Someone who looks like me walks past you in the street. Do you think they're a mother, a refugee or a victim of oppression? Or do you think they're a cardiologist, a barrister or maybe your local politician? Do you look me up and down, wondering how hot I must get or if my husband has forced me to wear this outfit? What if I wore my scarf like this?
Seseorang yang berpenampilan seperti saya berpapasan dengan Anda di jalan. Apakah Anda berpikir dia seorang ibu, seorang pengungsi ataukah korban penindasan? Ataukah Anda berpikir dia seorang kardiolog, seorang advokat ataukah mungkin politisi setempat? Apa Anda melihat saya dari atas ke bawah, bertanya-tanya betapa panasnya saya merasa atau apakah suami saya memaksa saya untuk memakai pakaian ini? Bagaimana jika saya mengenakan hijab saya seperti ini?
I can walk down the street in the exact same outfit and what the world expects of me and the way I'm treated depends on the arrangement of this piece of cloth. But this isn't going to be another monologue about the hijab because Lord knows, Muslim women are so much more than the piece of cloth they choose, or not, to wrap their head in. This is about looking beyond your bias.
Saya bisa berjalan menyusuri jalan dengan pakaian yang sama persis dan yang dunia harapkan dari saya dan cara saya diperlakukan bergantung pada cara memakai kain ini. Tapi ini bukan monolog tentang hijab karena wanita muslim jelas lebih dari sehelai kain yang mereka pakai, untuk menutupi atau tidak menutupi, kepalanya. Ini tentang melihat lebih jauh dari prasangka Anda.
What if I walked past you and later on you'd found out that actually I was a race car engineer, and that I designed my own race car and I ran my university's race team, because it's true. What if I told you that I was actually trained as a boxer for five years, because that's true, too. Would it surprise you? Why?
Bagaimana jika saya berpapasan dengan Anda dan kemudian Anda mengetahui bahwa sebenarnya saya adalah teknisi mobil balap, saya merancang mobil balap sendiri dan memimpin tim balap universitas? Karena itu benar. Bagaimana jika saya mengatakan saya berlatih tinju selama lima tahun? Karena itu juga benar. Apakah itu membuat Anda terkejut? Kenapa?
Ladies and gentlemen, ultimately, that surprise and the behaviors associated with it are the product of something called unconscious bias, or implicit prejudice. And that results in the ridiculously detrimental lack of diversity in our workforce, particularly in areas of influence. Hello, Australian Federal Cabinet. (Applause)
Hadirin, pada akhirnya, rasa terkejut dan perilaku yang berhubungan dengan itu adalah hasil dari sesuatu yang disebut prasangka bawah sadar, atau prasangka implisit. Hal itu menciptakan kurangnya keragaman yang sangat merugikan dalam angkatan kerja kita, terutama dalam bidang-bidang yang berpengaruh. Halo, Kabinet Federal Australia. (Tepuk tangan)
Let me just set something out from the outset: Unconscious bias is not the same as conscious discrimination. I'm not saying that in all of you, there's a secret sexist or racist or ageist lurking within, waiting to get out. That's not what I'm saying. We all have our biases. They're the filters through which we see the world around us. I'm not accusing anyone, bias is not an accusation. Rather, it's something that has to be identified, acknowledged and mitigated against. Bias can be about race, it can be about gender. It can also be about class, education, disability. The fact is, we all have biases against what's different, what's different to our social norms.
Biar saya mengemukakan sesuatu sejak awal: Prasangka bawah sadar tidak sama dengan diskriminasi sadar. Saya tidak bermaksud ada paham seksis atau rasis tersembunyi pada Anda atau ada paham ageisme, yang menunggu untuk keluar. Bukan itu maksud saya. Kita semua memiliki prasangka. Prasangka adalah filter untuk melihat dunia di sekitar kita. Saya tidak menuduh siapapun, prasangka bukanlah tuduhan. Melainkan, hal yang harus diidentifikasi, diakui dan dikurangi. Prasangka bisa tentang ras, bisa tentang gender. Bisa juga tentang kelas, pendidikan, kecacatan. Faktanya, kita semua punya prasangka terhadap hal yang berbeda, hal yang berbeda dengan norma sosial kita.
