I woke up in the middle of the night with the sound of heavy explosion. It was deep at night. I do not remember what time it was. I just remember the sound was so heavy and so very shocking. Everything in my room was shaking -- my heart, my windows, my bed, everything. I looked out the windows and I saw a full half-circle of explosion. I thought it was just like the movies, but the movies had not conveyed them in the powerful image that I was seeing full of bright red and orange and gray, and a full circle of explosion. And I kept on staring at it until it disappeared. I went back to my bed, and I prayed, and I secretly thanked God that that missile did not land on my family's home, that it did not kill my family that night. Thirty years have passed, and I still feel guilty about that prayer, for the next day, I learned that that missile landed on my brother's friend's home and killed him and his father, but did not kill his mother or his sister. His mother showed up the next week at my brother's classroom and begged seven-year-old kids to share with her any picture they may have of her son, for she had lost everything.
Saya terbangun di tengah malam karena suara ledakan yang sangat keras Saat itu sudah larut malam. Saya tidak ingat jam berapa saat itu. Saya hanya ingat sebuah suara yang sangat keras dan sangat mengagetkan. Semua benda di kamar saya bergetar -- hati saya, jendela kamar saya, tempat tidur saya, -- semuanya. Saya melihat keluar jendela, dan saya melihat sebuah bentuk setengah lingkaran dari ledakan itu. Saya pikir ini persis seperti dalam film, tapi film-film tidak menyampaikannya dalam gambar yang sangat kuat seperti yang sedang saya lihat -- penuh dengan warna merah terang dan oranye dan abu-abu, dan sebuah bentuk ledakan satu lingkaran penuh. Dan saya terus menatapnya sampai bentuk itu hilang. Saya kembali ke tempat tidur, dan berdoa, serta diam-diam berterima kasih kepada Tuhan karena misil tersebut tidak mendarat di rumah keluarga saya, dan tidak membunuh keluarga saya malam itu. 30 tahun telah berlalu, dan saya masih saja merasa bersalah atas doa itu, karena hari berikutnya, saya tahu bahwa misil itu mendarat di rumah salah satu teman kakak laki-laki saya dan membunuhnya serta ayahnya, tapi tidak membunuh ibu atau saudara perempuannya. Ibunya muncul keeseokan harinya di kelas kakak laki-laki saya dan memohon anak-anak yang berumur tujuh tahun di dalam kelas itu untuk memberi beliau foto apa saja yang mereka punya dari anak laki-lakinya, karena beliau telah kehilangan segalanya.
This is not a story of a nameless survivor of war, and nameless refugees, whose stereotypical images we see in our newspapers and our TV with tattered clothes, dirty face, scared eyes. This is not a story of a nameless someone who lived in some war, who we do not know their hopes, their dreams, their accomplishments, their families, their beliefs, their values. This is my story. I was that girl. I am another image and vision of another survivor of war. I am that refugee, and I am that girl. You see, I grew up in war-torn Iraq, and I believe that there are two sides of wars and we've only seen one side of it. We only talk about one side of it. But there's another side that I have witnessed as someone who lived in it and someone who ended up working in it.
Ini bukanlah sebuah cerita tentang seorang tanpa nama yang selamat dari perang, dan para pengungsi tanpa nama, yang gambar-gambar stereotip-nya kita lihat di surat kabar dan televisi kita dengan pakaian tercabik-cabik. wajah yang kotor, mata yang ketakutan. Ini bukanlah cerita tentang seseorang tak bernama yang hidup dalam sebuah peperangan, yang tidak kita ketahui apa harapan dan mimpi-mimpinya, keberhasilan-keberhasilan dan keluarganya, kepercayaannya, nilai-nilai yang dianutnya. Ini adalah cerita saya. Sayalah anak perempuan itu. Saya adalah sebuah gambar dan visi dari seseorang yang selamat dari perang. Sayalah pengungsi itu, dan sayalah anak perempuan itu. Anda lihat, Saya besar di Irak yang terpecah-belah oleh perang, dan saya percaya bahwa ada dua sisi dari perang dan kita hanya melihat satu sisi saja. Kita hanya bicara tentang satu sisi dari perang. Tapi ada sisi yang lain yang telah saya saksikan sebagai seseorang hidup di dalamnya dan seseorang pada akhirnya bekerja di dalamnya.
