This is a wheat bread, a whole wheat bread, and it's made with a new technique that I've been playing around with, and developing and writing about which, for lack of a better name, we call the epoxy method. And I call it an epoxy method because -- it's not very appetizing. I understand that -- but -- but if you think about epoxy, what's epoxy? It's two resins that are, sort of, in and of themselves -- neither of which can make glue, but when you put the two together, something happens. A bond takes place, and you get this very strong, powerful adhesive. Well, in this technique, what I've tried to do is kind of gather all of the knowledge that the bread-baking world, the artisan bread-baking community, has been trying to accumulate over the last 20 years or so -- since we've been engaged in a bread renaissance in America -- and put it together to come up with a method that would help to take whole-grain breads. And let's face it, everyone's trying to move towards whole grains. We finally, after 40 years of knowing that wholegrain was a healthier option, we're finally getting to the point where we actually are tipping over and attempting to actually eat them.
Ini adalah roti gandum, sebuah roti gandum utuh, roti ini dibuat dengan teknik baru yang belakangan ini saya coba-coba, saya mengembangkan dan menulis tentang ini, dan karena sulit menemukan nama yang bagus, kami sebut ini metode epoksi. Saya menyebutnya metode epoksi karena -- memang tidak menggugah selera. Saya mengerti itu -- tapi -- tapi bila anda pikir tentang epoksi, apa sih epoksi itu? Itu adalah dua resin yang, bila berdiri sendiri-sendiri -- tidak satupun bisa menjadi lem, tapi ketika anda menggabungkan keduanya, sesuatu terjadi. Sebuah ikatan terjadi, dan anda akan mendapatkan perekat yang kuat, sangat kuat. Baiklah, dalam teknik ini, yang saya coba lakukan adalah mengumpulkan semua pengetahuan di dunia pembuatan roti, komunitas pembuat roti, telah mencoba mengumpulkannya selama sekitar 20 tahun belakangan -- sejak kita mulai terlibat dalam perkembangan roti lagi di Amerika -- saya mengumpulkannya dan menemukan sebuah metode yang akan menolong perkembangan roti gandum utuh. Mari kita hadapi ini, sekarang semua orang bergerak ke konsumsi gandum utuh. Akhirnya, setelah 40 tahun mengetahui bahwa gandum utuh adalah pilihan yang lebih sehat, akhirnya kita sampai pada titik balik dan mencoba untuk benar-benar memakannya.
(Laughter)
(Tawa)
The challenge, though, for a wholegrain baker is, you know, how do you make it taste good? Because whole grain -- it's easy with white flour to make a good-tasting bread. White flour is sweet. It's mainly starch, and starch, when you break it down -- what is starch? It's -- thank you -- sugar, yes. So a baker, and a good baker, knows how to pull or draw forth the inherent sugar trapped in the starch. With whole grain bread, you have other obstacles. You've got bran, which is probably the healthiest part of the bread for us, or the fiber for us because it is just loaded with fiber, for the bran is fiber. It's got germ. Those are the good things, but those aren't the tastiest parts of the wheat. So whole grain breads historically have had sort of this onus of being health food breads, and people don't like to eat, quote, health food. They like to eat healthy and healthily, but when we think of something as a health food, we think of it as something we eat out of obligation, not out of passion and love for the flavor.
Tantangannya, bagaimanapun juga, bagi pembuat roti gandum utuh adalah anda tahu, bagaimana membuat roti itu berasa enak? Karena gandum utuh -- memang mudah kalau pakai tepung terigu untuk membuat roti yang enak dimakan. Tepung terigu itu manis. Sebagian besar bagian terigu adalah pati, dan bila anda mengurai pati -- apa sih pati itu? Itu adalah -- terima kasih -- ya, gula. Jadi pembuat roti, yang baik, tahu bagaimana caranya menarik gula yang ada di dalam pati. Dengan roti gandum utuh anda punya tantangan lain. Anda dapat bekatul, yang mungkin adalah bagian roti paling sehat untuk kita, serat untuk kita karena gandum utuh penuh dengan serat, sebab bekatul adalah serat. Ada lembaga dalam gandum utuh. Itu adalah barang yang bagus (untuk kesehatan), tapi bukanlah bagian paling enak dari gandum. Jadi, dari sejarah roti gandum utuh sudah dianggap sebagai roti makanan kesehatan, dan orang-orang tidak suka makan "makanan kesehatan". Mereka suka makan yang sehat dan hidup dengan sehat, tapi ketika kita membayangkan makanan kesehatan, kita berpikir tentang sesuatu yang kita makan karena harus, bukan karena gairah dan kecintaan terhadap citarasanya.
