It's the Second World War. A German prison camp. And this man, Archie Cochrane, is a prisoner of war and a doctor, and he has a problem. The problem is that the men under his care are suffering from an excruciating and debilitating condition that Archie doesn't really understand. The symptoms are this horrible swelling up of fluids under the skin. But he doesn't know whether it's an infection, whether it's to do with malnutrition. He doesn't know how to cure it. And he's operating in a hostile environment. And people do terrible things in wars. The German camp guards, they've got bored. They've taken to just firing into the prison camp at random for fun. On one particular occasion, one of the guards threw a grenade into the prisoners' lavatory while it was full of prisoners. He said he heard suspicious laughter. And Archie Cochrane, as the camp doctor, was one of the first men in to clear up the mess. And one more thing: Archie was suffering from this illness himself.
Pada saat Perang Dunia II, di sebuah kamp tawanan perang, pria ini, Archie Cochrane, adalah seorang tawanan perang sekaligus seorang dokter, yang sedang menghadapi persoalan. Persoalannya adalah orang-orang yang berada dalam perawatannya sedang menderita kondisi tubuh yang lemah disertai rasa sakit luar biasa. yang tidak dapat dipahami oleh Archie. Gejalanya adalah penumpukan cairan di bawah kulit. Namun dia tidak mengetahui secara pasti apakah itu akibat infeksi atau berhubungan dengan malnutrisi. Dia tidak tahu cara menyembuhkannya. Sementara dia melakukan praktek di lingkungan yang sangat berbahaya. Orang melakukan hal-hal buruk dalam perang. Para sipir kamp itu, mereka merasa sangat bosan. Mereka menembak ke arah tawanan perang secara acak untuk bersenang-senang. Suatu kali, salah seorang penjaga melempar granat ke dalam toilet yang sedang digunakan oleh para tawanan. Dia berkata bahwa dia mendengar tawa yang mencurigakan. Dan sebagai dokter di kamp, Archie Cochrane adalah orang pertama yang harus mengatasi masalah ini. Satu hal lagi: Archie sendiri juga mengidap penyakit ini.
So the situation seemed pretty desperate. But Archie Cochrane was a resourceful person. He'd already smuggled vitamin C into the camp, and now he managed to get hold of supplies of marmite on the black market. Now some of you will be wondering what marmite is. Marmite is a breakfast spread beloved of the British. It looks like crude oil. It tastes ... zesty. And importantly, it's a rich source of vitamin B12. So Archie splits the men under his care as best he can into two equal groups. He gives half of them vitamin C. He gives half of them vitamin B12. He very carefully and meticulously notes his results in an exercise book. And after just a few days, it becomes clear that whatever is causing this illness, marmite is the cure.
Hal tersebut membuat situasi kian buruk. Namun Archie Cochrane adalah orang yang panjang akal. Selama ini dia menyelundupkan vitamin C ke dalam kamp itu, dan sekarang dia berhasil mendapatkan pasokan marmite dari pasar gelap. Anda tentu menduga-duga apa itu marmite. Marmite adalah sejenis sarapan yang disukai orang Inggris. Tampilannya seperti minyak mentah. Rasanya... seperti irisan kulit jeruk. Dan yang terpenting, merupakan sumber yang kaya akan vitamin B12. Lalu Archie membagi pasiennya sebisa mungkin menjadi dua kelompok. Dia memberi vitamin C kepada kelompok yang satu. Dia memberi vitamin B12 kepada kelompok yang lain. Dia dengan cermat dan seksama mencatat hasil pengamatannya dalam sebuah buku catatan. Setelah beberapa hari menjadi jelas bahwa apapun yang menyebabkan penyakit ini, obatnya adalah marmite.
