I grew up in New York City, between Harlem and the Bronx. Growing up as a boy, we were taught that men had to be tough, had to be strong, had to be courageous, dominating -- no pain, no emotions, with the exception of anger -- and definitely no fear; that men are in charge, which means women are not; that men lead, and you should just follow and do what we say; that men are superior; women are inferior; that men are strong; women are weak; that women are of less value, property of men, and objects, particularly sexual objects. I've later come to know that to be the collective socialization of men, better known as the "man box." See this man box has in it all the ingredients of how we define what it means to be a man. Now I also want to say, without a doubt, there are some wonderful, wonderful, absolutely wonderful things about being a man. But at the same time, there's some stuff that's just straight up twisted, and we really need to begin to challenge, look at it and really get in the process of deconstructing, redefining, what we come to know as manhood.
Saya besar di New York di antara Harlem dan the Bronx. Tumbuh sebagai anak laki-laki, kami diajarkan bahwa laki-laki harus kuat, tangguh, berani, berkuasa -- tanpa rasa sakit, tanpa emosi, kecuali kemarahan -- dan sudah pasti tanpa rasa takut -- bahwa laki-laki berkuasa; yang berarti perempuan tidak; bahwa laki-laki adalah pemimpin dan Anda harus mengikuti dan melakukan apa yang kami katakan; bahwa laki-laki lebih tinggi, perempuan lebih rendah; bahwa laki-laki kuat; perempuan lemah; bahwa perempuan lebih tidak berharga -- milik para laki-laki -- dan objek, khususnya objek seksual. Belakangan saya memahami bahwa ini adalah proses sosialisasi kolektif laki-laki, atau yang lebih sering disebut "kotak laki-laki." Lihatlah, kotak laki-laki ini memiliki semua bahan-bahan tentang bagaimana kita menegaskan apa artinya menjadi seorang laki-laki. Saya juga ingin mengatakan, tanpa ragu, ada beberapa hal yang benar-benar indah tentang menjadi laki-laki. Namun pada saat yang sama, ada beberapa hal yang sungguh tidak benar. Dan kita benar-benar harus mulai meragukan, melihatnya dan benar-benar memulai proses membongkar dan menjelaskan kembali apa yang telah kita tahu sebagai dunia laki-laki.
This is my two at home, Kendall and Jay. They're 11 and 12. Kendall's 15 months older than Jay. There was a period of time when my wife -- her name is Tammie -- and I, we just got real busy and whip, bam, boom: Kendall and Jay. (Laughter) And when they were about five and six, four and five, Jay could come to me, come to me crying. It didn't matter what she was crying about, she could get on my knee, she could snot my sleeve up, just cry, cry it out. Daddy's got you. That's all that's important.
Ini adalah kedua anak saya, Kendall and Jay. Usia mereka 11 dan 12 tahun. Kendall 15 bulan lebih tua dari Jay. Ada saat di mana istri saya, namanya Tammie, dan saya, kami benar-benar sibuk hingga jungkir balik: Kendall dan Jay. (Tawa) Dan saat mereka berusia lima dan enam tahun, empat dan lima, Jay datang kepada saya, sambil menangis. Tidak masalah mengapa dia menangis, dia bisa naik ke lutut saya, membuang ingus di lengan baju saya, menangislah sepuasnya. Ayah bersamamu. Itulah yang penting.
Now Kendall on the other hand -- and like I said, he's only 15 months older than her -- he'd come to me crying, it's like as soon as I would hear him cry, a clock would go off. I would give the boy probably about 30 seconds, which means, by the time he got to me, I was already saying things like, "Why are you crying? Hold your head up. Look at me. Explain to me what's wrong. Tell me what's wrong. I can't understand you. Why are you crying?" And out of my own frustration of my role and responsibility of building him up as a man to fit into these guidelines and these structures that are defining this man box, I would find myself saying things like, "Just go in your room. Just go on, go on in your room. Sit down, get yourself together and come back and talk to me when you can talk to me like a --" what? (Audience: Man.) Like a man. And he's five years old. And as I grow in life, I would say to myself, "My God, what's wrong with me? What am I doing? Why would I do this?" And I think back. I think back to my father.
