How do you know you’re a person who has lived your life, rather than a just-formed brain full of artificial memories, momentarily hallucinating a reality that doesn't actually exist? That may sound absurd, but it’s kept several generations of top cosmologists up at night. They call it the Boltzmann brain paradox.
Bagaimana kamu tahu bahwa kamu adalah manusia yang hidup, dan bukan hanya otak yang baru dibentuk yang penuh dengan memori buatan, yang sedang berhalusinasi sebuah realita yang sebenarnya tidak nyata? Mungkin itu terdengar aneh, tapi hal ini membuat beberapa generasi kosmolog terbaik tidak bisa tidur. Mereka menyebutnya paradoks otak Boltzmann.
Its namesake, Ludwig Boltzmann, was a 19th century physicist operating in a period when scientists were passionately debating whether the universe had existed for an infinite or finite time. Boltzmann’s main claim to fame was revolutionizing thermodynamics, the branch of physics that studies energy. He put forward a new interpretation of entropy, which is a measure of the disorder of a system. A glass is an ordered system, whereas a shattered glass is disordered. The second law of thermodynamics states that closed systems tend towards disorder: you won’t see a shattered glass return to its pristine state.
Namanya diambil dari Ludwig Boltzmann, seorang fisikawan abad 19 yang bekerja selama periode ketika para ilmuwan berdebat dengan semangat tentang apakah alam semesta sudah ada dalam waktu tak terbatas atau terbatas. Klaim pertama Boltzmann yang jadi terkenal adalah ‘merevolusi termodinamika’, cabang ilmu fisika yang menelaah energi. Ia mengemukakan interpretasi baru tentang entropi, yakni suatu besaran dari ketidakberaturan sebuah sistem. Gelas adalah sistem beraturan, sedangkan pecahannya adalah sistem tak beraturan. Hukum termodinamika ke-2 menyatakan sistem tertutup cenderung menuju ketakberaturan: kamu tidak akan melihat pecahan kaca kembali pada keadaan utuhnya.
Boltzmann’s insight was applying statistical reasoning to this behavior. He found that a system evolves to a more disordered state because it’s more likely. However, the opposite direction isn’t impossible, just so unlikely that we’ll never witness things like scrambled eggs turning raw.
Pendapat Boltzmann menerapkan penalaran statistik untuk perilaku ini. Ia menemukan sistem berevolusi menjadi tak beratur karena itu lebih mungkin terjadi. Meski demikian, evolusi ke arah sebaliknya masih mungkin terjadi. Namun, menyaksikan hal bak telur orak-arik berubah jadi mentah tidak mungkin terjadi.
But if the universe exists over an infinitely long time, extremely unlikely events will happen, including complex things forming out of random combinations of particles. So what does that look like in a hypothetical infinitely old universe? In this unremarkable stretch of near-nothingness, about eight octillion atoms randomly come together to form a replica of the Thinker made of pasta. It instantly dissolves. Over here, these particles suddenly form something like a brain. It’s filled with false memories of a lifetime up to the present moment, when it perceives a video saying these very words, before decaying. And finally, by random fluctuations, all the particles in the cosmos concentrate in a single point, and an entire new universe spontaneously bursts into existence. Of those last two, which is more likely? The brain, by far— despite all its complexity, it’s a blip compared to an entire universe. Every one universe produced by random fluctuations has equivalent odds to heaps upon heaps of insta-brains. So by this reasoning, it seems extremely more likely that everything you believe to exist is actually a brief illusion, soon to be extinguished.
Namun, jika alam semesta telah ada lebih dari waktu yang tak terbatas, kejadian yang sangat tidak mungkin terjadi, akan terjadi, termasuk hal kompleks yang terbentuk dari kombinasi acak partikel. Jadi, seperti apa hal itu di alam semesta yang diperkirakan tak terhingga tuanya? Dalam bentangan biasa-biasa saja ini dari hampir ketiadaan, sekitar delapan oktaliun atom secara acak bersatu untuk membentuk sebuah replika dari pemikir yang terbuat dari pasta. Hal itu seketika menghilang. Di sini, partikel-partikel itu tiba-tiba membentuk sesuatu seperti otak. Otak itu dipenuhi dengan memori palsu yang terjadi seumur hidup hingga saat ini, ketika otak itu melihat video mengatakan kata-kata ini, sebelum menghilang. Dan akhirnya, dengan fluktuasi acak, semua partikel di kosmos berpusat pada satu titik, dan sebuah alam semesta baru serta-merta hadir. Dari kedua hal tersebut, yang mana yang lebih mungkin terjadi? Otak, sejauh ini— terlepas dari semua kekompleksitasannya, adalah hal kecil dibanding alam semesta. Setiap alam semesta dihasilkan dari fluktuasi acak memiliki peluang setara untuk menumpuk otak-otak instan. Jadi dengan alasan ini, tampaknya sangat mungkin bahwa apa yang kamu yakini ada sebenarnya hanyalah ilusi singkat, yang akan segera menghilang.