And ultimately, the challenge of the baker, the challenge of every culinary student, of every chef, is to deliver flavor. Flavor is king. Flavor rules. I call it the flavor rule. Flavor rules. And -- and you can get somebody to eat something that's good for them once, but they won't eat it again if they don't like it, right? So, this is the challenge for this bread. We're going to try this at lunch, and I'll explain a bit more about it, but it's made not only with two types of pre-doughs -- this attempt, again, at bringing out flavor is to make a piece of dough the day before that is not leavened. It's just dough that is wet. It's hydrated dough we call "the soaker" -- that helps to start enzyme activity. And enzymes are the secret, kind of, ingredient in dough that brings out flavor. It starts to release the sugars trapped in the starch. That's what enzymes are doing. And so, if we can release some of those, they become accessible to us in our palate. They become accessible to the yeast as food. They become accessible to the oven for caramelization to give us a beautiful crust.
Dan hal paling penting, tantangan bagi para pembuat roti, tantangan bagi para murid kuliner, tiap koki, adalah menghidangkan citarasa. Citarasa adalah raja. Citarasa berkuasa. Saya bilang itu aturan citarasa. Citarasa berkuasa. Dan -- dan Anda bisa membuat seseorang makan sesuatu yang sehat satu kali, tapi mereka tak akan makan lagi kalau mereka tak suka, benar kan? Jadi, itulah tantangan untuk roti ini. Kita akan mencicipi ini makan siang nanti, dan saya akan menjelaskan sedikit lagi tentangnya, tapi roti ini tidak hanya dibuat dengan dua jenis pra-adonan -- lagi-lagi, ini adalah usaha mengeluarkan citarasa yaitu dengan membuat sepotong adonan yang tidak diberi ragi, sehari sebelumnya. Adonan itu hanya adonan yang basah. Itulah adonan basah yang kita sebut "perendam" -- yang membantu memulai aktivitas enzim. Enzim sebenarnya adalah semacam bahan rahasia dalam adonan yang mengeluarkan citarasa. Enzim mulai melepaskan gula yang terjebak di dalam pati. Itulah yang dikerjakan enzim. Jadi, bila kita bisa melepaskan sebagian gula itu, mereka jadi tersedia untuk kita rasakan. Mereka jadi tersedia sebagai makanan khamir. Mereka tersedia untuk karamelisasi di oven untuk memberi kita kerak roti yang cantik.
The other pre-dough that we make is fermented -- our pre-ferment. And it's made -- it can be a sourdough starter, or what we call a "biga" or any other kind of pre-fermented dough with a little yeast in it, and that starts to develop flavor also. And on day two, we put those two pieces together. That's the epoxy. And we're hoping that, sort of, the enzyme piece of dough becomes the fuel pack for the leavened piece of dough, and when we put them together and add the final ingredients, we can create a bread that does evoke the full potential of flavor trapped in the grain. That's the challenge. Okay, so, now, what we -- in the journey of wheat, let's go back and look at these 12 stages.
