To understand the business of mythology and what a Chief Belief Officer is supposed to do, you have to hear a story of Ganesha, the elephant-headed god who is the scribe of storytellers, and his brother, the athletic warlord of the gods, Kartikeya. The two brothers one day decided to go on a race, three times around the world. Kartikeya leapt on his peacock and flew around the continents and the mountains and the oceans. He went around once, he went around twice, he went around thrice. But his brother, Ganesha, simply walked around his parents once, twice, thrice, and said, "I won." "How come?" said Kartikeya. And Ganesha said, "You went around 'the world.' I went around 'my world.'" What matters more?
Untuk memahami bisnis mitologi dan tugas dari seoang Kepala Bagian Kepercayaan (Chief Belief Officer), anda perlu mendengar sebuah kisah dari Ganesha, dewa berkepala gajah yang merupakan kesukaan dari para pendongeng, dan saudaranya, pemimpin perang yang atletis dari para dewa-dewa, Kartikeya. Kakak beradik itu suatu hari memutuskan untuk berlomba, tiga kali mengelilingi dunia. Kartikeya menunggangi buruk meraknya dan terbang mengarungi benua-benua, gunung-gunung dan samudra Dia lakukan sekali, dia lakukan dua kali, dan dia lakukan tiga kali. Tapi saudaranya, Ganesha, hanya berjalan mengelilingi orang tuanya sekali, dua kali, tiga kali, dan berkata, "Saya menang." "Bagaimana bisa?" tanya Kartikeya. Dan Ganesha menjawab, "Kau mengelilingi 'dunia.' saya mengelilingi 'duniaku.'" Mana yang lebih penting?
If you understand the difference between 'the world' and 'my world,' you understand the difference between logos and mythos. 'The world' is objective, logical, universal, factual, scientific. 'My world' is subjective. It's emotional. It's personal. It's perceptions, thoughts, feelings, dreams. It is the belief system that we carry. It's the myth that we live in.
Jika anda memahami perbedaan antara 'dunia' dan 'duniaku' anda memahami perbedaan antara logos dan mythos. 'Dunia' adalah objektif, logis, universal, faktual, ilmiah. 'Duniaku' adalah subjektif Berdasarkan emosi. Berdasarkan pribadi. Itu mengenai persepsi, pikiran, perasaan, impian. Itu adalah sistem kepercayaan yang kita miliki. Itu adalah mitos yang kita jalani.
'The world' tells us how the world functions, how the sun rises, how we are born. 'My world' tells us why the sun rises, why we were born. Every culture is trying to understand itself: "Why do we exist?" And every culture comes up with its own understanding of life, its own customized version of mythology.
'Dunia' memberitahu kita bagaimana dunia berjalan. bagaimana matahari terbit, bagaimana kita dilahirkan. 'Duniaku' menjelaskan kita kenapa matahari terbit, kenapa kita dilahirkan. Setiap kebudayaan berusaha memahaminya masing-masing, "Kenapa kita hadir di dunia?" dan setiap kebudayaan memiliki pemahaman sendiri mengenai hidup, versi mitologinya masing-masing yang berbeda-beda.
Culture is a reaction to nature, and this understanding of our ancestors is transmitted generation from generation in the form of stories, symbols and rituals, which are always indifferent to rationality. And so, when you study it, you realize that different people of the world have a different understanding of the world. Different people see things differently -- different viewpoints.
Budaya adalah reaksi terhadap alam, dan pemahaman nenek moyang kita ini, diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk cerita, simbol, dan ritual, yang selalu tidak peduli tentang rasionalitas. Sehingga, ketika anda mempelajarinya, anda sadar bahwa orang-orang yang berbeda di dunia memiliki pemahaman yang berlainan tentang dunia. Orang yang berbeda melihat dunia dengan cara yang berbeda pula: berbeda sudut pandang.
There is my world and there is your world, and my world is always better than your world, because my world, you see, is rational and yours is superstition. Yours is faith. Yours is illogical. This is the root of the clash of civilizations. It took place, once, in 326 B.C. on the banks of a river called the Indus, now in Pakistan. This river lends itself to India's name. India. Indus.
