So I want to talk to you today about AIDS in sub-Saharan Africa. And this is a pretty well-educated audience, so I imagine you all know something about AIDS. You probably know that roughly 25 million people in Africa are infected with the virus, that AIDS is a disease of poverty, and that if we can bring Africa out of poverty, we would decrease AIDS as well. If you know something more, you probably know that Uganda, to date, is the only country in sub-Saharan Africa that has had success in combating the epidemic. Using a campaign that encouraged people to abstain, be faithful, and use condoms -- the ABC campaign -- they decreased their prevalence in the 1990s from about 15 percent to 6 percent over just a few years. If you follow policy, you probably know that a few years ago the president pledged 15 billion dollars to fight the epidemic over five years, and a lot of that money is going to go to programs that try to replicate Uganda and use behavior change to encourage people and decrease the epidemic.
Hari ini saya ingin berbicara tentang AIDS di Afrika sub-Sahara. Anda adalah penonton yang cukup berpendidikan, jadi saya anggap Anda tahu tentang AIDS. Anda mungkin tahu bahwa sekitar 25 juta orang di Afrika terkena virus ini dan AIDS adalah penyakit kemiskinan. Dan jika kita dapat mengangkat Afrika dari kemiskinan, kita juga akan mengurangi AIDS. Jika Anda tahu lebih banyak, mungkin Anda tahu bahwa Uganda adalah satu-satunya negara di Afrika sub-Sahara yang berhasil memerangi wabah ini dengan kampanye yang mengajak orang untuk menjauhkan diri, beriman, dan menggunakan kondom -- kampanye ABC yang mengurangi tingkat penyebarannya pada tahun 90-an dari 15 persen hingga 6 persen hanya dalam beberapa tahun. Jika Anda mengikuti kebijakan politik, Anda mungkin tahu beberapa tahun lalu presiden menjanjikan 15 miliar dolar untuk melawan wabah ini selama 5 tahun dan banyak uang akan digunakan pada program yang mencoba meniru Uganda dan mendorong perubahan perilaku orang-orang dan mengurangi wabah ini.
So today I'm going to talk about some things that you might not know about the epidemic, and I'm actually also going to challenge some of these things that you think that you do know. To do that I'm going to talk about my research as an economist on the epidemic. And I'm not really going to talk much about the economy. I'm not going to tell you about exports and prices. But I'm going to use tools and ideas that are familiar to economists to think about a problem that's more traditionally part of public health and epidemiology. And I think in that sense, this fits really nicely with this lateral thinking idea. Here I'm really using the tools of one academic discipline to think about problems of another.
Jadi saya ingin berbicara tentang beberapa hal yang mungkin Anda tidak ketahui tentang wabah ini. Lalu saya akan menyanggah beberapa hal yang Anda pikir sudah Anda ketahui. Dan untuk melakukannya saya ingin berbicara tentang penelitian saya sebagai seorang ekonom tentang wabah. Dan saya tidak akan terlalu banyak bicara tentang ekonomi. Saya tidak akan mengatakan tentang ekspor dan harga. Namun saya akan menggunakan alat dan ide yang akrab bagi para ekonom untuk berpikir tentang masalah yang sebenarnya lebih terkait pada kesehatan dan epidemiologi. dan saya rasa, hal itu cocok dengan ide pemikiran lateral. Di sini saya akan menggunakan salah satu disiplin ilmu untuk berpikir tentang masalah demi masalah.
So we think, first and foremost, AIDS is a policy issue. And probably for most people in this room, that's how you think about it. But this talk is going to be about understanding facts about the epidemic. It's going to be about thinking about how it evolves, and how people respond to it. I think it may seem like I'm ignoring the policy stuff, which is really the most important, but I'm hoping that at the end of this talk you will conclude that we actually cannot develop effective policy unless we really understand how the epidemic works.
Jadi yang pertama dan paling kita pikirkan, AIDS adalah masalah kebijakan. Dan mungkin bagi kebanyakan orang di sini, itulah yang Anda pikirkan. Namun presentasi ini adalah tentang memahami fakta tentang wabah ini. Tentang berpikir bagaimana hal ini berkembang dan bagaimana tanggapan orang. Saya pikir itu tampak mengabaikan hal-hal berbau kebijakan yang sebenarnya sangat penting namun saya harap di akhir presentasi ini Anda akan menyimpulkan bahwa kita tidak dapat membuat kebijakan yang efektif kecuali kita memahami bagaimana wabah ini.