Pra-adonan lainnya yang kita buat adalah adonan yang difermentasi -- pra-fermentasi kita. Adonan itu dapat berupa pemulai adonan asam, yang kita sebut "biga" atau jenis adonan terfermentasi lain dengan sedikit khamir di dalamnya, adonan itu mulai mengembangkan citarasa juga. Dan pada hari kedua, kita pertemukan mereka bersama. Itulah epoksi. Dan kita, semacam berharap bahwa, adonan yang penuh enzim itu menjadi bahan bakar bagi adonan yang telah diberi ragi, dan ketika kita menggabungkan mereka dan menambah bahan terakhir, kita dapat membuat roti yang mengeluarkan semua potensi citarasa yang terperangkap di dalam bulir. Itulah tantangannya. Oke, jadi, sekarang, kita -- dalam perjalanan tentang gandum, mari kembali dan lihat 12 tahapan ini.
I'm going to go through them very quickly and then revisit them. Okay, we're going to start with the first stage. And this is what every student has to begin with. Everyone who works in the culinary world knows that the first stage of cooking is "mise en place," which is just a French way of saying, "get organized." Everything in its place. First stage. So in baking we call it scaling -- weighing out the ingredients. Stage two is mixing. We take the ingredients and we mix them. We have to develop the gluten. There's no gluten in flour. There's only the potential for gluten. Here's another kind of prefiguring of epoxy because we've got glutenin and gliadin, neither of which are strong enough to make a good bread. But when they get hydrated and they bond to each other, they create a stronger molecule, a stronger protein we call gluten. And so we, in the mixing process, have to develop the gluten, we have to activate the leaven or the yeast, and we have to essentially distribute all the ingredients evenly.
Saya akan mengatakannya dengan cepat dan nanti menjelaskan mereka lagi. Oke, kita mulai dari tahap pertama. Ini adalah hal yang harus dimulai oleh tiap murid. Semua orang yang bekerja di dunia kuliner tahu bahwa tahap pertama memasak adalah "mise en place," itu cuma bahasa Perancis untuk bilang, "rapikan semuanya." Semua hal di tempatnya. Itu tahap pertama. Dalam pembuatan roti kita sebut ini penimbangan -- menimbang berat bahan-bahan. Tahap dua adalah pencampuran. Kita ambil bahan-bahan dan campur mereka. Kita harus mengembangkan gluten. Tak ada gluten dalam tepung. Yang ada hanyalah potensi untuk gluten. Ini contoh lain menggambarkan epoksi karena kita punya glutenin dan gliadin, tak satupun cukup kuat untuk membuat roti yang baik. Tapi ketika mereka dibasahi dan saling berikatan satu sama lain, mereka membentuk molekul yang lebih kuat, protein lebih kuat yang kita sebut gluten. Jadi kita, dalam proses pencampuran, harus mengembangkan gluten, kita harus mengaktifkan ragi atau khamir, dan harus meratakan bahan-bahan dengan seragam.
Then we get into fermentation, the third stage, which is really where the flavor develops. The yeast comes alive and starts eating the sugars, creating carbon dioxide and alcohol -- essentially it's burping and sweating, which is what bread is. It's yeast burps and sweat. And somehow, this is transformed -- the yeast burps and sweats are later transformed -- and this is really getting to the heart of what makes bread so special is that it is a transformational food, and we're going to explore that in a minute. But then, quickly through the next few stages. We, after it's fermented and it's developed, started to develop flavor and character, we divide it into smaller units. And then we take those units and we shape them. We give them a little pre-shape, usually a round or a little torpedo shape, sometimes. That's called "rounding."
Lalu kita masuk ke tahap ketiga, fermentasi, yang merupakan tahap di mana pembantukan cita rasa terjadi. Khamir jadi hidup dan mulai makan gula-gula, menghasilkan karbon dioksida dan alkohol -- sebenarnya khamir itu bersendawa dan berkeringat, itulah roti. Roti adalah sendawa dan keringat dari khamir. Dan entah bagaimana, ini berubah -- sendawa dan keringat khamir nanti berubah -- dan pembicaraan kita sampai di hal pokok yang membuat roti sangat spesial yaitu bahwa roti adalah sebuah makanan transformasional, kita akan membahasnya kemudian. Kita akan membicarakan beberapa tahap selanjutnya dengan cepat. Setelah difermentasi dan dikembangkan, mulai terbentuk citarasa dan karakter, kita bagi-bagi adonan menjadi bagian lebih kecil. Lalu kita membentuk mereka. Kita beri mereka pra-bentuk sederhana, biasanya bulat atau seperti torpedo kecil. Ini disebut "pembulatan."