I grew up with the colors of war -- the red colors of fire and blood, the brown tones of earth as it explodes in our faces and the piercing silver of an exploded missile, so bright that nothing can protect your eyes from it. I grew up with the sounds of war -- the staccato sounds of gunfire, the wrenching booms of explosions, ominous drones of jets flying overhead and the wailing warning sounds of sirens. These are the sounds you would expect, but they are also the sounds of dissonant concerts of a flock of birds screeching in the night, the high-pitched honest cries of children and the thunderous, unbearable silence. "War," a friend of mine said, "is not about sound at all. It is actually about silence, the silence of humanity."
Saya tumbuh besar dengan warna peperangan -- warna merah dari api dan darah, warna coklat dari tanah saat meledak di depan wajah-wajah kita dan tusukan perak dari sebuah misil yang meledak, yang begitu terang hingga tak ada satupun yang bisa melindungi mata anda darinya. Saya tumbuh besar dengan suara-suara peperangan -- staccato dari suara tembakan. suara 'boom' yang menakutkan dari ledakan-ledakan, gemuruh tidak menyenangkan dari pesawat jet yang terbang di atas dan suara melengking dari sirene. Ini adalah suara-suara yang akan anda duga. tapi ada juga suara-suara dari konser yang tidak selaras dari gerombolan burung-burung menjerit di malam hari tangisan jujur yang melengking tinggi dari anak-anak dan suara menggelegar, tidak tertahankan, dari kesunyian. "Perang", seorang teman saya mengatakan, "sama sekali bukan tentang suara. Melainkan tentang kesunyian, kesunyian dari kemanusiaan."
I have since left Iraq and founded a group called Women for Women International that ends up working with women survivors of wars. In my travels and in my work, from Congo to Afghanistan, from Sudan to Rwanda, I have learned not only that the colors and the sounds of war are the same, but the fears of war are the same. You know, there is a fear of dying, and do not believe any movie character where the hero is not afraid. It is very scary to go through that feeling of "I am about to die" or "I could die in this explosion." But there's also the fear of losing loved ones, and I think that's even worse. It's too painful. You don't want to think about it. But I think the worst kind of fear is the fear -- as Samia, a Bosnian woman, once told me, who survived the four-years besiege of Sarajevo; she said, "The fear of losing the 'I' in me, the fear of losing the 'I' in me." That's what my mother in Iraq used to tell me. It's like dying from inside-out. A Palestinian woman once told me, "It is not about the fear of one death," she said, "sometimes I feel I die 10 times in one day," as she was describing the marches of soldiers and the sounds of their bullets. She said, "But it's not fair, because there is only one life, and there should only be one death."
Semenjak itu saya meninggalkan Irak dan menemukan sebuah grup bernama Perempuan untuk Perempuan Internasional yang pada akhirnya bekerja dengan para perempuan yang selamat dari peperangan. Dalam perjalanan dan pekerjaan saya, dari Kongo hingga Afganistan, dari Sudan ke Rwanda, Saya telah belajar, bukan hanya, bahwa warna dan suara dari perang serupa, tapi ketakutan dari perang juga sama. Anda tahu, ada ketakutan akan kematian di sana, dan jangan percaya pada karakter film manapun di mana pemeran utamanya tidak takut. Benar-benar menakutkan untuk mengalami perasaan bahwa, "Saya akan mati" atau "Saya bisa mati dalam ledakan ini." Tapi ada juga ketakutan untuk kehilangan orang-orang yang dicintai, dan saya pikir ini lebih buruk lagi. Terlalu menyakitkan; anda tidak mau berpikir tentang hal itu. Tapi saya pikir rasa takut yang paling besar -- seperti yang Samia, seorang perempuan Bosnia, katakan kepada saya perempuan yang selamat dari pengepungan Sarajevo selama 4 tahun itu. Ia berkata, "Rasa takut kehilangan ke-Aku-an dalam diri saya, rasa takut akan kehilangan ke"Aku"-an dalam diri saya." Itulah yang dikatakan ibu saya di Irak kepada saya dulu. Hal itu seperti mati dari dalam. Seorang perempuan Palestina pernah berkata pada saya, "Ini bukan tentang rasa takut tentang kematian seseorang," ia berkata, "Kadang saya merasa jika saya mati sepuluh kali dalam sehari," saat ia menggambarkan barisan para tentara dan suara dari peluru-peluru mereka. dan ia berkata, "Tapi, ini tidak adil, karena hanya ada satu kehidupan, dan seharusnya hanya ada satu kematian."
