I grew up in a very small village in Canada, and I'm an undiagnosed dyslexic. I had a really hard time in school. In fact, my mother told me eventually that I was the little kid in the village who cried all the way to school. I ran away. I left when I was 25 years old to go to Bali, and there I met my incredible wife, Cynthia, and together, over 20 years, we built an amazing jewelry business. It was a fairy tale, and then we retired. Then she took me to see a film that I really didn't want to see. It ruined my life -- (Laughter) "The Inconvenient Truth" and Mr. Gore. I have four kids, and even if part of what he says is true, they're not going to have the life that I had. And I decided at that moment that I would spend the rest of my life doing whatever I could to improve their possibilities. So here's the world, and here we are in Bali. It's a tiny, little island -- 60 miles by 90 miles. It has an intact Hindu culture. Cynthia and I were there. We had had a wonderful life there, and we decided to do something unusual. We decided to give back locally.
Saya berasal dari sebuah desa yang sangat kecil di Kanada, dan saya seorang penderita disleksia yang tidak terdiagnosa. Dulu saya mengalami masa yang berat di sekolah. Bahkan, ibu saya memberi tahu bahwa saya adalah anak di desa itu yang menangis sepanjang perjalanan menuju sekolah. Saya melarikan diri. Saya pergi ketika berumur 25 tahun menuju ke Bali. Di sana saya bertemu istri saya yang mengagumkan, Cynthia, dan selama lebih dari 20 tahun, kami bersama mendirikan usaha perhiasan yang sukses. Seperti kisah dongeng saja, dan akhirnya kami pensiun. Lalu dia mengajak saya menonton film yang sebenarnya tidak ingin saya lihat. Film itu menghancurkan hidup saya -- (Tawa) "An Inconvenient Truth" dan Tuan Gore. Saya punya empat anak, dan bahkan bila sebagian saja perkataannya benar, anak-anak saya tak akan menjalani hidup seperti saya. Saat itu saya memutuskan bahwa saya akan menghabiskan sisa hidup saya melakukan apapun yang dapat saya lakukan untuk meningkatkan peluang mereka untuk hidup lebih baik. Inilah dunia kita, dan sekarang kita di Bali. Bali adalah pulau kecil, mungil -- 96,5 km kali 145 km. Budaya Hindu masih hidup di sana. Cynthia dan saya hidup di sana. Kami menjalani hidup yang indah di sana, dan kami memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak umum. Kami memutuskan untuk membalas budi secara lokal.
And here it is: it's called the Green School. I know it doesn't look like a school, but it is something we decided to do, and it is extremely, extremely green. The classrooms have no walls. The teacher is writing on a bamboo blackboard. The desks are not square. At Green School, the children are smiling -- an unusual thing for school, especially for me. And we practice holism. And for me it's just the idea that, if this little girl graduates as a whole person, chances are she'll demand a whole world -- a whole world -- to live on. Our children spend 181 days going to school in a box. The people that built my school also built the prison and the insane asylum out of the same materials. So if this gentleman had had a holistic education, would he be sitting there? Would he have had more possibilities in his life?
Maka inilah hasilnya; sebutannya Sekolah Hijau. Saya tahu kelihatannya tidak seperti sekolah, tapi inilah yang kami lakukan, dan sekolah itu sangat, sangat hijau. Ruang kelasnya tidak berdinding. Para guru menulis di papan tulis bambu. Meja-mejanya tidak persegi. Di Sekolah Hijau, anak-anak tersenyum -- hal yang tidak umum di sekolah, khususnya bagi saya. Kami mempraktekkan holisme (gaya hidup yang utuh). Bagi saya, idenya adalah bahwa, bila gadis kecil ini lulus sebagai manusia yang utuh, kemungkinannya adalah dia akan mengharapkan dunia yang utuh -- sebuah dunia yang utuh -- untuk hidup. Anak-anak kita menghabiskan 181 hari pergi ke sekolah yang berupa kotak. Orang-orang yang membangun sekolah saya juga membangun penjara dan rumah sakit jiwa dengan bahan yang sama. Jadi bila tuan-tuan ini telah mendapatkan pendidikan holistik, akankah dia duduk di sana? Akankah dia punya kemungkinan lain dalam hidupnya?