The thing is, if we want to live in a world where the circumstances of your birth do not dictate your future and where equal opportunity is ubiquitous, then each and every one of us has a role to play in making sure unconscious bias does not determine our lives.
Masalahnya, jika kita ingin hidup di dunia di mana keadaan ketika kita lahir tidak menentukan masa depan kita dan dimana peluang setara ada di mana-mana, maka kita semua memiliki peran untuk memastikan prasangka bawah sadar tidak menentukan hidup kita.
There's this really famous experiment in the space of unconscious bias and that's in the space of gender in the 1970s and 1980s. So orchestras, back in the day, were made up mostly of dudes, up to only five percent were female. And apparently, that was because men played it differently, presumably better, presumably. But in 1952, The Boston Symphony Orchestra started an experiment. They started blind auditions. So rather than face-to-face auditions, you would have to play behind a screen. Now funnily enough, no immediate change was registered until they asked the audition-ers to take their shoes off before they entered the room. because the clickity-clack of the heels against the hardwood floors was enough to give the ladies away. Now get this, there results of the audition showed that there was a 50 percent increased chance a woman would progress past the preliminary stage. And it almost tripled their chances of getting in. What does that tell us? Well, unfortunately for the guys, men actually didn't play differently, but there was the perception that they did. And it was that bias that was determining their outcome.
Ada eksperimen yang sangat terkenal dalam bidang prasangka bawah sadar, yaitu dalam bidang gender pada tahun 1970-an dan 1980-an. Pada zaman dahulu, orkestra sebagian besar terdiri dari pria, hanya sampai lima persennya saja perempuan. Rupanya, itu karena pria memainkannya berbeda, mungkin lebih baik. Mungkin. Tapi pada tahun 1952, Orkestra Simfoni Boston memulai sebuah eksperimen. Mereka memulai audisi tanpa melihat. Jadi, bukan audisi tatap muka, namun Anda harus bermain di balik layar. Nah, lucunya, tidak ada perubahan langsung yang tercatat sampai mereka meminta peserta audisi untuk melepaskan sepatu sebelum memasuki ruangan itu. karena bunyi hak sepatu yang mengenai lantai kayu cukup untuk membuka identitas peserta perempuan. Nah, dengarkan ini, hasil audisi tersebut menunjukkan ada peningkatan peluang sebesar 50 persen bagi seorang perempuan melewati tahap awal. Itu membuat peluang mereka masuk meningkat hampir tiga kali lipat. Apa artinya bagi kita? Sayangnya bagi para pria, sebenarnya permainan pria tidak berbeda, melainkan ada persepsi bahwa permainan mereka berbeda. Prasangka itulah yang menentukan hasilnya.
So what we're doing here is identifying and acknowledging that a bias exists. And look, we all do it. Let me give you an example. A son and his father are in a horrible car accident. The father dies on impact and the son, who's severely injured, is rushed to hospital. The surgeon looks at the son when they arrive and is like, "I can't operate." Why? "The boy is my son." How can that be? Ladies and gentlemen, the surgeon is his mother. Now hands up -- and it's okay -- but hands up if you initially assumed the surgeon was a guy? There's evidence that that unconscious bias exists, but we all just have to acknowledge that it's there and then look at ways that we can move past it so that we can look at solutions.
Jadi, yang kita lakukan di sini adalah mengenali dan mengakui bahwa prasangka itu ada. Kita semua melakukannya. Biar saya beri contoh. Seorang anak dan ayahnya mengalami kecelakaan mobil yang mengerikan. Ayahnya tewas seketika dan anaknya, yang mengalami luka parah, dilarikan ke rumah sakit. Dokter bedah melihat anak itu saat mereka tiba dan berkata, "Aku tidak bisa mengoperasinya." Kenapa? "Anak itu adalah putraku." Bagaimana mungkin? Hadirin, dokter bedah itu adalah ibunya. Sekarang, acungkan tangan -- dan itu tidak apa-apa -- tapi acungkan tangan jika awalnya, Anda mengira dokter bedah itu pria. Ada bukti bahwa prasangka bawah sadar itu ada, tapi kita semua hanya perlu mengakui bahwa itu ada, lalu mencari cara untuk bisa melewatinya agar kita bisa mencari solusinya.