So Cochrane then goes to the Germans who are running the prison camp. Now you've got to imagine at the moment -- forget this photo, imagine this guy with this long ginger beard and this shock of red hair. He hasn't been able to shave -- a sort of Billy Connolly figure. Cochrane, he starts ranting at these Germans in this Scottish accent -- in fluent German, by the way, but in a Scottish accent -- and explains to them how German culture was the culture that gave Schiller and Goethe to the world. And he can't understand how this barbarism can be tolerated, and he vents his frustrations. And then he goes back to his quarters, breaks down and weeps because he's convinced that the situation is hopeless. But a young German doctor picks up Archie Cochrane's exercise book and says to his colleagues, "This evidence is incontrovertible. If we don't supply vitamins to the prisoners, it's a war crime." And the next morning, supplies of vitamin B12 are delivered to the camp, and the prisoners begin to recover.
Lalu Cochrane menemui orang Jerman yang mengelola kamp tersebut. Anda harus membayangkan saat itu -- lupakan foto ini, bayangkan pria ini dengan janggut panjang dan rambut merah. Dia tidak sempat bercukur -- berpenampilan mirip Billy Connolly. Cochrane, dengan berapi-api menjelaskan pada orang-orang Jerman ini dengan logat Skotlandia -- dalam bahasa Jerman yang fasih, namun dengan logat Skotlandia -- menjelaskan kepada mereka bahwa budaya Jerman adalah budaya yang membawa Schiller dan Goethe ke dunia. Dan dia tidak dapat memahami bagaimana barbarisme ini dapat ditoleransi. Dia meluapkan perasaan frustrasinya. Dia pun kemudian kembali ke biliknya, patah arang dan menangis karena dia yakin sudah tidak ada harapan lagi. Namun seorang dokter muda Jerman mengambil buku catatan Archie Cochrane dan berkata kepada rekan-rekannya, "Bukti ini tidak terbantahkan. Jika kita tidak memasok vitamin kepada para tawanan, maka ini adalah kejahatan perang." Dan keesokan paginya, pasokan vitamin B12 dikirimkan ke kamp tersebut, dan para tawanan berangsur-angsur pulih.
Now I'm not telling you this story because I think Archie Cochrane is a dude, although Archie Cochrane is a dude. I'm not even telling you the story because I think we should be running more carefully controlled randomized trials in all aspects of public policy, although I think that would also be completely awesome. I'm telling you this story because Archie Cochrane, all his life, fought against a terrible affliction, and he realized it was debilitating to individuals and it was corrosive to societies. And he had a name for it. He called it the God complex. Now I can describe the symptoms of the God complex very, very easily. So the symptoms of the complex are, no matter how complicated the problem, you have an absolutely overwhelming belief that you are infallibly right in your solution.
Saya menceritakan hal ini kepada Anda karena menurut saya Archie Cochrane hebat (a dude), meskipun Archie Cochrane memang seorang pria (a dude). Saya bahkan tidak menceritakan hal ini kepada Anda karena saya merasa kita seharusnya melakukan percobaan acak yang lebih terkendali dalam segala aspek kebijakan publik, meskipun saya pikir hal tersebut juga sangat bagus. Saya menceritakan hal ini kepada Anda karena Archie Cochrane, sepanjang hidupnya, berjuang melawan penderitaan. Dan dia menyadari bahwa hal ini membebani si penderita dan juga berpengaruh buruk pada lingkungannya. Dan dia memberi nama untuk hal ini. Dia menyebutnya kompleksitas Ketuhanan. Saya dapat mendeskripsikan gejala dari kompleksitas Ketuhanan dengan sangat mudah. Jadi gejala dari kompleksitas tersebut adalah, terlepas dari betapa rumitnya sebuah persoalan, Anda memiliki kepercayaan yang berlebihan bahwa solusi Anda sungguh benar.
Now Archie was a doctor, so he hung around with doctors a lot. And doctors suffer from the God complex a lot. Now I'm an economist, I'm not a doctor, but I see the God complex around me all the time in my fellow economists. I see it in our business leaders. I see it in the politicians we vote for -- people who, in the face of an incredibly complicated world, are nevertheless absolutely convinced that they understand the way that the world works. And you know, with the future billions that we've been hearing about, the world is simply far too complex to understand in that way.