Di sisi lain Kendall -- dan seperti yang saya katakan, dia hanya 15 bulan lebih tua -- datang kepada saya sambil menangis sepertinya begitu saya mendengar Kendall menangis jam mulai berdetik. Saya akan memberinya sekitar 30 detik, yang berarti, saat dia sampai saya telah mengatakan hal-hal seperti, "Mengapa kamu menangis? Tegakkan kepalamu. Lihat ayah. Katakan ada masalah apa. Katakan pada ayah. Ayah tidak paham. Mengapa kamu menangis?" Dan karena rasa frustrasi saya sendiri akan tugas dan tanggung jawab saya untuk mendidiknya sebagai seorang laki-laki agar sesuai dengan petunjuk-petunjuk ini dan kerangka-kerangka dari kotak laki-laki ini. Saya akan mengatakan hal-hal seperti, "Masuk ke kamarmu. Masuklah, masuklah ke kamarmu. Duduk, tenangkan pikiranmu lalu kembali dan bicaralah pada ayah saat kamu bisa berbicara seperti seorang ... " Apa? (Penonton: Laki-laki.) "seorang laki-laki." Dan usianya baru lima tahun. Dan saat saya menjadi lebih dewasa, saya akan berkata kepada diri saya sendiri, "Ya Tuhan, ada apa dengan diri saya? Apa yang saya lakukan? Mengapa saya melakukannya? Dan saya berpikir kembali. Saya berpikir tentang ayah saya.
There was a time in my life where we had a very troubled experience in our family. My brother, Henry, he died tragically when we were teenagers. We lived in New York City, as I said. We lived in the Bronx at the time, and the burial was in a place called Long Island, it was about two hours outside of the city. And as we were preparing to come back from the burial, the cars stopped at the bathroom to let folks take care of themselves before the long ride back to the city. And the limousine empties out. My mother, my sister, my auntie, they all get out, but my father and I stayed in the limousine, and no sooner than the women got out, he burst out crying. He didn't want cry in front of me, but he knew he wasn't going to make it back to the city, and it was better me than to allow himself to express these feelings and emotions in front of the women. And this is a man who, 10 minutes ago, had just put his teenage son in the ground -- something I just can't even imagine. The thing that sticks with me the most is that he was apologizing to me for crying in front of me, and at the same time, he was also giving me props, lifting me up, for not crying.
Ada saat-saat dalam kehidupan saya saat kami mengalami hal-hal buruk dalam keluarga kami. Saudara saya, Henry, meninggal dengan tragis saat kami masih remaja. Kami tinggal di New York, seperti yang telah saya katakan. Saat itu kami tinggal di Bronx. Dan penguburannya dilakukan di sebuah tempat bernama Long Island, yang berjarak sekitar dua jam di luar kota. Dan saat kami bersiap-siap kembali dari penguburan itu. Mobil kami berhenti di kamar mandi agar orang-orang dapat menenangkan diri sebelum perjalanan panjang kembali ke kota. Dan orang-orang keluar dari limousine. Ibu saya, saudari saya, bibi saya, semuanya keluar, namun ayah dan saya tetap di dalam mobil. Dan segera setelah para wanita keluar, ayah mulai menangis. Dia tidak ingin menangis di depan saya. Namun dia tahu dia tidak akan tahan hingga kembali ke kota, dan lebih baik baginya daripada jika ayah mengekspresikan perasaan dan emosi ini di depan para wanita. Dan ini adalah pria yang, 10 menit yang lalu baru saja menguburkan putranya yang masih remaja -- sesuatu yang tidak dapat saya bayangkan. Hal yang paling saya ingat adalah ayah minta maaf kepada saya karena menangis di depan saya. Dan pada saat yang sama, ayah juga membiarkan saya bersandar, menyanjung saya, karena tidak menangis.
I come to also look at this as this fear that we have as men, this fear that just has us paralyzed, holding us hostage to this man box. I can remember speaking to a 12-year-old boy, a football player, and I asked him, I said, "How would you feel if, in front of all the players, your coach told you you were playing like a girl?" Now I expected him to say something like, I'd be sad; I'd be mad; I'd be angry, or something like that. No, the boy said to me -- the boy said to me, "It would destroy me." And I said to myself, "God, if it would destroy him to be called a girl, what are we then teaching him about girls?"
