A great way to start, I think, with my view of simplicity is to take a look at TED. Here you are, understanding why we're here, what's going on with no difficulty at all. The best A.I. in the planet would find it complex and confusing, and my little dog Watson would find it simple and understandable but would miss the point. (Laughter) He would have a great time. And of course, if you're a speaker here, like Hans Rosling, a speaker finds this complex, tricky. But in Hans Rosling's case, he had a secret weapon yesterday, literally, in his sword swallowing act. And I must say, I thought of quite a few objects that I might try to swallow today and finally gave up on, but he just did it and that was a wonderful thing.
Saya pikir, dalam pandangan sederhana saya, mari kita mulai dengan mencermati TED. Anda semua disini paham mengapa Anda berada disini, apa yang sedang terjadi, tanpa kesulitan sedikit pun. AI terbaik di dunia akan menganggap hal ini kompleks dan membingungkan sementara Watson, anjing kecil saya, akan merasa hal ini sederhana dan dapat dimengerti, walau dia takkan mengerti isinya. (Tawa) Namun dia akan tetap menikmatinya. Dan tentu saja, jika Anda seorang pembicara, seperti Hans Rosling, seorang pembicara merasa hal ini kompleks dan rumit. Namun bagi Hans Rosling, dia memiliki senjata rahasia kemarin secara harfiah, pada aksi menelan pedangnya. Dan harus saya akui saya langsung terpikir beberapa benda yang mungkin saya coba telan hari ini namun akhirnya menyerah -- tapi dia melakukannya dan itu sangat menarik.
So Puck meant not only are we fools in the pejorative sense, but that we're easily fooled. In fact, what Shakespeare was pointing out is we go to the theater in order to be fooled, so we're actually looking forward to it. We go to magic shows in order to be fooled. And this makes many things fun, but it makes it difficult to actually get any kind of picture on the world we live in or on ourselves.
Puck mengatakan kalau kita bodoh bukan untuk menjelekkan, tetapi kita memang mudah dibodohi. Bahkan Shakespeare menegaskan bahwa kita pergi ke gedung pertunjukan untuk dibodohi, jadi sebenarnya kita mengharapkannya. Kita pergi ke pertunjukan sulap untuk dikelabui. Hal ini membuat banyak hal menyenangkan, namun membuat kita kesulitan untuk mendapatkan gambaran tentang dunia kita atau tentang diri kita sendiri.
And our friend, Betty Edwards, the "Drawing on the Right Side of the Brain" lady, shows these two tables to her drawing class and says, "The problem you have with learning to draw is not that you can't move your hand, but that the way your brain perceives images is faulty. It's trying to perceive images into objects rather than seeing what's there." And to prove it, she says, "The exact size and shape of these tabletops is the same, and I'm going to prove it to you." She does this with cardboard, but since I have an expensive computer here I'll just rotate this little guy around and ... Now having seen that -- and I've seen it hundreds of times, because I use this in every talk I give -- I still can't see that they're the same size and shape, and I doubt that you can either.
Dan teman kita, Betty Edwards, si wanita "Gambar Pada Otak Kanan", memperlihatkan dua meja ini pada kelas menggambarnya dan berkata, masalah yang Anda hadapi saat belajar menggambar bukanlah karena Anda tak bisa menggerakkan tangan Anda, namun karena ada kesalahan dalam cara otak Anda menangkap gambar. otak Anda mencoba menerjemahkan gambar menjadi benda bukannya melihat apa yang sebenarnya ada disana. Dan untuk membuktikannya, Betty memberitahu bahwa ukuran dan bentuk tepat kedua meja adalah sama, dan saya akan membuktikannya. Dia melakukannya dengan karton, tapi karena saya memiliki sebuah komputer yang mahal disini, saya hanya perlu memutar gambar ini kesini dan ... Setelah memperhatikan ini -- dan saya sudah melihatnya ratusan kali, karena saya menggunakan ini pada tiap ceramah saya -- saya masih saja sulit memahami bahwa mereka memiliki ukuran dan bentuk yang sama, dan saya rasa begitu pula Anda.