Archie adalah seorang dokter. Jadi dia banyak bergaul dengan sesama dokter. Dan dokter sangat menderita kompleksitas Ketuhanan. Saya seorang ekonom, bukan dokter, namun saya melihat kompleksitas Ketuhanan ini setiap saat pada diri rekan-rekan ekonom saya. Saya melihatnya pada para pelaku usaha. Saya melihatnya pada politisi yang kita pilih -- orang yang, di hadapan segala kerumitan dunia, keyakinannya tidak tergoyahkan bahwa mereka memahami bagaimana dunia bekerja. Dan Anda tahu, dengan wacana "Future Billions" yang sudah Anda dengar, dunia kini jauh terlalu kompleks untuk dapat dipahami dengan cara itu.
Well let me give you an example. Imagine for a moment that, instead of Tim Harford in front of you, there was Hans Rosling presenting his graphs. You know Hans: the Mick Jagger of TED. (Laughter) And he'd be showing you these amazing statistics, these amazing animations. And they are brilliant; it's wonderful work. But a typical Hans Rosling graph: think for a moment, not what it shows, but think instead about what it leaves out. So it'll show you GDP per capita, population, longevity, that's about it. So three pieces of data for each country -- three pieces of data. Three pieces of data is nothing. I mean, have a look at this graph.
Sebagai contoh. Bayangkan untuk sesaat bahwa, bukan Tim Harford yang ada di depan Anda, melainkan Hans Rosling menyampaikan grafiknya. Anda mengenal Hans: Mick Jagger-nya TED. (Tawa) Dan dia memaparkan statistik luar biasa ini, animasi luar biasa ini. Dan memang hebat; Sungguh pekerjaan luar biasa. Namun grafik khas Hans Rosling: Pikirkan sejenak, bukan apa yang tampak, melainkan apa yang terlewatkan. Ini menunjukkan kepada Anda PDB per kapita, populasi, usia harapan hidup, hanya itu. Tiga jenis data untuk setiap negara -- tiga jenis data. Tiga jenis data itu tidak banyak. Maksud saya, perhatikanlah grafik ini.
This is produced by the physicist Cesar Hidalgo. He's at MIT. Now you won't be able to understand a word of it, but this is what it looks like. Cesar has trolled the database of over 5,000 different products, and he's used techniques of network analysis to interrogate this database and to graph relationships between the different products. And it's wonderful, wonderful work. You show all these interconnections, all these interrelations. And I think it'll be profoundly useful in understanding how it is that economies grow. Brilliant work. Cesar and I tried to write a piece for The New York Times Magazine explaining how this works. And what we learned is Cesar's work is far too good to explain in The New York Times Magazine.
Ini dibuat oleh fisikawan Cesar Hidalgo. Dia dari MIT. Anda tidak akan mengerti sedikitpun dari grafik ini, tapi demikianlah tampaknya. Cesar membangun basis data dari lebih dari 5.000 produk berbeda, dan dia menggunakan teknik analisis jaringan untuk membangun basis data ini dan menggambarkan hubungan antara produk-produk yang berbeda. Dan hasilnya luar biasa, pekerjaan luar biasa. Anda dapat melihat keterkaitannya, semua keterhubungan ini. Dan menurut saya ini secara ilmiah sangat berguna dalam pengertian bagaimana ekonomi tumbuh. Pekerjaan yang luar biasa. Cesar dan saya berusaha menulis untuk majalah New York Times menjelaskan hal ini. Dan yang kami pelajari adalah bahwa pekerjaan Cesar terlalu sukar untuk dijelaskan dalam majalah New York Times.
Five thousand products -- that's still nothing. Five thousand products -- imagine counting every product category in Cesar Hidalgo's data. Imagine you had one second per product category. In about the length of this session, you would have counted all 5,000. Now imagine doing the same thing for every different type of product on sale in Walmart. There are 100,000 there. It would take you all day. Now imagine trying to count every different specific product and service on sale in a major economy such as Tokyo, London or New York. It's even more difficult in Edinburgh because you have to count all the whisky and the tartan. If you wanted to count every product and service on offer in New York -- there are 10 billion of them -- it would take you 317 years. This is how complex the economy we've created is. And I'm just counting toasters here. I'm not trying to solve the Middle East problem. The complexity here is unbelievable. And just a piece of context -- the societies in which our brains evolved had about 300 products and services. You could count them in five minutes.