And the first thing that I want to talk about, the first thing I think we need to understand is: how do people respond to the epidemic? So AIDS is a sexually transmitted infection, and it kills you. So this means that in a place with a lot of AIDS, there's a really significant cost of sex. If you're an uninfected man living in Botswana, where the HIV rate is 30 percent, if you have one more partner this year -- a long-term partner, girlfriend, mistress -- your chance of dying in 10 years increases by three percentage points.
Dan hal pertama yang ingin saya bicarakan hal pertama yang saya rasa perlu kita pahami adalah: Bagaimana tanggapan orang terhadap wabah ini? AIDS adalah penyakit menular seksual yang membunuh Anda. Ini berarti bahwa jika ada banyak AIDS ada harga yang besar untuk seks. Jika Anda bukan penderita HIV di Botswana, di mana tingkat penyakit ini adalah 30 persen, jika Anda berhubungan seks dengan satu orang lain -- pasangan, kekasih, simpanan -- kemungkinan Anda meninggal dalam 10 tahun meningkat 3 persen.
That is a huge effect. And so I think that we really feel like then people should have less sex. And in fact among gay men in the US we did see that kind of change in the 1980s. So if we look in this particularly high-risk sample, they're being asked, "Did you have more than one unprotected sexual partner in the last two months?" Over a period from '84 to '88, that share drops from about 85 percent to 55 percent. It's a huge change in a very short period of time.
Itu dampak yang besar. Jadi saya pikir kita merasa, orang-orang harus mengurangi berhubungan seks. Dan sebenarnya, di antara pria homoseksual di Amerika kita melihat perubahan itu pada tahun 80-an. Jadi jika kita melihat pada contoh beresiko tinggi ini, dan mereka ditanya "Apa Anda berhubungan seks dengan lebih dari satu orang dalam 2 bulan terakhir tanpa perlindungan?" Selama tahun '84 hingga '88, persentasenya berkurang dari 85 menjadi 55 persen. Itu adalah perubahan besar dalam jangka waktu singkat.
We didn't see anything like that in Africa. So we don't have quite as good data, but you can see here the share of single men having pre-marital sex, or married men having extra-marital sex, and how that changes from the early '90s to late '90s, and late '90s to early 2000s. The epidemic is getting worse. People are learning more things about it. We see almost no change in sexual behavior. These are just tiny decreases -- two percentage points -- not significant.
Kita tidak melihat hal seperti itu di Afrika. Kita tidak memiliki data yang sama bagusnya, namun Anda dapat melihat persentase dari pria lajang yang berhubungan seks atau pria beristri yang berhubungan seks dengan bukan istrinya dan bagaimana hal itu berubah dari awal hingga akhir 90-an dan dari akhir 90-an ke awal 2000-an. Wabah ini menjadi lebih buruk. Orang-orang belajar lebih banyak hal tentang itu, hampir tidak ada perubahan dalam perilaku seksual. Hanya ada penurunan kecil -- 2 persen -- tidak signifikan.
This seems puzzling. But I'm going to argue that you shouldn't be surprised by this, and that to understand this you need to think about health the way than an economist does -- as an investment. So if you're a software engineer and you're trying to think about whether to add some new functionality to your program, it's important to think about how much it costs. It's also important to think about what the benefit is. And one part of that benefit is how much longer you think this program is going to be active. If version 10 is coming out next week, there's no point in adding more functionality into version nine.
Hal ini tampak membingungkan, namun Anda seharusnya tidak terkejut dengan hal ini. Untuk memahami hal ini, Anda harus berpikir tentang kesehatan seperti para ekonom -- sebagai investasi. Jika Anda adalah seorang insinyur piranti lunak dan mencoba berpikir tentang apakah harus menambah kegunaan baru dalam program Anda, Anda harus memikirkan berapa biaya dan apa manfaatnya. Dan salah satu bagian manfaat itu adalah berapa lama program ini akan aktif. Jika versi 10 akan keluar minggu depan tidak ada gunanya menambah kegunaan baru pada versi 9.
But your health decisions are the same. Every time you have a carrot instead of a cookie, every time you go to the gym instead of going to the movies, that's a costly investment in your health. But how much you want to invest is going to depend on how much longer you expect to live in the future, even if you don't make those investments. AIDS is the same kind of thing. It's costly to avoid AIDS. People really like to have sex. But, you know, it has a benefit in terms of future longevity. But life expectancy in Africa, even without AIDS, is really, really low: 40 or 50 years in a lot of places. I think it's possible, if we think about that intuition, and think about that fact, that maybe that explains some of this low behavior change.
