Today, I'd like to talk with you about something that should be a totally uncontroversial topic. But, unfortunately, it's become incredibly controversial.
Hari ini, saya ingin berbicara tentang sesuatu yang seharusnya menjadi topik yang sangat umum. Sayangnya, ia telah menjadi sangat kontroversial.
This year, if you think about it, over a billion couples will have sex with one another. Couples like this one, and this one, and this one, and, yes, even this one.
Tahun ini, jika Anda pikirkan, lebih dari satu miliar pasangan melakukan hubungan seksual. Pasangan seperti ini, dan ini, dan ini, dan, ya, bahkan ini.
(Laughter)
(Tertawa)
And my idea is this -- all these men and women should be free to decide whether they do or do not want to conceive a child. And they should be able to use one of these birth control methods to act on their decision. Now, I think you'd have a hard time finding many people who disagree with this idea. Over one billion people use birth control without any hesitation at all. They want the power to plan their own lives and to raise healthier, better educated and more prosperous families.
Ide saya begini -- semua pria dan wanita ini seharusnya bebas memutuskan apakah mereka ingin mempunyai anak atau tidak. Dan mereka seharusnya dapat menggunakan salah satu metode KB yang ada tergantung pada keputusan mereka. Kini, saya rasa Anda akan susah menemui beberapa orang yang tidak setuju dengan ini. Lebih dari 1 miliar orang menggunakan alat KB tanpa ragu-ragu. Mereka ingin mempunyai kontrol dalam perencanaan keluarga mereka dan untuk membesarkan keluarga yang lebih sehat, pandai, dan sejahtera.
But, for an idea that is so broadly accepted in private, birth control certainly generates a lot of opposition in public. Some people think when we talk about contraception that it's code for abortion, which it's not. Some people -- let's be honest -- they're uncomfortable with the topic because it's about sex. Some people worry that the real goal of family planning is to control populations. These are all side issues that have attached themselves to this core idea that men and women should be able to decide when they want to have a child. And as a result, birth control has almost completely and totally disappeared from the global health agenda.
Namun, untuk sebuah ide yang dapat diterima masyarakat luas secara personal, KB menimbulkan banyak tentangan dalam ranah publik. Beberapa orang merasa ketika kita membicarakan kontrasepsi sebagai kode tentang aborsi, yang mana tidak. Beberapa orang -- mari kita jujur -- mereka tidak nyaman dengan topik ini karena berhubungan dengan seks. Beberapa khawatir jika tujuan asli dari perencanaan keluarga adalah untuk pengontrolan populasi. Ini semua masalah sampingan yang melekat pada ide awal di mana pria dan wanita seharusnya bisa memutuskan kapan untuk mempunyai anak. Sebagai hasilnya, KB sepenuhnya telah sirna dari agenda kesehatan global.
The victims of this paralysis are the people of sub-Saharan Africa and South Asia. Here in Germany, the proportion of people that use contraception is about 66 percent. That's about what you'd expect. In El Salvador, very similar, 66 percent. Thailand, 64 percent. But let's compare that to other places, like Uttar Pradesh, one of the largest states in India. In fact, if Uttar Pradesh was its own country, it would be the fifth largest country in the world. Their contraception rate -- 29 percent. Nigeria, the most populous country in Africa, 10 percent. Chad, 2 percent. Let's just take one country in Africa, Senegal. Their rate is about 12 percent.
Korban dari kelumpuhan ini adalah penduduk sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Di Jerman, proporsi masyarakat yang menggunakan kontrasepsi adalah sekitar 66%. Sesuai dengan apa yang diharapkan. Di El Salvador, sangat mirip, 66%. Thailand, 64%. Namun mari bandingkan dengan tempat lain, seperti Uttar Pradesh, salah satu provinsi terbesar di India. Sebenarnya, jika Uttar Pradesh adalah sebuah negara sendiri, ia akan menjadi negara kelima terbesar di dunia. Tingkat kontrasepsi mereka -- 29%. Nigeria, negara paling padat di Afrika, 10% Chad, 2%. Mari kita ambil satu negara di Afrika, Senegal. Tingkat kontrasepsi mereka sekitar 12%.
But why is it so low? One reason is that the most popular contraceptives are rarely available. Women in Africa will tell you over and over again that what they prefer today is an injectable. They get it in their arm -- and they go about four times a year, they have to get it every three months -- to get their injection. The reason women like it so much in Africa is they can hide it from their husbands, who sometimes want a lot of children. The problem is every other time a woman goes into a clinic in Senegal, that injection is stocked out. It's stocked out 150 days out of the year. So can you imagine the situation -- she walks all this way to go get her injection. She leaves her field, sometimes leaves her children, and it's not there. And she doesn't know when it's going to be available again. This is the same story across the continent of Africa today.