So what do artists do? Well, what artists do is to measure. They measure very, very carefully. And if you measure very, very carefully with a stiff arm and a straight edge, you'll see that those two shapes are exactly the same size. And the Talmud saw this a long time ago, saying, "We see things not as they are, but as we are." I certainly would like to know what happened to the person who had that insight back then, if they actually followed it to its ultimate conclusion.
Jadi, apa yang dilakukan para pelukis? Mereka mengukurnya. Mereka mengukur dengan sangat, sangat teliti. Dan jika Anda mengukur dengan sangat teliti dengan lengan yang kaku dan tepian yang lurus, Anda akan lihat bahwa kedua bentuk tersebut memiliki ukuran yang tepat sama. Dan Talmud melihat ini sejak jaman dahulu, dan berkata, "Kita melihat benda bukan sebagaimana benda tersebut, tapi sesuai dengan persepsi kita" Saya penasaran dengan apa yang terjadi pada orang yang memiliki pencerahan itu pada waktu itu, apakah mereka benar-benar mengikuti prinsip itu hingga mencapai kesimpulan akhir.
So if the world is not as it seems and we see things as we are, then what we call reality is a kind of hallucination happening inside here. It's a waking dream, and understanding that that is what we actually exist in is one of the biggest epistemological barriers in human history. And what that means: "simple and understandable" might not be actually simple or understandable, and things we think are "complex" might be made simple and understandable. Somehow we have to understand ourselves to get around our flaws. We can think of ourselves as kind of a noisy channel. The way I think of it is, we can't learn to see until we admit we're blind. Once you start down at this very humble level, then you can start finding ways to see things. And what's happened, over the last 400 years in particular, is that human beings have invented "brainlets" -- little additional parts for our brain -- made out of powerful ideas that help us see the world in different ways. And these are in the form of sensory apparatus -- telescopes, microscopes -- reasoning apparatus -- various ways of thinking -- and, most importantly, in the ability to change perspective on things.
Jadi jika dunia tidaklah seperti apa yang kita tangkap, maka apa yang kita sebut kenyataan sebenarnya hanyalah halusinasi yang terjadi di kepala kita. Seperti mimpi saat terjaga. Dan memahami bahwa seperti itulah tempat kita berada adalah salah satu hambatan epistemologi terbesar dalam sejarah manusia. Dan apa yang dimaksud dengan: "sederhana dan mudah dipahami" mungkin tidak benar-benar sederhana atau mudah dipahami, dan hal yang kita anggap rumit bisa dibuat sederhana dan mudah dipahami. Terkadang kita harus memahami diri kita untuk memahami kekurangan kita. Kita bisa menganggap kita sebagai sebuah saluran yang ramai. Dalam pandangan saya, kita tidak dapat belajar melihat sampai kita mengakui bahwa kita buta. Saat Anda berada pada tingkatan rendah hati ini, Anda akan mulai menemukan cara untuk melihat banyak hal. Dan khususnya apa yang telah terjadi pada 400 tahun terakhir adalah manusia menemukan 'brainlet': bagian tambahan kecil pada otak kita, yang tumbuh dari ide-ide cemerlang yang membantu kita melihat dunia dalam berbagai cara yang berbeda. Dan kesemua ini hadir dalam bentuk panca indra --- teleskop, mikroskop -- proses nalar, berbagai cara berpikir, dan yang terpenting, kemampuan mengubah persepsi terhadap sesuatu.
I'll talk about that a little bit. It's this change in perspective on what it is we think we're perceiving that has helped us make more progress in the last 400 years than we have in the rest of human history. And yet, it is not taught in any K through 12 curriculum in America that I'm aware of.
Saya akan berbicara tentang ini sedikit lagi. Perubahan persepsi ini lah, dan apa yang kita persepsikan, yang telah membantu kita berkembang jauh lebih pesat selama 400 tahun ini dibandingkan masa manapun dalam sejarah manusia. Dan hal ini (mengubah persepsi) setahu saya tidak diajarkan di kurikulum manapun di Amerika.