Keputusan bagi kesehatan Anda juga sama. Setiap kali Anda memilih wortel dibandingkan biskuit, setiap kali Anda pergi ke gedung olahraga dibandingkan bioskop, itu adalah biaya investasi dalam kesehatan Anda. Namun berapa banyak yang ingin Anda investasikan akan bergantung pada berapa lama Anda berharap akan hidup -- walau Anda tidak membuat investasi itu. AIDS adalah hal yang sama. Mencegah AIDS itu mahal. Orang-orang menyukai seks. Anda tahu, seks juga dapat memperpanjang usia. Namun harapan hidup di Afrika, bahkan tanpa AIDS masih sangat rendah di banyak tempat hanya 40 hingga 50 tahun. Saya rasa mungkin, jika kita berpikir tentang lembaga, dan tentang kenyataan bahwa mungkin hal itu menjelaskan perilaku yang tidak berubah ini.
But we really need to test that. And a great way to test that is to look across areas in Africa and see: do people with more life expectancy change their sexual behavior more? And the way that I'm going to do that is, I'm going to look across areas with different levels of malaria. So malaria is a disease that kills you. It's a disease that kills a lot of adults in Africa, in addition to a lot of children. And so people who live in areas with a lot of malaria are going to have lower life expectancy than people who live in areas with limited malaria. So one way to test to see whether we can explain some of this behavior change by differences in life expectancy is to look and see is there more behavior change in areas where there's less malaria.
Namun kita harus menguji hal itu. Dan cara yang bagus untuk mengujinya adalah mencari ke seluruh Afrika dan melihat: apakah orang dengan harapan hidup lebih besar lebih cenderung mengubah perilaku seksnya? Dan cara saya melakukan hal itu adalah saya melihat daerah dengan tingkat malaria yang berbeda. Malaria adalah penyakit yang membunuh Anda. Malaria membunuh banyak orang dewasa dan anak-anak di Afrika. Sehingga orang-orang yang tinggal di daerah dengan tingkat malaria tinggi memiliki harapan hidup yang lebih rendah daripada orang-orang di daerah dengan tingkat malaria rendah. Jadi satu cara untuk melihat apakah kita dapat menjelaskan perubahan perilaku ini dengan perbedaan harapan hidup adalah melihat apakah ada perubahan perilaku yang lebih besar di daerah dengan tingkat malaria rendah.
So that's what this figure shows you. This shows you -- in areas with low malaria, medium malaria, high malaria -- what happens to the number of sexual partners as you increase HIV prevalence. If you look at the blue line, the areas with low levels of malaria, you can see in those areas, actually, the number of sexual partners is decreasing a lot as HIV prevalence goes up. Areas with medium levels of malaria it decreases some -- it doesn't decrease as much. And areas with high levels of malaria -- actually, it's increasing a little bit, although that's not significant.
Jadi inilah yang ditunjukkan gambar ini. Gambar ini menunjukkan -- daerah dengan tingkat malaria rendah, sedang, dan tinggi -- apa yang terjadi dengan jumlah pasangan seksual saat tingkat penyebaran HIV meningkat. Jika Anda melihat pada garis biru daerah dengan tingkat malaria rendah, Anda bisa melihat di daerah itu jumlah pasangan seksual berkurang banyak saat tingkat penyebaran HIV naik. Daerah dengan tingkat malaria sedang agak berkurang -- tidak berkurang sebanyak sebelumnya. Dan daerah dengan tingkat malaria tinggi -- sebenarnya, justru sedikit meningkat, walaupun tidak signifikan.
This is not just through malaria. Young women who live in areas with high maternal mortality change their behavior less in response to HIV than young women who live in areas with low maternal mortality. There's another risk, and they respond less to this existing risk.
Ini bukan hanya tentang malaria. Wanita muda yang tinggal di daerah dengan tingkat kematian tinggi saat melahirkan lebih tidak mengubah perilaku mereka terhadap HIV dibandingkan wanita muda yang tinggal di daerah dengan tingkat kematian rendah saat melahirkan. Ada resiko lainnya, dan mereka kurang menanggapi resiko itu dibanding resiko yang sudah ada.