Lalu saya juga melihat hal ini sebagai ketakutan yang kita miliki sebagai laki-laki ketakutan yang melumpuhkan kita, membuat kita menjadi tahanan dalam kotak laki-laki ini. Saya ingat saya pernah berkata kepada seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, pemain bola dan saya bertanya "Bagaimana perasaanmu jika di depan seluruh pemain lainnya pelatihmu berkata kamu bermain seperti anak perempuan?" Saya menduga dia akan menjawab Saya akan merasa sedih, marah, gusar, atau sejenisnya. Tidak, anak ini berkata -- anak ini berkata kepada saya, "Itu akan membuatku hancur." Dan saya berkata kepada diri saya sendiri, "Ya Tuhan, jika dia merasa hancur saat dikatakan seperti anak perempuan, lantas apa yang kita ajarkan kepadanya tentang perempuan?"
(Applause)
(Tepuk tangan)
It took me back to a time when I was about 12 years old. I grew up in tenement buildings in the inner city. At this time we're living in the Bronx, and in the building next to where I lived there was a guy named Johnny. He was about 16 years old, and we were all about 12 years old -- younger guys. And he was hanging out with all us younger guys. And this guy, he was up to a lot of no good. He was the kind of kid who parents would have to wonder, "What is this 16-year-old boy doing with these 12-year-old boys?" And he did spend a lot of time up to no good. He was a troubled kid. His mother had died from a heroin overdose. He was being raised by his grandmother. His father wasn't on the set. His grandmother had two jobs. He was home alone a lot. But I've got to tell you, we young guys, we looked up to this dude, man. He was cool. He was fine. That's what the sisters said, "He was fine." He was having sex. We all looked up to him.
Hal itu membawa saya kembali saat saya berusia 12 tahun. Saya tumbuh di rumah petak di tengah kota. Saat itu kami tinggal di Bronx Dan di rumah sebelah tempat saya tinggal ada seorang pria bernama Johnny. Usianya sekitar 16 tahun, dan kami semua sektiar 12 tahun -- lebih muda. Dan dia bergaul dengan anak-anak yang lebih muda seperti kita. Dan dia adalah orang yang tidak baik. Dia adalah jenis anak-anak yang akan membuat para orang tua bingung, "Apa yang dilakukan anak berumur 16 tahun ini dengan anak-anak lain berumur 12 tahun itu?" Dan dia banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak baik. Dia adalah anak yang bermasalah. Ibunya meninggal karena overdosis heroin. Dia dibesarkan oleh neneknya. Ayahnya tidak bersamanya. Neneknya memiliki dua pekerjaan. Dia sering berada di rumah sendirian. Namun saya harus memberi tahu Anda, kami anak-anak muda kami segan pada orang ini. Dia mengagumkan, baik. Itulah yang dikatakan gadis-gadis, "Dia baik." Dia berhubungan seks. Kami semua segan padanya.
So one day, I'm out in front of the house doing something -- just playing around, doing something -- I don't know what. He looks out his window; he calls me upstairs; he said, "Hey Anthony." They called me Anthony growing up as a kid. "Hey Anthony, come on upstairs." Johnny call, you go. So I run right upstairs. As he opens the door, he says to me, "Do you want some?" Now I immediately knew what he meant. Because for me growing up at that time, and our relationship with this man box, "Do you want some?" meant one of two things: sex or drugs -- and we weren't doing drugs. Now my box, my card, my man box card, was immediately in jeopardy. Two things: One, I never had sex. We don't talk about that as men. You only tell your dearest, closest friend, sworn to secrecy for life, the first time you had sex. For everybody else, we go around like we've been having sex since we were two. There ain't no first time. (Laughter) The other thing I couldn't tell him is that I didn't want any. That's even worse. We're supposed to always be on the prowl. Women are objects, especially sexual objects.