The classrooms have natural light. They're beautiful. They're bamboo. The breeze passes through them. And when the natural breeze isn't enough, the kids deploy bubbles, but not the kind of bubbles you know. These bubbles are made from natural cotton and rubber from the rubber tree. So we basically turned the box into a bubble. And these kids know that painless climate control may not be part of their future. We pay the bill at the end of the month, but the people that are really going to pay the bill are our grandchildren. We have to teach the kids that the world is not indestructible. These kids did a little graffiti on their desks, and then they signed up for two extra courses. The first one was called sanding and the second one was called re-waxing. But since that happened, they own those desks. They know they can control their world.
Ruang kelasnya mendapatkan pencahayaan alami. Indahnya. Mereka terbuat dari bambu. Angin sepoi-sepoi bertiup melaluinya. Ketika angin alami tidak cukup, anak-anak menyebarkan gelembung, tapi bukan gelembung yang biasanya anda tahu. Gelembung ini terbuat dari kapas alami dan karet dari pohon karet. Jadi pada dasarnya kami mengubah ruangan kotak menjadi sebuah gelembung. Anak-anak ini tahu bahwa pengaturan iklim yang mudah mungkin tak akan jadi bagian masa depan mereka. Kami membayar tagihan pada akhir bulan, tapi orang yang sesungguhnya akan membayar tagihan itu adalah anak cucu kita. Kita harus mengajari anak-anak bahwa dunia ini dapat rusak dan hancur. Anak-anak ini mencoret-coret meja mereka, dan lalu mereka mengikuti dua pelajaran tambahan. Yang pertama disebut mengamplas, dan yang kedua disebut melapisi ulang. Tapi karena kejadian itu, mereka merasa memiliki meja-meja itu. Mereka tahu mereka bisa mengendalikan dunia mereka.
We're on the grid. We're not proud of it. But an amazing alternative energy company in Paris is taking us off the grid with solar. And this thing is the second vortex to be built in the world, in a two-and-a-half meter drop on a river. When the turbine drops in, it will produce 8,000 watts of electricity, day and night. And you know what these are. There's nowhere to flush. And as long as we're taking our waste and mixing it with a huge amount of water -- you're all really smart, just do the math. How many people times how much water. There isn't enough water. These are compost toilets, and nobody at the school wanted to know about them, especially the principal. And they work. People use them. People are okay. It's something you should think about doing. Not many things didn't work. The beautiful canvas and rubber skylights got eaten by the sun in six months. We had to replace them with recyclable plastic. The teachers dragged giant PVC whiteboards into the classrooms. So we had some good ideas: we took old automobile windshields, put paper behind them and created the first alternative to the whiteboard.
Kami mandiri energi, kami tidak melakukannya sendiri, tapi perusahaan energi alternatif yang mengagumkan di Paris membantu kami mandiri energi dengan energi matahari. Dan ini adalah pusaran air kedua yang dibangun di dunia, dengan beda ketinggian 2,5 meter dari sungai. Ketika turbin berputar, pusaran ini menghasilkan listrik 8.000 watt, siang dan malam. Anda tahu benda apakah ini. Tidak ada tempat dengan toilet sentor. Selama kita masih buang air lalu menyiramnya dengan banyak air -- anda semua sangat pintar, coba hitung saja. Jumlah orang dikalikan jumlah air yang dibutuhkan. Tidak ada cukup air. Ini adalah toilet kompos. Tak ada orang di sekolah yang mau tahu tentang hal ini, terutama kepala sekolahnya. Toilet itu bekerja; orang-orang menggunakannya. Mereka baik-baik saja. Ini sesuatu yang perlu anda pikirkan untuk dilakukan. Tidak semua hal bekerja dengan baik. Kanvas dan atap karet yang indah ini termakan matahari dalam enam bulan. Kami harus menggantinya dengan plastik yang dapat didaur ulang. Guru-guru menaruh papan tulis PVC raksasa ke dalam ruang kelas, maka kami punya beberapa ide bagus. Kami mengambil kaca mobil tua, menaruh kertas di baliknya dan membuat alternatif pertama dari papan tulis.