Now one of the interesting things around the space of unconscious bias is the topic of quotas. And this something that's often brought up. And of of the criticisms is this idea of merit. Look, I don't want to be picked because I'm a chick, I want to be picked because I have merit, because I'm the best person for the job. It's a sentiment that's pretty common among female engineers that I work with and that I know. And yeah, I get it, I've been there. But, if the merit idea was true, why would identical resumes, in an experiment done in 2012 by Yale, identical resumes sent out for a lab technician, why would Jennifers be deemed less competent, be less likely to be offered the job, and be paid less than Johns. The unconscious bias is there, but we just have to look at how we can move past it.
Salah satu hal menarik seputar bidang prasangka bawah sadar adalah tema kuota. Ini sesuatu yang sering diangkat. Dari kritiknya terhadapnya ialah konsep tentang prestasi. Saya tidak mau dipilih karena saya seorang perempuan, saya ingin dipilih karena saya punya kapasitas, karena saya orang terbaik untuk pekerjaan itu. Itu sentimen yang cukup umum di kalangan insinyur perempuan yang bekerja dengan saya dan saya kenal. Ya, saya mengerti, saya pernah mengalaminya. Tapi jika ide tentang prestasi itu benar, kenapa resume identik, dalam eksperimen yang dilakukan tahun 2012 oleh Yale, resume identik yang dikirim untuk teknisi laboratorium, kenapa orang bernama Jennifer dianggap kurang kompeten, dianggap kurang mungkin untuk ditawarkan pekerjaan itu, dan dibayar lebih kecil dari orang bernama John? Prasangka bawah sadar itu ada, kita tinggal mencari cara untuk melewatinya.
And, you know, it's interesting, there's some research that talks about why this is the case and it's called the merit paradox. And in organizations -- and this is kind of ironic -- in organizations that talk about merit being their primary value-driver in terms of who they hire, they were more likely to hire dudes and more likely to pay the guys more because apparently merit is a masculine quality. But, hey.
Ini menarik, ada penelitian yang membicarakan kenapa hal ini terjadi dan hal ini disebut paradoks prestasi. Dalam organisasi -- dan ini agak ironis -- dalam organisasi yang membicarakan prestasi sebagai penentu utama dalam hal siapa yang mereka pekerjakan, mereka cenderung mempekerjakan pria dan memberi gaji lebih besar karena rupanya, prestasi adalah kualitas pria. Namun, hei.
So you guys think you've got a good read on me, you kinda think you know what's up. Can you imagine me running one of these? Can you imagine me walking in and being like, "Hey boys, this is what's up. This is how it's done." Well, I'm glad you can. (Applause) Because ladies and gentlemen, that's my day job. And the cool thing about it is that it's pretty entertaining. Actually, in places like Malaysia, Muslim women on rigs isn't even comment-worthy. There are that many of them. But, it is entertaining.
Anda berpikir sudah memahami saya dengan baik, Anda berpikir Anda tahu apa yang terjadi. Dapatkah Anda bayangkan saya mengelola rig semacam ini? Dapatkah Anda bayangkan saya kesana dan berkata, "Hei, Mas-mas, ini yang terjadi. Seperti inilah caranya." Saya senang Anda bisa. (Tepuk tangan) Karena, hadirin, itulah pekerjaan saya. Yang hebat dari itu adalah itu cukup lucu. Sebenarnya, di tempat seperti Malaysia, perempuan muslim di pengeboran tidak perlu untuk dikomentari. Karena jumlah mereka banyak. Namun memang lucu.
I remember, I was telling one of the guys, "Hey, mate, look, I really want to learn how to surf." And he's like, "Yassmin, I don't know how you can surf with all that gear you've got on, and I don't know any women-only beaches." And then, the guy came up with a brilliant idea, he was like, "I know, you run that organization Youth Without Borders, right? Why don't you start a clothing line for Muslim chicks in beaches. You can call it Youth Without Boardshorts." (Laughter) And I was like, "Thanks, guys." And I remember another bloke telling me that I should eat all the yogurt I could because that was the only culture I was going to get around there.