Mengapa begitu rendah? Satu alasannya karena tipe kontrasepsi yang paling populer jarang tersedia. Wanita di Afrika akan memberitahu Anda sedemikian kali bahwa mereka lebih memilih KB suntik. Suntikan di lengan -- dan mereka disuntik 4 kali setahun, mereka harus disuntik setiap 3 bulan. Mereka sangat menyukainya karena mereka dapat menyembunyikannya dari suami, yang terkadang ingin punya banyak anak. Masalahnya adalah seringkali ketika mereka pergi ke klinik di Senegal, stok suntikan habis. Stok suntikan kosong selama 150 hari setiap tahunnya. Jadi Anda bisa bayangkan situasinya -- ia berjalan jauh untuk mendapat suntikan. Ia meninggalkan ladangnya, terkadang anak-anaknya, dan suntikannya habis. Ia tidak tahu kapan suntikannya tersedia lagi. Berbagai tempat di benua Afrika punya cerita yang sama.
And so what we've created as a world has become a life-and-death crisis. There are 100,000 women [per year] who say they don't want to be pregnant and they die in childbirth -- 100,000 women a year. There are another 600,000 women [per year] who say they didn't want to be pregnant in the first place, and they give birth to a baby and her baby dies in that first month of life. I know everyone wants to save these mothers and these children. But somewhere along the way, we got confused by our own conversation. And we stopped trying to save these lives.
Dunia yang telah kita ciptakan telah menjadi krisis hidup atau mati. Ada 100 ribu wanita (per tahun) yang tidak ingin mengandung dan mereka meninggal ketika melahirkan -- 100 ribu wanita per tahun. Ada lagi 600 ribu wanita (per tahun) yang tadinya tidak ingin hamil, dan mereka melahirkan dan bayinya meninggal pada bulan pertama. Kita semua ingin menyelamatkan para ibu dan bayi ini. Namun entah mengapa, kita dibuat bingung di tengah jalan. Lalu kita berhenti menyelamatkannya.
So if we're going to make progress on this issue, we have to be really clear about what our agenda is. We're not talking about abortion. We're not talking about population control. What I'm talking about is giving women the power to save their lives, to save their children's lives and to give their families the best possible future.
Apabila kita ingin membuat kemajuan dalam masalah ini, kita harus mengetahui benar apa agenda kita. Kita tidak berbicara tentang aborsi. Kita tidak berbicara tentang kontrol populasi. Kita berbicara tentang membantu perempuan menyelamatkan hidup mereka, hidup anak-anak mereka dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi keluarga.
Now, as a world, there are lots of things we have to do in the global health community if we want to make the world better in the future -- things like fight diseases. So many children today die of diarrhea, as you heard earlier, and pneumonia. They kill literally millions of children a year. We also need to help small farmers -- farmers who plow small plots of land in Africa -- so that they can grow enough food to feed their children. And we have to make sure that children are educated around the world. But one of the simplest and most transformative things we can do is to give everybody access to birth control methods that almost all Germans have access to and all Americans, at some point, they use these tools during their life. And I think as long as we're really clear about what our agenda is, there's a global movement waiting to happen and ready to get behind this totally uncontroversial idea.
Sebagai komunitas dunia, ada banyak hal yang harus dilakukan dalam komunitas kesehatan global jika kita ingin memperbaiki masa depan dunia kita -- seperti memerangi penyakit. Begitu banyak anak yang meninggal karena diare dan pneumonia. Jutaan anak meninggal karenanya setiap tahun. Kita juga harus membantu petani kecil -- petani yang menggarap lahan kecil di Afrika -- agar mereka dapat memberi makan anaknya dari kebun sendiri. Kita musti memastikan agar anak di seluruh dunia mendapat pendidikan. Satu contoh yang paling simpel dan transformatif yang bisa kita lakukan adalah memberikan akses metode KB pada semua orang seperti kebanyakan orang di Jerman dan Amerika yang telah menggunakannya. Selama kita jelas dengan agenda yang kita miliki, ada gerakan global yang akan terjadi dan siap mendukung ide yang sama sekali tidak kontroversial ini.
When I grew up, I grew up in a Catholic home. I still consider myself a practicing Catholic. My mom's great-uncle was a Jesuit priest. My great-aunt was a Dominican nun. She was a schoolteacher and a principal her entire life. In fact, she's the one who taught me as a young girl how to read. I was very close to her. And I went to Catholic schools for my entire childhood until I left home to go to university. In my high school, Ursuline Academy, the nuns made service and social justice a high priority in the school. Today, in the [Gates] Foundation's work, I believe I'm applying the lessons that I learned in high school.