So one of the things that goes from simple to complex is when we do more. We like more. If we do more in a kind of a stupid way, the simplicity gets complex and, in fact, we can keep on doing it for a very long time. But Murray Gell-Mann yesterday talked about emergent properties; another name for them could be "architecture" as a metaphor for taking the same old material and thinking about non-obvious, non-simple ways of combining it. And in fact, what Murray was talking about yesterday in the fractal beauty of nature -- of having the descriptions at various levels be rather similar -- all goes down to the idea that the elementary particles are both sticky and standoffish, and they're in violent motion. Those three things give rise to all the different levels of what seem to be complexity in our world.
Jadi salah satu hal yang berkembang dari sederhana menuju rumit adalah saat kita berbuat lebih. Saat kita ingin lebih. Jika kita berbuat berlebihan secara bodoh, hal yang sederhana bisa menjadi rumit. Faktanya, kita bisa melakukan ini dalam waktu yang sangat lama. Namun Murray Gell-Mann kemarin berbicara tentang properti2 yang bermunculan. Dengan nama lain "arsitektur" sebagai metafora untuk menggunakan bahan2 lama dan memikirkan cara yang tidak biasa dan tidak sederhana untuk menggabungkannya. Sebenarnya apa yang dibicarakan Murray kemarin adalah bagian dari keindahan alam yang dideskripsikan relatif sama pada berbagai tingkatan, (yaitu) semuanya kembali pada pemikiran bahwa bahan dasarnya bersifat lengket dan tidak menarik, dan bergerak sangat cepat. Ketiga hal ini muncul pada tingkatan yang berbeda yang tampak sebagai kerumitan di dunia kita.
But how simple? So, when I saw Roslings' Gapminder stuff a few years ago, I just thought it was the greatest thing I'd seen in conveying complex ideas simply. But then I had a thought of, "Boy, maybe it's too simple." And I put some effort in to try and check to see how well these simple portrayals of trends over time actually matched up with some ideas and investigations from the side, and I found that they matched up very well. So the Roslings have been able to do simplicity without removing what's important about the data.
Tapi seberapa sederhana? Saat saya melihat Gapminder karya Rosling beberapa tahun lalu, saya pikir itu adalah hal terhebat yang pernah saya lihat dalam menyederhanakan pemikiran yang kompleks. Namun kemudian saya berpikir, mungkin hal ini terlalu sederhana. Dan kemudian saya coba memeriksanya untuk melihat bagaimana gambaran sederhana ini bisa cocok dengan pemikiran dan penelitian lain, dan saya menemukan bahwa mereka sangat cocok. Jadi Gapminder (Rosling) telah mampu menyederhanakan tanpa menghilangkan apa yang penting pada sebuah data.
Whereas the film yesterday that we saw of the simulation of the inside of a cell, as a former molecular biologist, I didn't like that at all. Not because it wasn't beautiful or anything, but because it misses the thing that most students fail to understand about molecular biology, and that is: why is there any probability at all of two complex shapes finding each other just the right way so they combine together and be catalyzed? And what we saw yesterday was every reaction was fortuitous; they just swooped in the air and bound, and something happened. But in fact, those molecules are spinning at the rate of about a million revolutions per second; they're agitating back and forth their size every two nanoseconds; they're completely crowded together, they're jammed, they're bashing up against each other. And if you don't understand that in your mental model of this stuff, what happens inside of a cell seems completely mysterious and fortuitous, and I think that's exactly the wrong image for when you're trying to teach science.