Itu adalah duniaku dan itu adalah duniamu, dan duniaku selalu lebih baik dari duniamu, karena dalam duniaku, kau lihat, sangat rasional dan milikmu penuh takhayul, milikmu adalah kepercayaan, milikmu tidak logis. Ini adalah akar dari benturan antar peradaban. Berlangsung, suatu waktu, pada tahun 326 SM pada tepi sungai yang bernama Indus, sekarang di Pakistan. Sungai tersebut merupakan asal nama India. India. Indus.
Alexander, a young Macedonian, met there what he called a "gymnosophist," which means "the naked, wise man." We don't know who he was. Perhaps he was a Jain monk, like Bahubali over here, the Gomateshwara Bahubali whose image is not far from Mysore. Or perhaps he was just a yogi who was sitting on a rock, staring at the sky and the sun and the moon.
Aleksander, anak muda dari Macedonia, bertemu dangan seorang "gymnosophist," yang berarti "orang bijak yang telanjang." Kami tidak tahu siapa dia. Mungkin ia adalah seorang pertapa Jain. seperti Bahubali, di sini, sang Gomateshvara Bahubali yang patungnya tidak jauh dari Mysore. Atau mungkin ia seorang yogi, yang sedang duduk di batu, menatap langit, dan matahari, serta bulan.
Alexander asked, "What are you doing?" and the gymnosophist answered, "I'm experiencing nothingness." Then the gymnosophist asked, "What are you doing?" and Alexander said, "I am conquering the world." And they both laughed. Each one thought that the other was a fool. The gymnosophist said, "Why is he conquering the world? It's pointless." And Alexander thought, "Why is he sitting around, doing nothing? What a waste of a life."
Aleksander bertanya, "Apa yang sedang anda lakukan?" dan sang gymnosophist menjawab, "Saya sedang mengalami kehampaan." dan gymnosophist bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan?" dan Aleksander bekata. "Saya sedang menaklukkan dunia." Dan mereka berdua tertawa. Masing-masing berpikir yang lainnya bodoh. Sang gymnosophist berkata, "Kenapa ia menaklukkan dunia? itu tidak ada gunanya." Dan Aleksander berpikir, "Kenapa ia hanya duduk-duduk saja, tidak melakukan apapun? betapa sia-sia hidupnya."
To understand this difference in viewpoints, we have to understand the subjective truth of Alexander -- his myth, and the mythology that constructed it. Alexander's mother, his parents, his teacher Aristotle told him the story of Homer's "Iliad." They told him of a great hero called Achilles, who, when he participated in battle, victory was assured, but when he withdrew from the battle, defeat was inevitable. "Achilles was a man who could shape history, a man of destiny, and this is what you should be, Alexander." That's what he heard.
Untuk memahami perbedaan sudut pandang kita harus memahami kebenaran subjektif yang dianut Aleksander; mitosnya dan mitologi yang mengkonstruksikannya. Ibu Aleksander, orang tuanya, gurunya Aristoteles menceritakan kepadanya cerita karangan Homer berjudul "Iliad." Mereka menceritakannya tentang pahlawan bernama Achilles, yang, bila ikut dalam pertempuran, pastilah menang, dan bila ia menarik diri dari pertempuran, kekalahan pastilah tak terelakkan. "Achilles adalah orang yang bisa merubah sejarah, manusia dengan takdir, dan kamu harus menjadi seperti ini, Aleksander." Itulah yang ia dengar.
"What should you not be? You should not be Sisyphus, who rolls a rock up a mountain all day only to find the boulder rolled down at night. Don't live a life which is monotonous, mediocre, meaningless. Be spectacular! -- like the Greek heroes, like Jason, who went across the sea with the Argonauts and fetched the Golden Fleece. Be spectacular like Theseus, who entered the labyrinth and killed the bull-headed Minotaur. When you play in a race, win! -- because when you win, the exhilaration of victory is the closest you will come to the ambrosia of the gods."