5.000 produk -- itu belum seberapa. 5.000 produk -- bayangkan menghitung semua kategori produk dalam data Cesar Hidalgo. Bayangkan Anda menggunakan satu detik untuk setiap kategori produk. Dalam sekitar durasi sesi ini, Anda telah menghitung seluruh 5.000 tersebut. Kini bayangkan Anda melakukan hal yang sama untuk setiap jenis produk berbeda yang dipasarkan di Walmart. Terdapat 100.000 produk di sana. Itu akan memakan waktu seharian. Kini bayangkan mencoba menghitung seluruh produk dan layanan berbeda secara spesifik yang dipasarkan dalam sistem ekonomi utama seperti Tokyo, London atau New York. Bahkan lebih sulit lagi di Edinburgh karena Anda harus menghitung semua whisky dan tartan. Jika Anda hendak menghitung seluruh produk dan jasa yang ditawarkan di New York -- ada sekitar 10 milyar -- itu akan memakan waktu 317 tahun. Begitu rumit ekonomi yang kita ciptakan. Dan saya hanya menghitung panggangan roti. Saya tidak sedang mencoba memecahkan masalah Timur Tengah. Kerumitannya tidak dapat dipercaya. Sebagai tambahan -- masyarakat di mana kita tinggal memiliki sekitar 300 produk dan jasa. Anda dapat menghitungnya dalam lima menit.
So this is the complexity of the world that surrounds us. This perhaps is why we find the God complex so tempting. We tend to retreat and say, "We can draw a picture, we can post some graphs, we get it, we understand how this works." And we don't. We never do. Now I'm not trying to deliver a nihilistic message here. I'm not trying to say we can't solve complicated problems in a complicated world. We clearly can. But the way we solve them is with humility -- to abandon the God complex and to actually use a problem-solving technique that works. And we have a problem-solving technique that works. Now you show me a successful complex system, and I will show you a system that has evolved through trial and error.
Jadi inilah kerumitan dunia di sekitar kita. Inilah mungkin mengapa kita menganggap kompleksitas Ketuhanan sangat menarik. Kita cenderung mundur dan berkata, "Kita bisa menggambarkannya, kita dapat menjabarkannya menggunakan grafik, kita mengerti, kita mengetahui cara kerjanya." Padahal kita tidak. Kita tidak pernah mengerti. Saya tidak berusaha menyampaikan kata-kata kosong disini. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak mampu memecahkan persoalan yang rumit dalam dunia yang juga rumit. Kita jelas mampu. Namun kita memecahkannya dengan kerendahan hati -- mengabaikan kompleksitas Ketuhanan dan menggunakan teknik pemecahan masalah yang berfungsi. Dan kita memiliki teknik pemecahan masalah yang berfungsi. Tunjukkan kepada saya sistem kompleks yang berhasil, dan akan saya tunjukkan sistem yang dikembangkan melalui ralat dan galas.
Here's an example. This baby was produced through trial and error. I realize that's an ambiguous statement. Maybe I should clarify it. This baby is a human body: it evolved. What is evolution? Over millions of years, variation and selection, variation and selection -- trial and error, trial and error. And it's not just biological systems that produce miracles through trial and error. You could use it in an industrial context.
Berikut ini sebuah contoh. Bayi ini dibuat melalui proses ralat dan galas. Saya paham bahwa itu adalah pernyataan ambigu. Mungkin saya harus memperjelas. Bayi ini adalah tubuh manusia: dia berkembang. Apa yang disebut evolusi? Lebih dari jutaan tahun, variasi dan seleksi, variasi dan seleksi -- ralat dan galas, ralat dan galas. Dan tidak hanya sistem biologi yang menghasilkan keajaiban melalui ralat dan galas. Anda dapat menggunakannya dalam dunia industri.
