How can landscapes imbue memory? When we think about this notion "e pluribus unum" -- "out of many, one," it's a pretty strange concept, right? I mean, with all different races and cultures of people, how do you boil it down to one thing? I want to share with you today this idea of "e pluribus unum" and how our landscape might imbue those memories of diverse perspectives, as well as force us to stop trying to narrow things down to a single, clean set of identities.
Bagaimana pemandangan dapat mengilhami kenangan? Saat kita berpikir tentang gagasan ini "e pluribus unum" -- "dari banyak menjadi satu," konsep yang cukup aneh bukan? Maksud saya, dengan ras dan budaya orang yang berbeda, bagaimana menggabungkannya jadi satu? Hari ini saya ingin berbagi dengan Anda tentang gagasan "e pluribus unum" dan bagaimana bentang alam kita mengilhami kenangan berbagai sudut pandang tapi juga memaksa kita untuk mempersempit semua hal menjadi identitas tunggal yang jelas.
As an educator, designer, I'd like to share with you five simple concepts that I've developed through my work. And I'd like to share with you five projects where we can begin to see how the memory around us, where things have happened, can actually force us to look at one another in a different way. And lastly: this is not just an American motto anymore. I think e pluribus unum is global. We're in this thing together.
Sebagai pengajar, desainer, saya ingin berbagi dengan Anda lima konsep sederhana yang saya kembangkan melalui karya saya. Dan saya ingin berbagi dengan Anda lima proyek di mana kita bisa mulai melihat bagaimana memori di sekitar kita, di mana terjadi berbagai hal, sebenarnya bisa memaksa kita melihat satu sama lain dengan cara berbeda. Dan terakhir: ini tidak lagi sekadar moto Amerika saja, saya rasa e pluribus unum itu global. Kita menjalaninya bersama.
First, great things happen when we exist in each other's world -- like today, right? The world of community gardens -- most of you have probably seen a community garden. They're all about subsistence and food. Right? I'll tell you a little story, what happened in New York more than a decade ago. They tried to sell all of their community gardens, and Bette Midler developed a nonprofit, the New York Restoration Project. They literally brought all the gardens and decided to save them. And then they had another novel idea: let's bring in world-class designers and let them go out into communities and make these beautiful gardens, and maybe they might not just be about food. And so they called me, and I designed one in Jamaica, Queens. And on the way to designing this garden, I went to the New York Restoration Project Office, and I noticed a familiar name on the door downstairs. I go upstairs, and I said, "Do you guys know who is downstairs?" And they said, "Gunit." And I said, "Gunit? You mean G-Unit? Curtis '50 Cent' Jackson?"
Pertama, hal hebat terjadi saat kita berada di dunia satu sama lain -- seperti sekarang, betul? Dunia kebun bersama -- dari Anda semua mungkin pernah lihat kebun bersama Semuanya tentang kehidupan dan makanan. Betul? Saya mau cerita sedikit, yang terjadi di New York lebih dari satu dekade yang lalu. Mereka berusaha menjual semua kebun bersama mereka, dan Bette Midler mengembangkan proyek nonprofit New York Restoration Project. Mereka serius membeli semua kebun dan memutuskan untuk menyelamatkannya Lalu mereka memiliki gagasan mulia lain: ayo bawa desainer kelas dunia dan biarkan mereka masuk ke masyarakat dan membuat kebun indah ini, dan mungkin saja bukan sekadar tentang makanan. Lalu mereka menghubungi saya, dan saya mendesain satu di Jamaica, Queens. Dan saat akan mendesain taman ini, saya mengunjungi kantor New York Restoration Project, dan ada beberapa nama familiar di pintu depan. Saya naik, dan berkata, "Kalian tahu siapa yang ada di bawah?" Dan mereka bilang, "Gunit." Saya bilang, "Gunit?" Maksudmu G-Unit? Curtis '50 Cent' Jackson?"
(Laughter)
(tertawa)
And they said, "Yeah?" And I said, "Yes."
Dan mereka bilang, "Ya?" Dan saya bilang, "Iya."
And so we went downstairs, and before you knew it, Curtis, Bette and the rest of them formed this collaboration, and they built this garden in Jamaica, Queens. And it turned out Curtis, 50 Cent, grew up in Jamaica. And so again, when you start bringing these worlds together -- me, Curtis, Bette -- you get something more incredible. You get a garden that last year was voted one of the top 10 secret gardens in New York. Right?