"Kamu jangan menjadi seperti apa? Janganlah menjadi seperti Sisyphus, yang mengelindingkan batu ke atas gunung sepanjang hari untuk menemukan batu tersebut jatuh ke bawah tiap malam. Jangan menjalani hidup yang monoton, biasa-biasa saja, tak bermakna. Jadilah spektakuler! -- seperti para pahlawan bangsa Yunani, seperti Jason, yang menyeberangi lautan dengan Argonaut dan merebut bulu emas. Jadilah orang hebat seperti Theseus, yang memasuki labirin dan membunuh Minotaurus berkepala banteng. Kalau engkau ikut lomba, menanglah! -- karena ketika engkau menang, perasaan kejayaan adalah hal terdekat yang kau alami dengan ambrosia (makanan) dewa-dewa.
Because, you see, the Greeks believed you live only once, and when you die, you have to cross the River Styx. And if you have lived an extraordinary life, you will be welcomed to Elysium, or what the French call "Champs-Élysées" -- (Laughter) -- the heaven of the heroes.
Karena, anda lihat, orang Yunani percaya anda hanya hidup sekali dan ketika anda mati, kau harus menyeberangi Sungai Styx, dan jika anda menjalani hidup yang luar biasa, anda akan disambut di Elysium (surga), atau apa yang orang Perancis sebut sebagai "Champs-Élysées" -- (Tawa) -- surganya para pahlawan.
But these are not the stories that the gymnosophist heard. He heard a very different story. He heard of a man called Bharat, after whom India is called Bhārata. Bharat also conquered the world. And then he went to the top-most peak of the greatest mountain of the center of the world called Meru. And he wanted to hoist his flag to say, "I was here first." But when he reached the mountain peak, he found the peak covered with countless flags of world-conquerors before him, each one claiming "'I was here first' ... that's what I thought until I came here." And suddenly, in this canvas of infinity, Bharat felt insignificant. This was the mythology of the gymnosophist.
Tapi ini bukanlah cerita-cerita yang didengar sang gymnosophist. Ia mendengar cerita yang sangat berbeda. Ia mendengar cerita seorang pria bernama Bharat, yang membuat India sering disebut Bhārata. Bharat juga menaklukan dunia. Lalu ia pergi ke puncak tertinggi dari gunung terbesar di tengah dunia bernama Meru. Dan ia ingin menancapkan panjinya untuk berkata, "Saya berada disini pertama kali." Ketika ia mencapai puncak gunung itu, ia menemukan puncak tersebut tertutupi oleh banyak sekali panji-panji para penakluk dunia sebelumnya, masing-masing mengaku "'Sayalah yang pertama kali kemari'.... itu yang saya pikirkan sebelum saya sampai ke sini." Dan tiba-tiba, dalam aura keabadian, Bharat merasa kecil dan tak penting. Ini adalah mitologi yang dianut sang gymnosophist.
You see, he had heroes, like Ram -- Raghupati Ram and Krishna, Govinda Hari. But they were not two characters on two different adventures. They were two lifetimes of the same hero. When the Ramayana ends the Mahabharata begins. When Ram dies, Krishna is born. When Krishna dies, eventually he will be back as Ram.
Anda lihat, ia memiliki pahlawan, seperti Rama -- Raghupati Rama dan Krishna, Govinda Hari. Tapi mereka bukan dua karakter dalam dua petualangan yang berbeda. Mereka dua riwayat hidup dari pahlawan yang sama. Ketika Ramayana berakhir maka Mahabharata dimulai. Ketika Rama meninggal, Krishna dilahirkan. Ketika Krishna meninggal, lalu ia kembali sebagai Rama.