So let's say you wanted to make detergent. Let's say you're Unilever and you want to make detergent in a factory near Liverpool. How do you do it? Well you have this great big tank full of liquid detergent. You pump it at a high pressure through a nozzle. You create a spray of detergent. Then the spray dries. It turns into powder. It falls to the floor. You scoop it up. You put it in cardboard boxes. You sell it at a supermarket. You make lots of money. How do you design that nozzle? It turns out to be very important. Now if you ascribe to the God complex, what you do is you find yourself a little God. You find yourself a mathematician; you find yourself a physicist -- somebody who understands the dynamics of this fluid. And he will, or she will, calculate the optimal design of the nozzle. Now Unilever did this and it didn't work -- too complicated. Even this problem, too complicated.
Anggaplah Anda hendak membuat deterjen. Katakanlah Anda adalah Unilever dan Anda hendak membuat deterjen di pabrik dekat Liverpool. Bagaimana Anda melakukannya? Anda harus memiliki tangki super besar berisi deterjen cair. Anda memompanya menggunakan tekanan tinggi melalui sebuah corong. Anda menghasilkan cipratan deterjen. Lalu cipratan itu mengering. Terbentuklah bubuk. Kemudian bertaburan di lantai. Anda menyendoknya. Anda mengemasnya dalam kardus. Anda menjualnya ke pasar swalayan. Anda menghasilkan banyak uang. Bagaimana Anda mendesain corong itu? Ternyata hal tersebut sangat penting. Jika Anda bersandar pada kompleksitas Ketuhanan, Anda akan berlaku agak seperti Tuhan. Anda seorang ahli matematikawan; Anda seorang fisikawan -- yang memahami dinamika fluida. Dan dia akan, memperhitungkan desain optimal untuk corong tersebut. Unilever sudah pernah mencobanya dan tidak berhasil -- terlalu rumit. Bahkan masalah ini, terlalu rumit.
But the geneticist Professor Steve Jones describes how Unilever actually did solve this problem -- trial and error, variation and selection. You take a nozzle and you create 10 random variations on the nozzle. You try out all 10; you keep the one that works best. You create 10 variations on that one. You try out all 10. You keep the one that works best. You try out 10 variations on that one. You see how this works, right? And after 45 generations, you have this incredible nozzle. It looks a bit like a chess piece -- functions absolutely brilliantly. We have no idea why it works, no idea at all. And the moment you step back from the God complex -- let's just try to have a bunch of stuff; let's have a systematic way of determining what's working and what's not -- you can solve your problem.
Namun ahli genetika Profesor Steve Jones menerangkan bagaimana Unilever memecahkan persoalan ini -- ralat dan galas, variasi dan seleksi. Ambilah sebuah corong lalu buat 10 variasi acak dari corong tersebut. Cobalah kesepuluhnya, simpan sebuah yang memberikan hasil terbaik. Buat 10 variasi lagi dari yang sebuah itu. Coba kesepuluhnya. Simpan sebuah yang memberi hasil terbaik. Coba 10 variasi lagi dari yang sebuah itu. Begitulah caranya. Dan setelah 45 generasi, Anda memperoleh corong luar biasa ini. Terlihat agak seperti bidak catur -- berfungsi dengan amat sangat baik. Kita tidak tahu mengapa bisa bekerja, sama sekali tidak tahu. Dan jika Anda kembali kepada kerumitan Ketuhanan -- mari kita mencoba berbagai benda; mari secara sistematis menentukan mana yang berfungsi dan mana yang tidak -- Anda dapat memecahkan masalah Anda.
Now this process of trial and error is actually far more common in successful institutions than we care to recognize. And we've heard a lot about how economies function. The U.S. economy is still the world's greatest economy. How did it become the world's greatest economy? I could give you all kinds of facts and figures about the U.S. economy, but I think the most salient one is this: ten percent of American businesses disappear every year. That is a huge failure rate. It's far higher than the failure rate of, say, Americans. Ten percent of Americans don't disappear every year. Which leads us to conclude American businesses fail faster than Americans, and therefore American businesses are evolving faster than Americans. And eventually, they'll have evolved to such a high peak of perfection that they will make us all their pets -- (Laughter) if, of course, they haven't already done so. I sometimes wonder. But it's this process of trial and error that explains this great divergence, this incredible performance of Western economies. It didn't come because you put some incredibly smart person in charge. It's come through trial and error.