We have been only seeing one side of war. We have only been discussing and consumed with high-level preoccupations over troop levels, drawdown timelines, surges and sting operations, when we should be examining the details of where the social fabric has been most torn, where the community has improvised and survived and shown acts of resilience and amazing courage just to keep life going. We have been so consumed with seemingly objective discussions of politics, tactics, weapons, dollars and casualties. This is the language of sterility.
Kita selama ini hanya melihat satu sisi dari perang. Kita hanya mendiskusikan dan menyita pikiran dengan konsentrasi tingkat tinggi, tentang tingkat pasukan, menetapkan batas-batas waktu, serangan dan operasi terselubung, ketika kita seharunya memeriksa detil di mana tatanan sosial telah tercabik dengan sangat buruk, di mana masyarakat telah berusaha sebisanya dan bertahan dan menunjukkan ketabahan dan keberanian yang luar biasa semata-mata agar hidup terus berjalan. Kita telah terseret oleh diskusi-diskusi yang terlihat objektif mengenai politik, taktik, persenjataan, dana, dan korban-korban. Ini adalah bahasa dari kesterilan.
How casually we treat casualties in the context of this topic. This is where we conceive of rape and casualties as inevitabilities. Eighty percent of refugees around the world are women and children. Oh. Ninety percent of modern war casualties are civilians. Seventy-five percent of them are women and children. How interesting. Oh, half a million women in Rwanda get raped in 100 days. Or, as we speak now, hundreds of thousands of Congolese women are getting raped and mutilated. How interesting. These just become numbers that we refer to. The front of wars is increasingly non-human eyes peering down on our perceived enemies from space, guiding missiles toward unseen targets, while the human conduct of the orchestra of media relations in the event that this particular drone attack hits a villager instead of an extremist. It is a chess game. You learn to play an international relations school on your way out and up to national and international leadership. Checkmate.
Begitu ringannya kita menangani korban-korban dalam konteks yang diulas topik ini. Inilah di mana kita menganggap perkosaan dan jatuhnya korban sebagai suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. 80 persen pengungsi di seluruh dunia adalah perempuan dan anak-anak. Oh. 90 persen dari korban perang modern adalah warga sipil -- 75 persen dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Sangat menarik. Oh, setengah dari satu juta perempuan di Rwanda mengalami perkosaan dalam 100 hari. Atau, saat kita bicara sekarang, ratusan ribu perempuan Kongo diperkosa dan dimutilasi. Sangat menarik. Hal ini menjadi tak lebih dari angka-angka yang kita rujuk. Garis depan dari perang adalah pandangan yang semakin tidak manusiawi menatap ke bawah pada siapa yang dianggap musuh dari angkasa, mengarahkan misil pada target-target yang tak terlihat, sementara manusianya memimpin orkestra dalam hubungan dengan media. pada saat serangan ini menghantam seorang penduduk desa dan bukannya seorang ekstremis. Ini adalah sebuah permainan catur. Anda belajar untuk bermain dalam sebuah sekolah hubungan internasional dalam perjalanan anda untuk keluar dan naik menuju kepemimpinan nasional dan internasional. Skak mat.
We are missing a completely other side of wars. We are missing my mother's story, who made sure with every siren, with every raid, with every cut off-of electricity, she played puppet shows for my brothers and I, so we would not be scared of the sounds of explosions. We are missing the story of Fareeda, a music teacher, a piano teacher, in Sarajevo, who made sure that she kept the music school open every single day in the four years of besiege in Sarajevo and walked to that school, despite the snipers shooting at that school and at her, and kept the piano, the violin, the cello playing the whole duration of the war, with students wearing their gloves and hats and coats. That was her fight. That was her resistance. We are missing the story of Nehia, a Palestinian woman in Gaza who, the minute there was a cease-fire in the last year's war, she left out of home, collected all the flour and baked as much bread for every neighbor to have, in case there is no cease-fire the day after. We are missing the stories of Violet, who, despite surviving genocide in the church massacre, she kept on going on, burying bodies, cleaning homes, cleaning the streets. We are missing stories of women who are literally keeping life going in the midst of wars. Do you know -- do you know that people fall in love in war and go to school and go to factories and hospitals and get divorced and go dancing and go playing and live life going? And the ones who are keeping that life are women.