And there's a short rest period. It can be for a few seconds. It can be for 20 or 30 minutes. We call that resting or benching. Then we go into final shaping, "panning" -- which means putting the shaped loaf on a pan. This takes a second, but it's a distinctive stage. It can be in a basket. It can be in a loaf pan, but we pan it. And then, stage nine. The fermentation which started at stage three is continuing through all these other stages. Again, developing more flavor. The final fermentation takes place in stage nine. We call it "proofing." Proofing means to prove that the dough is alive. And at stage nine we get the dough to the final shape, and it goes into the oven -- stage 10. Three transformations take place in the oven. The sugars in the dough caramelize in the crust. They give us that beautiful brown crust. Only the crust can caramelize. It's the only place that gets hot enough. Inside, the proteins -- this gluten -- coagulates. When it gets to about 160 degrees, the proteins all line up and they create structure, the gluten structure -- what ultimately we will call the crumb of the bread. And the starches, when they reach about 180 degrees, gelatinize.
Ada periode istirahat sebentar. Bisa beberapa detik. Bisa 20 atau 30 menit. Kita sebut itu istirahat. Lalu kita bentuk untuk terakhir kali, "pencetakan" -- yang berarti meletakkan adonan di atas loyang. Tahap ini butuh sedikit waktu, tapi adalah tahap yang menentukan. Bisa diletakkan dalam keranjang. Bisa di cetakan roti, yang penting kita cetak. Lalu, tahap sembilan. Fermentasi yang dimulai di tahap ketiga masih berlanjut selama seluruh tahapan lainnya. Lagi-lagi, mengembangkan citarasa. Fermentasi terakhir terjadi di tahap sembilan. Kita sebut sebagai "pembuktian." Pembuktian berarti membuktikan bahwa adonannya hidup. Di tahap sembilan kita buat adonannya sudah di bentuk akhir, dan dimasukkan dalam oven -- tahap 10. Tiga transformasi terjadi di dalam oven. Gula di adonan terkaramelisasi di keraknya. Memberi kita kerak yang coklat dan cantik. Hanya kerak yang terkaramelisasi. Hanya di situlah tempat yang cukup panas. Di dalamnya, protein -- gluten ini -- berkoagulasi. Ketika suhunya sampai sekitar 71 derajat Celsius, protein akan berjajar dan membentuk struktur, struktur gluten -- yang akhirnya akan kita sebut sebagai remah roti. Dan pati, ketika mereka mencapai suhu 80an derajat Celsius, tergelatinisasi.
And gelatinization is yet another oven transformation. Coagulation, caramelization and gelatinization -- when the starch is thick and they absorb all the moisture that's around them, they -- they kind of swell, and then they burst. And they burst, and they spill their guts into the bread. So basically now we're eating yeast sweats -- sweat, burps and starch guts. Again, transformed in stage 10 in the oven because what went into the oven as dough comes out in stage 11 as bread. And stage 11, we call it cooling -- because we never really eat the bread right away. There's a little carry-over baking. The proteins have to set up, strengthen and firm up. And then we have stage 12, which the textbooks call "packaging," but my students call "eating." And so, we're going to be on our own journey today from wheat to eat, and in a few minutes we will try this, and see if we have succeeded in fulfilling this baker's mission of pulling out flavor.
Gelatinisasi adalah transformasi lain dalam oven. Koagulasi, karamelisasi, dan gelatinisasi -- ketika ada banyak pati dan mereka menyerap air di sekitar mereka, mereka akan mengembang, dan akan pecah. Pati akan pecah, dan mencecerkan cairan mereka ke dalam roti. Jadi sebenarnya kita makan keringat dan sendawa khamir, dan cairan pecahan pati. Transformasi terjadi lagi di oven di tahap 10 itu karena sesuatu yang masuk sebagai adonan keluar di tahap 11 sebagai roti. Di tahap 11, kita sebut pendinginan -- sebab kita tak pernah makan roti langsung panas-panas. Ada tambahan sedikit waktu setelah pemanggangan. Protein harus mengeras, menjadi kaku dan memberi bentuk roti. Dan kita kini di tahap 12, di buku-buku teks disebut "pengemasan," tapi murid-muridku menyebutnya "makan." Jadi, hari ini kita ada di perjalanan dari gandum ke makanan, dalam beberapa menit kita akan mencoba ini, dan lihat apakah kita telah berhasil menuntaskan misi pembuat roti untuk mengeluarkan citarasanya.