So by itself, I think this tells a lot about how people behave. It tells us something about why we see limited behavior change in Africa.
Jadi dengan sendirinya, ini banyak menceritakan bagaimana orang berperilaku. Ini menjelaskan sesuatu tentang mengapa ada perubahan perilaku terbatas di Afrika.
But it also tells us something about policy. Even if you only cared about AIDS in Africa, it might still be a good idea to invest in malaria, in combating poor indoor air quality, in improving maternal mortality rates. Because if you improve those things, then people are going to have an incentive to avoid AIDS on their own. But it also tells us something about one of these facts that we talked about before. Education campaigns, like the one that the president is focusing on in his funding, may not be enough, at least not alone. If people have no incentive to avoid AIDS on their own, even if they know everything about the disease, they still may not change their behavior.
Namun ini juga menjelaskan tentang kebijakan. Walaupun Anda hanya peduli tentang AIDS di Afrika, masih merupakan ide bagus untuk berinvestasi memerangi malaria, memerangi mutu udara yang rendah, mengurangi tingkat kematian ibu saat melahirkan. Karena jika Anda meningkatkan hal-hal ini orang akan lebih terdorong untuk menghindari AIDS. Namun hal ini juga menjelaskan sesuatu tentang fakta yang kita bicarakan sebelumnya. Kampanye pendidikan, seperti yang dipusatkan oleh presiden dalam pendanaannya mungkin tidak cukup. Setidaknya tidak dengan sendirinya jika orang tidak memiliki dorongan untuk mencegah AIDS -- meskipun dia tahu semua tentang penyakit itu -- mereka masih tidak akan mengubah perilaku mereka.
So the other thing that I think we learn here is that AIDS is not going to fix itself. People aren't changing their behavior enough to decrease the growth in the epidemic. So we're going to need to think about policy and what kind of policies might be effective.
Hal lain yang saya rasa kita pelajari di sini adalah AIDS tidak akan reda sendiri. Orang-orang tidak cukup mengubah perilaku mereka untuk menurunkan laju wabah ini. Jadi kita harus berpikir tentang kebijakan dan kebijakan apa yang mungkin efektif.
And a great way to learn about policy is to look at what worked in the past. The reason that we know that the ABC campaign was effective in Uganda is we have good data on prevalence over time. In Uganda we see the prevalence went down. We know they had this campaign. That's how we learn about what works. It's not the only place we had any interventions. Other places have tried things, so why don't we look at those places and see what happened to their prevalence?
Cara yang baik untuk belajar tentang kebijakan adalah melihat pengalaman masa lalu. Alasan kita tahu bahwa kampanye ABC efektif di Uganda adalah ada data baik tentang laju penyebaran dari waktu ke waktu. Di Uganda tingakt penyebarannya turun. Kita tahu mereka mengadakan kampanye sehingga kita tahu apa yang bisa berhasil. Itu bukan hanya tempat di mana kita ikut campur tangan. Kita juga telah mencoba di tempat lain, lalu mengapa kita tidak melihat tempat itu dan melihat apa yang terjadi?
Unfortunately, there's almost no good data on HIV prevalence in the general population in Africa until about 2003. So if I asked you, "Why don't you go and find me the prevalence in Burkina Faso in 1991?" You get on Google, you Google, and you find, actually the only people tested in Burkina Faso in 1991 are STD patients and pregnant women, which is not a terribly representative group of people. Then if you poked a little more, you looked a little more at what was going on, you'd find that actually that was a pretty good year, because in some years the only people tested are IV drug users. But even worse -- some years it's only IV drug users, some years it's only pregnant women. We have no way to figure out what happened over time. We have no consistent testing.
Sayangnya, hampir tidak ada data yang bagus dari tingkat penyebaran HIV di Afrika sampai sekitar tahun 2003. Jadi jika saya bertanya, "Mengapa kita tidak mencari tahu penyebaran di Burkina Faso di tahun 1991?" Anda membuka Google -- dan Anda menemukan bahwa orang yang diuji di Burkina Faso pada tahun 1991 hanyalah penderita penyakit kelamin dan wanita hamil. Bukan contoh yang benar-benar buruk. Lalu jika Anda melihat lagi tentang apa yang terjadi Anda menemukan bahwa itu adalah tahun yang cukup bagus. Karena pada beberapa tahun orang yang diuji hanyalah pengguna obat-obatan IV. Lebih buruk lagi -- di beberapa tahun hanya pengguna obat-obatan IV, beberapa tahun lainnya hanya wanita hamil. Kita tidak dapat mencari tahu apa yang terjadi dari waktu ke waktu. Tidak ada pengujian yang konsisten.