You see, the Indians also had a river that separates the land of the living from the land of the dead. But you don't cross it once. You go to and fro endlessly. It was called the Vaitarani. You go again and again and again. Because, you see, nothing lasts forever in India, not even death. And so, you have these grand rituals where great images of mother goddesses are built and worshiped for 10 days ... And what do you do at the end of 10 days? You dunk it in the river. Because it has to end. And next year, she will come back. What goes around always comes around, and this rule applies not just to man, but also the gods. You see, the gods have to come back again and again and again as Ram, as Krishna. Not only do they live infinite lives, but the same life is lived infinite times till you get to the point of it all. "Groundhog Day." (Laughter)
Anda tahu, orang India juga memiliki sungai yang memisahkan dunia kehidupan dengan dunia kematian. Tapi anda tidak menyeberanginya sekali. Anda berjalan bolak-balik terus menerus. Ini disebut Vaitarni. Anda melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi. Karena, anda lihat, tidak ada yang abadi di India, tidak juga kematian. Sehingga, anda dapatkan ritual-ritual besar ini ketika gambar dewa-dewi agung dibangun dan dipuja selama 10 hari ... dan apa yang anda lakukan pada penghujung hari kesepuluh? Ditenggelamkan ke sungai. Karena ini semua harus berakhir. Dan tahun depan, dia akan kembali. Apa yang datang akan terus datang kembali, dan aturan ini berlaku tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada dewa-dewi. Anda lihat, para dewa harus kembali lagi, lagi, dan lagi sebagai Rama, sebagai Krishna. Tidak hanya mereka memiliki kehidupan abadi, tapi kehidupan yang sama dialami secara tak terhingga. hingga anda memahami semuanya. Hari Groundhog. (Tertawa)
Two different mythologies. Which is right? Two different mythologies, two different ways of looking at the world. One linear, one cyclical. One believes this is the one and only life. The other believes this is one of many lives. And so, the denominator of Alexander's life was one. So, the value of his life was the sum total of his achievements. The denominator of the gymnosophist's life was infinity. So, no matter what he did, it was always zero. And I believe it is this mythological paradigm that inspired Indian mathematicians to discover the number zero. Who knows?
Dua mitologi yang berbeda. Mana yang benar? Dua mitologi yang berbeda, dua cara pandang dunia yang berbeda. Satu linear, satu melingkar. Satu percara bila hanya ada satu kehidupan. Yang lain percaya ini hanya satu dari banyak kehidupan. karenanya, pembagi kehidupan Aleksander hanya satu. Sehingga, nilai kehidupannya adalah keseluruhan dari pencapaiannya. Dan pembagi dari kehidupan gymnosophist adalah keabadian. Jadi, apapun yang ia lakukan, hasilnya selalu kosong. Dan saya percaya paradigma mitologi inilah yang menginspirasi ahli matematika India dahulu hingga menemukan angka nol. Siapa yang tahu?
And that brings us to the mythology of business. If Alexander's belief influenced his behavior, if the gymnosophist's belief influences his behavior, then it was bound to influence the business they were in. You see, what is business but the result of how the market behaves and how the organization behaves? And if you look at cultures around the world, all you have to do is understand the mythology and you will see how they behave and how they do business.
Dan ini membawa kita pada mitologi dunia bisnis. Jika kepercayaan Aleksander mempengaruhi perilakunya, dan kepercayaan gymnosophist mempengaruhi perilakunya, sehingga itu akan mempengaruhi bisnis yang mereka jalani. Anda lihat, apa itu bisnis namun hasil dari bagaimana pasar bekerja dan bagaimana perilaku organisasi? Dan jika anda lihat bagaimana kebudayaan di seluruh dunia, apa yang anda perlu pahami adalah mitologi dan anda akan melihat bagaimana mereka berperilaku, dan bagaimana menjalankan bisnis
Take a look. If you live only once, in one-life cultures around the world, you will see an obsession with binary logic, absolute truth, standardization, absoluteness, linear patterns in design. But if you look at cultures which have cyclical and based on infinite lives, you will see a comfort with fuzzy logic, with opinion, with contextual thinking, with everything is relative, sort of -- (Laughter) mostly. (Laughter)
Lihatlah. Jika anda hidup hanya sekali, dalam kebudayaan satu kehidupan di seluruh dunia, anda akan melihat obsesi pada logika biner, kebenaran absolut, standarisasi, keabsolutan, pola linear dalam desain. Namun jika anda lihat pada kebudayaan yang memiliki cara pandang melingkar dan berdasarkan kehidupan abadi, anda akan lihat logika yang kabur, dengan opini, dengan pemikiran kontekstual, ketika semuanya relatif, kira-kira -- (Tertawa) kebanyakan. (Tertawa)
You look at art. Look at the ballerina, how linear she is in her performance. And then look at the Indian classical dancer, the Kuchipudi dancer, the Bharatanatyam dancer, curvaceous. (Laughter)
Anda lihat pada kesenian. Lihatlah penari balet. Betapa linear pertunjukkannya. Lalu lihatlah penari klasik India, para penari Kuchipudi, para penari Bharatanatyam, berkelok-kelok. (Tertawa)
And then look at business. Standard business model: vision, mission, values, processes. Sounds very much like the journey through the wilderness to the promised land, with the commandments held by the leader. And if you comply, you will go to heaven.
