Think about your day for a second. You woke up, felt fresh air on your face as you walked out the door, encountered new colleagues and had great discussions and felt in awe when you found something new. But I bet there's something you didn't think about today, something so close to home, you probably don't think about it very often at all. And that's that all those sensations, feelings, decisions and actions are mediated by the computer in your head called your brain.
Berpikirlah sejenak tentang hari-hari Anda. Anda bangun, merasakan udara segar di wajah Anda ketika keluar rumah, bertemu dengan teman baru dan berdiskusi dengan asyik, dan merasa kagum ketika menemukan hal baru. Tapi saya bertaruh ada hal yang tidak Anda pikirkan -- sesuatu yang sangat dekat yang kemungkinan jarang sekali Anda pikirkan. Itu adalah semua sensasi, perasaan, keputusan dan tindakan yang diolah oleh komputer di dalam kepala Anda yang bernama otak.
Now, the brain may not look like much from the outside -- a couple pounds of pinkish-gray flesh, amorphous. But the last 100 years of neuroscience have allowed us to zoom in on the brain and to see the intricacy of what lies within. And they've told us that this brain is an incredibly complicated circuit made out of hundreds of billions of cells called neurons. Now, unlike a human-designed computer, where there's a fairly small number of different parts, and we know how they work because we humans designed them, the brain is made out of thousands of different kinds of cells, maybe tens of thousands. They come in different shapes; they're made out of different molecules; they project and connect to different brain regions. They also change in different ways in different disease states.
Otak mungkin tidak terlihat menarik dari luar -- beberapa pon jaringan kelabu kemerahmudaan, bentuknya tak teratur -- tapi perkembangan ilmu syaraf dalam 100 tahun terakhir membuat kita mampu melihat ke dalam otak, dan melihat kerumitan yang ada di dalamnya. Mereka memberi tahu kita bahwa otak adalah sirkuit yang sangat rumit terdiri dari ratusan milyar sel bernama neuron. Tidak seperti komputer buatan manusia, di mana hanya terdapat sedikit bagian yang berbeda -- kita tahu bagaimana cara kerjanya, karena kita yang merancangnya -- otak terdiri dari ribuan jenis sel yang berbeda, mungkin puluhan ribu. Mereka punya bentuk yang berbeda; tersusun dari molekul yang berbeda; dan mereka menyambung dan menghubungkan daerah otak yang berbeda. Mereka juga berubah dalam berbagai tingkatan penyakit.
Let's make it concrete. There's a class of cells, a fairly small cell, an inhibitory cell, that quiets its neighbors. It's one of the cells that seems to be atrophied in disorders like schizophrenia. It's called the basket cell. And this cell is one of the thousands of kinds of cell that we're learning about. New ones are being discovered every day. As just a second example: these pyramidal cells, large cells, can span a significant fraction of the brain. They're excitatory. And these are some of the cells that might be overactive in disorders such as epilepsy. Every one of these cells is an incredible electrical device. They receive inputs from thousands of upstream partners and compute their own electrical outputs, which then, if they pass a certain threshold, will go to thousands of downstream partners. And this process, which takes just a millisecond or so, happens thousands of times a minute in every one of your 100 billion cells, as long as you live and think and feel.
Mari kita buat lebih jelas. Ini adalah satu kelas sel, sel yang cukup kecil, sel penghambat, yang membuat diam sel tetangganya. Ini adalah sel yang sepertinya mengecil dalam kasus seperti skizofrenia. Sebutannya adalah sel keranjang. Sel ini satu dari ribuan jenis sel yang sedang kita pelajari. Jenis sel yang baru ditemukan setiap hari. Inilah contoh kedua: sel-sel berbentuk piramida, sel berukuran besar, mereka menyusun fraksi yang signifikan di otak. Mereka adalah sel-sel eksitator. Mereka adalah jenis sel yang mungkin overaktif dalam kelainan seperti epilepsi. Setiap sel ini adalah peralatan listrik yang mengagumkan. Mereka menerima masukan dari ribuan rekan di hulu, dan mengolah keluaran listriknya sendiri, yang kemudian, bila melewati ambang batas tertentu, akan berlanjut ke ribuan rekan di hilir. Proses ini, yang membutuhkan sekitar 1 milidetik, terjadi ribuan kali dalam satu menit dalam setiap sel dari 100 milyar sel Anda, selama Anda hidup
So how are we going to figure out what this circuit does?
dan berpikir dan merasakan.
Ideally, we could go through this circuit and turn these different kinds of cell on and off and see whether we could figure out which ones contribute to certain functions and which ones go wrong in certain pathologies. If we could activate cells, we could see what powers they can unleash, what they can initiate and sustain. If we could turn them off, then we could try and figure out what they're necessary for. And that's the story I'm going to tell you about today. And honestly, where we've gone through over the last 11 years, through an attempt to find ways of turning circuits and cells and parts and pathways of the brain on and off, both to understand the science and also to confront some of the issues that face us all as humans.