Saya besar di keluarga Katolik. Saya adalah seorang Katolik yang taat. Paman buyut ibu saya seorang pendeta Yesuit. Bibi buyut saya seorang biarawati Dominikan. Beliau adalah seorang pendidik selama masa hidupnya. Bahkan beliau lah yang mengajari saya membaca semasa saya kecil. Saya sangat dekat dengannya. Dan saya selalu bersekolah di sekolah Katolik sampai saya meninggalkan rumah untuk kuliah. Di SMA saya, Akademi Ursulin, para biarawati menekankan pengabdian dan keadilan sosial di sekolah. Kini, dalam keseharian Gates Foundation, saya percaya saya mengamalkan apa yang saya pelajari di SMA.
So, in the tradition of Catholic scholars, the nuns also taught us to question received teachings. And one of the teachings that we girls and my peers questioned was is birth control really a sin? Because I think one of the reasons we have this huge discomfort talking about contraception is this lingering concern that if we separate sex from reproduction, we're going to promote promiscuity. And I think that's a reasonable question to be asked about contraception -- what is its impact on sexual morality?
Sesuai dengan kebiasaan cendekiawan Katolik, para suster mengajarkan untuk kritis terhadap pelajaran yang diterima. Salah satu pelajaran yang kami pertanyakan adalah apakah KB betul berdosa? Karena saya pikir salah satu alasan ada suatu ketidaknyamanan ketika kita membicarakan tentang kontrasepsi adalah kekhawatiran yang selalu ada jika kita memisahkan antara seks dan reproduksi, kita menggalakkan seks bebas. Saya pikir itu pertanyaan yang wajar tentang kontrasepsi -- apa akibatnya terhadap moralitas seksual?
But, like most women, my decision about birth control had nothing to do with promiscuity. I had a plan for my future. I wanted to go to college. I studied really hard in college, and I was proud to be one of the very few female computer science graduates at my university. I wanted to have a career, so I went on to business school and I became one of the youngest female executives at Microsoft.
Seperti wanita pada umumnya, keputusan saya tentang KB tidak ada hubungannya sama sekali dengan seks bebas. Saya punya rencana untuk masa depan. Saya ingin kuliah. Saya belajar sangat keras selama kuliah, dan saya bangga menjadi salah satu dari sedikit wisudawati ilmu komputer di universitas saya. Saya ingin mempunyai karir, maka saya mengambil sekolah bisnis dan menjadi salah satu eksekutif wanita termuda di Microsoft.
I still remember, though, when I left my parents' home to move across the country to start this new job at Microsoft. They had sacrificed a lot to give me five years of higher education. But they said, as I left home -- and I literally went down the front steps, down the porch at home -- and they said, "Even though you've had this great education, if you decide to get married and have kids right away, that's OK by us, too." They wanted me to do the thing that would make me the very happiest. I was free to decide what that would be. It was an amazing feeling.
Saya masih ingat, ketika meninggalkan rumah orang tua untuk pindah dan memulai pekerjaan baru di Microsoft. Mereka telah berkorban banyak agar saya bisa kuliah selama 5 tahun. Mereka bilang, ketika saya pergi tepat ketika saya keluar dari pintu beranda rumah mereka berkata, "Seberapa hebatnya pendidikan yang kamu dapatkan, jika kamu putuskan untuk menikah dan langsung punya anak, kami pun tidak apa-apa." Mereka ingin saya melakukan apa yang membuat saya bahagia. Saya bebas menentukan itu. Sungguh perasaan yang luar biasa.
In fact, I did want to have kids -- but I wanted to have them when I was ready. And so now, Bill and I have three. And when our eldest daughter was born, we weren't, I would say, exactly sure how to be great parents. Maybe some of you know that feeling. And so we waited a little while before we had our second child. And it's no accident that we have three children that are spaced three years apart. Now, as a mother, what do I want the very most for my children? I want them to feel the way I did -- like they can do anything they want to do in life. And so, what has struck me as I've travelled the last decade for the foundation around the world is that all women want that same thing.
Sebenarnya, saya ingin mempunyai anak namun saya ingin ketika saya sudah siap. Dan sekarang, Bill dan saya punya tiga anak. Ketika anak perempuan kami lahir, kami tidak yakin sepenuhnya bagaimana menjadi orang tua yang hebat. Mungkin Anda tahu bagaimana rasanya. Maka kami menunggu beberapa waktu sebelum memutuskan yang kedua. Jadi bukan suatu kebetulan kami punya tiga anak yang jaraknya masing-masing tiga tahun. Sebagai ibu, apa yang saya sangat inginkan bagi anak-anak saya? Saya ingin mereka rasakan apa yang saya rasakan yaitu bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan dalam hidup mereka. Apa yang saya temui ketika saya berkeliling dunia untuk yayasan ini sepuluh tahun terakhir adalah semua wanita menginginkan hal yang sama.