Sedangkan film yang kita lihat kemarin tentang simulasi dalam sebuah sel, sebagai mantan ahli biologi molekul, saya tidak menyukainya sama sekali. Bukan karena film itu tidak bagus, namun karena film itu melupakan hal penting yang gagal dipahami kebanyakan siswa tentang biologi molekul, yaitu bagaimana mungkin dua bentuk kompleks saling bertemu pada saat yang tepat sehingga bisa bersatu dan terkatalisasi? Dan yang kita lihat kemarin adalah, setiap reaksi terjadi secara spontan. Mereka begitu saja bertemu di udara dan saling mengikat, lalu sesuatu terjadi. Namun pada kenyataannya molekul tersebut bergerak dengan kecepatan satu juta putaran per detik. Mereka bergerak maju mundur setiap 2 nanodetik. Mereka benar-benar bersesakan. Mereka saling menyumbat, saling bertubrukan satu sama lain. Dan jika Anda tidak bisa memahami model imajiner tersebut, apa yang terjadi di dalam sebuah sel akan terlihat sebagai misteri dan kebetulan. Dan saya pikir ini adalah gambaran yang salah untuk digunakan dalam pengajaran sains.
So, another thing that we do is to confuse adult sophistication with the actual understanding of some principle. So a kid who's 14 in high school gets this version of the Pythagorean theorem, which is a truly subtle and interesting proof, but in fact it's not a good way to start learning about mathematics. So a more direct one, one that gives you more of the feeling of math, is something closer to Pythagoras' own proof, which goes like this: so here we have this triangle, and if we surround that C square with three more triangles and we copy that, notice that we can move those triangles down like this. And that leaves two open areas that are kind of suspicious ... and bingo. That is all you have to do. And this kind of proof is the kind of proof that you need to learn when you're learning mathematics in order to get an idea of what it means before you look into the, literally, 1,200 or 1,500 proofs of Pythagoras' theorem that have been discovered.
Jadi yang kita lakukan adalah mencampuri pemikiran rumit orang dewasa dengan pemahaman dasar sejumlah prinsip. Seorang anak berusia 14 tahun mendapatkan versi teori Pitagoras seperti ini, teori yang samar dan menarik sebenarnya, namun cara ini bukanlah cara yang baik untuk mulai belajar matematika. Dibutuhkan metode langsung, yang memberikan perasaan matematis, yang lebih mirip dengan pembuktian Pitagoras waktu itu, seperti ini. Jadi kita memiliki sebuah segitiga, dan jika kita kelilingi bujur sangkar C dengan tiga buah segitiga dan kita menyalinnya, perhatikan bahwa ketiga segitiga itu dapat membentuk bangun ini, dan meninggalkan dua bagian terbuka yang mencurigakan, dan 'bingo'. Itulah yang seharusnya Anda lakukan. Dan pembuktian ini adalah pembuktian yang Anda butuhkan saat Anda belajar matematika agar Anda mendapatkan ide yang dimaksud sebelum Anda melihat pada, secara harfiah, 12 atau 1500 pembuktian dari teorema Pitagoras yang telah ditemukan.
Now let's go to young children. This is a very unusual teacher who was a kindergarten and first-grade teacher, but was a natural mathematician. So she was like that jazz musician friend you have who never studied music but is a terrific musician; she just had a feeling for math. And here are her six-year-olds, and she's got them making shapes out of a shape. So they pick a shape they like -- like a diamond, or a square, or a triangle, or a trapezoid -- and then they try and make the next larger shape of that same shape, and the next larger shape. You can see the trapezoids are a little challenging there.
Sekarang mari beralih ke anak-anak. Beliau adalah seorang guru istimewa guru TK dan SD kelas satu, tetapi memiliki bakat matematika. Beliau seperti seorang pemusik jazz yang tidak pernah belajar musik, tetapi menjadi pemusik yang dahsyat. Beliau jatuh cinta pada matematika, dan ini adalah muridnya yang berusia 6 tahun, dan beliau meminta mereka membuat sebuah bentuk dari potongan bentuk lain. Jadi para siswa itu mengambil bentuk yang mereka suka -- jajar genjang atau persegi, atau segitiga, atau trapesium - dan kemudian mereka mencoba membuat bangun yang lebih besar dari bangun yang sama, dan bangun yang lebih besar lagi. Anda bisa lihat bahwa bangun trapesium adalah bangun yang paling sulit.