Jadi bagaimana kita tahu apa peran sirkuit ini? Idealnya, kita dapat mengatur sirkuit ini dan mematikan atau mengaktifkan sel-sel yang berbeda itu dan melihat apakah kita dapat menemukan yang mana yang berperan dalam fungsi tertentu dan yang mana yang berubah menjadi buruk dalam patologi tertentu. Bila kita dapat mengaktifkan sel, kita dapat melihat kekuatan yang mereka punya. apa yang dapat mereka awali dan pertahankan. Bila kita dapat mematikan mereka, maka kita dapat mencoba menemukan apa fungsi mereka. Itulah kisah yang ingin saya ceritakan pada Anda hari ini. Sejujurnya, apa yang sudah kami lalui selama 11 tahun terakhir, melalui usaha untuk menemukan cara untuk mengaktifkan atau mematikan sirkuit, sel, bagian, dan jalur di otak. baik untuk mengerti ilmu di baliknya, dan juga untuk menghadapi beberapa permasalahan yang kita hadapi bersama sebagai manusia.
Now, before I tell you about the technology, the bad news is that a significant fraction of us in this room, if we live long enough, will encounter, perhaps, a brain disorder. Already, a billion people have had some kind of brain disorder that incapacitates them. The numbers don't do it justice, though. These disorders -- schizophrenia, Alzheimer's, depression, addiction -- they not only steal away our time to live, they change who we are. They take our identity and change our emotions and change who we are as people.
Sebelum saya memberi tahu Anda tentang teknologinya, kabar buruknya adalah sebagian besar dari kita di ruangan ini, bila kita hidup cukup lama, mungkin akan menghadapi kelainan otak. Saat ini sudah ada satu milyar orang mengalami kelainan otak yang menurunkan kemampuan mereka. Angka saja belum cukup adil untuk menunjukkan kenyataannya Kelainan ini -- skizofrenia, Alzheimer, depresi, kecanduan -- tidak hanya mencuri waktu hidup kita, mereka mengubah siapa kita; mereka mengambil identitas kita dan mengubah emosi kita -- dan mengubah kita sebagai manusia.
Now, in the 20th century, there was some hope that was generated through the development of pharmaceuticals for treating brain disorders. And while many drugs have been developed that can alleviate symptoms of brain disorders, practically none of them can be considered to be cured. In part, that's because, if you think about it, we're bathing the brain in a chemical -- this elaborate circuit, made of thousands of different kinds of cell -- is being bathed in a substance. That's also why most of the drugs, not all, on the market can present some kind of serious side effect too.
Sekarang di abad ke-20 ini, ada beberapa harapan yang dihasilkan melalui perkembangan farmasetika untuk menangani kelainan otak. Sementara banyak obat yang telah dikembangkan dapat mengurangi gejala kelainan-kelainan otak, secara praktis tidak ada yang dapat disebut menyembuhkan. Sebagian alasannya adalah karena kita merendam otak dalam bahan kimia. Sirkuit rumit itu terdiri dari ribuan jenis sel yang berbeda direndam dalam sebuah bahan tertentu. Itu juga alasan sebagian besar obat yang ada di pasar, meski tidak semuanya, dapat menimbulkan efek samping yang serius juga.
Now some people have gotten some solace from electrical stimulators that are implanted in the brain, for Parkinson's disease or cochlear implants. These have indeed been able to bring some kind of remedy to people with certain kinds of disorders. But electricity also will go in all directions -- the path of least resistance -- which is where that phrase, in part, comes from, and will also affect normal circuits, as well as the abnormal ones you want to fix. So again, we're sent back to the idea of ultraprecise control: Could we dial in information precisely where we want it to go?
Sekarang beberapa orang mendapatkan ketenangan dari stimulator listrik yang ditanam di dalam otak. Untuk penyakit Parkinson, implan Cochlear (telinga), memang perlakuan itu sudah membawa semacam penyembuhan bagi orang yang mengalami kelainan tertentu. Tapi listrik juga mengalir ke segala arah -- lewat jalur yang hambatannya paling kecil, itulah mengapa disebut demikian. Itu dapat mempengaruhi baik sirkuit normal maupun abnormal yang ingin Anda perbaiki. Jadi sekali lagi, kami kembali pada ide untuk sebuah pengendalian dengan ketepatan ultra. Dapatkah kita memasukkan informasi untuk pergi ke suatu tempat dengan akurat?
So, when I started in neuroscience 11 years ago -- I had trained as an electrical engineer and a physicist -- the first thing I thought about was, if these neurons are electrical devices, all we need to do is to find some way of driving those electrical changes at a distance. If we could turn on the electricity in one cell but not its neighbors, that'd give us the tool to activate and shut down these different cells to figure out what they do and how they contribute to the networks in which they're embedded. It would also allow us to have the ultraprecise control we need to fix the circuit computations that have gone awry.
Ketika saya mulai bekerja pada ilmu syaraf 11 tahun lalu, saya terlatih sebagai seorang insinyur kelistrikan dan fisikawan, hal pertama yang saya pikirkan adalah, bila neuron-neuron ini adalah peralatan listrik, yang perlu kita lakukan adalah menemukan cara mengendalikan perubahan listrik itu dari jarak jauh. Bila kita dapat menyalakan listrik di satu sel, tapi tidak di tetangganya, itu akan memampukan kita mengaktifkan dan mematikan sel-sel yang berbeda, menemukan apa yang mereka kerjakan dan bagaimana perannya terhadap jaringan tempat mereka berada. Itu juga akan memungkinkan kita memiliki kendali dengan ketepatan ultra yang kita perlukan untuk memperbaiki sirkuit yang sudah rusak.