Last year, I was in Nairobi, in the slums, in one called Korogocho -- which literally means when translated, "standing shoulder to shoulder." And I spoke with this women's group that's pictured here. And the women talked very openly about their family life in the slums, what it was like. And they talked quite intimately about what they did for birth control. Marianne, in the center of the screen in the red sweater, she summed up that entire two-hour conversation in a phrase that I will never forget. She said, "I want to bring every good thing to this child before I have another." And I thought -- that's it. That's universal. We all want to bring every good thing to our children.
Tahun lalu, di Nairobi, di perkampungan kumuh yang bernama Kogorocho yang artinya "dari bahu ke bahu." Saya berbicara dengan kelompok ibu yang ada di layar. Mereka berbicara tentang keluarga mereka di perkampungan kumuh dengan terbuka, tentang bagaimana rasanya. Mereka juga bicara tentang jenis KB yang mereka gunakan. Marianne, yang berbaju merah dan duduk di tengah, merangkum keseluruhan diskusi yang berdurasi 2 jam tersebut dalam satu kalimat yang saya tidak akan lupakan. Katanya, "Saya ingin memberikan semua yang terbaik untuk anak saya sebelum yang berikutnya lahir." Dan saya pikir -- itulah. Ia universal. Kita semua ingin memberikan yang terbaik bagi anak kita.
But what's not universal is our ability to provide every good thing. So many women suffer from domestic violence. And they can't even broach the subject of contraception, even inside their own marriage. There are many women who lack basic education. Even many of the women who do have knowledge and do have power don't have access to contraceptives.
Namun apa yang tidak universal adalah kemampuan kita untuk menyediakannya. Begitu banyak wanita jadi korban kekerasan rumah tangga. Mereka bahkan tidak boleh membicarakan kontrasepsi dalam keluarga mereka. Banyak wanita yang tidak punya pendidikan dasar. Bahkan mereka yang terdidik dan kuat dalam rumah tangga tidak punya akses KB.
For 250 years, parents around the world have been deciding to have smaller families. This trend has been steady for a quarter of a millennium, across cultures and across geographies, with the glaring exception of sub-Saharan Africa and South Asia. The French started bringing down their family size in the mid-1700s. And over the next 150 years, this trend spread all across Europe. The surprising thing to me, as I learned this history, was that it spread not along socioeconomic lines but around cultural lines. People who spoke the same language made that change as a group. They made the same choice for their family, whether they were rich or whether they were poor. The reason that trend toward smaller families spread was that this whole way was driven by an idea -- the idea that couples can exercise conscious control over how many children they have. This is a very powerful idea. It means that parents have the ability to affect the future, not just accept it as it is.
Selama 250 tahun, orang tua di seluruh dunia sedikit demi sedikit memutuskan untuk punya keluarga kecil. Tren ini konstan selama seperempat milenia, di berbagai kebudayaan di berbagai tempat, dengan pengecualian wilayah sub Sahara Afrika dan Asia Selatan. Prancis mulai mengurangi ukuran keluarga di tengah tahun 1700-an. Selama 150 tahun berikutnya, tren ini menyebar di seluruh Eropa. Hal yang mengejutkan bagi saya, ketika saya pelajari sejarahnya, adalah ia tidak menyebar pada level sosial ekonomi, namun kultural. Mereka yang bicara satu bahasa melakukan perubahan secara bersamaan. Mereka membuat keputusan yang sama dalam keluarga, baik mereka kaya ataupun miskin. Alasan tren keluarga kecil menyebar adalah karena satu ide yang menggerakkannya -- bahwa pasangan memiliki kontrol akan jumlah anak yang mereka punya. Ini adalah ide yang sangat kuat. Ia berarti orang tua mempunyai kemampuan untuk merencanakan masa depan, dan tidak hanya menerima saja.
In France, the average family size went down every decade for 150 years in a row until it stabilized. It took so long back then because the contraceptives weren't that good. In Germany, this transition started in the 1880s, and it took just 50 years for family size to stabilize in this country. And in Asia and Latin America, the transition started in the 1960s, and it happened much faster because of modern contraception.
Di Prancis, ukuran suatu keluarga menurun tiap dekadenya selama 150 tahun berturut-turut sampai ia akhirnya stabil. Ia berlangsung cukup lama karena kontrasepsi yang ada belum begitu bagus. DI Jerman, transisi ini bermula di tahun 1880an, hanya butuh 50 tahun untuk menstabilkan ukuran keluarga di negara itu. Di Asia dan Amerika Latin, transisi bermula di tahun 1960an, dan berlangsung lebih cepat karena kontrasepsi modern.