But I want to go back now and revisit these steps, and talk about it from the standpoint of transformation, because I really believe that all things can be understood -- and this is not my own idea. This goes back to the Scholastics and to the Ancients -- that all things can be understood on four levels: the literal, the metaphoric or poetic level, the political or ethical level. And ultimately, the mystical or sometimes called the "anagogical" level. It's hard to get to those levels unless you go through the literal. In fact, Dante says you can't understand the three deeper levels unless you first understand the literal level, so that's why we're talking literally about bread. But let's kind of look at these stages again from the standpoint of connections to possibly a deeper level -- all in my quest for answering the question, "What is it about bread that's so special?" And fulfilling this mission of evoking the full potential of flavor.
Tapi sekarang saya mau kembali dan membahas tahap-tahap tadi, dan berbicara dari cara pandang transformasi karena saya sungguh percaya bahwa semua hal dapat dipahami -- ini bukan gagasan saya sendiri. Hal ini sudah ada sejak jaman Skolastik dan jaman Kuno -- bahwa semua hal dapat dipahami dari empat tingkat: tingkat literal, tingkat metaforis atau puitis, tingkat politis atau etis. Dan terakhir, tingkat mistis atau kadang disebut tingkat "anagogis." Sulit untuk sampai di tingkat itu tanpa melalui tingkat literal. Faktanya, Dante berkata Anda tak dapat memahami tiga tingkat lebih dalam sampai anda memahami dulu tingkat literal, jadi itulah mengapa kita berbicara tentang roti secara literal. Tapi mari kita lihat tahapan-tahapan itu lagi dari cara pandang hubungan yang mungkin ke tingkat yang lebih dalam -- semuanya dalam perjalanan saya untuk menjawab pertanyaan, "Ada apa dalam roti yang membuatnya sangat spesial?" Dan menuntaskan misi untuk mengeluarkan semua potensi citarasa.
Because what happens is, bread begins as wheat or any other grain. But what's wheat? Wheat is a grass that grows in the field. And, like all grasses, at a certain point it puts out seeds. And we harvest those seeds, and those are the wheat kernels. Now, in order to harvest it -- I mean, what's harvesting? It's just a euphemism for killing, right? I mean, that's what's harvest -- we say we harvest the pig, you know? Yes, we slaughter, you know. Yes, that's life. We harvest the wheat, and in harvesting it, we kill it. Now, wheat is alive, and as we harvest it, it gives up its seeds. Now, at least with seeds we have the potential for future life. We can plant those in the ground. And we save some of those for the next generation. But most of those seeds get crushed and turned into flour. And at that point, the wheat has suffered the ultimate indignity. It's not only been killed, but it's been denied any potential for creating future life. So we turn it into flour.
Sebab apa yang terjadi adalah, roti dimulai dari gandum atau biji-bijian lain. Tapi apa sih gandum itu? Gandum adalah rumput yang tumbuh di ladang. Dan, seperti rumput lain, pada titik tertentu gandum menghasilkan biji. Kita memanen biji-biji itu, itulah bulir-bulir gandum. Sekarang, untuk memanennya -- maksud saya, apa arti memanen? Memanen hanya eufimisme untuk kata membunuh, benar kan? Maksud saya, itulah memanen -- kita bilang kita memanen babi, kan? Ya, kita menyembelih, kan? Ya, itulah hidup. Kita memanen gandum, dan dalam memanennya, kita membunuhnya. Sekarang, gandum itu hidup, ketika kita memanennya, gandum itu memberikan biji-bijinya. Setidaknya dengan biji-biji itu kita punya potensi untuk kehidupan mendatang. Kita dapat menanamnya di tanah. Dan menyimpan sebagian untuk generasi selanjutnya. Tapi sebagian besar biji-biji itu digiling dan dijadikan tepung. Pada titik itu, gandum telah mengalami pelecehan amat sangat. Tak hanya dibunuh, tapi juga dihilangkan potensinya untuk menciptakan kehidupan di masa depan. Maka kita mengubahnya jadi tepung.