Now, how are we going to do that? Well, there are many molecules that exist in nature which are able to convert light into electricity. You can think of them as little proteins that are like solar cells. If we install these molecules in neurons somehow, then these neurons would become electrically drivable with light, and their neighbors, which don't have this molecule, would not. There's one other magic trick you need to make this happen: the ability to get light into the brain. The brain doesn't feel pain. Taking advantage of all the effort that's gone into the internet, telecommunications, etc., you can put optical fibers connected to lasers to activate -- in animal models, for example, in preclinical studies -- these neurons and see what they do.
Sekarang bagaimana cara kita melakukannya? Ada banyak molekul yang terdapat di alam, yang dapat mengubah cahaya menjadi listrik. Anda dapat membayangkan mereka sebagai protein kecil yang mirip seperti sel surya. Bila kita entah bagaimana dapat memasang molekul ini dalam neuron, maka neuron itu dapat dikendalikan secara elektrik dengan cahaya. Tetangga mereka, yang tidak punya molekul itu, tidak akan bisa. Ada satu trik ajaib lain yang Anda butuhkan untuk melakukan ini, yaitu cara memasukkan cahaya ke dalam otak. Untuk melakukannya -- otak tidak merasakan sakit -- Anda dapat meletakkan -- memanfaatkan semua upaya yang dilakukan pada Internet dan komunikasi dan lainnya -- serat optik yang terhubung dengan laser yang dapat Anda gunakan untuk mengaktifkan, sebagai contoh pada model hewan, dalam studi pra-klinis, neuron-neuron itu dan melihat fungsi mereka.
So how do we do this? Around 2004, in collaboration with Georg Nagel and Karl Deisseroth, this vision came to fruition. There's a certain alga that swims in the wild, and it needs to navigate towards light in order to photosynthesize optimally. And it senses light with a little eyespot, which works not unlike how our eye works. In its membrane, or its boundary, it contains little proteins that indeed can convert light into electricity. These molecules are called channelrhodopsins. And each of these proteins acts just like that solar cell that I told you about. When blue light hits it, it opens a little hole and allows charged particles to enter the eyespot; that allows this eyespot to have an electrical signal, just like a solar cell charging a battery.
Bagaimana kami melakukan ini? Sekitar tahun 2004, bekerja sama dengan Gerhard Nagel dan Karl Deisseroth, visi ini akhirnya berbuah. Ada ganggang tertentu yang hidup di alam, yang perlu bergerak menuju cahaya untuk bisa berfotosintesis dengan optimal. Dia merasakan cahaya dengan sebuah bintik-mata kecil, yang cara kerjanya beda dengan mata kita. Pada membran atau di perbatasannya, terdapat protein-protein kecil yang mengubah cahaya menjadi listrik. Molekul ini disebut kanalrhodopsin. Setiap protein ini berfungsi seperti sel surya yang saya sebutkan tadi. Ketika cahaya biru mengenainya, protein itu membuka lubang kecil dan memungkinkan partikel bermuatan untuk masuk bintik-mata itu. Hal ini membuat bintik-mata tersebut menghasilkan sinyal listrik seperti halnya sel surya mengisi baterai.
So what we need to do is take these molecules and somehow install them in neurons. And because it's a protein, it's encoded for in the DNA of this organism. So all we've got to do is take that DNA, put it into a gene therapy vector, like a virus, and put it into neurons. And this was a very productive time in gene therapy, and lots of viruses were coming along, so this turned out to be fairly simple. Early in the morning one day in the summer of 2004, we gave it a try, and it worked on the first try. You take this DNA and put it into the neuron. The neuron uses its natural protein-making machinery to fabricate these little light-sensitive proteins and install them all over the cell, like putting solar panels on a roof. And the next thing you know, you have a neuron which can be activated with light. So this is very powerful.
Jadi yang kita perlukan adalah mengambil molekul-molekul ini dan bagaimanapun juga memasangnya di dalam neuron. Dan karena itu adalah sebuah protein, maka itu akan disandikan dalam DNA makhluk hidup. Maka yang harus kami lakukan adalah mengambil DNA-nya, memasukkannya dalam vektor terapi gen, seperti virus, dan memasukkannya ke dalam neuron. Ternyata ini adalah masa yang sangat produktif untuk terapi gen, dan banyak virus ditemukan. Ternyata ini juga sangat sederhana untuk dilakukan. Pada pagi hari di musim panas 2004, kami mencobanya untuk pertama kali, dan langsung bekerja. Anda mengambil DNA ini dan memasukkannya ke dalam sebuah neuron. Neuron menggunakan mesin pembuat protein alaminya untuk membuat protein peka-cahaya yang kecil ini dan memasangnya di seluruh bagian sel, seperti memasang panel surya di atap. Hal selanjutnya adalah, Anda punya sebuah neuron yang dapat diaktifkan dengan cahaya. Ini hal yang sangat manjur.
