress. So if we're going to uproot corruption, we have got to start before it ever takes root. We have got to intervene early. I don't know about your country, but where I come from, youth will lead us into the future.
Ada kabar baik. Manusia terlahir tidak untuk korupsi. Di beberapa kasus, perilaku ini dipupuk oleh suatu budaya yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas pencapaian bersama. Jadi, jika kita ingin memberantas korupsi, kita harus mencegahnya sebelum korupsi itu mengakar. Kita harus turun tangan sedini mungkin. Aku tak tahu soal negaramu, tapi di tempat asalku, generasi mudalah yang akan memimpin di masa depan.
In Kenya today, 80 percent of the population is under the age of 35. But by their own admission, they have conflicting values. Fifty-eight percent of young people in Kenya recently told us they will do anything to make money. An additional 45 percent said corruption is a legitimate tool for doing business. Seventy-three percent said they would not be willing to stand up for what they believe in for fear of retribution.
Di Kenya kini, 80% populitasnya berumur di bawah 35 tahun. Namun atas pengakuan mereka sendiri, nilai yang mereka anut justru bertolak belakang. Sebanyak 58% anak muda di Kenya baru-baru ini mengatakan bahwa mereka akan melakukan apa pun demi uang. Sebanyak 45% lagi mengatakan bahwa korupsi adalah alat sah untuk berbisnis. Ada 73% mengatakan bahwa mereka tak mau membela apa yang diyakininya karena takut mendapat ancaman.
What I learned from my mother a few years ago was this concept of "the power of one" -- that each of us can be potent agents of change and that together, we are a force, that if we put our hands together, we can change the situation and no problem is too big. My mother understood this so profoundly that it was at the center of her work. Shifting cultures takes patience, persistence and commitment, and it is extremely slow and deep work. But if we are going to shift a culture, we have got to get that work started. And in the time since her passing, we have established a foundation in her name to do exactly that but to work with young people and children to begin to build character and personal leadership, to inspire purpose and integrity. But fighting corruption is not as easy as saying corruption is bad.
Apa yang aku pelajari dari ibuku beberapa tahun lalu adalah konsep “kekuatan bersama” -- kita semua bisa menjadi agen perubahan yang ampuh dan bersama-sama, kita menjadi kekuatan, dengan bergandengan tangan, kita bisa mengubah situasi dan tak ada masalah yang tak bisa diatasi. Ibuku paham betul hal ini sehingga menjadi fokus utama kerjanya. Mengubah budaya perlu kesabaran, ketekunan, dan komitmen, dan prosesnya memakan waktu yang lama dan berat. Namun jika kita ingin mengubah budaya, kita harus memulai pekerjaan itu. Setelah dia meninggal, kami telah mendirikan sebuah yayasan atas namanya untuk melakukan hal itu, membimbing anak muda dan anak-anak untuk mulai membangun karakter dan kepemimpinan individu, untuk menginspirasi tujuan dan integritas. Namun, memerangi korupsi tak semudah mengatakan korupsi itu buruk.
Now, here are three strategies that we are employing that we believe can be replicated in any school community. First, we must understand the why: Why does corruption happen in the first place? Do we call it for what it is -- theft -- or do we gloss over it with other words? When young children are able to model what it looks and feels like to deal with corruption, they are likely, when faced with a dilemma in their future, to model what they've been taught.
Berikut adalah tiga strategi yang kami gunakan dan yakini agar bisa diterapkan di komunitas sekolah mana pun. Pertama, kita harus memahami alasannya: Mengapa korupsi terjadi? Apa kita menyebutnya apa adanya -- pencurian -- atau kita menutupinya dengan kata lain? Saat anak-anak mampu mencontohkan seperti apa bentuk dan rasanya saat berurusan dengan korupsi, mereka cenderung, saat dihadapkan pada dilema di masa depan, akan mencontoh apa yang telah diajarkan kepada mereka.
Second, we need to teach character explicitly. Now, this may seem obvious, but a child who exhibits a growth mindset and a sense of self-control is self-confident. And a self-confident child is likely to stand up for what they believe.
Kedua, kita perlu mengajarkan karakter secara eksplisit. Sekarang, ini mungkin tampak jelas, tapi anak yang menunjukkan pola pikir dewasa dan kontrol diri akan lebih percaya diri. Anak yang percaya diri, cenderung membela apa yang diyakininya.
Third, we need to build personal leadership in our children early to give them an opportunity to know what it looks like to call corruption out when they see it, what it feels like to stand up and be counted when they're needed and, for me, to make the more and most important connection between human suffering on one hand and corruption, greed and selfishness on the other.
Ketiga, kita harus membangun kepemimpinan pribadi pada anak-anak sejak dini, untuk memberi mereka kesempatan mengetahui bagaimana rasanya menentang korupsi di saat mereka melihatnya, bagaimana rasanya berani melawan dan diandalkan saat dibutuhkan, bagiku, agar mereka memahami kaitan terpenting antara penderitaan manusia di satu sisi dengan korupsi, ketamakan dan keegoisan di sisi lainnya.
We have got to believe in our capacity to bring about the future we want to see, each of us in our small way. Young people must believe that a new reality is possible. Corruption, climate change, ecosystem collapse, biodiversity loss -- all these issues need leadership.
Kita harus yakin pada kapasitas kita untuk mewujudkan masa depan yang kita dambakan, dengan cara kita masing-masing. Anak muda harus yakin bahwa realita baru itu mungkin. Korupsi, perubahan iklim, hancurnya ekosistem, hilangnya keanekaragaman hayati -- semua masalah ini perlu kepemimpinan.
And in the words of Baba Dioum of Senegal, "In the final analysis, we will conserve only what we love, we will love only what we understand and we will understand only what we are taught."
Seperti kata Baba Dioum dari Senegal, “Pada akhirnya, kita hanya akan melindungi yang kita cintai, kita hanya akan mencintai yang kita pahami, dan kita hanya akan memahami yang diajarkan kepada kita.”
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)