Boltzmann didn’t get quite that far in his thinking; the brains themselves were introduced by later cosmologists building on his work. But they, like just about everyone else, were pretty sure that they themselves weren't just ephemeral brains. So the paradox was: how could they be correct and the universe be eternal? The resolution is something most take for granted today: that our universe has not existed forever, but rather time and space started with a Big Bang.
Botlzmann tidak berpikir sampai sejauh itu; otak sendiri diperkenalkan oleh kosmolog berdasarkan pemikirannya. Tapi mereka, seperti orang-orang lainnya, sangat yakin bahwa mereka sendiri bukanlah otak yang ada sesaat saja. Jadi paradoksnya adalah: bagaimana mereka bisa benar dan alam semesta itu abadi? Resolusi itu adalah sesuatu yang paling diterima begitu saja saat ini; dalam semesta kita belum ada sejak lama, namun waktu dan ruang ada setelah peristiwa Big Bang terjadi.
So that’s the paradox over and done with, right? Well, maybe not. In the last century, scientists have found evidence supporting the theory of the Big Bang everywhere we look. Yet while we know that the Big Bang happened, no one knows what, if anything, preceded and caused it. Why did the universe begin in such an extremely ordered, and unlikely, state? Is our universe in an unending cycle of creation and collapse? Or might we be in one of many universes expanding within a multiverse?
Jadi, selesai. Begitulah paradoks itu berakhir kan? Yah, mungkin tidak. Pada abad terakhir, peneliti menemukan bukti yang mendukung teori Big Bang di mana pun kita melihatnya. Meskipun kita tahu bahwa peristiwa Big Bang terjadi, tidak ada yang tahu apa, jika ada, yang mendahului dan menyebabkannya. Mengapa alam semesta ada dengan keadaan yang sangat teratur dan tidak mungkin? Apakah alam semesta kita ada pada siklus penciptaan dan kehancuran tiada akhir? Atau apakah kita ada di satu dari banyak alam yang berkembang di multisemesta?
In this context, Boltzmann’s paradox has found renewed interest by contemporary cosmologists. Some argue that leading models for where the universe came from still imply that Boltzmann brains are more likely than human brains, suggesting something’s amiss. Others counter that slight modifications of the cosmological models would avoid the problem, or that Boltzmann’s brains can’t actually physically form. Some researchers even attempted to calculate the probability of a brain popping out of random quantum fluctuations long enough to think a single thought. They got this incredible number whose denominator is 10 to a number about a septillion times larger than the number of stars in the universe. The Boltzmann brain paradox, despite its absurdity, is useful because it creates a bar that models have to rise to. If, compared to numbers like this one, the current state of the universe is exceedingly unlikely, something in the model is almost certainly wrong. Unless you’re the one who is wrong...
Dalam konteks ini, paradoks Boltzmann menemukan persoalan yang diperbarui oleh kosmolog kontemporer. Beberapa beranggapan bahwa model terkemuka dari mana alam semesta berasal masih menyiratkan bahwa otak Boltzmann lebih mungkin daripada otak manusia, memberi kesan bahwa ada kekeliruan. Yang lain beranggapan bahwa sedikit modifikasi pada model-model kosmolog dapat menghindari masalah, atau otak Boltzmann tidak bisa dibentuk secara fisik. Beberapa peneliti bahkan mencoba untuk menghitung peluang akan otak yang muncul dari fluktuasi kuantum acak cukup lama untuk mencapai satu kesimpulan. Mereka mendapatkan jumlah luar biasa yang penyebutnya adalah 10 sampai jumlah yang sekitar satu juta kali lebih besar daripada jumlah bintang di alam semesta. Paradoks otak Boltzmann, terlepas dari ketidakmasukakalannya, bermanfaat karena hal itu membuat batas yang harus dicapai oleh model. Jika, dibandingkan angka seperti ini, keadaan alam semesta saat ini sangat tidak mungkin, sesuatu pada model tersebut hampir pasti salah. Kecuali kamu sendiri yang salah...