One of the tricks you have to do is figure out how to deliver these genes to the cells you want and not all the other neighbors. And you can do that; you can tweak the viruses so they hit some cells and not others. And there's other genetic tricks you can play in order to get light-activated cells. This field has now come to be known as "optogenetics." And just as one example of the kind of thing you can do, you can take a complex network, use one of these viruses to deliver the gene just to one kind of cell in this dense network. And then when you shine light on the entire network, just that cell type will be activated.
Salah satu trik yang harus Anda lakukan adalah mencari tahu bagaimana memasukkan gen ini ke sel yang Anda inginkan dan tidak ke sel-sel tetangganya. Anda dapat melakukannya; Anda dapat merekayasa virusnya sehingga mereka menuju beberapa sel dan bukan yang lainnya. Ada trik genetik lain yang dapat Anda mainkan untuk mendapat sel yang dapat diaktifkan dengan cahaya. Bidang ini sekarang dikenal sebagai optogenetik. Sebagai contoh hal yang dapat Anda lakukan, Anda dapat mengambil sebuah jaringan yang kompleks, menggunakan salah satu virus ini untuk mengantarkan gen hanya pada satu jenis sel dalam jaringan yang padat itu. Ketika Anda menyinari seluruh jaringan itu, hanya sel jenis itu saja yang akan teraktifkan.
For example, let's consider that basket cell I told you about earlier, the one that's atrophied in schizophrenia and the one that is inhibitory. If we can deliver that gene to these cells -- they won't be altered by the expression of the gene, of course -- then flash blue light over the entire brain network, just these cells are going to be driven. And when the light turns off, these cells go back to normal; there don't seem to be adverse events. Not only can you study what these cells do, what their power is in computing in the brain, you can also use this to try to figure out if we could jazz up the activity of these cells if indeed, they're atrophied.
Jadi contohnya, mari menggunakan sel keranjang yang saya singgung tadi -- sel yang mengecil dalam kasus skizofrenia di mana dia berfungsi sebagai penghambat. Bila kita dapat mengantarkan gen itu pada sel-sel ini -- tentu saja, yang lain tidak akan terpengaruh -- dan lalu memberikan kilatan cahaya biru di seluruh jaringan otak, maka hanya sel-sel ini yang terpengaruh. Ketika cahaya dimatikan, sel-sel ini kembali normal, jadi mereka tidak kembali aktif dengan sendirinya. Anda tidak hanya bisa menggunakan ini untuk mempelajari apa fungsi sel itu, apakah kekuatan mereka dalam komputasi di otak, tapi Anda juga bisa menggunakan ini untuk mencari tahu -- apakah kita dapat meningkatkan aktivitas sel-sel ini, bila memang mereka mengecil.
I want to tell you some short stories about how we're using this both at the scientific clinical and preclinical levels. One of the questions that we've confronted is: What signals in the brain mediate the sensation of reward? Because if you could find those, those would be some of the signals that could drive learning; the brain will do more of what got that reward. These are also signals that go awry in disorders such as addiction. So if we could figure out what cells they are, we could maybe find new targets for which drugs can be designed or screened against or maybe places where electrodes could be put in for people who have severe disability. To do that, we came up with a very simple paradigm in collaboration with the Fiorillo group, where, if the animal goes to one side of this little box, it gets a pulse of light. And we'll make different cells in the brain sensitive to light. If these cells can mediate reward, the animal should go there more and more. And that's what happens.
Sekarang saya ingin memberikan beberapa cerita pendek tentang bagaimana kita memanfaatkan hal ini, baik pada tingkat ilmu pengetahuan, pra-klinis, dan klinis. Satu pertanyaan yang menghadang kami adalah, apa sinyal di otak yang mengatur sensasi kepuasan? Sebab bila Anda menemukannya, maka akan ada sinyal yang dapat memicu pembelajaran. Otak akan melakukan lebih untuk mendapatkan kepuasan itu. Sinyal-sinyal inilah yang kacau pada kelainan seperti kecanduan. Jadi bila kita dapat menemukan sel itu, mungkin kita dapat menemukan sasaran lain sehingga obat dapat dirancang untuk itu atau tidak untuk itu, atau mungkin menjadi tempat pemasangan elektroda untuk orang yang mengalami kelainan parah. Untuk melakukannya, kami punya paradigma yang sangat sederhana dalam kolaborasi dengan grup Fiorella, di mana salah satu sisi kotak kecil ini, bila hewan pergi ke sana, dia mendapatkan pulsa cahaya untuk membuat sel yang berbeda di otaknya peka cahaya. Jadi bila sel-sel ini dapat mengatur rasa puas, hewan itu akan pergi ke sana lagi dan lagi. Itulah yang terjadi.
The animal goes to the right-hand side and pokes his nose there and gets a flash of blue light every time he does it. He'll do that hundreds of times. These are the dopamine neurons, in some of the pleasure centers in the brain. We've shown that a brief activation of these is enough to drive learning. Now we can generalize the idea. Instead of one point in the brain, we can devise devices that span the brain, that can deliver light into three-dimensional patterns -- arrays of optical fibers, each coupled to its own independent miniature light source. Then we can try to do things in vivo that have only been done to date in a dish, like high-throughput screening throughout the entire brain for the signals that can cause certain things to happen or that could be good clinical targets for treating brain disorders.