Dan lihatlah dunia bisnis. Model standar bisnis: visi, misi, nilai-nilai, proses-proses. Terdengar seperti perjalan melewati alam liar menuju tanah yang dijanjikan, dengan kepemimpinan dipegang oleh para pemimpin. Jika anda mematuhinya, anda akan masuk surga.
But in India there is no "the" promised land. There are many promised lands, depending on your station in society, depending on your stage of life. You see, businesses are not run as institutions, by the idiosyncrasies of individuals. It's always about taste. It's always about my taste.
Namun di India tidak ada "sebuah" tanah yang dijanjikan. Ada banyak tanah yang dijanjikan, tergantung posisi anda di masyarakat, tergantung tingkat kehidupan anda. Anda lihat, bisnis tidak dijalankan sebagai institusi, oleh kondisi khusus para individu. Itu selalu mengenai selera. Itu selalu mengenai selera saya.
You see, Indian music, for example, does not have the concept of harmony. There is no orchestra conductor. There is one performer standing there, and everybody follows. And you can never replicate that performance twice. It is not about documentation and contract. It's about conversation and faith. It's not about compliance. It's about setting, getting the job done, by bending or breaking the rules -- just look at your Indian people around here, you'll see them smile; they know what it is. (Laughter) And then look at people who have done business in India, you'll see the exasperation on their faces. (Laughter) (Applause)
Anda lihat, musk India, contohnya tidak memiliki konsep harmoni. Tidak ada konduktor orkestra. Ada satu penari yang berdiri di sana, lalu diikuti oleh yang lainnya. Dan anda tidak akan bisa meniru pertunjukkan itu dua kali. Ini bukan mengenai dokumentasi dan kontrak. Ini mengenai percakapan dan kepercayaan. Ini bukan mengenai kepatuhan. Ini mengenai kondisi, menyelesaikan pekerjaan, dengan membengkokkan atau melanggar aturan -- coba lihat orang India disekitar sini, anda lihat mereka tersenyum, mereka paham ini. (Tertawa) Dan anda lihat orang yang telah mencoba berbisnis di India. anda akan lihat kekesalan di wajah mereka. (Tertawa) (Tepuk tangan)
You see, this is what India is today. The ground reality is based on a cyclical world view. So, it's rapidly changing, highly diverse, chaotic, ambiguous, unpredictable. And people are okay with it. And then globalization is taking place. The demands of modern institutional thinking is coming in. Which is rooted in one-life culture. And a clash is going to take place, like on the banks of the Indus. It is bound to happen.
Anda lihat, inilah India hari ini. Kenyataan lapangan didasarkan pada cara pandang dunia yang melingkar. Jadi, cepat berubah, sangat berbeda-beda, penuh kekacauan, ambigu, sulit diprediksi. Dan orang-orang nyaman-nyaman saja Lalu globalisasi datang. Dan tuntutan pemikiran institusional modern pun tiba. Yang berakar dari budaya satu-kehidupan. Dan benturan akan berlangsung, seperti di tepian sungai Indus. Ini ditakdirkan untuk terjadi.
I have personally experienced it. I'm trained as a medical doctor. I did not want to study surgery. Don't ask me why. I love mythology too much. I wanted to learn mythology. But there is nowhere you can study. So, I had to teach it to myself. And mythology does not pay, well, until now. (Laughter) So, I had to take up a job. And I worked in the pharma industry. And I worked in the healthcare industry. And I worked as a marketing guy, and a sales guy, and a knowledge guy, and a content guy, and a training guy. I even was a business consultant, doing strategies and tactics. And I would see the exasperation between my American and European colleagues, when they were dealing with India.