Kita kehilangan satu sisi lain dari perang. KIta kehilangan cerita dari ibu saya, yang memastikan bahwa dalam setiap sirene, setiap penyergapan, setiap pemotongan aliran listrik, beliau memainkan sebuah sandiwara boneka untuk saya dan saudara laki-laki saya, agar kami tidak merasa takut pada suara ledakan. Kita kehilangan cerita Fareeda, seorang guru musik, seorang guru piano di Sarajevo, yang memastikan agar sekolah musik tetap buka setiap hari selama 4 tahun masa pengepungan Sarajevo dan berjalan ke sekolah tersebut meskipun penembak jitu menembaki sekolah dan dirinya, dan tetap memastikan piano, biola dan cello dimainkan selama masa peperangan dengan para murid yang mengenakan sarung tangan, topi, dan jaket. Itulah perlawanannya. Itulah ketabahannya. Kita kehilangan cerita Nehia, seorang perempuan Palestina di Gaza, yang pada saat terjadinya gencatan senjata tahun lalu, pergi keluar rumah, mengambil semua tepung dan membuat roti sebanyak mungkin untuk dibagikan pada setiap tetangga karena mungkin tidak ada lagi gencatan senjata keesokan harinya. Kita kehilangan cerita Violet yang meskipun baru saja selamat dari pembunuhan masal dalam sebuah pembantaian gereja tetap melanjutkan mengubur mayat-mayat, membersihkan rumah, membersihkan jalan-jalan. Kita kehilangan cerita dari para perempuan yang benar-benar membuat hidup tetap bergulir di tengah-tengah peperangan. Tahukah Anda -- tahukah Anda bahwa orang-orang jatuh cinta di dalam perang dan pergi ke sekolah dan pergi ke pabrik-pabrik dan rumah sakit dan bercerai serta pergi menari dan bermain dan menjalani hidupnya? Dan mereka yang tetap menjalankan kehidupan itu adalah para perempuan.
There are two sides of war. There is a side that fights, and there is a side that keeps the schools and the factories and the hospitals open. There is a side that is focused on winning battles, and there is a side that is focused on winning life. There is a side that leads the front-line discussion, and there is a side that leads the back-line discussion. There is a side that thinks that peace is the end of fighting, and there is a side that thinks that peace is the arrival of schools and jobs. There is a side that is led by men, and there is a side that is led by women. And in order for us to understand how do we build lasting peace, we must understand war and peace from both sides. We must have a full picture of what that means.
Ada dua sisi dari perang. Ada sisi yang bertempur, dan ada satu sisi yang menjaga sekolah-sekolah dan pabrik-pabrik serta rumah sakit tetap buka. Ada sisi yang memfokuskan diri untuk memenangkan pertempuran dan ada satu sisi yang memfokuskan diri pada memenangkan kehidupan. Ada satu sisi yang memimpin diskusi di garis depan, dan ada satu sisi yang memimpin diskusi di garis belakang. Ada satu sisi yang berpikir bahwa perdamaian adalah akhir dari perseteruan, dan ada satu sisi yang berpikir bahwa perdamaian adalah datangnya sekolah dan pekerjaan. Ada satu sisi yang dipimpin oleh para lelaki dan ada satu sisi yang dipimpin oleh para perempuan. Dan agar kita dapat mengerti bagaimana membangun perdamaian yang abadi kita harus mengerti perang dan perdamaian dari kedua sisi tersebut. Kita harus memiliki gambaran yang lengkap dari arti hal itu.
In order for us to understand what actually peace means, we need to understand, as one Sudanese woman once told me, "Peace is the fact that my toenails are growing back again." She grew up in Sudan, in Southern Sudan, for 20 years of war, where it killed one million people and displaced five million refugees. Many women were taken as slaves by rebels and soldiers, as sexual slaves who were forced also to carry the ammunition and the water and the food for the soldiers. So that woman walked for 20 years, so she would not be kidnapped again. And only when there was some sort of peace, her toenails grew back again. We need to understand peace from a toenail's perspective.