Hewan ini pergi ke sisi kanan dan menaruh hidungnya di sana, dan dia mendapat kilatan cahaya biru tiap kali melakukannya. Dia akan melakukannya ratusan kali. Ini adalah neuron dopamin, mungkin sebagian dari Anda sudah mendengar tentang ini di pusat rasa senang di otak. Kami menunjukkan bahwa aktivasi neuron itu sebentar saja sudah cukup, untuk mendorong pembelajaran. Sekarang kita bisa memperluas gagasan ini. Daripada satu titik di otak, kita dapat menciptakan alat yang memenuhi otak, yang dapat mengirim cahaya menuju pola tiga dimensi -- seperangkat serat optik, masing-masing terhubung dengan sumber cahaya mininya sendiri. Lalu kita dapat mencoba melakukan percobaan in vivo yang sampai sekarang hanya dilakukan pada sebuah cawan -- seperti skrining kinerja tinggi pada seluruh bagian otak untuk sinyal yang dapat menyebabkan terjadinya hal-hal tertentu. Atau mencari sasaran klinis yang tepat untuk pengobatan kelainan otak.
One story I want to tell you about is: How can we find targets for treating post-traumatic stress disorder, a form of uncontrolled anxiety and fear? One of the things that we did was to adopt a very classical model of fear. This goes back to the Pavlovian days. It's called Pavlovian fear conditioning, where a tone ends with a brief shock. The shock isn't painful, but it's a little annoying. And over time -- in this case, a mouse, which is a good animal model, commonly used in such experiments -- the animal learns to fear the tone. It will react by freezing, sort of like a deer in the headlights. Now the question is: What targets in the brain can we find that allow us to overcome this fear? So we play that tone again, after it's been associated with fear. But we activate different targets in the brain, using that optical fiber array I showed on the previous slide, in order to try and figure out which targets can cause the brain to overcome that memory of fear.
Satu cerita yang ingin saya beri tahukan adalah bagaimana kami menemukan sasaran untuk penanganan kelainan stres pasca-trauma -- sebuah bentuk kecemasan dan ketakutan yang tak terkendali. Salah satu hal yang kami lakukan yaitu dengan mengadopsi model ketakutan klasik. Ini bermula pada masa Pavlovian. Disebut pengondisian takut Pavlovian -- di mana sebuah nada diakhiri dengan kejutan singkat. Kejutan itu tidak menyakitkan, hanya sedikit mengganggu. Seiring dengan waktu -- dalam kasus ini seekor tikus, model hewan yang cocok, umum digunakan untuk percobaan seperti ini -- hewan itu belajar untuk takut pada nada itu. Hewan itu akan menanggapi dengan diam, seperti rusa di bawah sorotan lampu. Sekarang pertanyaannya adalah, sasaran apa yang dapat kita temukan di otak yang memungkinkan kita mengatasi ketakutan ini? Jadi yang kami lakukan adalah memainkan nadanya setelah nada itu diasosiasikan dengan ketakutan. Tapi kami mengaktifkan sasaran yang berbeda-beda di otak, menggunakan set serat optik yang telah saya jelaskan kepada Anda, untuk mencoba menemukan sasaran yang mana yang dapat membuat otak mengatasi memori ketakutan itu.
This brief video shows you one of these targets that we're working on now. This is an area in the prefrontal cortex, a region where we can use cognition to try to overcome aversive emotional states. The animal hears a tone. A flash of light occurs. There's no audio, but you see that the animal freezes -- the tone used to mean bad news. There's a little clock in the lower left-hand corner. You can see the animal is about two minutes into this. This next clip is just eight minutes later. And the same tone is going to play, and the light is going to flash again. OK, there it goes. Right ... now. And now you can see, just 10 minutes into the experiment, that we've equipped the brain, by photoactivating this area, to overcome the expression of this fear memory.
Video singkat ini menunjukkan salah satu sasaran yang kami teliti sekarang. Ini adalah daerah di korteks prefrontal, daerah di mana kita dapat menggunakan ingatan untuk mengatasi emosi tidak mengenakkan. Hewan itu mendengat sebuah nada -- dan kilatan cahaya itu terjadi di sana. Tidak ada audio di sini, tapi Anda bisa lihat hewan itu terdiam. Nada ini berarti kabar buruk. Ada jam kecil di ujung kiri bawah sana, Anda dapat melihat dia terdiam selama dua menit. Inilah klip selanjutnya hanya delapan menit kemudian. Nada yang sama dimainkan, dan cahaya berkilat lagi. Baik, lihatlah. Sekarang. Sekarang Anda bisa lihat, hanya dalam 10 menit percobaan, setelah kita melengkapi otak dengan mengaktifkan area ini untuk mengatasi ekspresi memori ketakutan ini.
Over the last couple years, we've gone back to the tree of life, because we wanted to find ways to turn circuits in the brain off. If we could do that, this could be extremely powerful. If you can delete cells for a few milliseconds or seconds, you can figure out what role they play in the circuits in which they're embedded. We surveyed organisms from all over the tree of life -- every kingdom of life but animals; we see slightly differently. We found molecules called halorhodopsins or archaerhodopsins, that respond to green and yellow light. And they do the opposite of the molecule I told you about before, with the blue light activator, channelrhodopsin.