Proses ralat dan galas ini sebenarnya lazim digunakan dalah institusi terkemuka lebih dari yang kita bayangkan. Kita sering mendengar tentang fungsi ekonomi. Ekonomi Amerika Serikat adalah ekonomi terbaik di dunia. Bagaimana itu bisa menjadi ekonomi terbaik di dunia? Saya dapat memaparkan berbagai fakta dan menjelaskan mengenai ekonomi AS, namun yang terpenting menurut saya adalah ini: 10 persen bisnis di Amerika lenyap setiap tahunnya. Itu adalah angka kegagalan yang sangat tinggi. Angka kegagalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan, katakanlah, orang Amerika. 10 persen orang Amerika tidak lenyap setiap tahunnya. Yang membawa kita pada kesimpulan bahwa bisnis di Amerika gagal lebih cepat daripada orang Amerika, dan oleh karena itu bisnis di Amerika berkembang lebih cepat dibandingkan orang Amerika. Pada akhirnya, bisnis berkembang hingga titik kesempurnaan yang akan membuat bisnis menjadi majikan kita -- (Tawa) jika saja, saat ini itu belum terjadi. Saya kadang ingin tahu. Namun proses ralat dan galas inilah yang menjelaskan perbedaan besar ini, kinerja luar biasa dari ekonomi Barat. Bukan berhasil karena seorang yang amat pintar bertanggung jawab atas semuanya. Namun lebih karena ralat dan galas.
Now I've been sort of banging on about this for the last couple of months, and people sometimes say to me, "Well Tim, it's kind of obvious. Obviously trial and error is very important. Obviously experimentation is very important. Now why are you just wandering around saying this obvious thing?"
Saya sudah mencoba memecahkan hal ini selama beberapa bulan, dan orang kadang berkata kepada saya, "Tim, semuanya sudah jelas. Jelas bahwa ralat dan galas sangatlah penting. Jelas bahwa eksperimen sangatlah penting. Kenapa tidak Anda katakan saja demikian?"
So I say, okay, fine. You think it's obvious? I will admit it's obvious when schools start teaching children that there are some problems that don't have a correct answer. Stop giving them lists of questions every single one of which has an answer. And there's an authority figure in the corner behind the teacher's desk who knows all the answers. And if you can't find the answers, you must be lazy or stupid. When schools stop doing that all the time, I will admit that, yes, it's obvious that trial and error is a good thing. When a politician stands up campaigning for elected office and says, "I want to fix our health system. I want to fix our education system. I have no idea how to do it. I have half a dozen ideas. We're going to test them out. They'll probably all fail. Then we'll test some other ideas out. We'll find some that work. We'll build on those. We'll get rid of the ones that don't." -- when a politician campaigns on that platform, and more importantly, when voters like you and me are willing to vote for that kind of politician, then I will admit that it is obvious that trial and error works, and that -- thank you.
Kemudian saya berkata, baiklah. Menurut Anda hal itu jelas? Saya mengakui hal itu jelas ketika sekolah mulai mengajari anak-anak bahwa beberapa masalah tidaklah memiliki jawaban yang benar. Berhenti memberi mereka daftar pertanyaan yang setiap pertanyaannya memiliki sebuah jawaban. Dan ada pihak yang berwenang di sudut di belakang meja guru yang mengetahui semua jawabannya. Dan jika Anda tidak bisa menemukan jawabannya, maka Anda pasti malas atau bodoh. Ketika sekolah berhenti melakukan hal demikian, saya akan mengakuinya, ya, sangat jelas bahwa ralat dan galas adalah hal yang baik. Ketika politisi berdiri berkampanye untuk dipilih dan berkata, "Saya akan memperbaiki sistem kesehatan kita. Saya akan memperbaiki sistem pendidikan kita. Saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya memiliki banyak sekali ide. Kita akan mencoba semuanya. Mungkin semuanya akan gagal. Lalu kita akan mencoba beberapa ide lain. Kita akan menemukan beberapa yang berhasil. Kita membangun berdasarkan hal itu. Kita singkirkan ide yang tidak berhasil." Ketika politisi berkampanye atas dasar tersebut, dan lebih penting lagi, ketika pemilih seperti Anda dan saya bersedia memilih poltisi yang demikian, maka akan saya akui bahwa sudah jelas bahwa ralat dan galas bekerja, dan -- terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Until then, until then I'm going to keep banging on about trial and error and why we should abandon the God complex. Because it's so hard to admit our own fallibility. It's so uncomfortable. And Archie Cochrane understood this as well as anybody. There's this one trial he ran many years after World War II. He wanted to test out the question of, where is it that patients should recover from heart attacks? Should they recover in a specialized cardiac unit in hospital, or should they recover at home? All the cardiac doctors tried to shut him down. They had the God complex in spades. They knew that their hospitals were the right place for patients, and they knew it was very unethical to run any kind of trial or experiment.