Lalu kami ke bawah, dan sebelum kau tahu, Curtis, Bette, dan yang lainnya membentuk kolaborasi ini, dan membangun taman ini di Jamaica, Queens. Dan ternyata Curtis, 50 Cent, tumbuh di Jamaica. Dan kemudian, saat kami mulai bergabung bersama -- saya, Curtis, Bette -- Anda dapat sesuatu yang lebih luar biasa. Anda dapat kebun yang tahun lalu dipilih sebagai top 10 kebun rahasia di New York, Benar, kan?
(Applause)
(Tepuk tangan)
It's for young and old, but more importantly, it's a place -- there was a story in the Times about six months ago where this young woman found solace in going to the garden. It had nothing to do with me. It had more to do with 50, I'm sure, but it has inspired people to think about gardens and sharing each other's worlds in a different way.
Ditujukan untuk tua dan muda, tapi yang lebih penting, adalah tempat -- ada cerita di Times sekitar enam bulan lalu di mana seorang wanita muda menemukan kebahagiaan saat masuk ke kebun. Tidak ada hubungannya dengan saya. Lebih berhubungan dengan 50, saya yakin, tapi ini menginspirasi orang-orang untuk berpikir tentang kebun dan berbagi dunia mereka dengan cara yang berbeda.
This next concept, "two-ness" -- it's not as simple as I thought it would be to explain, but as I left to go to college, my father looked at me, and said, "Junior, you're going to have to be both black and white when you go out there." And if you go back to the early parts of the 20th century, W.E.B. Du Bois, the famous activist, said it's this peculiar sensation that the Negro has to walk around being viewed through the lens of other people, and this two-ness, this double consciousness. And I want to argue that more than a hundred years later, that two-ness has made us strong and resilient, and I would say for brown people, women -- all of us who have had to navigate the world through the eyes of others -- we should now share that strength to the rest of those who have had the privilege to be singular.
Konsep selanjutnya,"ke-dua-an" -- ini tidak semudah yang saya bayangkan untuk menjelaskannya, tapi saat saya pergi untuk kuliah, ayah saya melihat saya, dan berkata, "Junior, kamu akan perlu menjadi hitam dan putih saat keluar sana." Dan jika Anda kembali ke awal abad 20, seorang aktivis terkenal, W.E.B Du Bois, mengatakan ada sensasi yang aneh bahwa seorang Negro harus berjalan dilihat melalui lensa orang lain. Dan ke-dua-an ini, kesadaran ganda ini. Dan saya ingin berargumen bahwa lebih dari seratus tahun kemudian, ke-dua-an ini membuat kita kuat dan tangguh, saya ingin bilang ke orang kulit berwarna, wanita -- kita semua yang pernah harus menjelajah dunia lewat mata orang lain -- sekarang kita harus berbagi kekuatan itu pada mereka yang memiliki keunggulan menjadi tunggal.
I'd like to share with you a project, because I do think this two-ness can find itself in the world around us. And it's beginning to happen where we're beginning to share these stories. At the University of Virginia, the academical village by Thomas Jefferson, it's a place that we're beginning to notice now was built by African hands. So we have to begin to say, "OK, how do we talk about that?" As the University was expanding to the south, they found a site that was the house of Kitty Foster, free African American woman. And she was there, and her descendants, they all lived there, and she cleaned for the boys of UVA. But as they found the archaeology, they asked me if I would do a commemorative piece. So the two-ness of this landscape, both black and white ... I decided to do a piece based on shadows and light. And through that, we were able to develop a shadow-catcher that would talk about this two-ness in a different way. So when the light came down, there would be this ride to heaven. When there's no light, it's silent. And in the landscape of Thomas Jefferson, it's a strange thing. It's not made of brick. It's a strange thing, and it allows these two things to be unresolved.
Saya ingin berbagi sebuah proyek, karena saya pikir ke-dua-an ini bisa ada di dunia sekitar kita. Dan itu semua mulai terjadi saat kita mulai membagikan cerita ini. Di Universitas Virginia, kampung akademisnya Thomas Jefferson, sebuah tempat yang baru mulai kita sadari dibangun oleh seorang Afrika. Jadi kita perlu mulai berkata, "Oke, bagaimana kita mendiskusikannya?" Saat universitas mulai berkembang ke selatan, kami menemukan sebuah situs yang merupakan rumah Kitty Foster, seorang wanita Afro-Amerika merdeka. Dan dia pernah di sana, dan keturunannya, semuanya tinggal di sana, dan dia bersih-bersih untuk mahasiswa UVA. Tapi saat mereka menemukan arkeologi ini, mereka bertanya apakah saya mau membuat tugu peringatan. Jadi dengan ke-dua-an lanskap ini, baik hitam dan putih, saya memutuskan untuk membuat bagian berdasarkan bayangan dan cahaya. Dan melalui itu, kita bisa mengembangkan penangkap bayangan yang bisa menceritakan ke-dua-an ini dengan cara berbeda. Jadi saat cahaya itu redup, akan ada tumpangan ke surga. Saat tidak ada cahaya, hanya sunyi. Dan lanskap Thomas Jefferson adalah hal yang aneh. Tidak terbuat dari batu bata. Itu adalah hal aneh, dan memungkinkan dua hal ini tidak terselesaikan.