Now in the last few years, we actually have done some good testing. In Kenya, in Zambia, and a bunch of countries, there's been testing in random samples of the population. But this leaves us with a big gap in our knowledge. So I can tell you what the prevalence was in Kenya in 2003, but I can't tell you anything about 1993 or 1983.
Dan dalam beberapa tahun terakhir, kita melakukan beberapa pengujian yang bagus di Kenya, Zambia, dan beberapa negara, kami telah menguji populasi secara acak. Namun hal ini meninggalkan celah besar dalam pengetahuan kita. Jadi saya dapat memberi tahu tingkat penyebaran di Kenya pada tahun 2003, namun tidak pada tahun 1993 atau 1983.
So this is a problem for policy. It was a problem for my research. And I started thinking about how else might we figure out what the prevalence of HIV was in Africa in the past. And I think that the answer is, we can look at mortality data, and we can use mortality data to figure out what the prevalence was in the past.
Ini adalah masalah kebijakan. Ini adalah masalah bagi penelitian saya. Dan saya mulai berpikir bagaimana lagi kita dapat mencari tingkat penyebaran HIV di Afrika di masa lalu. Dan saya pikir jawabannya adalah, kita dapat melihat data kematian dan menggunakan data kematian itu untuk mencari tahu tingkat penyebarannya di masa lalu.
To do this, we're going to have to rely on the fact that AIDS is a very specific kind of disease. It kills people in the prime of their lives. Not a lot of other diseases have that profile. And you can see here -- this is a graph of death rates by age in Botswana and Egypt. Botswana is a place with a lot of AIDS, Egypt is a place without a lot of AIDS. And you see they have pretty similar death rates among young kids and old people. That suggests it's pretty similar levels of development.
Untuk melakukannya, kita harus bersandar pada kenyataan bahwa AIDS adalah penyakit yang sangat khusus. AIDS membunuh orang pada usia emasnya. Tidak banyak penyakit yang seperti itu. Dan Anda dapat lihat di sini inilah grafik tingkat kematian berdasarkan umur di Botswana dan Mesir. Botswana adalah tempat dengan banyak AIDS, Mesir adalah tempat dengan sedikit AIDS. Dan Anda lihat ada tingkat kematian yang cukup serupa di antara anak muda dan orang tua. Hal itu menunjukkan tingkat perkembangan yang serupa.
But in this middle region, between 20 and 45, the death rates in Botswana are much, much, much higher than in Egypt. But since there are very few other diseases that kill people, we can really attribute that mortality to HIV. But because people who died this year of AIDS got it a few years ago, we can use this data on mortality to figure out what HIV prevalence was in the past. So it turns out, if you use this technique, actually your estimates of prevalence are very close to what we get from testing random samples in the population, but they're very, very different than what UNAIDS tells us the prevalences are.
Namun di tengah, antara usia 20 hingga 45 tahun, tingkat kematian di Botswana jauh lebih tinggi daripada di Mesir. Namun karena hanya ada beberapa penyakit lain yang membunuh orang-orang itu kita dapat menghubungkan tingkat kematian itu dengan HIV. Namun karena orang yang meninggal karena AIDS tahun ini terjangkit beberapa tahun lalu kita dapat menggunakan data ini untuk mencari tahu tingkat penyebaran HIV di masa lalu. Ternyata, jika Anda menggunakan teknik ini, sebenarnya perkiraan tingkat penyebarannya sangat dekat dengan yang kita dapatkan dari menguji populasi secara acak -- namun sangat berbeda dibandingkan tingkat penyebaran yang diberitakan UNAIDS.
So this is a graph of prevalence estimated by UNAIDS, and prevalence based on the mortality data for the years in the late 1990s in nine countries in Africa. You can see, almost without exception, the UNAIDS estimates are much higher than the mortality-based estimates. UNAIDS tell us that the HIV rate in Zambia is 20 percent, and mortality estimates suggest it's only about 5 percent. And these are not trivial differences in mortality rates. So this is another way to see this. You can see that for the prevalence to be as high as UNAIDS says, we have to really see 60 deaths per 10,000 rather than 20 deaths per 10,000 in this age group.