Saya punya pengalaman pribadi. Saya dilatih sebagai dokter medis. Saya tidak mau mempelajari ilmu bedah. Jangan tanya saya kenapa. Saya mencintai mitologi terlalu banyak. Saya ingin mempelajari mitologi. Namun tidak ada tempat untuk mempelajarinya. Jadi, saya harus mempelajarinya sendiri. Dan mitologi tidak menghasilkan banyak uang, setidaknya, hingga kini. (Tertawa) Jadi, saya harus bekerja. Dan saya bekerja di industri farmasi. Dan saya bekerja di industri kesehatan. Dan saya bekerja sebagai tenaga pemasaran dan penjualan. sebagai konsultan, sebagai ahli muatan, dan mengisi pelatihan. Saya juga pernah sebagai konsultan bisnis, mengurusi strategi dan taktik. Dan saya melihat kejengkelan dari rekan-rekan Amerika dan Eropa saya, ketika mereka berhadapan dengan India.
Example: Please tell us the process to invoice hospitals. Step A. Step B. Step C. Mostly. (Laughter) How do you parameterize "mostly"? How do you put it in a nice little software? You can't.
Contoh: Tolong jelaskan kami proses untuk menagih rumah sakit. Langkah A. Langkah B. Langkah C. Umumnya. (Tertawa) Bagaimana anda mengukur "umumnya'? Bagaimana memasukkannya ke software? Tidak bisa.
I would give my viewpoints to people. But nobody was interested in listening to it, you see, until I met Kishore Biyani of the Future group. You see, he has established the largest retail chain, called Big Bazaar. And there are more than 200 formats, across 50 cities and towns of India. And he was dealing with diverse and dynamic markets. And he knew very intuitively, that best practices, developed in Japan and China and Europe and America will not work in India. He knew that institutional thinking doesn't work in India. Individual thinking does. He had an intuitive understanding of the mythic structure of India.
Saya bisa memberikan cara pandang saya ke orang-orang. Namun tidak ada yang tertarik untuk mendengarnya, anda tahu, sampai saya bertemu dengan Kishore Biyani dari Future group. Anda tahu, ia membangun jaringan retail terbesar, bernama Big Bazaar. Dan ada lebih dari 200 format, tersebar di 50 kota di India. Ia berhadapan dengan pasar yang luas dan dinamis. Dan secara intuitif ia tahu, praktek terbaik, yang berkembang di Jepang dan Cina dan Eropa dan Amerika tidak akan bekerja di India Ia tahu pemikiran institusional tidak bekerja di India. Pemikiran individu yang bisa. Ia memiliki pemahaman intuitif mengenai struktur mitos di India.
So, he had asked me to be the Chief Belief Officer, and said, "All I want to do is align belief." Sounds so simple. But belief is not measurable. You can't measure it. You can't manage it. So, how do you construct belief? How do you enhance the sensitivity of people to Indian-ness. Even if you are Indian, it is not very explicit, it is not very obvious.
Jadi, ia meminta saya menjadi Kepala Bagian Kepercayaan, dan berkata, "Yang saya ingin kamu lakukan adalah menyelaraskan kepercayaan." Terdengar sederhana. Tapi kepercayaan tidak bisa diukur. Anda tidak bisa mengukurnya. Tidak bisa mengaturnya. Lalu, bagaimana membangun kepercayaan? Bagaimana membangun sensitifitas orang pada ke-India-an. Bahkan jika anda India, ini tidak terlalu eksplisit, tidak terlalu jelas.
So, I tried to work on the standard model of culture, which is, develop stories, symbols and rituals. And I will share one of the rituals with you. You see it is based on the Hindu ritual of Darshan. Hindus don't have the concept of commandments. So, there is nothing right or wrong in what you do in life. So, you're not really sure how you stand in front of God. So, when you go to the temple, all you seek is an audience with God. You want to see God. And you want God to see you, and hence the gods have very large eyes, large unblinking eyes, sometimes made of silver, so they look at you. Because you don't know whether you're right or wrong, and so all you seek is divine empathy. "Just know where I came from, why I did the Jugaad." (Laughter) "Why did I do the setting, why I don't care for the processes. Just understand me, please."