And we don't have to resolve these things. I want to live in a world where the resolution -- there's an ambiguity between things, because that ambiguity allows us to have a conversation. When things are clear and defined, we forget.
Dan kita tidak perlu memecahkan hal itu. Saya ingin hidup di dunia di mana resolusi -- ada ambiguitas di antara sesuatu, karena ambiguitas ini mengizinkan kita untuk berdialog. Saat sesuatu menjadi jelas, kita lupa.
The next example? Empathy. And I've heard that a couple of times in this conference, this notion of caring. Twenty-five years ago, when I was a young pup, very optimistic, we wanted to design a park in downtown Oakland, California for the homeless people. And we said, homeless people can be in the same space as people who wear suits. And everyone was like, "That's never going to work. People are not going to eat lunch with the homeless people."
Contoh selanjutnya? Empati. Dan saya sudah dengar beberapa kali di pertemuan ini, gagasan tentang peduli. Dua puluh lima tahun yang lalu, saat saya masih muda, sangat optimis, kami ingin mendesain sebuah taman di pusat Oakland, California untuk para gelandangan. Dan kami bilang, para gelandangan bisa ada di satu ruang dengan orang yang memakai jas. Dan semuanya bilang, "Tidak mungkin berhasil. Orang tidak akan makan siang dengan gelandangan."
We built the park. It cost 1.1 million dollars. We wanted a bathroom. We wanted horseshoes, barbecue pits, smokers, picnic tables, shelter and all of that. We had the design, we went to the then-mayor and said, "Mr. Mayor, it's only going to cost you 1.1 million dollars." And he looked at me. "For homeless people?" And he didn't give us the money.
Kami bangun taman itu. Biayanya 1,1 juta dolar. Kami ingin ada kamar mandi. Kami ingin tapal kuda, tempat barbekyu, panggangan, meja piknik, shelter dan semuanya. Kami punya desainnya, lalu bertemu walikota saat itu dan bilang, "Pak Walikota, biayanya hanya 1,1 juta dolar." Dia melihat saya. "Untuk tuna wisma?" Dan dia tidak memberi uangnya.
So we walked out, unfettered, and we raised the money. Clorox gave us money. The National Park Service built the bathroom. So we were able to go ahead because we had empathy.
Jadi kami keluar, tidak terikat, dan menggalang dana. Clorox memberi kami uang. Dinas Taman Nasional membangun kamar mandi. Jadi kami berhasil maju karena punya empati.
Now, 25 years later, we have an even larger homeless problem in the Bay Area. But the park is still there, and the people are still there. So for me, that's a success. And when people see that, hopefully, they'll have empathy for the people under freeways and tents, and why can't our public spaces house them and force us to be empathetic? The image on the left is Lafayette Square Park today. The image on the right is 1906, Golden Gate Park after the earthquake. Why do we have to have cataclysmic events to be empathetic? Our fellow men are out there starving, women sleeping on the street, and we don't see them. Put them in those spaces, and they'll be visible.
Sekarang, 25 tahun kemudian, kita bahkan punya masalah tuna wisma yang lebih besar di Bay Area. Tapi taman ini masih ada, dan orang-orang juga masih di sana. Jadi bagi saya, itu berhasil. Dan saat orang melihatnya, harapannya, mereka punya empati pada mereka di tenda dan di kolong jembatan, dan kenapa ruang publik kita tidak menampung mereka dan memaksa berempati? Gambar di kiri adalah Taman Lafayette Square sekarang. Gambar di kanan itu Taman Golden Gate, tahun 1906 setelah gempa. Kenapa kita perlu punya bencana hebat untuk bersimpati? Sesama kita di luar sana kelaparan, wanita tidur di jalan, dan kita tidak melihat mereka. Tempatkan mereka di ruang itu, dan mereka akan kelihatan.
(Applause)
(tepuk tangan)
And to show you that there are still people out there with empathy, the Oakland Raiders' Bruce Irvin fries fish every Friday afternoon for anyone who wants it. And by going to that park, that park became the vehicle for him.