And what this teacher did on every project was to have the children act like first it was a creative arts project, and then something like science. So they had created these artifacts. Now she had them look at them and do this ... laborious, which I thought for a long time, until she explained to me was to slow them down so they'll think. So they're cutting out the little pieces of cardboard here and pasting them up.
Dan (apa) yang guru ini lakukan di tiap kegiatan adalah membuat siswa merasa bahwa kegiatan tersebut seperti pelajaran seni dan kemudian menjadi pelajaran sains. Jadi mereka membuat prakarya ini. Beliau meminta mereka untuk memperhatikan dan mengerjakan ini-- saya dibuatnya berpikir keras, sampai beliau menjelaskan pada saya, bahwa kegiatan ini akan memperlambat mereka sehingga mereka berpikir. Jadi mereka memotong potongan kecil karton ini dan menempelkannya.
But the whole point of this thing is for them to look at this chart and fill it out. "What have you noticed about what you did?" And so six-year-old Lauren there noticed that the first one took one, and the second one took three more and the total was four on that one, the third one took five more and the total was nine on that one, and then the next one. She saw right away that the additional tiles that you had to add around the edges was always going to grow by two, so she was very confident about how she made those numbers there. And she could see that these were the square numbers up until about six, where she wasn't sure what six times six was and what seven times seven was, but then she was confident again. So that's what Lauren did.
Namu inti utamanya adalah supaya para siswa memperhatikan tabel ini dan mengisinya. Apa yang kamu pelajari dari yang sudah kamu lakukan? Lalu Lauren yang berumur 6 tahun belajar bahwa bagan pertama berisi satu bangun, dan bagan kedua berisi tiga bangun lebih banyak, dan totalnya ada 4 di bagan ini. Bagan ketiga lebih banyak 5 bangun sehingga jumlah seluruhnya 9, dan kemudian selanjutnya. Sehingga dia melihat bahwa penambahan bangun yang harus dilakukan dibagian sudut selalu bertambah dua. Sehingga dia sangat yakin bagaimana dia mendapatkan jumlahnya. Dan dia menemukan bahwa kesemuanya adalah bilangan kuadrat sampai angka 6 karena dia tidak yakin berapa hasil 6 X 6 dan berapa 7 X 7. Namun kemudia dia yakin kembali. Itulah yang Laurent lakukan.
And then the teacher, Gillian Ishijima, had the kids bring all of their projects up to the front of the room and put them on the floor, and everybody went batshit: "Holy shit! They're the same!" No matter what the shapes were, the growth law is the same. And the mathematicians and scientists in the crowd will recognize these two progressions as a first-order discrete differential equation and a second-order discrete differential equation, derived by six-year-olds. Well, that's pretty amazing. That isn't what we usually try to teach six-year-olds.
Kemudian sang guru, Gillian Ishijima, meminta siswa untuk membawa hasil karya mereka ke depan kelas lalu meletakkannya di lantai. Dan semua anak terkagum-kagum. Bentuk-bentuk itu sama! Tidak peduli bentuk apa yang mereka ambil, hukum yang sama tetap berlaku. Dan matematikawan dan ilmuwan yang ada di sini akan mengenali kedua deret ini sebagai persamaan diferensial diskrit pertama, dan persamaan diferensial diskrit kedua. Diturunkan oleh anak umur 6 tahun. Sangat luar biasa. Itu bukan hal yang biasanya kita ajarkan pada anak umur 6 tahun.
So, let's take a look now at how we might use the computer for some of this. And so the first idea here is just to show you the kind of things that children do. I'm using the software that we're putting on the $100 laptop. So I'd like to draw a little car here -- I'll just do this very quickly -- and put a big tire on him. And I get a little object here and I can look inside this object, I'll call it a car. And here's a little behavior: car forward. Each time I click it, car turn. If I want to make a little script to do this over and over again, I just drag these guys out and set them going. And I can try steering the car here by ... See the car turn by five here? So what if I click this down to zero? It goes straight. That's a big revelation for nine-year-olds. Make it go in the other direction. But of course, that's a little bit like kissing your sister as far as driving a car, so the kids want to do a steering wheel; so they draw a steering wheel. And we'll call this a wheel. See this wheel's heading here? If I turn this wheel, you can see that number over there going minus and positive. That's kind of an invitation to pick up this name of those numbers coming out there and to just drop it into the script here, and now I can steer the car with the steering wheel.