I think, as we go through this history, it's important to pause for a moment and to remember why this has become such a contentious issue. It's because some family planning programs resorted to unfortunate incentives and coercive policies. For instance, in the 1960s, India adopted very specific numeric targets and they paid women to accept having an IUD placed in their bodies. Now, Indian women were really smart in this situation. When they went to get an IUD inserted, they got paid six rupees. And so what did they do? They waited a few hours or a few days, and they went to another service provider and had the IUD removed for one rupee. For decades in the United States, African-American women were sterilized without their consent. The procedure was so common it became known as the Mississippi appendectomy -- a tragic chapter in my country's history. And as recently as the 1990s, in Peru, women from the Andes region were given anesthesia and they were sterilized without their knowledge.
Saya pikir, berdasarkan sejarah yang ada, penting untuk berhenti sejenak dan mengingat mengapa masalah ini sering diperdebatkan. Ia dikarenakan beberapa program KB menggunakan insentif yang buruk dan kebijakan yang memaksa. Contohnya, tahun 1960-an, India mengadopsi target numerik yang sangat spesifik dan mereka membayar para ibu untuk mau menggunakan IUD. Para wanita di India sangat cerdik dalam situasi ini. Ketika mereka mau dipasangi IUD, mereka dibayar 6 rupee. Apa yang mereka lakukan? Mereka tunggu beberapa jam atau hari, dan mereka pergi ke tempat lain dan minta IUD dilepas dengan 1 rupee. Selama beberapa dekade di Amerika Serikat, wanita keturunan Afrika-Amerika disterilisasi dengan paksa. Prosedurnya sangat umum sampai dikenal dengan sebutan apendektomi Mississippi -- sungguh sejarah tragis di negara saya. Pada tahun 1990-an di Peru wanita dari daerah Andes diberikan anestesi dan mereka disterilkan tanpa mereka sadari.
The most startling thing about this is that these coercive policies weren't even needed. They were carried out in places where parents already wanted to lower their family size. Because in region after region, again and again, parents have wanted to have smaller families. There's no reason to believe that African women have innately different desires. Given the option, they will have fewer children. The question is: will we invest in helping all women get what they want now? Or, are we going to condemn them to some century-long struggle, as if this was still revolutionary France and the best method was coitus interruptus?
Yang lucunya adalah semua kebijakan paksa ini tidaklah perlu. Mereka dilakukan di daerah di mana orang tua ingin ukuran keluarga mereka mengecil. Karena di berbagai tempat, sesungguhnya, mereka sudah menginginkan keluarga yang lebih kecil. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa wanita di Afrika menginginkan sesuatu yang berbeda. Jika diberi pilihan, mereka akan memilih punya anak lebih sedikit. Pertanyaannya: apakah kita mau berinvestasi dalam membantu apa yang mereka inginkan? Ataukah kita akan membiarkan mereka dalam perjuangan berabad-abad, seakan-akan ini masih Prancis jaman revolusi dan metode yang terbaik adalah tidak berhubungan seksual?
Empowering parents -- it doesn't need justification. But here's the thing -- our desire to bring every good thing to our children is a force for good throughout the world. It's what propels societies forward. In that same slum in Nairobi, I met a young businesswoman, and she was making backpacks out of her home. She and her young kids would go to the local jeans factory and collect scraps of denim. She'd create these backpacks and resell them. And when I talked with her, she had three children, and I asked her about her family. And she said she and her husband decided that they wanted to stop having children after their third one. And so when I asked her why, she simply said, "Well, because I couldn't run my business if I had another child." And she explained the income that she was getting out of her business afforded her to be able to give an education to all three of her children. She was incredibly optimistic about her family's future. This is the same mental calculus that hundreds of millions of men and women have gone through. And evidence proves that they have it exactly right. They are able to give their children more opportunities by exercising control over when they have them.
Memberdayakan orang tua -- tidak memerlukan pembenaran. Keinginan kita untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita adalah kekuatan positif di dunia ini. Itulah apa yang menggerakkan masyarakat untuk maju. Di kampung kumuh yang sama di Nairobi, saya bertemu seorang pengusaha wanita, ia membuat ransel di rumahnya. Ia dan anak-anaknya yang masih kecil pergi ke pabrik jeans setempat mengumpulkan sisa bahan kain denim. Ia membuat ransel dari bahan ini dan menjualnya. Saya berbicara dengannya, ia punya tiga anak, saya tanya tentang keluarganya. Ia bilang ia dan suaminya memutuskan untuk berhenti punya anak setelah anak mereka yang ketiga. Ketika saya tanya kenapa, ia bilang, "Karena saya tidak bisa menjalankan bisnis kalau saya punya anak lagi." Ia menjelaskan bahwa pemasukan bisnisnya dapat membuatnya bisa menyekolahkan ketiga anaknya. Ia sangat optimistik akan masa depan anak-anaknya. Ini adalah perhitungan yang sama yang ada di benak ratusan juta pria dan wanita di seluruh dunia. Dan banyak bukti bahwa mereka benar. Mereka dapat memberikan anak mereka kesempatan lebih baik dengan mengontrol jumlah anak yang mereka punya.