Agar kita mengerti apa arti dari perdamaian [yang sebenarnya], kita perlu mengerti, seperti yang dikatakan seorang perempuan Sudan pada saya, "Perdamaian adalah kondisi di mana kuku kaki saya tumbuh kembali." Dia tumbuh di Sudan, di bagian selatan Sudan, di tengah peperangan selama 20 tahun, yang membunuh satu juta orang dan membuat lima juta orang mengungsi. Banyak perempuan dijadikan budak oleh para pemberontak dan tentara, sebagai budak seks di mana mereka juga dipaksa untuk membawa amunisi dan air serta makanan untuk para prajurit itu. Jadi perempuan itu berjalan terus selama 20 tahun, agar ia tidak lagi diculik. Dan hanya saat perdamaian tercapai, kuku-kuku kakinya dapat tumbuh kembali. Kita perlu untuk mengerti perdamaian dari perspektif sebuah kuku kaki.
We need to understand that we cannot actually have negotiations of ending of wars or peace without fully including women at the negotiating table. I find it amazing that the only group of people who are not fighting and not killing and not pillaging and not burning and not raping, and the group of people who are mostly -- though not exclusively -- who are keeping life going in the midst of war, are not included in the negotiating table. And I do argue that women lead the back-line discussion, but there are also men who are excluded from that discussion. The doctors who are not fighting, the artists, the students, the men who refuse to pick up the guns, they are, too, excluded from the negotiating tables. There is no way we can talk about a lasting peace, building of democracy, sustainable economies, any kind of stabilities, if we do not fully include women at the negotiating table. Not one, but 50 percent.
Kita perlu untuk mengerti bahwa kita sebenarnya tidak bisa berunding untuk mengakhiri perang atau untuk perdamaian tanpa sepenuhnya menyertakan perempuan di meja perundingan. Saya terkesan bahwa satu-satunya kumpulan orang yang tidak bertempur dan tidak membunuh dan tidak menjarah serta tidak membakar dan tidak memperkosa dan kumpulan orang-orang yang paling sering -- meskipun tidak secara eksklusif -- yang mampu menjaga hidup tetap berjalan di tengah peperangan, tidak diikutsertakan dalam meja perundingan. Dan memang saya berpendapat bahwa perempuan memimpin diskusi di garis belakang tapi di sana ada juga laki-laki yang tidak dilibatkan dalam diskusi tersebut. Dokter-dokter yang tidak bertempur, para artis, pelajar, para lelaki yang menolak untuk mengangkat senjata, mereka juga tidak dilibatkan dalam meja perundingan. Tidak mungkin kita bisa bicara tentang perdamaian yang abadi, membangun demokrasi, ekonomi yang berkelanjutan, stabilitas dalam bentuk apapun, bila kita melibatkan perempuan sepenuhnya di meja perundingan. Tidak hanya satu, tapi 50 persen.
There is no way we can talk about the building of stability if we don't start investing in women and girls. Did you know that one year of the world's military spending equals 700 years of the U.N. budget and equals 2,928 years of the U.N. budget allocated for women? If we just reverse that distribution of funds, perhaps we could have a better lasting peace in this world. And last, but not least, we need to invest in peace and women, not only because it is the right thing to do, not only because it is the right thing to do, for all of us to build sustainable and lasting peace today, but it is for the future.
Tidak mungkin kita bisa bicara tentang membangun stabilitas bila kita tidak mulai berinvestasi dalam perempuan dan anak-anak perempuan. Apakah anda tahu bahwa satu tahun dari pengeluaran militer dunia sama dengan 700 tahun dari budget PBB dan sama dengan 2.928 tahun dari budget PBB yang dialokasikan untuk perempuan? Kalau saja kita membalikkan distribusi dana tersebut, mungkin kita bisa memiliki perdamaian abadi yang lebih baik di dunia ini. Dan yang terakhir, tapi tidak kalah penting kita perlu berinvestasi di dalam perdamaian dan perempuan, bukan saja karena itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan bukan saja karena itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan bagi kita semua demi membangun perdamaian yang abadi pada hari ini, tapi juga untuk masa depan.
A Congolese woman, who was telling me about how her children saw their father killed in front of them and saw her raped in front of them and mutilated in front of them, and her children saw their nine-year-old sibling killed in front of them, how they're doing okay right now. She got into Women for Women International's program. She got a support network. She learned about her rights. We taught her vocational and business skills. We helped her get a job. She was earning 450 dollars. She was doing okay. She was sending them to school. Have a new home. She said, "But what I worry about the most is not any of that. I worry that my children have hate in their hearts, and when they want to grow up, they want to fight again the killers of their father and their brother." We need to invest in women, because that's our only chance to ensure that there is no more war in the future. That mother has a better chance to heal her children than any peace agreement can do.