Suatu hari, saya berada di depan rumah sedang melakukan sesuatu -- hanya bermain-main, mengerjakan sesuatu -- saya tidak tahu apa. Dia melihat keluar dari jendelanya, memanggil saya ke atas, dia berkata, "Hey, Anthony." Mereka memanggil saya Anthony saat saya kecil. "Hey Anthony, naiklah ke atas." Johnny memanggil, Anda harus pergi. Jadi saya naik ke atas. Saat dia membuka pintu, dia berkata, "Apa kamu mau?" Saya segera tahu apa yang dimaksudnya. Karena pada waktu itu bagi saya yang sedang tumbuh dan hubungan kami dengan kotak laki-laki ini, apa kamu mau berarti salah satu dari dua hal, seks atau obat-obatan -- dan kami tidak menggunakan obat-obatan. Kini kotak saya, kartu, kartu kotak laki-laki saya dalam sekejap berada dalam bahaya. Dua hal. Pertama, saya belum pernah berhubungan seks. Sebagai laki-laki, kami tidak membicarakannya. Anda hanya memberi tahu teman terdekat, yang disumpah merahasiakannya seumur hidup, saat pertama Anda berhubungan seks. Bagi orang lain, kami berbuat seolah-olah telah berhubungan seks sejak usia dua tahun. Tidak ada kali pertama. (Tawa) Hal lain yang tidak dapat saya katakan adalah saya tidak ingin melakukannya. Hal itu lebih buruk. Kami harus selalu bertingkah seperti sedang mencari mangsa. Perempuan adalah objek, khususnya objek seksual.
Anyway, so I couldn't tell him any of that. So, like my mother would say, make a long story short, I just simply said to Johnny, "Yes." He told me to go in his room. I go in his room. On his bed is a girl from the neighborhood named Sheila. She's 16 years old. She's nude. She's what I know today to be mentally ill, higher-functioning at times than others. We had a whole choice of inappropriate names for her. Anyway, Johnny had just gotten through having sex with her. Well actually, he raped her, but he would say he had sex with her. Because, while Sheila never said no, she also never said yes.
Jadi saya tidak dapat mengatakan semua hal itu. Jadi, seperti yang dikatakan ibu saya, buatlah cerita panjang menjadi singkat. Saya hanya berkata kepada Johnny, "Ya." Dia menyuruh saya masuk ke kamarnya. Saya masuk ke kamarnya. Di atas tempat tidurnya ada seorang gadis bernama Sheila. Usianya 16 tahun. Dia tidak mengenakan apa-apa. Sekarang saya tahu kalau dia itu jiwanya terganggu tapi terkadang bisa berfungsi lebih baik dari orang sakit jiwa lainnya. Kami punya banyak pilihan sebutan yang tidak pantas untuknya. Johnny baru saja berhubungan seks dengannya. Sebenarnya, dia memperkosanya, namun dia akan berkata dia berhubungan seks. Karena, walaupun Sheila tidak pernah berkata tidak, dia juga tidak pernah berkata iya.
So he was offering me the opportunity to do the same. So when I go in the room, I close the door. Folks, I'm petrified. I stand with my back to the door so Johnny can't bust in the room and see that I'm not doing anything, and I stand there long enough that I could have actually done something. So now I'm no longer trying to figure out what I'm going to do; I'm trying to figure out how I'm going to get out of this room. So in my 12 years of wisdom, I zip my pants down, I walk out into the room, and lo and behold to me, while I was in the room with Sheila, Johnny was back at the window calling guys up. So now there's a living room full of guys. It was like the waiting room in the doctor's office. And they asked me how was it, and I say to them, "It was good," and I zip my pants up in front of them, and I head for the door.
Jadi dia menawarkan saya kesempatan untuk melakukan hal yang sama. Jadi saat saya masuk ke kamarnya, saya menutup pintu. Saya langsung membatu. Punggung saya menempel di pintu supaya Johnny tidak dapat mendobrak masuk dan melihat bahwa saya tidak melakukan apapun. Dan saya berdiri cukup lama sehingga sebenarnya saya bisa saja melakukan sesuatu. Kini saya tidak lagi mencoba berpikir apa yang akan saya lakukan. Saya mencoba berpikir bagaimana saya akan keluar dari kamar ini. Jadi, dengan kearifan anak 12 tahun, saya menurunkan retsleting celana saya, saya berjalan keluar. Dan lihatlah saya, saat saya berada di kamar dengan Sheila, Johnny kembali ke jendela dan memanggil orang-orang lain. Sehingga sekarang ruang tengah itu penuh dengan pria. Seperti ruang tunggu di tempat praktek dokter. Dan mereka bertanya bagaimana rasanya. Dan saya berkata, "Enak." Dan saya menarik retsleting celana saya di depan mereka, dan menuju ke pintu.
