From 1975 to 1979, the Communist Party of Kampuchea ruled Cambodia with an iron fist, perpetrating genocide that killed one fourth of the country’s population. Roughly 1 million Cambodians were executed as suspected political enemies or due to their ethnicities. The regime targeted Muslim Cham, Vietnamese, Chinese, Thai, and Laotian individuals. Outside these executions, one million more Cambodians died of starvation, disease, or exhaustion from overwork.
Sejak tahun 1975 hingga 1979, Partai Komunis Kamboja memerintah Kamboja dengan tangan besi, melakukan genosida yang membunuh seperempat populasi negeri. Sekitar satu juta orang Kamboja dieksekusi karena dicurigai sebagai musuh politik atau karena suku bangsa mereka. Target rezim tersebut adalah Muslim Cham, orang Vietnam, Cina, Thailand, dan orang Laos. Di luar dari eksekusi tersebut, satu juta warga Kamboja mati karena kelaparan, penyakit, atau kelelahan akibat kerja berlebih.
This genocidal regime rose to power amidst decades of political turmoil. Following World War II, Cambodia’s monarch, Prince Norodom Sihanouk, successfully negotiated the country’s independence after roughly 90 years of French colonial rule. But Sihanouk’s strict policies provoked friction with many citizens. Especially militant communist rebels, who had long opposed the French and now turned their attention to overthrowing the prince.
Rezim genosida ini mulai menguat di tengah kekacauan politik puluhan tahun. Setelah Perang Dunia II, raja Kamboja, Pangeran Norodom Sihanouk, berhasil menegosiasikan kemerdekaan negara setelah sekitar 90 tahun dikuasai kolonial Perancis. Namun, kebijakan ketat Sihanouk memunculkan gesekan dengan banyak warga. Terutama para pemberontak komunis militan, yang telah lama melawan Perancis dan mulai mengalihkan perhatiannya untuk menggulingkan pangeran.
This unstable situation was further complicated by a war raging outside Cambodia’s borders. In Vietnam, millions of American troops were supporting the non-communist south against the communist north. While the US petitioned for Cambodia’s support, Prince Sihanouk tried to stay neutral. But in 1970, he was overthrown by his prime minister who allowed American troops to bomb regions of Cambodia in their efforts to target North Vietnamese fighters. These attacks killed thousands of Cambodian civilians.
Situasi yang tidak stabil ini semakin rumit dengan adanya perang yang berkecamuk di luar perbatasan Kamboja. Di Vietnam, jutaan tentara Amerika mendukung pihak non-komunis di selatan yang melawan pihak komunis di utara. Sementara AS mengajukan petisi untuk meminta dukungan Kamboja, Pangeran Sihanouk mencoba tetap netral. Namun, pada tahun 1970, ia digulingkan oleh perdana menterinya yang mengizinkan pasukan Amerika mengebom wilayah Kamboja dalam upaya mereka untuk menyerang pejuang Vietnam Utara. Serangan ini membunuh ribuan warga sipil Kamboja.
To regain power after being overthrown, the prince allied with his political enemies. The Communist Party of Kampuchea, also known as the Khmer Rouge, was led by Cambodians who dreamed of making their nation a classless society of rice farmers. They opposed capitalist Western imperialism and sought to lead the country to self-sufficiency. But to the public, they mostly represented a force fighting the pro-American government. Angered by destructive American bombing and encouraged by the prince’s call to arms, many Cambodians joined the Khmer Rouge. Eventually, a full blown civil war erupted.
Untuk mengembalikan kekuatannya setelah digulingkan, sang pangeran bekerja sama dengan musuh politiknya. Partai Komunis Kamboja, dikenal juga sebagai Khmer Merah, dipimpin oleh orang-orang Kamboja yang memimpikan negara mereka menjadi masyarakat petani tanpa kelas sosial. Mereka menentang imperialisme kapitalis Barat dan berusaha untuk memimpin negara menuju swasembada. Namun, bagi publik, mereka umumnya mewakili kekuatan yang melawan pemerintahan pro-Amerika. Kemarahan akan pengeboman Amerika yang merusak dan dorongan pangeran yang memanggil untuk berperang menyebabkan banyak warga Kamboja yang masuk Khmer Merah. Pada akhirnya, perang sipil pun meletus.
Over five years of fighting, more than half a million Cambodians died in this brutal conflict. But the violence didn’t end when the rebels conquered Phnom Penh in April 1975. Upon taking the capital, the Khmer Rouge executed anyone associated with the previous government. Prince Sihanouk remained stripped of power and was put under house arrest, and the Khmer Rouge began evacuating city residents to the countryside. Those who couldn't make the trip by foot were abandoned, separating countless families. In this new regime, every citizen was stripped of their belongings and given the same clothes and haircut. Private property, money, and religion were outlawed.
Lebih dari lima tahun berperang, lebih dari setengah juta warga Kamboja mati pada konflik yang brutal ini. Namun, kekerasan tidak berakhir saat para pemberontak menguasai Phnom Penh pada April 1975. Setelah mengambil alih ibu kota, Khmer Merah mengeksekusi siapa pun yang berkaitan dengan pemerintahan sebelumnya. Pangeran Sihanouk tetap kehilangan kekuasaan dan menjadi tahanan rumah, dan Khmer Merah mulai mengungsikan penduduk kota ke pedesaan. Orang yang tidak bisa berjalan kaki ditinggalkan, memisahkan keluarga tak terhitung. Di rezim baru ini, tiap warga dirampas kepemilikannya serta diberikan baju dan potongan rambut yang sama. Barang pribadi, uang, dan agama dilarang.