Sekarang mari kita lihat bagaimana komputer bisa digunakan untuk melakukan hal tersebut. Jadi ide awalnya adalah hanya untuk menunjukkan hal yang dilakukan anak-anak. Saya menggunakan piranti lunak yang kami pasang di laptop 100 dolar. Saya akan menggambar sebuah mobil di sini. Saya akan melakukannya dengan cepat. Dan memasang ban. Saya tambahkan obyek di sini, dan saya bisa melihat ke dalam obyek ini. Saya namai si mobil. Dan saya tambahkan sifat: si mobil maju ke depan. Setiap kali saya klik, si mobil akan berbelok. Jika saya ingin membuat program untuk melakukannya berulang-ulang, saya cukup menarik ini keluar dan memerintahkannya. Dan saya bisa menyetir si mobil dengan - perhatikan si mobil berputar ke arah jam lima? Bagaimana jika saya masukkan angka nol? Si mobil bergerak lurus. Akan menjadi kejutan kecil bagi anak umur 9 tahun. Buat si mobil bergerak ke arah lain. Namun tentu saja hal ini akan terasa berbeda dibandingkan dengan mengendarai mobil. Karena anak-anak ingin memutar setir. Jadi mereka gambar setir mobil. Dan kita menamai ini si setir. Dan, perhatikan si setir mengarah ke sini? Jika saya memutar setir ini, Anda bisa lihat angka di situ bernilai positif dan negatif. Seakan-akan mengundang untuk mengambil nama angka-angka yang muncul di situ dan memasukkannya ke program di sini. Dan sekarang saya bisa mengendarai si mobil dengan setir.
And it's interesting. You know how much trouble the children have with variables, but by learning it this way, in a situated fashion, they never forget from this single trial what a variable is and how to use it. And we can reflect here the way Gillian Ishijima did. So if you look at the little script here, the speed is always going to be 30. We're going to move the car according to that over and over again. And I'm dropping a little dot for each one of these things; they're evenly spaced because they're 30 apart. And what if I do this progression that the six-year-olds did of saying, "OK, I'm going to increase the speed by two each time, and then I'm going to increase the distance by the speed each time? What do I get there?" We get a visual pattern of what these nine-year-olds called acceleration.
Dan hal ini sangat menarik. Anda tahu kesulitan yang dihadapi siswa pada masalah variabel, namun dengan pembelajaran seperti ini, melalui cara unik, dengan sekali percobaan mereka takkan pernah lupa apa itu variabel dan bagaimana menggunakannya. Dan kita bisa merefleksikan apa yang sudah dilakukan Gillian Ishijima. Jika kita melihat program kecil di sini, kecepatannya selalu pada angka 30. Kita akan menggerakkan mobil ini, berdasarkan angka itu, lagi dan lagi. Dan saya meletakkan titik kecil di setiap tempat ini. Titik-titik ini terpisah dengan jarak yang sama sebesar 30. Bagaimana jika saya membuat deret ini jika si anak umur 6 tahun berkata, OK aku mau meningkatkan kecepatannya dua kali setiap waktunya, lalu aku akan meningkatkan jaraknya sesuai dengan kecepatan tiap waktunya? Apa yang aku dapatkan? Kita dapatkan pola visual dari apa yang disebut oleh anak umur 9 tahun sebagai akselerasi.
So how do the children do science?
Jadi bagaimana anak-anak memahami sains?
(Video) Teacher: [Choose] objects that you think will fall to the Earth at the same time.
(Video) Guru: Benda apapun yang menurut kamu akan jatuh ke bumi pada waktu yang sama --
Student 1: Ooh, this is nice.