Lalu, saya mengerjakan model standar budaya, yaitu, mengembangkan cerita, simbol dan ritual. Dan saya akan ceritakan satu ritual pada anda. Anda lihat ini berdasarkan ritual Hindu Darshan. Hindu tidak mempercayai konsep perintah. Jadi, tidak ada yang salah atau benar dalam kehidupan. Jadi, anda tidak terlalu yakin bagaimana bila berdiri di depan Tuhan. Lalu, ketika anda ke kuil, yang anda cari adalah pertemuan dengan Tuhan. Anda ingin melihat Tuhan. Dan anda ingin Tuhan melihat anda, jadi Tuhan selalu memiliki mata besar. mata-mata besar yang tidak berkedip, terkadang terbuat dari perak, jadi mereka melihat anda. Karena anda tidak tahu apakah anda benar atau salah, lalu yang anda cari adalah empati keilahian. "Hanya tahu darimana saya berasal, kenapa saya lakukan Jugaad." (Tertawa) "Kenapa saya lakukan itu, kenapa saya menghiraukan proses, pahami saya, tolong."
And based on this, we created a ritual for leaders. After a leader completes his training and is about to take over the store, we blindfold him, we surround him with the stakeholders, the customer, his family, his team, his boss. You read out his KRA, his KPI, you give him the keys, and then you remove the blindfold. And invariably, you see a tear, because the penny has dropped. He realizes that to succeed, he does not have to be a "professional," he does not have to cut out his emotions, he has to include all these people in his world to succeed, to make them happy, to make the boss happy, to make everyone happy. The customer is happy, because the customer is God.
Dan berdasarkan ini kami menciptakan ritual bagi pemimpin. Setelah pemimpin menyelesaikan pelatihannya dan hendak menangani toko, kami menutup matanya, mengelilinginya dengan pemangku kepentingan, pelanggan, keluarganya, timnya, bosnya. Anda bacakan KRAnya, KPInya, anda berikan kuncinya, dan ketika anda lepas tutup matanya. Seringkali, anda temukan air mata, karena telah tersadarkan. Ia sadar, untuk menjadi sukses, ia tidak perlu menjadi profesional, ia tidak perlu menghilangkan emosinya, ia harus melibatkan semua orang ini dalam dunianya untuk sukses, untuk membuat mereka bahagia, untuk membuat bosnya bahagia, untuk membuat semua orang bahagia. Pelanggan bahagia, karena pelanggan adalah Tuhan.
That sensitivity is what we need. Once this belief enters, behavior will happen, business will happen. And it has. So, then we come back to Alexander and to the gymnosophist. And everybody asks me, "Which is the better way, this way or that way?" And it's a very dangerous question, because it leads you to the path of fundamentalism and violence. So, I will not answer the question. What I will give you is an Indian answer, the Indian head-shake. (Laughter) (Applause)
Sensitifitas itu yang kita perlukan. Ketika kepercayaan itu masuk, perilaku akan terjadi, bisnis pun berjalan. Dan itu terjadi. Jadi, ketika kita kembali ke Aleksander. dan ke gymnosophist. Dan semua orang bertanya, "Mana yang lebih baik, cara ini atau cara itu?" Itu adalah pertanyaan yang berbahaya. Karena itu akan mengantar anda ke jalur fundamentalisme dan kekerasan. Jadi, saya tidak akan menjawab pertanyaan. Yang akan saya berikan adalah jawaban India, goyang kepala India. (Tertawa) (Tepuk tangan)
Depending on the context, depending on the outcome, choose your paradigm. You see, because both the paradigms are human constructions. They are cultural creations, not natural phenomena. And so the next time you meet someone, a stranger, one request: Understand that you live in the subjective truth, and so does he. Understand it. And when you understand it you will discover something spectacular. You will discover that within infinite myths lies the eternal truth. Who sees it all? Varuna has but a thousand eyes. Indra, a hundred. You and I, only two. Thank you. Namaste. (Applause)
Tergantung pada konteksnya, tergantung pada hasilnya, pilih paradigma anda. Anda lihat, karena paradigma adalah konstruksi manusia. Mereka adalah ciptaan budaya, bukan fenomena alam. Dan lain kali jika anda bertemu seseorang, yang asing, satu permohonan: Pahami bila anda hidup dalam kebenaran subjektif, dan demikian pula dia. Pahamilah ini. Ketika anda memahami ini, anda akan menemukan sesuatu yang luar biasa. Anda akan menemukan bahwa dari tak terhingga banyaknya mitos-mitos, terhampar kebenaran abadi. Siapa bisa melihatnya? Varuna memiliki seribu mata. Indira, seratus. Anda dan saya, hanya dua. Terima kasih. (Tepuk tangan)