Green School sits in south-central Bali, and it's on 20 acres of rolling garden. There's an amazing river traveling through it, and you can see there how we manage to get across the river. I met a father the other day; he looked a little crazed. I said, "Welcome to Green School." He said, "I've been on an airplane for 24 hours." I asked him, "Why?" He said, "I had a dream once about a green school, and I saw a picture of this green school, I got on an airplane. In August I'm bringing my sons." This was a great thing. But more than that, people are building green houses around Green School, so their kids can walk to school on the paths. And people are bringing their green industries, hopefully their green restaurants, to the Green School. It's becoming a community. It's becoming a green model. We had to look at everything. No petrochemicals in the pavement. No pavement. These are volcanic stones laid by hand. There are no sidewalks. The sidewalks are gravel. They flood when it rains, but they're green.
Sekolah Hijau ada di Bali tengah-selatan, dan luasnya 8 hektar berupa kebun yang berbukit-bukit. Ada sungai cantik yang mengalir di dalamnya dan anda bisa lihat di sana bagaimana kami menyeberangi sungai itu. Saya bertemu seorang ayah suatu hari, dia terlihat sangat tertarik. Saya berkata, "Selamat datang di Sekolah Hijau." Dia menjawab, "Saya berada di pesawat selama 24 jam." Saya bertanya padanya, "Mengapa?" Dia berkata, "Saya pernah memimpikan tentang sekolah hijau, dan saya melihat gambar sekolah hijau ini, saya langsung pergi ke sini. Bulan Agustus nanti saya akan membawa anak saya." Itu cerita yang bagus. Tapi lebih dari itu, orang-orang membangun rumah hijau di sekitar Sekolah Hijau, jadi anak mereka bisa berjalan kaki ke sekolah. Orang-orang juga membangun industri hijau mereka, harapannya nanti akan ada restoran hijau, di dekat Sekolah Hijau. Di sana mulai terbentuk komunitas. Sekolah Hijau menjadi model hijau. Kami harus mengurus semuanya. Tak ada hasil olahan minyak bumi untuk jalanan. Tak ada aspal. Jalan ini dibuat dari batu vulkanis yang disusun dengan tangan. Tidak ada trotoar. Trotoarnya adalah kerikil, ketika hujan akan banjir, tapi semuanya hijau.
This is the school buffalo. He's planning to eat that fence for dinner. All the fences at Green School are green. And when the kindergarten kids recently moved their gate, they found out the fence was made out of tapioca. They took the tapioca roots up to the kitchen, sliced them thinly and made delicious chips. Landscaping. We manage to keep the garden that was there running right up to the edge of each of the classrooms. We dropped them gently in. We made space for these guys who are Bali's last black pigs. And the school cow is trying to figure out how to replace the lawnmower on the playing field.
Ini adalah kerbau milik sekolah. Kerbau itu berencana memakan pagar itu untuk makan malam. Semua pagar di Sekolah Hijau adalah hijau. Ketika anak-anak TK memindahkan pagar itu belakangan ini, mereka menemukan pagarnya adalah tanaman singkong. Mereka membawa umbi singkong itu ke dapur, mengirisnya tipis-tipis dan membuat keripik yang lezat. Tata lingkungan. Kami mempertahankan kebun yang semula ada di sana terbentang sampai ke pinggir ruang-ruang kelas. Kami mengatur kemiringannya dengan baik. Kami memberi tempat untuk mereka babi-babi hitam Babi yang terakhir. Sapi milik sekolah ini mencoba menemukan cara bagaimana menggantikan mesin pemotong rumput di lapangan bermain sekolah.
These young ladies are living in a rice culture, but they know something that few people know in a rice culture. They know how to plant organic rice, they know how to look after it, they know how to harvest and they know how to cook it. They're part of the rice cycle and these skills will be valuable for them in their future. This young man is picking organic vegetables. We feed 400 people lunch every day and it's not a normal lunch. There's no gas. Local Balinese women cook the food on sawdust burners using secrets that only their grandmothers know. The food is incredible.