The new agricultural workforce was expected to produce
Tenaga kerja pertanian baru diharapkan memproduksi
impossible amounts of rice, and local leaders would be killed if they couldn’t fulfill quotas. Many prioritized their orders to the capital above feeding workers. Underfed, overworked, and suffering from malaria and malnutrition, thousands perished. The Khmer Rouge members enforcing the system were no safer. When their plan failed to produce rice at the expected rates, Khmer Rouge leadership became paranoid. They believed that internal enemies were trying to sabotage the revolution, and they began arresting and executing anyone perceived as a threat. This brutality continued for almost four years. Finally, in 1979, Vietnamese troops working alongside defected Khmer Rouge members took control of the country. This political upheaval triggered yet another civil war that wouldn’t end until the 1990s.
jumlah beras yang tak terhingga, dan pemimpin lokal akan dibunuh jika tidak bisa memenuhi kuota. Banyak yang memprioritaskan pesanannya untuk ibu kota di atas beri makan pekerja. Karena kurang makan, kerja berlebih, serta menderita malaria dan malnutrisi, ribuan tewas. Anggota Khmer Merah yang menegakkan sistem juga tidak lebih aman. Saat rencana mereka gagal memproduksi beras sesuai target, kepemimpinan Khmer Merah menjadi paranoid. Mereka percaya musuh internal mencoba menyabotase revolusi, dan mereka mulai menahan dan mengeksekusi siapa pun yang dianggap ancaman. Kebiadaban ini berlanjut sampai hampir empat tahun. Akhirnya, pada tahun 1979, pasukan Vietnam bekerja sama dengan anggota Khmer Merah yang membelot untuk mengambil alih negara. Pergolakan politik ini memicu perang sipil lain yang tidak berakhir sampai tahun 1990-an.
In the years that followed, there was no easy path to justice for victims and their families. A hybrid UN-Cambodian tribunal was established in 2003, but it only tried Khmer Rouge in the topmost leadership positions. Lower level Khmer Rouge members appeared in court as well, but they weren't placed on trial. Instead, they gave testimony and offered insight into the cruel system that had enabled their superiors’ crimes. Some of these perpetrators were even legally acknowledged as victims, because they constantly feared for their lives and committed violence as a means of self-preservation.
Tahun-tahun berikutnya, tidak ada jalan yang mudah menuju keadilan bagi korban dan keluarganya. Pengadilan gabungan PBB-Kamboja didirikan pada tahun 2003, tapi mereka hanya mengadili pemimpin yang paling atas. Anggota level bawah Khmer Merah juga hadir di pengadilan, tetapi mereka tidak diadili. Malahan, mereka memberi testimoni dan gambaran mengenai sistem yang kejam yang memudahkan kejahatan atasan mereka. Bahkan, secara hukum, beberapa pelaku tersebut dianggap korban karena mereka terus-menerus ketakutan selama hidup dan melakukan kekerasan sebagai bentuk perlindungan diri.
This perception of low level Khmer Rouge members as victims rather than perpetrators extended beyond the courtroom. Like other Cambodians, most Khmer Rouge members lost family, suffered hunger, were stripped of their homes and belongings, and were overworked to exhaustion. And the paranoia amongst Khmer Rouge leadership had led to a higher rate of execution for Khmer Rouge members than the ethnic majority population. As a result, many Cambodians today don't just see the genocide as one committed against ethnic minority groups, but also as a broad campaign of violence impacting the entire population.
Anggapan mengenai anggota Khmer Merah level bawah sebagai korban daripada pelaku berlanjut hingga di luar pengadilan. Seperti warga Kamboja lain, sebagian besar anggota Khmer Merah kehilangan keluarga, mengalami kelaparan, dirampas rumah dan hartanya, dan kerja berlebihan sampai kelelahan. Paranoia di antara pemimpin Khmer Merah menyebabkan tingkat eksekusi lebih tinggi pada anggota Khmer Merah daripada populasi etnis mayoritas. Akibatnya, banyak orang Kamboja sekarang tidak hanya melihat genosida sebagai tindakan melawan kelompok etnis minoritas, tetapi juga kampanye kekerasan besar yang berdampak pada seluruh masyarakat.
As of 2021, only three people have received prison sentences. Many victims would like the tribunal to pursue further trials of Khmer Rouge leaders. However, a 2018 national survey revealed that most victims feel the tribunal has contributed to justice. In the wake of such tragedy, it’s tempting to paint conflicts in simplistic terms— casting one group as oppressor and the other as oppressed. But many Cambodians live with a more complex reality. Everyone suffered, even those who contributed to the suffering of others. This perception doesn’t excuse any acts of violence. But how a society remembers traumatic events plays a part in who is seen as victim, who is seen as perpetrator, and how a shattered society can build a path into the future.
Hingga tahun 2021, hanya tiga orang menerima hukuman penjara. Banyak korban yang menginginkan pemeriksaan pemimpin Khmer Merah dilanjutkan. Namun, survei nasional 2018 mengungkapkan sebagian besar korban merasa pengadilan telah memberikan keadilan. Setelah tragedi tersebut, sangat menggoda untuk melukiskan konflik dalam istilah sederhana— memilih satu kelompok sebagai penindas dan yang lain sebagai tertindas. Namun, banyak orang Kamboja hidup dengan realitas yang lebih kompleks. Semua menderita, bahkan pihak yang berkontribusi pada penderitaan orang lain. Persepsi ini tidak membenarkan tindakan kekerasan mana pun. Namun, cara masyarakat mengingat kejadian traumatis berperan dalam menentukan siapa yang terlihat sebagai korban atau pelaku, dan bagaimana masyarakat yang terguncang bisa membangun jalan menuju masa depan.