Siswa: Menarik.
Teacher: Do not pay any attention to what anybody else is doing. Who's got the apple?
Guru: Jangan perhatikan apa yang dilakukan orang lain. Siapa punya apel?
Alan Kay: They've got little stopwatches. Student 2: What did you get? What did you get? AK: Stopwatches aren't accurate enough.
Alan Kay: Mereka punya stopwatch. Guru: Bagaimana hasilnya? Apa yang kamu dapat? AK: Stopwatch-nya tidak terlalu akurat.
Student 3: 0.99 seconds.
Siswi: 0.99 detik.
Teacher: So put "sponge ball" ...
Guru: Siapkan bola sponsnya --
Student 4l: [I decided to] do the shot put and the sponge ball because they're two totally different weights, and if you drop them at the same time, maybe they'll drop at the same speed.
Siswi: Ada bola besi dan bola spons, karena berat keduanya sangat berbeda. Dan jika kamu menjatuhkan keduanya pada waktu yang bersamaan mungkin mereka akan jatuh dengan kecepatan yang sama.
Teacher: Drop. Class: Whoa!
Guru: Jatuhkan
AK: So obviously, Aristotle never asked a child about this particular point because, of course, he didn't bother doing the experiment, and neither did St. Thomas Aquinas. And it was not until Galileo actually did it that an adult thought like a child, only 400 years ago. We get one child like that about every classroom of 30 kids who will actually cut straight to the chase.
AK: Jelas kalau Aristoteles tidak pernah menanyai seorang anak tentang hal ini, karena dia tidak merasa perlu melakukan percobaan ini, begitu pula St. Thomas Aquinas. Tidak terjadi hingga Galileo benar-benar melakukannya seorang dewasa berpikir seperti anak-anak. Hanya 400 tahun yang lalu. Kita memiliki seorang siswa seperti itu hampir di tiap kelas yang terdiri dari 30 siswa siswa yang langsung berpikir praktis.
Now, what if we want to look at this more closely? We can take a movie of what's going on, but even if we single stepped this movie, it's tricky to see what's going on. And so what we can do is we can lay out the frames side by side or stack them up. So when the children see this, they say, "Ah! Acceleration," remembering back four months when they did their cars sideways, and they start measuring to find out what kind of acceleration it is. So what I'm doing is measuring from the bottom of one image to the bottom of the next image, about a fifth of a second later, like that. And they're getting faster and faster each time, and if I stack these guys up, then we see the differences; the increase in the speed is constant. And they say, "Oh, yeah. Constant acceleration. We've done that already." And how shall we look and verify that we actually have it? So you can't tell much from just making the ball drop there, but if we drop the ball and run the movie at the same time, we can see that we have come up with an accurate physical model.
Sekarang, bagaimana jika kita ingin mengamati lebih jauh? Kita bisa merekam apa yang terjadi, namun bahkan jika kita mengamati video ini satu per satu, sangat sulit untuk mencermati apa yang terjadi. Jadi yang bisa kita lakukan adalah, meletakkan gambarnya saling berdampingan, atau menumpuknya. Sehingga ketika siswa melihat ini, mereka berkata, "Ah, akselerasi." sambil mengingat ketika 4 bulan yang lalu mereka menyetir mobil, dan mereka mulai menghitung untuk mengetahui jenis akselerasinya. Dan apa yang saya lakukan adalah menghitung dari dasar sebuah gambar ke dasar sebuah gambar lain, sekitar seperlima detik kemudian, seperti itu, dan mereka terlihat semakin cepat setiap waktunya. dan jika saya menumpuk gambar ini, kita bisa lihat perbedaannya, peningkatan kecepatannya bernilai tetap. Dan mereka akan berkata, o ya, akselerasi tetap. Kita sudah pernah melakukannya. Jadi bagaimana sebaiknya kita mengamati dan menguji pemahaman tersebut? Kita tidak bisa hanya sekedar membuat bolanya jatuh, tapi kita menjatuhkan bola dan memutar videonya pada waktu yang sama, kita bisa saksikan bahwa kita telah memiliki model fisika yang akurat.