So as I said, I think bread is a transformational food. The first transformation -- and, by the way, the definition of transformation for me is a radical change from one thing into something else. O.K.? Radical, not subtle. Not like hot water made cold, or cold water turned hot, but water boiled off and becoming steam. That's a transformation, two different things. Well, in this case, the first transformation is alive to dead. I'd call that radical. So, we've got now this flour. And what do we do? We add some water. In stage one, we weigh it. In stage two, we add water and salt to it, mix it together, and we create something that we call "clay." It's like clay. And we infuse that clay with an ingredient that we call "leaven." In this case, it's yeast, but yeast is leaven. What does leaven mean? Leaven comes from the root word that means enliven -- to vivify, to bring to life. By the way, what's the Hebrew word for clay? Adam. You see, the baker, in this moment, has become, in a sense, sort of, the God of his dough, you know, and his dough, well, while it's not an intelligent life form, is now alive. And we know it's alive because in stage three, it grows. Growth is the proof of life.
Seperti yang saya katakan, saya pikir roti adalah makanan transformasional. Transformasi pertama -- omong-omong, definisi transformasi menurut saya adalah perubahan radikal dari satu hal ke hal lain. Oke? Radikal, tidak samar-samar. Tidak seperti air panas menjadi air dingin, atau air dingin jadi panas, tapi air mendidih dan menjadi uap. Itulah transformasi, dua hal yang berbeda. Baiklah, dalam hal ini transformasi pertama dari hidup ke mati. Saya bilang itu radikal. Jadi, sekarang kita punya tepung. Apa yang kita lakukan? Kita tambahkan air. Dalam tahap satu kita menimbangnya. Di tahap dua kita tambahkan air dan garam, lalu campur, kita membuat sesuatu yang kita sebut "tanah liat" Seperti tanah liat. Kita memberi tanah liat itu suatu bahan yang kita sebut "leaven." Dalam hal ini adalah khamir, tapi khamir itu leaven. Apa arti leaven? Leaven berasal dari kata dasar yang berarti menghidupkan -- untuk menghidupkan, memberi kehidupan. Omong-omong, apa bahasa Ibrani untuk tanah liat? Adam. Anda lihat, si pembuat roti, saat ini telah menjadi, dalam arti tertentu, menjadi tuhan atas adonannya, dan adonan itu, meskipun bukan makhluk cerdas, sekarang hidup. Kita tahu dia hidup sebab di tahap ketiga, dia berkembang. Perkembangan adalah bukti kehidupan.
And while it's growing, all these literal transformations are taking place. Enzymes are breaking forth sugars. Yeast is eating sugar and turning it into carbon dioxide and alcohol. Bacteria is in there, eating the same sugars, turning them into acids. In other words, personality and character's being developed in this dough under the watchful gaze of the baker. And the baker's choices all along the way determine the outcome of the product. A subtle change in temperature -- a subtle change in time -- it's all about a balancing act between time, temperature and ingredients. That's the art of baking. So all these things are determined by the baker, and the bread goes through some stages, and characters develop. And then we divide it, and this one big piece of dough is divided into smaller units, and each of those units are given shape by the baker. And as they're shaped, they're raised again, all along proving that they're alive, and developing character.