Selama beberapa tahun terakhir, kita kembali ke pohon kehidupan, karena kita ingin menemukan cara mematikan sirkuit di otak. Bila kita dapat melakukannya, itu dapat berdampak besar. Bila Anda dapat mematikan sel hanya selama beberapa milidetik atau detik, Anda dapat mengetahui peran apa yang mereka mainkan dalam sirkuit tempat mereka berada. Kami sekarang meneliti makhluk hidup di seluruh pohon kehidupan -- semua dunia kehidupan kecuali hewan, kita melihatnya dengan berbeda. Kami menemukan berbagai jenis molekul yang disebut halorhodopsin atau arkaerhodopsin, yang merespon pada cahaya hijau dan kuning. Mereka melakukan kebalikan dari hal yang saya sampaikan tadi di mana cahaya biru mengaktifkan kanalrhodopsin.
Let's give an example of where we think this is going to go. Consider, for example, a condition like epilepsy, where the brain is overactive. Now, if drugs fail in epileptic treatment, one of the strategies is to remove part of the brain, but that's irreversible, and there could be side effects. What if we could just turn off that brain for the brief amount of time until the seizure dies away, and cause the brain to be restored to its initial state, like a dynamical system that's being coaxed down into a stable state? This animation tries to explain this concept where we made these cells sensitive to being turned off with light, and we beam light in, and just for the time it takes to shut down a seizure, we're hoping to be able to turn it off. We don't have data to show you on this front, but we're very excited about this.
Mari kita beri contoh ke mana arah dari hal ini. Pertimbangkan sebuah keadaan seperti epilepsi, di mana otak menjadi overaktif. Bila obat gagal menangani epilepsi, salah satu strateginya adalah membuang sebagian otak. Itu jelas-jelas tidak dapat dikembalikan lagi, dan bisa ada efek samping. Bagaimana bila kita hanya mematikan otaknya sebentar, sampai kejangnya berhenti, dan otak kembali ke keadaan semula -- seperti sistem dinamis yang ditunggu untuk kembali stabil. Animasi ini mencoba menerangkan konsep itu di mana kita membuat sel-sel ini sensitif untuk dapat dimatikan dengan cahaya, dan kita menyinarkan cahaya masuk, selama waktu yang dibutuhkan untuk menghentikan kejang, kita berharap dapat mematikannya. Kami belum mempunyai data untuk ditunjukkan pada Anda, tapi kami sangat bersemangat tentang ini.
I want to close on one story, which we think is another possibility, which is that maybe these molecules, if you can do ultraprecise control, can be used in the brain itself to make a new kind of prosthetic, an optical prosthetic. I already told you that electrical stimulators are not uncommon. Seventy-five thousand people have Parkinson's deep-brain stimulators implanted, maybe 100,000 people have cochlear implants, which allow them to hear. Another thing -- you've got to get these genes into cells. A new hope in gene therapy has been developed, because viruses like the adeno-associated virus -- which probably most of us around this room have; it doesn't have any symptoms -- have been used in hundreds of patients to deliver genes into the brain or the body. And so far, there have not been serious adverse events associated with the virus.
Sekarang saya ingin menutup dengan sebuah cerita, yang kami pikir adalah sebuah kemungkinan lain -- yaitu mungkin molekul itu, bila dapat dikendalikan dengan cermat, dapat digunakan di dalam otak untuk membuat sejenis prostetik, prostetik optis. Saya sudah memberi tahu Anda bahwa stimulator listrik cukup umum. 75.000 orang penderita Parkinson ditanami stimulator di dalam otaknya. Mungkin sekitar 100.000 orang punya implan Cochlear, yang membuat mereka bisa mendengar. Ada hal lain, yaitu Anda harus memasukkan gen itu ke dalam sel. Harapan baru dalam terapi gen telah dikembangkan sebab virus seperti virus terasosiasi-adeno, yang kemungkinan dimiliki sebagian besar dari kita di ruangan ini, dan tidak menunjukkan gejala apapun, yang telah digunakan pada ratusan pasien untuk mengirimkan gen ke dalam otak atau tubuh. Sejauh ini, belum ada kejadian buruk yang serius yang berkaitan dengan virus itu.
There's one last elephant in the room: the proteins themselves, which come from algae, bacteria and funguses and all over the tree of life. Most of us don't have funguses or algae in our brains, so what will our brain do if we put that in? Will the cells tolerate it? Will the immune system react? It's early -- these haven't been done in humans yet -- but we're working on a variety of studies to examine this. So far, we haven't seen overt reactions of any severity to these molecules or to the illumination of the brain with light. So it's early days, to be upfront, but we're excited about it.
Ada satu permasalahan besar terakhir, protein itu sendiri, yang berasal dari ganggang dan bakteri dan jamur, dan semua bagian pohon kehidupan. Kebanyakan dari kita tidak punya jamur atau ganggang di otak kita, jadi apa yang akan dilakukan otak bila kita memasukkannya? Apakah sel akan bisa mentolerirnya? Akankah sistem kekebalan tubuh bereaksi? Awalnya -- ini belum dilakukan pada manusia -- tapi kami menyelidiki berbagai penelitian untuk mencoba mengamati hal ini. Sejauh ini kami belum melihat reaksi buruk apapun terhadap molekul-molekul ini atau pada penyinaran otak dengan cahaya. Jadi ini masih tahap awal, yang paling pertama, tapi kami bersemangat tentang ini.