Saya ingat pernah berkata pada salah satu pria, "Hei, aku sangat ingin belajar berselancar." Dia menjawab, "Yassmin, aku tak tahu bagaimana kau bisa berselancar dengan semua perlengkapan yang kau pakai itu, dan aku tak tahu pantai khusus untuk wanita." Lalu pria itu mendapat ide yang hebat, dia berkata, "Aku tahu, kau mengelola organisasi itu, Youth Without Borders, 'kan? Bagaimana kalau kau membuat merek pakaian untuk perempuan muslim di pantai? Kau bisa menamakannya Kaum Muda Tanpa Celana Renang." (Tertawa) Saya berkata, "Terima kasih, teman-teman." Saya ingat pria lain yang mengatakan saya harus memakan yogurt sebanyak-banyaknya karena itu satu-satunya kultur yang akan saya dapat di sana.
But, the problem is, it's kind of true because there's an intense lack of diversity in our workforce, particularly in places of influence. Now, in 2010, The Australian National University did an experiment where they sent out 4,000 identical applications to entry level jobs, essentially. To get the same number of interviews as someone with an Anglo-Saxon name, if you were Chinese, you had to send out 68 percent more applications. If you were Middle Eastern -- Abdel-Magied -- you had to send out 64 percent, and if you're Italian, you're pretty lucky, you only have to send out 12 percent more. In places like Silicon Valley, it's not that much better. In Google, they put out some diversity results and 61 percent white, 30 percent Asian and nine, a bunch of blacks, Hispanics, all that kind of thing. And the rest of the tech world is not that much better and they've acknowledged it, but I'm not really sure what they're doing about it.
Namun masalahnya, itu agak betul karena memang kurang beragamnya angkatan kerja kita sangat terasa, terutama di tempat-tempat berpengaruh. Kini, di tahun 2010, the Australian National University membuat eksperimen dimana mereka mengirim 4.000 lamaran kerja yang identik ke pekerjaan level pemula. Untuk mendapat kesempatan wawancara yang sama jumlahnya dengan nama Anglo-Saxon, kalau Anda orang Cina, maka Anda harus mengirim 68% lebih banyak surat lamaran. Kalau Anda orang Timur Tengah -- Abdel-Magied -- Anda harus mengirimkan 64%, dan bila Anda Italia, Anda cukup beruntung, Anda hanya harus mengirim 12% lebih banyak. Di tempat seperti Silicon Valley, juga tidak lebih baik. Di Google, mereka menampilkan keberagamannya dan 61% orang kulit putih, 30% Asia, dan 9, sekumpulan orang hitam, Hispanik, dan lainnya. Dan di perusahaan teknologi tinggi lain tidak lebih baik dan mereka mengakuinya, tapi saya tidak yakin dilakukan sesuatu atas hal itu.
The thing is, it doesn't trickle up. In a study done by Green Park, who are a British senior exec supplier, they said that over half of the FTSE 100 companies don't have a nonwhite leader at their board level, executive or non-executive. And two out of every three don't have an executive who's from a minority. And most of the minorities that are at that sort of level are non-executive board directors. So their influence isn't that great.
Masalahnya, hal itu tidak merambah ke atas. Pada studi yang dilakukan Green Park, perusahaan Inggris penyuplai eksekutif senior, mereka menyatakan lebih dari separuh dari 100 perusahaan FTSE tidak punya pimpinan non-kulit putih di level direktur, eksekutif maupun non-eksekutif Dan dua dari tiga tidak punya eksekutif dari kaum minoritas. Dan sebagian besar minoritas yang ada di level tersebut memiliki posisi non-eksekutif. Jadi pengaruh mereka tidak besar.
I've told you a bunch of terrible things. You're like, "Oh my god, how bad is that? What can I do about it?" Well, fortunately, we've identified that there's a problem. There's a lack of opportunity, and that's due to unconscious bias. But you might be sitting there thinking, "I ain't brown. What's that got to do with me?" Let me offer you a solution. And as I've said before, we live in a world where we're looking for an ideal. And if we want to create a world where the circumstances of your birth don't matter, we all have to be part of the solution. And interestingly, the author of the lab resume experiment offered some sort of a solution. She said the one thing that brought the successful women together, the one thing that they had in common, was the fact that they had good mentors.