Ketika adonan itu berkembang, semua transformasi literal terjadi. Enzim memecah-mecah pati menjadi gula. Khamir memakan gula dan mengubahnya jadi karbon dioksida dan alkohol. Ada bakteri di sana, memakan gula yang sama, mengubahnya jadi berbagai macam asam. Dengan kata lain, kepribadian dan karakter sedang dikembangkan dalam adonan ini di bawah pengamatan cermat si pembuat roti. Pilihan-pilihan si pembuat roti selama perjalanan menentukan hasil akhir produknya. Perubahan kecil di suhu -- perubahan kecil di waktu -- semuanya tentang keseimbangan antara waktu, suhu, dan bahan-bahan. Itulah seni pembuatan roti. Semua hal ini ditentukan si pembuat roti, dan roti melalui beberapa tahap, dan terbentuk karakternya. Dan ketika kita membaginya, sepotong besar adonan dibagi menjadi bagian lebih kecil, tiap bagian ini dibentuk oleh pembuat roti. Dan setelah mereka dibentuk mereka mengembang lagi, masih membuktikan bahwa mereka hidup, dan mengembangkan karakter.
And at stage 10, we take it to the oven. It's still dough. Nobody eats bread dough -- a few people do, I think, but not too many. I've met some dough eaters, but -- it's not the staff of life, right? Bread is the staff of life. But dough is what we're working with, and we take that dough to the oven, and it goes into the oven. As soon as the interior temperature of that dough crosses the threshold of 140 degrees, it passes what we call the "thermal death point." Students love that TDP. They think it's the name of a video game. But it's the thermal death point -- all life ceases there. The yeast, whose mission it has been up till now to raise the dough, to enliven it, to vivify it, in order to complete its mission, which is also to turn this dough into bread, has to give up its life. So you see the symbolism at work? It's starting to come forth a little bit, you know. It's starting to make sense to me -- what goes in is dough, what comes out is bread -- or it goes in alive, comes out dead. Third transformation. First transformation, alive to dead. Second transformation, dead brought back to life. Third transformation, alive to dead -- but dough to bread.
Pada tahap 10, kita memasukkannya dalam oven. Itu masih adonan. Tidak ada yang makan adonan mentah -- beberapa orang melakukannya, saya rasa, tapi tak banyak. Saya kenal beberapa pemakan adonan, tapi -- adonan bukan sumber kehidupan, kan? Rotilah sumber kehidupan. Tapi kita bekerja dengan adonan, dan kita bawa adonan itu ke oven, dan dimasukkan dalam oven. Segera setelah suhu bagian dalam adonan melewati batas 60 derajat Celsius, melewati apa yang kita sebut "titik kematian thermal." (thermal death point, TDP) Murid-murid suka TDP. Mereka pikir itu nama video game. Pada titik kematian thermal -- semua bentuk kehidupan berhenti di sana. Khamir, yang misinya sampai sekarang mengembangkan adonan, yang menghidupkannya, untuk menyelesaikan misinya, yang juga adalah mengubah adonan menjadi roti, harus menyerahkan nyawanya. Anda melihat simbolisme di sini? Anda tahu, simbolisme mulai nampak. Mulai masuk akal bagi saya -- masuk sebagai adonan, keluar sebagai roti -- atau masuk hidup, keluar mati. Itu transformasi ketiga. Transformasi pertama, hidup ke mati. Transformasi kedua, dari mati dihidupkan lagi. Transformasi ketiga, hidup ke mati -- tapi adonan ke roti.
Or another analogy would be, a caterpillar has been turned into a butterfly. And it's what comes out of the oven that is what we call the staff of life. This is the product that everyone in the world eats, that is so difficult to give up. It's so deeply embedded in our psyches that bread is used as a symbol for life. It's used as a symbol for transformation. And so, as we get to stage 12 and we partake of that, again completing the life cycle, you know, we have a chance to essentially ingest that -- it nurtures us, and we continue to carry on and have opportunities to ponder things like this. So this is what I've learned from bread. This is what bread has taught me in my journey. And what we're going to attempt to do with this bread here, again, is to use, in addition to everything we talked about, this bread we're going to call "spent grain bread" because, as you know, bread-making is very similar to beer-making. Beer is basically liquid bread, or bread is solid beer. And -- (Laughter) they -- they're invented around the same time. I think beer came first. And the Egyptian who was tending the beer fell asleep in the hot, Egyptian sun, and it turned into bread.