Galileo, by the way, did this very cleverly by running a ball backwards down the strings of his lute. I pulled out those apples to remind myself to tell you that this is actually probably a Newton and the apple type story, but it's a great story. And I thought I would do just one thing on the $100 laptop here just to prove that this stuff works here. So once you have gravity, here's this -- increase the speed by something, increase the ship's speed. If I start the little game here that the kids have done, it'll crash the space ship. But if I oppose gravity, here we go ... Oops! (Laughter) One more. Yeah, there we go. Yeah, OK?
Galileo melakukan hal ini begitu pintarnya dengan membuat sebuah bola menuruni senar lute-nya. Saya mengeluarkan apel tersebut untuk mengingatkan saya untuk menyebutkan bahwa cerita ini mungkin setipe dengan Newton dan apple nya, tetapi tetap cerita yang hebat. Dan saya akan melakukan satu hal lagi pada laptop 100 dolar ini untuk membuktikan bahwa kegiatan ini bisa dilakukan disini. Jadi jika Anda memiliki gravitasi, seperti ini -- tingkatkan kecepatannya dengan sesuatu, tingkatkan kecepatan pesawatnya. Jika saya memulai permainan seperti yang dilakukan anak-anak sebelumnya, pesawat ruang angkasanya akan hancur. Namun jika saya melawan gravitasi, perhatikan -- oops! (Tawa) Sekali lagi. Yeah, siap. Yeah, OK?
I guess the best way to end this is with two quotes: Marshall McLuhan said, "Children are the messages that we send to the future," but in fact, if you think of it, children are the future we send to the future. Forget about messages; children are the future, and children in the first and second world and, most especially, in the third world need mentors. And this summer, we're going to build five million of these $100 laptops, and maybe 50 million next year. But we couldn't create 1,000 new teachers this summer to save our life. That means that we, once again, have a thing where we can put technology out, but the mentoring that is required to go from a simple new iChat instant messaging system to something with depth is missing. I believe this has to be done with a new kind of user interface, and this new kind of user interface could be done with an expenditure of about 100 million dollars. It sounds like a lot, but it is literally 18 minutes of what we're spending in Iraq -- we're spending 8 billion dollars a month; 18 minutes is 100 million dollars -- so this is actually cheap. And Einstein said, "Things should be as simple as possible, but not simpler." Thank you.
Saya rasa cara terbaik untuk mengakhiri ini adalah dengan dua kutipan. Marshall McLuhan berkata, "Anak-anak adalah pesan yang kita kirim ke masa depan." Sebenarnya, jika Anda pikirkan kembali, anak-anak adalah masa depan yang kita kirim ke masa depan. Lupakan tentang pesan nya. Anak-anak adalah masa depan. Dan anak-anak di negara dunia pertama dan kedua, dan terutama di negara dunia ketiga, membutuhkan mentor. Dan musim panas ini kami akan memproduksi 5 juta laptop 100 dolar ini dan mungkin 50 juta lagi tahun depan. Namun kita tidak bisa mencetak seribu guru baru untuk menyelamatkan hidup kita. Ini artinya, kembali kita menemukan hal di mana meskipun kita bisa menggunakan teknologi namun proses pengajaran yang dibutuhkan mulai dari sistem pesan instan iChat yang baru hingga sesuatu yang rumit menjadi hilang. Saya percaya ini harus dilakukan dengan sebuah antarmuka baru. Dan antarmuka baru ini bisa didapatkan dengan pengeluaran sebesar 100 juta dolar. Terlihat mahal, tetapi ini secara harfiah hanyalah 18 menit yang kita habiskan di Iraq. Kita membelanjakan 8 milyar dolar per bulan. 18 menit berarti 100 juta dolar. Jadi sebenarnya ini sangat murah. Dan Einstein berkata, "Segala sesuatu harus dibuat sesederhana mungkin, tetapi tidak disederhanakan" Terima kasih.