Saya telah mengatakan banyak hal buruk. Dan kata Anda, "Ya ampun, sungguh buruk. Apa yang bisa saya lakukan?" Nah, untungnya, kita telah mengidentifikasi ada masalah. Ada kurangnya kesempatan, karena prasangka bawah sadar. Tapi mungkin Anda sambil duduk berpikir, "Kulit saya tidak coklat. Apa hubungannya dengan saya?" Mari saya tawarkan solusi. Seperti saya katakan, kita hidup di dunia dimana kita mencari hal-hal yang ideal. Dan bila kita ingin menciptakan dunia dimana kondisi dari lahir bukanlah yang menentukan, kita harus menjadi bagian dari solusi. Dan menariknya, penulis hasil eksperimen di lab itu menawarkan sebuah solusi. Ia katakan satu hal yang dimiliki oleh seluruh perempuan sukses, satu hal yang mereka semua miliki, adalah mereka mempunyai mentor (penasehat) yang baik.
So mentoring, we've all kind of heard that before, it's in the vernacular. Here's another challenge for you. I challenge each and every one of you to mentor someone different. Think about it. Everyone wants to mentor someone who kind of is familiar, who looks like us, we have shared experiences. If I see a Muslim chick who's got a bit of attitude, I'm like, "What's up? We can hang out." You walk into a room and there's someone who went to the same school, you play the same sports, there's a high chance that you're going to want to help that person out. But for the person in the room who has no shared experiences with you it becomes extremely difficult to find that connection.
Jadi, mentoring, kita semua pernah mendengarnya, itulah intinya. Satu lagi tantangan untuk Anda. Saya menantang Anda untuk menjadi mentor seseorang yang berbeda. Pikirkanlah. Semua orang ingin menjadi mentor orang yang familiar, yang serupa dengan kita, yang memiliki pengalaman sama. Bila saya melihat perempuan muslim yang sedikit bandel, saya akan berkata, "Hei, apa kabar? Ayo jalan dengan saya." Anda masuk ke sebuah ruangan dan ada seseorang dari sekolah yang sama, bermain olahraga yang sama, kemungkinan besar Anda ingin membantunya. Namun bagi orang di ruangan itu yang tidak punya pengalaman yang sama akan sangat sulit menemukan koneksi itu.
The idea of finding someone different to mentor, someone who doesn't come from the same background as you, whatever that background is, is about opening doors for people who couldn't even get to the damn hallway.
Ide untuk mencari seseorang yang berbeda untuk dididik, seseorang yang berbeda latar belakang dengan Anda, apapun latar belakangnya, membuka pintu kesempatan bagi mereka yang bahkan tidak dapat masuk melewati tahap awalnya.
Because ladies and gentlemen, the world is not just. People are not born with equal opportunity. I was born in one of the poorest cities in the world, Khartoum. I was born brown, I was born female, and I was born Muslim in a world that is pretty suspicious of us for reasons I can't control. However, I also acknowledge the fact that I was born with privilege. I was born with amazing parents, I was given an education and had the blessing of migrating to Australia. But also, I've been blessed with amazing mentors who've opened doors for me that I didn't even know were there. A mentor who said to me, "Hey, your story's interesting. Let's write something about it so that I can share it with people." A mentor who said, "I know you're all those things that don't belong on an Australian rig, but come on anyway." And here I am, talking to you.
Karena, para hadirin, dunia tidaklah adil. Manusia tidak dilahirkan dengan kesempatan yang setara. Saya lahir di salah satu kota termiskin di dunia, Khartoum. Saya dilahirkan berkulit coklat, perempuan, dan dilahirkan muslim di dunia yang cukup mencurigai kami karena alasan yang tidak dapat saya ubah. Namun, saya juga mengakui bahwa saya lahir dengan keuntungan. Saya dilahirkan orang tua yang hebat, diberikan pendidikan dan beruntung dapat bermigrasi ke Australia. Namun, saya juga mendapat mentor yang hebat yang membukakan pintu untuk saya yang bahkan saya tidak tahu itu ada. Mentor yang berkata pada saya, "Hei, ceritamu menarik. Ayo tulis sesuatu tentang itu agar dapat saya bagikan ke yang lain." Mentor yang berkata, "Saya tahu kamu tidak cocok berada di rig Australia, tapi datanglah saja." Dan kini, saya di depan Anda.
And I'm not the only one. There's all sorts of people in my communities that I see have been helped out by mentors. A young Muslim man in Sydney who ended up using his mentor's help to start up a poetry slam in Bankstown and now it's a huge thing. And he's able to change the lives of so many other young people. Or a lady here in Brisbane, an Afghan lady who's a refugee, who could barely speak English when she came to Australia, her mentors helped her become a doctor and she took our Young Queenslander of the Year Award in 2008. She's an inspiration. This is so not smooth.