I wanted to close with one story, which we think could potentially be a clinical application. Now, there are many forms of blindness where the photoreceptors -- light sensors in the back of our eye -- are gone. And the retina is a complex structure. Let's zoom in on it so we can see it in more detail. The photoreceptor cells are shown here at the top. The signals that are detected by the photoreceptors are transformed via various computations until finally, the layer of cells at the bottom, the ganglion cells, relay the information to the brain, where we see that as perception. In many forms of blindness, like retinitis pigmentosa or macular degeneration, the photoreceptor cells have atrophied or been destroyed. Now, how could you repair this? It's not even clear that a drug could cause this to be restored, since there's nothing for the drug to bind to. On the other hand, light can still get into the eye. The eye is still transparent and you can get light in. So what if we could take these channelrhodopsins and other molecules and install them on some of these other spared cells and convert them into little cameras? And because there are so many of these cells in the eye, potentially, they could be very high-resolution cameras.
Saya ingin menutup dengan satu cerita, yang kami pikir dapat berpotensi untuk diterapkan secara klinis. Sekarang ada banyak jenis kebutaan di mana reseptor cahaya, sensor cahaya kita yang ada di belakang mata, sudah hilang. Retina tentu saja adalah sebuah struktur kompleks. Mari kita perbesar di sini sehingga kita bisa melihat lebih detil. Sel-sel reseptor cahaya ditunjukkan di atas, lalu sinyal yang dideteksi reseptor cahaya diubah oleh berbagai komputasi, sampai akhirnya lapisan sel paling bawah, sel-sel ganglion, meneruskan informasi ke otak, di mana kita melihatnya sebagai penglihatan. Dalam banyak bantuk kebutaan, seperti retinitis pigmentosa, atau degenerasi makular, sel-sel reseptor cahaya telah mengecil atau rusak. Bagaimana Anda dapat memperbaiki hal ini? Bahkan belum jelas jika obat-obatan dapat memulihkan keadaan ini, sebab obat itu tidak bisa berikatan dengan apapun. Di sisi lain, cahaya masih dapat masuk ke mata. Mata masih transparan dan cahaya dapat masuk ke mata. Jadi bagaimana bila kita bisa menggunakan kanalrhodopsin dan molekul lain dan memasang mereka pada sel-sel yang ada dan mengubah mereka menjadi kamera kecil. Sebab di dalam mata ada banyak sekali sel, mereka berpotensi menjadi kamera beresolusi sangat tinggi.
This is some work that we're doing, led by one of our collaborators, Alan Horsager at USC, and being sought to be commercialized by a start-up company, Eos Neuroscience, which is funded by the NIH. What you see here is a mouse trying to solve a six-arm maze. There's a bit of water to motivate the mouse to move or he'll just sit there. The goal of this maze is to get out of the water and go to a little platform that's under the lit top port. Mice are smart, so this one solves the maze eventually, but he does a brute-force search. He's swimming down every avenue until he finally gets to the platform. He's not using vision to do it. These different mice are different mutations that recapitulate different kinds of blindness that affect humans. So we're being careful in trying to look at these different models so we come up with a generalized approach.
Jadi ini beberapa pekerjaan yang kami lakukan. Dipimpin oleh salah satu kolaborator kami, Alan Horsager di USC, dan sedang diusahakan untuk dikomersialkan oleh perusahaan baru Eos Neuroscience, yang didanai oleh NIH. Anda lihat di sini seekor tikus sedang berusaha melewati labirin. Ini adalah labirin berlengan-enam. Ada sedikit air di dalamnya untuk memotivasi tikus itu bergerak, bila tidak dia akan diam saja di sana. Tujuannya tentu saja adalah untuk keluar dari air dan pergi ke landasan kecil di bawah bagian yang bersinar. Tikus itu pintar, jadi dia akhirnya pasti menyelesaikan labirin ini, tapi dia mencari dengan membabi buta. Dia berenang ke semua penjuru sampai akhirnya sampai di landasan. Dia tidak menggunakan penglihatan untuk melakukannya. Tikus yang berbeda ini adalah mutasi yang lain yang menggambarkan jenis kebutaan yang berbeda yang dialami manusia. Kami berusaha untuk berhati-hati dalam mencari model yang berbeda ini, sehingga kami menemukan sebuah pendekatan umum.
So how can we solve this? We'll do exactly what we outlined in the previous slide. We'll take these blue light photo sensors and install them onto a layer of cells in the middle of the retina in the back of the eye and convert them into a camera -- just like installing solar cells all over those neurons to make them light-sensitive. Light is converted to electricity on them. So this mouse was blind a couple weeks before this experiment and received one dose of this photosensitive molecule on a virus. And now you can see, the animal can indeed avoid walls and go to this little platform and make cognitive use of its eyes again. And to point out the power of this: these animals can get to that platform just as fast as animals that have seen their entire lives. So this preclinical study, I think, bodes hope for the kinds of things we're hoping to do in the future.