In Bangladesh, there's a district called Matlab. It's where researchers have collected data on over 180,000 inhabitants since 1963. In the global health community, we like to say it's one of the longest pieces of research that's been running. We have so many great health statistics. In one of the studies, what did they do? Half the villagers were chosen to get contraceptives. They got education and access to contraception. Twenty years later, following those villages, what we learned is that they had a better quality of life than their neighbors. The families were healthier. The women were less likely to die in childbirth. Their children were less likely to die in the first thirty days of life. The children were better nourished. The families were also wealthier. The adult women's wages were higher. Households had more assets -- things like livestock or land or savings. Finally, their sons and daughters had more schooling. So when you multiply these types of effects over millions of families, the product can be large-scale economic development. People talk about the Asian economic miracle of the 1980s -- but it wasn't really a miracle. One of the leading causes of economic growth across that region was this cultural trend towards smaller families.
Di Bangladesh, ada distrik bernama Matlab. Di mana ilmuwan mengumpulkan data dari 180.000 penduduk sejak 1963. Di komunitas kesehatan global, kita sering menyebutnya salah satu riset terlama yang tengah berlangsung. Ada banyak statistik kesehatan yang bagus. Apa salah satu risetnya? Sebagian penduduk desa memilih untuk KB. Mereka mendapatkan pengetahuan dan akses terhadap alat KB. 20 tahun kemudian, mengikuti perkembangan mereka, kami pelajari bahwa mereka punya kualitas hidup lebih baik dari tetangga mereka. Keluarga mereka lebih sehat. Lebih sedikit wanitanya yang meninggal ketika melahirkan. Lebih sedikit anak-anak yang mati dalam 30 hari pertama hidupnya. Gizi anak-anak lebih baik. Keluarga di sana lebih kaya. Penghasilan para wanita lebih tinggi. Keluarga punya aset lebih -- seperti ternak, tanah, atau tabungan. Dan anak-anak mereka bersekolah lebih layak. Jadi ketika Anda mengalikan efek ini dengan jutaan keluarga yang ada, hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi skala besar. Orang bicara tentang keajaiban ekonomi di Asia tahun 1980-an -- namun ia bukanlah suatu keajaiban semata. Satu penyebab utama pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut adalah tren budaya membentuk keluarga kecil.
Sweeping changes start at the individual family level -- the family making a decision about what's best for their children. When they make that change and that decision, those become sweeping regional and national trends. When families in sub-Saharan Africa are given the opportunity to make those decisions for themselves, I think it will help spark a virtuous cycle of development in communities across the continent. We can help poor families build a better future. We can insist that all people have the opportunity to learn about contraceptives and have access to the full variety of methods.
Perubahan bermula dari level keluarga -- Keluarga memutuskan apa yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ketika mereka membuat perubahan dan keputusan tersebut, ia menjadi tren regional dan nasional. Ketika keluarga di sub Sahara Afrika diberikan pilihan untuk membuat keputusan sendiri, saya pikir ia akan mencetuskan siklus pertumbuhan yang baik di masyarakat di seluruh benua tersebut. Kita dapat membantu mereka membangun masa depan lebih baik. Kita dapat meyakinkan bahwa semua punya kesempatan untuk mempelajari tentang kontrasepsi dan mempunyai akses ke seluruh metode KB.
I think the goal here is really clear: universal access to birth control that women want. And for that to happen, it means that both rich and poor governments alike must make contraception a total priority. We can do our part, in this room and globally, by talking about the hundreds of millions of families that don't have access to contraception today and what it would do to change their lives if they did have access.
Saya pikir tujuan kita sangat jelas: akses KB universal yang para ibu inginkan. Agar dapat berhasil, semua pemerintah baik yang kaya dan miskin musti memprioritaskan kontrasepsi. Kita dapat ikut serta, baik di sini maupun secara global, dengan berbicara tentang ratusan juta keluarga yang tidak punya akses terhadap KB dan perubahan hidup seperti apa yang mereka bisa dapatkan jika ada akses KB.
I think if Marianne and the members of her women's group can talk about this openly and have this discussion out amongst themselves and in public, we can, too. And we need to start now. Because like Marianne, we all want to bring every good thing to our children. And where is the controversy in that? Thank you.
Saya pikir jika Marianne dan anggota dari kelompok wanitanya dapat berbicara tentang hal ini secara terbuka dan dapat berdiskusi baik internal maupun secara publik, kita pun bisa. Dan kita musti mulai sekarang. Karena seperti Marianne, kita semua menginginkan yang terbaik bagi anak kita. Dan di mana letak kontroversinya? Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Chris Anderson: Thank you. I have some questions for Melinda.