Saya tidak sendirian. Ada banyak orang di komunitas saya yang saya lihat dibantu oleh mentornya. Seorang pemuda muslim di Sydney dengan bantuan mentornya memulai kompetisi puisi di Bankstown dan sekarang menjadi sukses. Dan dia mampu mengubah hidup banyak pemuda. Atau seorang perempuan di Brisbane, pengungsi perempuan Afganishtan, yang tidak berbahasa Inggris ketika tiba di Australia, mentornya membantunya untuk menjadi dokter dan ia mendapat Young Queenslander of the Year Award tahun 2008. Dia sumber inspirasi. Hal ini tidak mudah.
This is me. But I'm also the woman in the rig clothes, and I'm also the woman who was in the abaya at the beginning. Would you have chosen to mentor me if you had seen me in one of those other versions of who I am? Because I'm that same person. We have to look past our unconscious bias, find someone to mentor who's at the opposite end of your spectrum because structural change takes time, and I don't have that level of patience. So if we're going to create a change, if we're going to create a world where we all have those kinds of opportunities, then choose to open doors for people. Because you might think that diversity has nothing to do with you, but we are all part of this system and we can all be part of that solution.
Inilah saya. Tapi saya juga perempuan dalam baju mekanik rig, dan saya juga perempuan dalam abaya di awal paparan. Maukah Anda memilih saya untuk dididik bila Anda melihat saya dalam versi lain saya? Karena saya tetap orang yang sama. Kita harus melampaui prasangka bawah sadar kita, temukan seseorang yang berbeda untuk Anda didik karena perubahan struktural membutuhkan waktu, dan saya tidak punya kesabaran untuk itu. Jadi bila kita ingin membuat perubahan, bila kita ingin menciptakan dunia dimana kita punya semua kesempatan itu, maka bukakanlah pintu untuk orang-orang itu. Karena Anda mungkin berpikir keberagaman tidak ada hubungannya dengan Anda, tapi kita bagian dari sistem ini dan kita bisa menjadi bagian dari solusi.
And if you don't know where to find someone different, go to the places you wouldn't usually go. If you enroll in private high school tutoring, go to your local state school or maybe just drop into your local refugee tutoring center. Or perhaps you work at an office. Take out that new grad who looks totally out of place -- 'cause that was me -- and open doors for them, not in a tokenistic way, because we're not victims, but show them the opportunities because opening up your world will make you realize that you have access to doors that they didn't even know existed and you didn't even know they didn't have.
Dan bila Anda tidak tahu dimana mencari orang yang berbeda, pergilah ke tempat yang tidak biasa. Bila Anda mendaftar jadi tutor di SMA swasta, pergilah ke sekolah negeri atau mungkin ke pusat tutor migran di daerah Anda. Anta mungkin Anda bekerja di kantor. Pilihlah karyawan muda yang kelihatan paling berbeda -- karena saya seperti itu -- dan bukakan pintu untuk mereka, tidak usah dibantu semuanya, karena kami bukan korban, tapi tunjukkanlah mereka kesempatan karena membuka dunia Anda pada mereka akan menyadarkan Anda bahwa Anda punya akses ke pintu yang mereka tidak pernah tahu dan Anda tidak tahu mereka tidak pernah tahu itu.
Ladies and gentlemen, there is a problem in our community with lack of opportunity, especially due to unconscious bias. But each and every one one of you has the potential to change that. I know you've been given a lot of challenges today, but if you can take this one piece and think about it a little differently, because diversity is magic. And I encourage you to look past your initial perceptions because I bet you, they're probably wrong.
Hadirin, ada masalah dalam komunitas kita mengenai kurangnya kesempatan, terutama karena prasangka bawah sadar. Namun Anda memiliki potensi untuk mengubahnya. Saya tahu banyak sekali tantangan buat Anda hari ini, namun bila Anda dapat mengambilnya dan melihatnya secara berbeda, karena keberagaman itu luar biasa. Dan saya mendorong Anda untuk melihat ke persepsi awal Anda karena saya berani bertaruh, persepsi Anda salah.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)