Bagaimana kita akan menyelesaikan ini? Kami akan melakukan persis seperti yang ada sebelumnya. Kami menggunakan sensor cahaya biru dan memasangnya di lapisan sel di tengah retina di bagian belakang mata dan mengubahnya menjadi kamera. Seperti memasang sel surya di seluruh neuron itu untuk membuat mereka peka cahaya. Di sel-sel itu cahaya diubah menjadi listrik. Tikus itu buta beberapa minggu sebelum percobaan dan menerima satu dosis molekul peka cahaya ini dari virus. Sekarang Anda lihat, hewan itu bisa menghindari dinding dan pergi ke landasan kecil itu dan membuat matanya berfungsi lagi. Untuk menekankan kekuatan hal ini: hewan-hewan itu bisa sampai ke landasan secepat hewan-hewan yang bisa melihat selama hidup. Jadi menurut saya kajian pra-klinis ini, menandakan harapan untuk beberapa hal yang kami harap dapat dilakukan di masa depan.
We're also exploring new business models for this new field of neurotechnology. We're developing tools and sharing them freely with hundreds of groups all over the world for them to study and try to treat different disorders. Our hope is that by figuring out brain circuits at a level of abstraction that lets us repair them and engineer them, we can take some of these intractable disorders I mentioned earlier, practically none of which are cured, and in the 21st century, make them history.
Sebagai penutup, saya ingin menunjukkan bahwa kami juga menyelidiki model bisnis baru untuk bidang baru neuroteknologi ini. Kami mengembangkan piranti ini, tapi kami membagikannya dengan gratis pada ratusan kelompok di seluruh dunia, sehingga orang dapat belajar dan menangani kelainan yang berbeda. Harapan kami adalah, dengan menemukan sirkuit otak pada tingkat abstraksi yang memungkinkan kita memperbaiki dan merekayasa mereka, kita dapat menangani kelainan yang tidak bisa diatur tadi, yang selama ini tidak bisa disembuhkan, dan membuatnya menjadi sejarah pada abad ke-21 ini.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Juan Enriquez: So some of this stuff is a little dense.
Juan Enriquez: Beberapa bagian cukup sulit dicerna, bukan?
(Laughter)
(Tawa)
But the implications of being able to control seizures or epilepsy with light instead of drugs and being able to target those specifically is a first step. The second thing that I think I heard you say is you can now control the brain in two colors, like an on-off switch.
Tapi dampaknya hingga kita bisa mengendalikan kejang epilepsi tanpa obat-obatan, hanya cahaya dan mampu menyasar secara spesifik adalah langkah pertama. Hal kedua adalah saya merasa mendengar Anda berkata Anda sekarang bisa mengendalikan otak dengan dua warna. Seperti saklar hidup/mati. Ed Boyden: Betul.
Ed Boyden: That's right.
JE: Itu membuat semua impuls yang masuk ke otak menjadi sebuah kode biner.
JE: Which makes every impulse going through the brain a binary code.
EB: Ya, betul.
EB: Right. With blue light, we can drive information, and it's in the form of a one. And by turning things off, it's more or less a zero. Our hope is to eventually build brain coprocessors that work with the brain so we can augment functions in people with disabilities.
Dengan cahaya biru kita dapat mengatur informasi, dilambangkan dengan angka 1. Dengan mematikan cahayanya, menjadi nol. Jadi harapan kami adalah membangun ko-prosesor otak suatu hari yang bekerja bersama otak, sehingga kita bisa mengembalikan fungsi otak pada orang cacat.
JE: And in theory, that means that, as a mouse feels, smells, hears, touches, you can model it out as a string of ones and zeros.
JE: Secara teori, itu berarti, ketika seekor tikus merasa, membaui, mendengar, menyentuh, Anda dapat memodelkannya sebagai deretan 1 dan 0.
EB: Yeah. We're hoping to use this as a way of testing what neural codes can drive certain behaviors and certain thoughts and certain feelings and use that to understand more about the brain.
EB: Ya, tentu. Kami berharap menggunakan cara ini untuk menguji kode syaraf apa yang mendorong perilaku tertentu dan pikiran dan perasaan tertentu, dan menggunakannya untuk lebih mengerti tentang otak.
JE: Does that mean that someday you could download memories and maybe upload them?
JE: Apa itu berarti suatu hari Anda dapat mengunduh memori dan mungkin mengunggahnya juga?
EB: That's something we're starting to work on very hard. We're now working on trying to tile the brain with recording elements, too, so we can record information and then drive information back in -- sort of computing what the brain needs in order to augment its information processing.
EB: Ya, itu sesuatu yang mulai kami kerjakan dengan susah payah. Kami sekarang mengerjakan beberapa hal di mana kami mencoba memasangi otak dengan elemen perekam juga. Jadi kami dapat merekam informasi dan lalu memasukkannya kembali -- seperti mengomputasi apa yang dibutuhkan otak untuk meningkatkan pengolahan informasinya.
JE: Well, that might change a couple things. Thank you.
JE: Baiklah, itu mungkin mengubah beberapa hal. Terima kasih. (EB: Terima kasih.)
EB: Thank you.
(Tepuk tangan)
(Applause)