Dan untuk menunjukkan pada kalian bahwa masih ada orang dengan empati, Bruce Irvin, seorang Oakland Raider menggoreng ikan setiap Jumat siang untuk siapapun yang mau. Dan dengan ke taman itu, taman itu jadi medianya.
The traditional belongs to all of us, and this is a simple one. You go into some neighborhoods -- beautiful architecture, beautiful parks -- but if people look a different way, it's not traditional. It's not until they leave and then new people come in where the traditional gets valued.
Yang tradisional adalah milik kita semua, dan ini yang sederhana. Anda pergi ke sebuah daerah -- arsitektur yang indah, taman yang indah -- tapi jika orang melihatnya berbeda, itu tidak tradisional. Tradisional hanya dihargai jika mereka pergi dan orang baru datang dan masuk.
A little quick story here: 1888 opera house, the oldest in San Francisco, sits in Bayview–Hunters Point. Over its history, it's provided theater, places for businesses, places for community gatherings, etc. It's also a place where Ruth Williams taught many black actors. Think: Danny Glover -- came from this place. But over time, with our 1980s federal practices, a lot of these community institutions fell into disrepair. With the San Francisco Arts Council, we were able to raise money and to actually refurbish the place. And we were able to have a community meeting. And within the community meeting, people got up and said, "This place feels like a plantation. Why are we locked in? Why can't we learn theater?" Over the years, people had started putting in chicken coops, hay bales, community gardens and all of these things, and they could not see that traditional thing behind them. But we said, we're bringing the community back. American Disability Act -- we were able to get five million dollars. And now, the tradition belongs to these brown and black people, and they use it. And they learn theater, after-school programs. There's no more chickens. But there is art.
Sebuah cerita singkat: rumah opera 1888, yang tertua di San Francisco, terletak di Bayview-Hunters Point. Sepanjang sejarah, ada teater, tempat bisnis, tempat kumpul komunitas, dan lainnya. Di sana juga tempat di mana Ruth Williams mengajar banyak aktor kulit hitam. Bayangkan: Danny Glover -- datang dari tempat ini. Tapi seiring waktu, dengan adanya praktik federal tahun 1980an, banyak lembaga masyarakat ini yang mengalami kemunduran. Melalui Dewan Seni San Fransisco, kami berhasil mengumpulkan uang dan memperbaiki tempat itu. Dan kami bisa mengadakan pertemuan komunitas. Dan dalam pertemuan komunitas, orang-orang berdiri dan berkata, "Tempat ini seperti perkebunan. kenapa kita dikunci? Kenapa kami tidak bisa belajar teater?" Selama bertahun-tahun, orang mulai menaruh kandang ayam, jerami, kebun bersama, dan hal seperti itu, dan mereka tidak bisa lihat hal tradisional di belakang mereka. Tapi kami bilang akan bawa kembali komunitas. UU Disabilitas Amerika -- kami berhasil dapat lima juta dolar. Dan sekarang, tradisi ini milik kulit hitam dan coklat, dan mereka pakai. Dan mereka belajar teater, program setelah sekolah. Tidak ada lagi ayam. Tapi ada seni.
And lastly, I want to share with you a project that we're currently working on, and I think it will force us all to remember in a really different way. There are lots of things in the landscape around us, and most of the time we don't know what's below the ground. Here in Charleston, South Carolina, a verdant piece of grass. Most people just pass by it daily. But underneath it, it's where they discovered Gadsden’s Wharf. We think more than 40 percent of the African diaspora landed here. How could you forget that? How could you forget? So we dug, dug, and we found the wharf. And so in 2020, Harry Cobb and myself and others are building the International African American Museum. And it will celebrate --
Dan terakhir, saya ingin menceritakan sebuah proyek yang sedang dikerjakan, dan saya rasa, akan memaksa kita semua untuk mengingat dengan cara yang berbeda. Ada banyak hal di lanskap sekitar kita, dan seringnya, kita tidak tahu ada apa di bawah sana. Ini ada di Charleston, Carolina Selatan, sepetak rumput hijau. Banyak orang yang biasa melewatinya. Tapi di bawah itu, adalah lokasi mereka menemukan Gadsden's Wharf. Kami rasa lebih dari 40 persen diaspora Afrika mendarat di sini. Bagaimana Anda bisa lupa itu? Bisa-bisanya lupa? Jadi kami menggali terus, dan menemukan dermaga. Jadi di tahun 2020, Harry Cobb, saya, dan yang lainnya akan membangun Museum Internasional Afrika Amerika. Dan akan merayakan --
(Applause)
(tepuk tangan)
this place where we know, beneath the ground, thousands died, perished, the food chain of the bay changed. Sharks came closer to the bay. It's where slaves were stored. Imagine this hallowed ground.
tempat yang kita kenal ini, di bawah tanah, ada ribuan yang wafat, tewas, rantai makanan di teluk berubah. Hiu makin mendekati teluk. Lokasi di mana para budak disimpan. Bayangkan tanah keramat ini.