Perempuan-perempuan muda ini hidup di persawahan, tapi mereka tahu sesuatu yang jarang diketahui orang tentang bertanam padi. Mereka tahu bagaimana menanam padi organik, mereka tahu cara merawatnya, mereka tahu bagaimana cara memanen dan memasaknya. Mereka bagian dari siklus bertanam padi itu dan kemampuan-kemampuan ini akan berharga bagi mereka di masa depan. Pria muda ini memanen sayuran organik. Kami memberi makan siang untuk 400 orang sehari. Makan siangnya tidak seperti biasa; tidak ada gas untuk memasak. Perempuan Bali lokal memasak makanan menggunakan kompor serbuk gergaji menggunakan rahasia yang hanya diketahui nenek-nenek mereka. Makanannya luar biasa.
Green School is a place of pioneers, local and global. And it's a kind of microcosm of the globalized world. The kids are from 25 countries. When I see them together, I know that they're working out how to live in the future. Green School is going into its third year with 160 children. It's a school where you do learn reading -- one of my favorites -- writing -- I was bad at it -- arithmetic. But you also learn other things. You learn bamboo building. You practice ancient Balinese arts. This is called mud wrestling in the rice fields. The kids love it. The mothers aren't quite convinced.
Sekolah Hijau adalah tempat bagi para pelopor, lokal dan global. Seperti dunia kecil dari dunia global kita sekarang ini. Anak-anaknya berasal dari 25 negara. Ketika saya melihat mereka bersama, saya tahu mereka sedang mencari cara untuk hidup di masa depan. Sekolah Hijau akan berumur tiga tahun dengan 160 anak didik. Sekolah di mana anda belajar membaca -- salah satu favorit saya -- menulis -- saya buruk dalam menulis -- aritmatika. Tapi anda juga belajar hal-hal lain. Anda belajar tentang bangunan bambu. Anda berlatih seni-seni tradisional Bali. Hal ini disebut gulat lumpur di tengah sawah. Anak-anak menyukainya. Para ibu tidak begitu yakin tentang ini.
(Laughter)
(Tawa)
We've done a lot of outrageous things in our lives, and we said, okay, local, what does "local" mean? Local means that 20 percent of the population of the school has to be Balinese, and this was a really big commitment. And we were right. And people are coming forward from all over the world to support the Balinese Scholarship Fund, because these kids will be Bali's next green leaders. The teachers are as diverse as the student body, and the amazing thing is that volunteers are popping up. A man came from Java with a new kind of organic agriculture. A woman came from Africa with music. And together these volunteers and the teachers are deeply committed to creating a new generation of global, green leaders. The Green School effect -- we don't know what it is. We need someone to come and study it. But what's happening, our learning-different kids -- dyslexic -- we've renamed them prolexic -- are doing well in these beautiful, beautiful classrooms. And all the kids are thriving.
Kita telah melakukan banyak kesalahan dalam hidup kita, dan kita berkata, oke, lokal. Apa artinya lokal? Lokal berarti bahwa 20% populasi sekolah haruslah orang Bali. Ini adalah komitmen yang sangat besar. Dan kami benar. Orang-orang datang dari seluruh penjuru dunia untuk mendukung Dana Beasiswa untuk Orang Bali, karena anak-anak ini akan menjadi pemimpin hijau Bali di masa depan. Guru-guru di sana sama beragamnya seperti murid-muridnya. Hal mengagumkan lain adalah para sukarelawan bermunculan. Seseorang datang dari Jawa dengan pertanian organik gaya baru. Seorang perempuan datang dari Afrika membawa musik. Para guru dan sukarelawan ini bersama-sama dengan komitmen mendalam untuk menciptakan generasi baru para pemimpin hijau di dunia. Efek Sekolah Hijau -- kami tidak tahu apa dampaknya. Kami butuh seseorang untuk datang dan mempelajarinya. Tapi lihat yang terjadi, anak-anak dengan kebutuhan khusus -- disleksia -- kami menyebut mereka proleksia -- belajar dengan baik di kelas yang indah ini. Semua anak hidup dengan baik.