C. Anderson: Terima kasih. Saya punya pertanyaan untuk Melinda.
(Applause ends)
(Tepuk tangan berhenti)
Thank you for your courage and everything else.
Terima kasih untuk keberanian Anda dan semuanya.
So, Melinda, in the last few years I've heard a lot of smart people say something to the effect of, "We don't need to worry about the population issue anymore. Family sizes are coming down naturally all over the world. We're going to peak at nine or 10 billion. And that's it." Are they wrong?
Melinda, dalam beberapa tahun terakhir saya banyak mendengar orang pandai yang bilang, "Kita tidak perlu mengkhawatirkan masalah populasi lagi. Ukuran keluarga turun secara alami di setiap belahan dunia. Puncaknya adalah 9 atau 10 miliar. Itu saja." Apakah mereka salah?
Melinda Gates: If you look at the statistics across Africa, they are wrong. And I think we need to look at it, though, from a different lens. We need to look at it from the ground upwards. I think that's one of the reasons we got ourselves in so much trouble on this issue of contraception. We looked at it from top down and said we want to have different population numbers over time. Yes, we care about the planet. Yes, we need to make the right choices. But the choices have to be made at the family level. And it's only by giving people access and letting them choose what to do that you get those sweeping changes that we have seen globally -- except for sub-Saharan Africa and those places in South Asia and Afghanistan.
M. Gates: Jika Anda lihat statistik yang ada di Afrika, mereka salah. Saya pikir kita perlu melihatnya dari berbagai sudut pandang. Kita perlu melihatnya dari bawah. Itulah salah satu alasan mengapa ada begitu banyak masalah dalam topik kontrasepsi. Kita melihatnya dari atas dan berkata seiring waktu kita ingin jumlah populasi berubah. Ya, kita peduli pada planet ini dan musti membuat keputusan tepat. Namun keputusan itu musti dibuat di level keluarga. Hanya dengan memberikan mereka akses dan membiarkan mereka memilih sendiri lah Anda dapatkan perubahan menyeluruh yang kita lihat secara global kecuali di sub Sahara Afrika dan beberapa tempat di Asia Selatan dan Afghanistan.
CA: Some people on the right in America and in many conservative cultures around the world might say something like this: "It's all very well to talk about saving lives and empowering women and so on. But, sex is sacred. What you're proposing is going to increase the likelihood that lots of sex happens outside marriage. And that is wrong." What would you say to them?
CA: Orang-orang sayap kanan di Amerka dan di beberapa kebudayaan konservatif di seluruh dunia mungkin bilang seperti ini: "Boleh saja bicara tentang menyelamatkan nyawa dan pemberdayaan wanita. Namun seks itu sakral. Apa yang Anda usulkan akan memperbesar kemungkinan seks di luar nikah akan meningkat. Dan itu salah." Apa yang akan Anda katakan?
MG: I would say that sex is absolutely sacred. And it's sacred in Germany, and it's sacred in the United States, and it's sacred in France and so many places around the world. And the fact that 98 percent of women in my country who are sexually experienced say they use birth control doesn't make sex any less sacred. It just means that they're getting to make choices about their lives. And I think in that choice, we're also honoring the sacredness of the family and the sacredness of the mother's life and the childrens' lives by saving their lives. To me, that's incredibly sacred, too.
MG: Saya akan bilang bahwa memang seks itu sakral. Sakral di Jerman, sakral di Amerika Serikat, sakral di Prancis dan di seluruh dunia. Fakta bahwa 98 persen wanita di negara saya yang pernah berhubungan seksual mengatakan bahwa menggunakan KB tidak berarti seks jadi kurang sakral. KB berarti mempunyai pilihan akan hidup mereka. Saya pikir pilihan tersebut juga menghargai kesakralan dari sebuah keluarga dan nyawa seorang ibu dan nyawa anak-anaknya dengan menyelamatkannya. Bagi saya, hal itu juga sangat sakral.
CA: So what is your foundation doing to promote this issue? And what could people here and people listening on the web -- what would you like them to do?
CA: Jadi apa yang yayasan Anda lakukan untuk menggalakkan masalah ini? Apa yang kita di sini dan para netizen yang mendengarkan ini bisa lakukan?
MG: I would say this -- join the conversation. We've listed the website up here. Join the conversation. Tell your story about how contraception has either changed your life or somebody's life that you know. And say that you're for this. We need a groundswell of people saying, "This makes sense. We've got to give all women access -- no matter where they live." And one of the things that we're going to do is do a large event July 11 in London, with a whole host of countries, a whole host of African nations, to all say we're putting this back on the global health agenda. We're going to commit resources to it, and we're going to do planning from the bottom up with governments to make sure that women are educated -- so that if they want the tool, they have it, and that they have lots of options available either through their local healthcare worker or their local community rural clinic.