So in this new design, the ground will erupt, and it will talk about this tension that sits below. The columns and the ground is made of tabby shales scooped up from the Atlantic, a reminder of that awful crossing. And as you make your way through on the other side, you are forced to walk through the remains of the warehouse, where slaves were stored on hot, sultry days, for days, and perished. And you'll have to come face-to-face with the Negro, who worked in the marshes, who was able to, with the sickle-cell trait, able to stand in high waters for long, long days. And at night, it'll be open 24/7, for everybody to experience.
Dengan desain baru, tanahnya akan meledak, dan akan bicara tentang tekanan yang ada di bawahnya. Tiang dan lantai akan terbuat dari serpihan batu yang diambil dari Atlantik, pengingat penyebrangan yang menyedihkan itu. Dan sambil Anda berjalan ke sisi lain, Anda akan diarahkan untuk berjalan melewati sisa gudang yang ada, di mana budak disimpan di hari yang panas dan gerah, berhari-hari dan dibunuh. Dan Anda harus berhadapan langsung dengan para Negro, yang bekerja di rawa, yang bisa berdiri di perairan tinggi seharian, dengan anemia sel sabit. Dan di malam hari, akan dibuka 24/7, untuk semua orang mencobanya.
But we'll also talk about those other beautiful things that my African ancestors brought with them: a love of landscape, a respect for the spirits that live in trees and rocks and water, the ethnobotanical aspects, the plants that we use for medicinal purposes. But more importantly, we want to remind people in Charleston, South Carolina, of the black bodies, because when you go to Charleston today, the Confederacy is celebrated, probably more than any other city, and you don't have a sense of blackness at all.
Tapi kami juga bicara tentang hal lain yang indah yang dibawa para leluhur Afrika saya: kecintaannya pada alam, penghormatan terhadap jiwa yang tinggal di pohon, batu, dan air, aspek etnobotanikal, tanaman yang digunakan sebagai obat. Tapi yang lebih penting, kami ingin mengingatkan orang-orang di Charleston, Carolina Selatan, akan tubuh orang hitam, karena saat Anda sekarang datang ke Charleston, Konfederasi dirayakan, mungkin lebih dari kota lain, dan Anda tidak akan merasakan "kehitaman" sama sekali.
The Brookes map, which was an image that helped abolitionists see and be merciful for that condition of the crossing, is something that we want to repeat. And I was taken by the conceptuality of this kind of digital print that sits in a museum in Charleston. So we decided to bring the water up on top of the surface, seven feet above tide, and then cast the figures full length, six feet, multiply them across the surface, in tabby, and then allow people to walk across that divide. And hopefully, as people come, the water will drain out, fill up, drain out and fill up. And you'll be forced to come to terms with that memory of place, that memory of that crossing, that at times seems very lucid and clear, but at other times, forces us again to reconcile the scale. And hopefully, as people move through this landscape every day, unreconciled, they'll remember, and hopefully when we remember, e pluribus unum.
Peta Brookes, yang merupakan gambar yang membantu para abolisionis melihat dan memaafkan kondisi persimpangan itu, adalah sesuatu yang ingin kami ulang. Dan saya terinspirasi konseptual dari cetak digital yang ada di sebuah museum di Charleston. Jadi kami memutuskan untuk membawa air ke permukaan, tujuh kaki di atas air pasang, dan mengambilnya sepenuhnya, enam kaki, mengalikannya di atas permukaan dalam tabby, dan mengizinkan orang untuk menyebrangi pemisah itu. Dan harapannya, dengan orang datang, air akan menyusut, naik, menyusut dan naik. Dan Anda akan dipaksa berdamai dengan kenangan tempat itu, kenangan penyebrangan itu, yang kadang tampak jelas dan jernih, tapi di lain waktu, memaksa kita lagi untuk berdamai dengan skala. Dan semoga, dengan orang melewati lansekap ini tiap hari, tidak berdamai, mereka akan ingat, dan semoga saat kita ingat, e pluribus unum.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(tepuk tangan)