Ini adalah perkiraan tingkat penyebaran oleh UNAIDS dan tingkat penyebarannya berdasarkan data kematian selama akhir 1990-an di sembilan negara Afrika. Anda dapat melihat hampir tanpa kecuali, perkiraan UNAIDS jauh lebih tinggi daripada perkiraan berdasarkan data kematian. UNAIDS memperkirakan tingkat HIV di Zambia adalah 20 persen dan perkiraan dari data kematian memperkirakan hanya 5 persen. dan ini bukanlah perbedaan yang dapat disepelekan. Jadi ini adalah cara lain untuk melihatnya. Anda dapat melihat jika tingkat penyebarannya setinggi yang dilaporkan UNAIDS, seharusnya ada 60 kematian per 10.000 orang ketimbang 20 kematian per 10.000 orang pada kelompok ini.
I'm going to talk a little bit in a minute about how we can use this kind of information to learn something that's going to help us think about the world. But this also tells us that one of these facts that I mentioned in the beginning may not be quite right. If you think that 25 million people are infected, if you think that the UNAIDS numbers are much too high, maybe that's more like 10 or 15 million. It doesn't mean that AIDS isn't a problem. It's a gigantic problem. But it does suggest that that number might be a little big. What I really want to do, is I want to use this new data to try to figure out what makes the HIV epidemic grow faster or slower.
Saya akan berbicara sedikit tentang bagaimana kita dapat menggunakan informasi ini untuk mempelajari sesuatu yang akan membantu kita berpikir tentang dunia ini. Hal ini juga memberi tahukan bahwa salah satu fakta yang saya sebutkan di awal presentasi mungkin tidak tepat. Jika Anda berpikir ada 25 juta orang yang terjangkit, jika Anda merasa angka dari UNAIDS terlalu tinggi mungkin jumlah itu sekitar 10 atau 15 juta orang. Ini bukan berarti AIDS bukanlah masalah. Ini masalah yang besar. Namun hal ini menunjukkan bahwa angkanya mungkin terlalu besar. Apa yang ingin saya lakukan adalah menggunakan data baru ini untuk mencoba mencari tahu apa yang membuat wabah HIV berkembang lebih cepat atau lambat.
And I said in the beginning, I wasn't going to tell you about exports. When I started working on these projects, I was not thinking at all about economics, but eventually it kind of sucks you back in. So I am going to talk about exports and prices. And I want to talk about the relationship between economic activity, in particular export volume, and HIV infections.
Seperti tadi saya katakan, saya tidak akan menjelaskan tentang ekspor. Saat kami mulai bekerja pada proyek ini, saya sama sekali tidak berpikir tentang ekonomi, namun cukup menjengkelkan saat Anda harus kembali. Saya akan berbicara tentang ekspor dan biaya. Dan tentang hubungan antara aktivitas ekonomi khususnya volume ekspor dengan infeksi HIV.
So obviously, as an economist, I'm deeply familiar with the fact that development, that openness to trade, is really good for developing countries. It's good for improving people's lives. But openness and inter-connectedness, it comes with a cost when we think about disease. I don't think this should be a surprise. On Wednesday, I learned from Laurie Garrett that I'm definitely going to get the bird flu, and I wouldn't be at all worried about that if we never had any contact with Asia.
Jadi sudah pasti sebagai seorang ekonom saya sangat akrab dengan fakta bahwa pembangunan, perdagangan terbuka sangat baik bagi negara berkembang, bagus untuk meningkatkan kesejahteraan orang. Namun keterbukaan dan keterhubungan mengorbankan sesuatu saat kita berpikir tentang penyakit. Saya rasa ini bukan kejutan. Pada hari Rabu, saya belajar dari Laurie Garrett, bahwa saya pasti akan terjangkit flu burung, dan saya tidak terlalu khawatir akan hal itu jika kita tidak pernah berhubungan dengan Asia.
And HIV is actually particularly closely linked to transit. The epidemic was introduced to the US by actually one male steward on an airline flight, who got the disease in Africa and brought it back. And that was the genesis of the entire epidemic in the US. In Africa, epidemiologists have noted for a long time that truck drivers and migrants are more likely to be infected than other people. Areas with a lot of economic activity -- with a lot of roads, with a lot of urbanization -- those areas have higher prevalence than others.