MG: Ikut serta dalam perbincangan tentang KB. Kami telah membuat daftar website di sini. Ikutlah serta di dalamnya. Ceritakan bagaimana kontrasepsi telah mengubah hidup Anda atau hidup seseorang yang Anda kenal. Dan katakan jika Anda setuju. Kita perlu orang-orang berkata, "Ini masuk akal. Kita musti memberi akses pada semua wanita di mana pun mereka berada." Salah satu hal yang akan kita lakukan adalah membuat satu event besar, 11 Juli di London, dengan berbagai orang dari negara Afrika yang akan mengutamakan KB dalam agenda kesehatan global. Kita akan mengusahakan sumber daya dan perencanaan dari bawah ke atas dengan pemerintah agar perempuan bisa mendapat pendidikan -- agar jika mereka mau, mereka bisa mendapatkannya, dan bisa ada banyak pilihan yang tersedia baik melalui pekerja kesehatan setempat maupun klinik pedesaan lokal.
CA: Melinda, I'm guessing that some of those nuns who taught you at school are going to see this TED Talk at some point. Are they going to be horrified, or are they cheering you on?
CA: Melinda, saya tebak para suster yang mengajar Anda di sekolah suatu saat akan menyaksikan seminar TED ini. Apakah mereka akan terkejut atau mendukung Anda?
MG: I know they're going to see the TED Talk because they know that I'm doing it and I plan to send it to them. And, you know, the nuns who taught me were incredibly progressive. I hope that they'll be very proud of me for living out what they taught us about social justice and service. I have come to feel incredibly passionate about this issue because of what I've seen in the developing world. And for me, this topic has become very close to heart because you meet these women and they are so often voiceless. And yet they shouldn't be -- they should have a voice, they should have access. And so I hope they'll feel that I'm living out what I've learned from them and from the decades of work that I've already done at the foundation.
MG: Saya tahu mereka akan menyaksikannya karena mereka tahu sebelumnya dan saya akan kirimkan videonya. Tahukah Anda para suster yang mengajar saya sangat progresif. Saya harap mereka akan bangga akan saya karena mengamalkan ajaran mereka tentang pengabdian dan keadilan sosial. Saya merasakan semangat yang luar biasa tentang masalah ini karena apa yang saya saksikan di negara-negara berkembang. Bagi saya, topik ini sangat dekat dengan hati saya karena saya menemui para wanita ini dan mereka tidak punya suara. Seharusnya tidak begitu -- mereka seharusnya bisa protes, mempunyai akses. Saya harap mereka merasa bahwa saya mengamalkan apa yang saya pelajari dari mereka dan dari yang saya pelajari dari yayasan ini selama bertahun-tahun.
CA: So, you and your team brought together today an amazing group of speakers to whom we're all grateful. Did you learn anything?
CA: Anda dan tim telah membawa pembicara yang hebat pada hari ini dan kami sangat berterima kasih. Apa yang Anda pelajari?
(Laughter)
(Tertawa)
MG: Oh my gosh, I learned so many things. I have so many follow-up questions. And I think a lot of this work is a journey. You heard the discussion about the journey through energy, or the journey through social design, or the journey in the coming and saying, "Why aren't there any women on this platform?" And I think for all of us who work on these development issues, you learn by talking to other people. You learn by doing. You learn by trying and making mistakes. And it's the questions you ask. Sometimes it's the questions you ask that helps lead to the answer the next person that can help you answer it. So I have lots of questions for the panelists from today. And I thought it was just an amazing day.
MG: Banyak sekali. Saya punya banyak pertanyaan lanjutan. Menurut saya proyek ini adalah suatu perjalanan. Anda dengar diskusi tentang perjalanan energi, atau tentang desain sosial, atau tentang hal yang lain dan berkata, "Kenapa tidak ada perempuan di dalamnya?" Saya pikir semua yang bergerak di masalah perkembangan ini belajar dari diskusi dengan orang lain. Belajar dengan mengamalkan. Dengan mencoba dan salah. Dari apa yang kita tanyakan. Terkadang apa yang kita tanyakanlah yang mengarahkan pada jawaban yang dapat orang lain bantu jawab. Jadi saya punya banyak pertanyaan untuk panelis hari ini. Sungguh suatu hari yang menakjubkan.
CA: Melinda, thank you for inviting all of us on this journey with you.
CA: Melinda, terima kasih telah berbagi pengalaman dengan kami semua.
Thank you so much. MG: Great. Thanks, Chris.
Terima kasih. MG: Terima kasih, Chris.