Seorang perempuan Kongo, yang berkata pada saya tentang bagaimana anak-anaknya menyaksikan ayah mereka dibunuh di depan mereka dan melihat dirinya diperkosa di depan mata mereka dan dimutilasi di depan mata mereka, dan anak-anaknya itu melihat saudara mereka yang berumur 9 tahun dibunuh di depan mata mereka, bagaimana mereka bisa baik-baik saja sekarang. Dia bergabung dengan Progam Perempuan untuk Perempuan Internasional. Dia memperoleh sebuah jejaring pendukung. Dia belajar tentang hak-haknya. Kami mengajarnya ketrampilan kejuruan dan bisnis. Kami membantunya mendapatkan perkerjaan. Dia berpenghasilan $450. Dia baik-baik saja. Dia mengirim mereka ke sekolah -- memiliki rumah baru. Dia berkata, "Tapi apa yang paling saya khawatirkan bukanlah salah satu dari hal itu. Saya khawatir anak-anak saya memiliki rasa benci dalam hati mereka dan saat mereka besar nanti, mereka ingin berperang kembali dengan pembunuh ayah dan saudara laki-laki mereka." Kita perlu menanamkan investasi pada perempuan, karena itulah satu-satunya kesempatan kita untuk memastikan bahwa tidak akan ada lagi perang di masa depan. Bahwa ibu memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menyembuhkan anak-anaknya daripada yang dapat dilakukan perjanjian perdamaian manapun.
Are there good news? Of course, there are good news. There are lots of good news. To start with, these women that I told you about are dancing and singing every single day, and if they can, who are we not to dance? That girl that I told you about ended up starting Women for Women International Group that impacted one million people, sent 80 million dollars, and I started this from zero, nothing, nada, [unclear].
Apakah ada kabar gembira? Tentu saja, ada kabar gembira. Ada banyak kabar gembira. Untuk memulai, para perempuan yang saya ceritakan tadi sedang menari dan bernyanyi setiap hari, dan jika mereka bisa, mengapa kita tidak ikut menari. Anak perempuan yang saya ceritakan itu akhirnya memulai Women for Women Internasional Group yang menyentuh satu juta orang, mengirimkan 80 juta dollar, dan saya memulai ini dari nol, tanpa apapun [tidak jelas].
(Laughter)
[Tertawa]
They are women who are standing on their feet in spite of their circumstances, not because of it. Think of how the world can be a much better place if, for a change, we have a better equality, we have equality, we have a representation and we understand war, both from the front-line and the back-line discussion.
Ada para perempuan yang berdiri di atas kaki mereka sendiri apapun kondisi mereka, bukan karena hal itu. Pikirkanlah bagaimana dunia dapat menjadi sebuah tempat yang jauh lebih baik bila saja, sebagai gantinya, kita memiliki kesetaraan yang lebih baik, kita punya kesetaraan, kita punya perwakilan, dan kita mengerti perang, baik dari diskusi garis depan dan garis belakang.
Rumi, a 13th-century Sufi poet, says, "Out beyond the worlds of right-doings and wrong-doings, there is a field. I will meet you there. When the soul lies down in that grass, the world is too full to talk about. Ideas, language, even the phrase 'each other' no longer makes any sense." I humbly add -- humbly add -- that out beyond the worlds of war and peace, there is a field, and there are many women and men [who] are meeting there. Let us make this field a much bigger place. Let us all meet in that field.
Rumi, pujangga Sufi dari abad ke-13, berkata, "Jauh di luar dunia tentang apa yang benar dan apa yang salah, ada sebuah tempat. Aku akan menemuimu di sana. Saat jiwa berbaring di atas rumput, dunia terlalu sarat untuk diperbincangkan. Ide, bahasa, bahkan kata "satu sama lain' tidak lagi masuk akal." Dengan rendah hati saya tambahkan -- dengan rendah hati -- bahwa di luar dunia perang dan perdamaian ada sebuah tempat, dan ada banyak perempuan dan laki-laki yang bertemu di sana. Marilah kita buat tempat ini makin besar. Mari kita semua bertemu di sana.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)