Analogi lain mungkin begini, seekor ulat telah berubah menjadi kupu-kupu. Itulah yang keluar dari oven inilah yang kita sebut sumber kehidupan. Inilah produk yang dimakan semua orang di dunia, sulit sekali dilepaskan. Roti itu sungguh tertanam dalam dalam jiwa kita sehingga roti digunakan sebagai simbol kehidupan. Roti digunakan sebagai simbol transformasi. Jadi, ketika kita sampai di tahap 12 dan kita ambil bagian di dalamnya, melengkapi siklus kehidupan, Anda tahu, kita punya kesempatan benar-benar memakannya -- roti memberi tenaga bagi kita, dan kita bisa melanjutkan hidup dan punya kesempatan memikirkan hal-hal seperti ini. Jadi inilah yang saya pelajari dari roti. Inilah yang diajarkan roti dalam perjalanan hidup saya. Dan yang akan kita coba lakukan pada roti ini, lagi, adalah menggunakan sesuatu, yang belum dibicarakan dari tadi, kita akan memanggil roti ini "roti biji ampas" karena, seperti anda tahu, pembuatan roti sangat mirip dengan pembuatan bir. Bir pada dasarnya adalah roti cair, atau roti adalah bir padat. Dan -- (Tawa) mereka ditemukan di waktu yang berdekatan. Saya pikir bir duluan. Orang Mesir yang sedang menjaga pembuatan bir tertidur di bawah matahari Mesir yang panas, dan bir itu menjadi roti.
But we've got this bread, and what I did here is to try to, again, evoke even more flavor from this grain, was we've added into it the spent grain from beer-making. And if you make this bread, you can use any kind of spent grain from any type of beer. I like dark spent grain. Today we're using a light spent grain that's actually from, like, some kind of a lager of some sort -- a light lager or an ale -- that is wheat and barley that's been toasted. In other words, the beer-maker knows also how to evoke flavor from the grains by using sprouting and malting and roasting. We're going to take some of that, and put it into the bread. So now we not only have a high-fiber bread, but now fiber on top of fiber. And so this is, again, hopefully not only a healthy bread, but a bread that you will enjoy. So, if I, kind of, break this bread, maybe we can share this now a little bit here. We'll start a little piece here, and I'm going to take a little piece here -- I think I'd better taste it myself before you have it at lunch. I'll leave you with what I call the baker's blessing. May your crust be crisp, and your bread always rise. Thank you.
Sekarang kita punya roti ini, yang saya lakukan di sini adalah, lagi-lagi, berusaha mengeluarkan lebih banyak lagi citarasa dari biji gandum, dengan cara menambahkan bijian ampas pembuatan bir. Bila anda membuat roti ini, anda dapat menggunakan biji ampas apapun dari bir jenis apapun. Saya suka biji ampas yang gelap. Tapi hari ini kita pakai biji ampas yang terang yang berasal dari sejenis lager atau sejenisnya -- lager ringan atau ale -- biji gandum dan barley yang sudah dipanaskan. Dengan kata lain, pembuat bir tahu bagaimana mengeluarkan citarasa dari biji-bijian dengan cara pengecambahan dan pemanasan. Kita ambil sedikit dari situ, dan memasukkannya dalam roti. Jadi sekarang kita tak hanya punya roti tinggi serat, tapi serat di atas serat. Dan hal ini, harapannya bukan sekedar roti sehat, tapi juga roti yang akan anda nikmati. Saya akan memecah-mecah roti ini, mungkin kita dapat berbagi sedikit di sini. Sepotong kecil di sini, dan saya bawa sepotong kecil di sini -- Saya sebaiknya mencobanya sendiri sebelum anda makan saat makan siang nanti. Saya akan meninggalkan anda dengan sesuatu yang saya sebut ucapan berkat pembuat roti. Semoga kerak rotimu renyah, dan rotimu selalu mengembang. Terima kasih.