Dan HIV sebenarnya cukup berhubungan dekat dengan transit. Wabah ini mulai terjadi di Amerika Serikat. dari seorang pramugara di pesawat udara yang terjangkit di Afrika dan membawanya kembali. Dan itu adalah awal dari seluruh wabah di Amerika Serikat. Di Afrika, pakar epidemiologi telah mencatat bahwa sejak lama pengemudi truk dan orang yang pindah tempat jauh lebih mungkin terinfeksi. Daerah dengan banyak aktivitas ekonomi -- dengan banyak jalanan dan perkotaan -- daerah itu memiliki tingkat penyebaran yang lebih tinggi.
But that actually doesn't mean at all that if we gave people more exports, more trade, that that would increase prevalence. By using this new data, using this information about prevalence over time, we can actually test that. And so it seems to be -- fortunately, I think -- it seems to be the case that these things are positively related. More exports means more AIDS. And that effect is really big. So the data that I have suggests that if you double export volume, it will lead to a quadrupling of new HIV infections.
Namun hal itu tidak berarti bahwa jika ekspor meningkat, perdagangan meningkat, tingkat penyebarannya akan semakin tinggi. Dengan menggunakan data baru ini, informasi tentang tingkat penyebarannya dari waktu ke waktu kita dapat menguji hal itu. Dan tampaknya -- untungnya saya pikir -- itulah yang terjadi bahwa hal-hal ini berhubungan. Lebih banyak ekspor berarti lebih banyak AIDS. Dan pengaruhnya sangat besar. Jadi data yang saya tunjukkan adalah jika volume ekspor naik 2 kali lipat infeksi HIV baru akan meningkat 4 kali lipat.
So this has important implications both for forecasting and for policy. From a forecasting perspective, if we know where trade is likely to change, for example, because of the African Growth and Opportunities Act or other policies that encourage trade, we can actually think about which areas are likely to be heavily infected with HIV. And we can go and we can try to have pre-emptive preventive measures there. Likewise, as we're developing policies to try to encourage exports, if we know there's this externality -- this extra thing that's going to happen as we increase exports -- we can think about what the right kinds of policies are.
Jadi hal ini memiliki dampak penting baik untuk memperkirakan dan membuat kebijakan. Dari segi perkiraan, jika kita tahu ke mana perdagangan akan berubah, sebagai contoh, karena Undang-Undang Pertumbuhan dan Kesempatan Afrika atau kebijakan lainnya yang mendorong perdagangan, kita dapat memperkirakan daerah mana yang akan sangat terjangkit HIV. Dan kita dapat pergi dan mencoba mengusahakan pencegahan. Sama juga, saat kebijakan mencoba mendorong ekspor, jika kita tahu hal ini secara eksternal -- penyebaran ini akan terjadi jika kita meningkatkan ekspor -- kita dapat berpikir tentang jenis kebijakan apa yang tepat.
But it also tells us something about one of these things that we think that we know. Even though it is the case that poverty is linked to AIDS, in the sense that Africa is poor and they have a lot of AIDS, it's not necessarily the case that improving poverty -- at least in the short run, that improving exports and improving development -- it's not necessarily the case that that's going to lead to a decline in HIV prevalence.
Hal ini juga memberi tahu tentang salah satu hal yang kita pikir sudah kita ketahui. Walaupun kemiskinan memang berhubungan dengan AIDS dalam hal Afrika itu miskin dan ada banyak AIDS di sana, mengurangi kemiskinan tidak selalu -- setidaknya dalam jangka pendek -- meningkatkan ekspor dan pembangunan, tidak selalu akan membawa pengurangan tingkat penyebaran HIV.
So throughout this talk I've mentioned a few times the special case of Uganda, and the fact that it's the only country in sub-Saharan Africa with successful prevention. It's been widely heralded. It's been replicated in Kenya, and Tanzania, and South Africa and many other places. But now I want to actually also question that. Because it is true that there was a decline in prevalence in Uganda in the 1990s. It's true that they had an education campaign. But there was actually something else that happened in Uganda in this period.
Jadi selama presentasi ini saya telah beberapa kali menyebutkan kasus spesial tentang Uganda, dan kenyataan bahwa itulah satu-satunya negara sub-Sahara Afrika yang sukses mencegah HIV. Hal itu sudah banyak digembar-gemborkan. Hal itu telah ditiru di Kenya, Tanzania, Afrika Selatan, dan banyak tempat lain, Namun saya ingin mempertanyakan hal itu. Karena memang benar ada penurunan dalam tingkat penyebaran di Uganda pada tahun 1990-an. Benar bahwa mereka melakukan kampanye pendidikan. Namun sebenarnya ada hal lain yang terjadi di Uganda saat itu.