And how did we do all this? On giant grass. It's bamboo. It comes out of the ground like a train. It grows as high as a coconut tree in two months and three years later it can be harvested to build buildings like this. It's as strong and dense as teak and it will hold up any roof. When the architects came, they brought us these things, and you've probably seen things like this. The yellow box was called the administration complex. (Laughter) We squashed it, we rethought it, but mainly we renamed it "the heart of school," and that changed everything forever. It's a double helix. It has administrators in it and many, many other things.
Bagaimana kami melakukan semua ini? Dengan rumput raksasa. Bambu. Bambu keluar dari dalam tanah seperti kereta api. Tumbuh setinggi pohon kelapa dalam waktu dua bulan. Tiga tahun kemudian bambu itu dapat dipanen untuk membuat bangunan seperti ini. Bambu sama kuat dan padatnya seperti kayu jati. Kuat menahan atap jenis apapun. Ketika para arsitek datang, mereka membawa hal-hal ini, dan anda mungkin sudah melihat hal-hal seperti ini. Kotak kuning itu adalah kompleks administrasi. (Tawa) Kami tidak menggunakannya, dan memikirkannya lagi, tapi yang paling penting kami memberi nama baru -- jantung sekolah. Hal itu mengubah segalanya selamanya. Berbentuk pilinan ganda. Di dalamnya ada administrator dan banyak hal lainnya.
And the problem of building it -- when the Balinese workers saw long reams of plans, they looked at them and said, "What's this?" So we built big models. We had them engineered by the engineers. And Balinese carpenters like this measured them with their bamboo rulers, selected the bamboo and built the buildings using age-old techniques, mostly by hand. It was chaos. And the Balinese carpenters want to be as modern as we do, so they use metal scaffolding to build the bamboo building and when the scaffolding came down, we realized that we had a cathedral, a cathedral to green, and a cathedral to green education. The heart of school has seven kilometers of bamboo in it. From the time the foundations were finished, in three months it had roofs and floors. It may not be the biggest bamboo building in the world, but many people believe that it's the most beautiful.
Masalah dalam pembangunannya adalah -- ketika para pekerja dari Bali melihat berlembar-lembar gambar rencana bangunan, mereka melihatnya dan berkata, "Apa ini?" Jadi kami membangun model berukuran besar. Model itu dikerjakan oleh para insinyur. Dan tukang kayu Bali seperti mereka mengukur model itu dengan penggaris bambu mereka, memilih bambu yang tepat dan mulai membangun menggunakan teknik-teknik kuno, kebanyakan dengan tangan. Terjadi kekacauan. Tukang-tukang kayu Bali ingin juga modern seperti kita, jadi mereka menggunakan perancah dari logam untuk membangun bangunan bambu itu. Ketika perancah diturunkan, kami menyadari kami memiliki katedral, sebuah katedral menuju, pendidikan yang hijau. Jantung sekolah memiliki bambu sepanjang 7 km di dalamnya. Sejak pondasi diselesaikan, lantai dan atap diselesaikan dalam tiga bulan. Mungkin ini bukan bangunan bambu terbesar di dunia, tapi banyak orang percaya ini yang paling indah.
Is this doable in your community? We believe it is. Green School is a model we built for the world. It's a model we built for Bali. And you just have to follow these simple, simple rules: be local, let the environment lead and think about how your grandchildren might build.
Apa hal ini bisa dilakukan di komunitas anda? Kami percaya itu bisa. Sekolah Hijau adalah model yang kami buat untuk dunia. Model yang kami bangun untuk Bali. Anda hanya perlu mengikuti peraturan sederhana ini: gunakan sumber daya lokal, biarkan lingkungan mengarahkan anda dan pikirkan tentang bagaimana anak cucu anda akan bertumbuh.
So, Mr. Gore, thank you. You ruined my life, but you gave me an incredible future. And if you're interested in being involved in finishing Green School and building the next 50 around the world, please come and see us.
Jadi, Tuan Gore, terima kasih. Anda menghancurkan hidup saya, tapi anda memberi saya masa depan yang luar biasa. Bila anda tertarik untuk terlibat mengembangkan Sekolah Hijau dan membangun 50 sekolah hijau lain di seluruh dunia. silakan datang dan menemui kami.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)