Now I say this all with remorse, and I was feeling a tremendous amount of remorse at that time, but I was conflicted, because, while I was feeling remorse, I was excited, because I didn't get caught. But I knew I felt bad about what was happening. This fear, getting outside the man box, totally enveloped me. It was way more important to me, about me and my man box card than about Sheila and what was happening to her.
Kini saya mengatakan hal ini dengan penuh penyesalan dan saya benar-benar menyesal pada saat itu, namun ada pertentangan, karena, walaupun saya menyesal, saya merasa senang karena saya tidak ketahuan, namun saya tahu saya merasa bersalah dengan apa yang terjadi. Ketakutan untuk keluar dari kotak laki-laki ini benar-benar menyelubungi saya. Bagi saya yang lebih penting adalah saya dan kartu kotak laki-laki saya daripada Sheila dan apa yang terjadi padanya.
See collectively, we as men are taught to have less value in women, to view them as property and the objects of men. We see that as an equation that equals violence against women. We as men, good men, the large majority of men, we operate on the foundation of this whole collective socialization. We kind of see ourselves separate, but we're very much a part of it. You see, we have to come to understand that less value, property and objectification is the foundation and the violence can't happen without it. So we're very much a part of the solution as well as the problem. The center for disease control says that men's violence against women is at epidemic proportions, is the number one health concern for women in this country and abroad.
Jadi bersama-sama, kita sebagai laki-laki diajari bahwa perempuan memiliki nilai yang lebih rendah, memandang mereka sebagai milik dan objek para laki-laki. Kita melihatnya sebagai hal yang sama dengan kekerasan terhadap perempuan. Kita sebagai laki-laki yang baik kebanyakan laki-laki kita bekerja atas dasar sosialisasi kolektif ini. Kita merasa diri kita tidak seperti itu, namun kita tetaplah bagian dari itu. Anda lihat, kita harus mulai memahami bahwa nilai yang lebih rendah, hak milik, dan menjadikan objek adalah dasarnya dan kekerasan tidak dapat terjadi tanpa hal-hal itu. Jadi kita adalah bagian dari jalan keluar sekaligus masalahnya. Pusat pengendalian penyakit mengatakan bahwa kekerasan laki-laki terhadap perempuan seperti wabah penyakit adalah masalah kesehatan nomor satu bagi wanita di negara ini dan di luar negeri.
So quickly, I'd like to just say, this is the love of my life, my daughter Jay. The world I envision for her -- how do I want men to be acting and behaving? I need you on board. I need you with me. I need you working with me and me working with you on how we raise our sons and teach them to be men -- that it's okay to not be dominating, that it's okay to have feelings and emotions, that it's okay to promote equality, that it's okay to have women who are just friends and that's it, that it's okay to be whole, that my liberation as a man is tied to your liberation as a woman. (Applause)
Jadi secara singkat, saya ingin mengatakan ini cinta seumur hidup saya, putri saya Jay. Dunia yang saya impikan baginya, bagaimana saya ingin laki-laki untuk bertingkah laku? Saya ingin Anda ikut serta, saya ingin Anda bersama saya. Saya ingin kita saling bekerja sama dalam mendidik putra kita dan mengajari mereka bagaimana cara menjadi laki-laki -- bahwa tidak masalah untuk tidak menguasai, bahwa tidak masalah untuk memiliki perasaan dan emosi, bahwa tidak masalah untuk mendukung kesetaraan, bahwa tidak masalah menganggap perempuan hanya sebagai teman, bahwa tidak masalah untuk menjadi utuh, bahwa kebebasan saya sebagai seorang laki-laki terikat pada kebebasan Anda sebagai wanita.
I remember asking a nine-year-old boy, I asked a nine-year-old boy, "What would life be like for you, if you didn't have to adhere to this man box?" He said to me, "I would be free."
Saya ingat pernah bertanya kepada seorang anak laki-laki yang berusia 9 tahun "Bagaimana hidupmu jika kamu tidak perlu mematuhi kotak laki-laki ini?" Dia berkata kepada saya, "Saya akan bebas."
Thank you folks.
Terima kasih, teman-teman.
(Applause)
(Tepuk tangan)