There was a big decline in coffee prices. Coffee is Uganda's major export. Their exports went down a lot in the early 1990s -- and actually that decline lines up really, really closely with this decline in new HIV infections. So you can see that both of these series -- the black line is export value, the red line is new HIV infections -- you can see they're both increasing. Starting about 1987 they're both going down a lot. And then actually they track each other a little bit on the increase later in the decade.
Ada penurunan drastis dalam harga kopi. Kopi adalah ekspor utama Uganda. Ekspor mereka turun drastis pada awal 1990-an -- dan penurunan itu sama benar, benar dekat dengan penurunan infeksi HIV baru. Jadi Anda dapat melihat dalam kedua garis ini -- garis hitam adalah nilai ekspor, garis merah adalah infeksi HIV baru -- Anda dapat melihat keduanya menigkat. Sekitar tahun 1987, keduanya sedikit menurun. Lalu kemudian keduanya saling berhubungan sedikit kenaikan dalam dekade itu.
So if you combine the intuition in this figure with some of the data that I talked about before, it suggests that somewhere between 25 percent and 50 percent of the decline in prevalence in Uganda actually would have happened even without any education campaign.
Jadi jika Anda menggabungkan perasaan Anda dan gambar ini dan beberapa data yang saya bicarakan sebelumnya. Grafik ini menunjukkan bahwa sekitar 25 atau 50 persen dari penurunan tingkat penyebaran di Uganda sebenarnya akan terjadi tanpa kampanye pendidikan apapun.
But that's enormously important for policy. We're spending so much money to try to replicate this campaign. And if it was only 50 percent as effective as we think that it was, then there are all sorts of other things maybe we should be spending our money on instead. Trying to change transmission rates by treating other sexually transmitted diseases. Trying to change them by engaging in male circumcision. There are tons of other things that we should think about doing. And maybe this tells us that we should be thinking more about those things.
Namun hal ini sangat penting bagi kebijakan. Kita menghabiskan begitu banyak uang untuk mencoba mengulangi kampanye ini. Dan tingkat keefektifannya hanya sekitar 50 persen dari perkiraan kita sehingga ada beberapa hal lain di mana sebaiknya kita menanamkan uang kita. Mencoba mengubah tingkat penyebaran dengan merawat penyakit menular seksual lainnya. Mencoba mengubah dengan mendorong penyunatan. Ada banyak hal lain yang harus kita lakukan. Dan mungkin hal ini memberi tahu kita mengapa kita harus lebih banyak berpikir tentang hal ini.
I hope that in the last 16 minutes I've told you something that you didn't know about AIDS, and I hope that I've gotten you questioning a little bit some of the things that you did know. And I hope that I've convinced you maybe that it's important to understand things about the epidemic in order to think about policy.
Saya harap dalam 16 menit ini saya telah memberi tahu sesuatu yang tidak Anda ketahui tentang AIDS dan saya harap saya harus sedikit mempertanyakan beberapa hal yang Anda ketahui. Dan saya harap saya telah meyakinkan Anda bahwa penting untuk memahami hal-hal tentang wabah untuk berpikir tentang kebijakan.
But more than anything, you know, I'm an academic. And when I leave here, I'm going to go back and sit in my tiny office, and my computer, and my data. And the thing that's most exciting about that is every time I think about research, there are more questions. There are more things that I think that I want to do. And what's really, really great about being here is I'm sure that the questions that you guys have are very, very different than the questions that I think up myself. And I can't wait to hear about what they are. So thank you very much.
Namun lebih penting lagi, saya seorang pengarjar. Dan saat saya pergi, saya ingin kembali dan duduk di kantor saya, dengan komputer dan data saya -- dan hal yang paling menarik tentang hal itu adalah setiap kali saya berpikir tentang penelitian, ada lebih banyak pertanyaan. ADa lebih banyak hal yang saya ingin lakukan. dan apa yang sangat hebat dari keberadaan saya di sini adalah saya yakin pertanyaan yang Anda miliki sangat berbeda dengan pertanyaan yang saya pikirkan. Dan saya tidak sabar mendengar pertanyaan itu. Terima kasih banyak.