Hingga saat itu, hingga saat itu Saya akan tetap berpegang pada kebenaran ralat dan galas dan itulah sebabnya mengapa kita seharusnya mengabaikan kompleksitas Ketuhanan. Karena sangatlah berat untuk mengakui kelemahan kita. Sangatlah tidak nyaman. Dan Archie Cochrane memahami hal ini seperti halnya setiap orang. Ada satu percobaan yang dilakukannya lama sesudah Perang Dunia II berakhir. Dia ingin meneliti pertanyaan, di mana pasien seharusnya menjalani pemulihan dari serangan jantung? Apakah mereka seharusnya menjalani pemulihan di unit khusus jantung di rumah sakit, ataukah mereka seharusnya menjalaninya di rumah? Semua dokter jantung mencoba membungkamnya. Kompleksitas Ketuhanan dalam diri mereka luar biasa besar. Mereka tahu bahwa rumah sakit adalah tempat yang tepat bagi pasien. Dan mereka tahu akan sangat tidak etis menjalankan percobaan atau eksperimen.
Nevertheless, Archie managed to get permission to do this. He ran his trial. And after the trial had been running for a little while, he gathered together all his colleagues around his table, and he said, "Well, gentlemen, we have some preliminary results. They're not statistically significant. But we have something. And it turns out that you're right and I'm wrong. It is dangerous for patients to recover from heart attacks at home. They should be in hospital." And there's this uproar, and all the doctors start pounding the table and saying, "We always said you were unethical, Archie. You're killing people with your clinical trials. You need to shut it down now. Shut it down at once." And there's this huge hubbub. Archie lets it die down. And then he says, "Well that's very interesting, gentlemen, because when I gave you the table of results, I swapped the two columns around. It turns out your hospitals are killing people, and they should be at home. Would you like to close down the trial now, or should we wait until we have robust results?" Tumbleweed rolls through the meeting room.
Pada akhirnya, Archie berhasil memperoleh ijin untuk melakukannya. Dia menjalankan percobaannya. Dan setelah percobaannya berjalan beberapa saat, dia mengumpulkan seluruh rekan-rekannya di sekeliling mejanya dan dia berkata, "Saudara-saudara, kita sudah memperoleh hasil sementara. Hasil ini tidak signifikan secara statistik. Namun kita memperoleh sesuatu. Dan ternyata Anda benar dan saya salah. Sangat berbahaya bagi pasien untuk menjalani pemulihan serangan jantung di rumah. Mereka seharusnya berada di rumah sakit." Dan timbulah keramaian, dan para dokter mulai memukul-mukul meja dan berkata, "Kami sudah katakan bahwa ini tidak etis, Archie. Anda membunuh orang-orang dengan percobaan klinis ini. Anda harus berhenti melakukannya sekarang. Berhenti sekarang juga." Keributan pun berlanjut. Archie menunggu keributan itu berlalu. Kemudian dia berkata, "Sangat menarik, Tuan-tuan, karena saat saya menampilkan tabel hasil tadi, saya menukar dua kolom. Kenyataannya bahwa rumah sakit Andalah yang membunuh orang-orang, dan mereka seharusnya berada di rumah. Apakah Anda hendak menutup percobaan ini sekarang, atau kita tunggu hingga hasil pastinya keluar?" Sunyi senyap keadaan ruang pertemuan itu.
But Cochrane would do that kind of thing. And the reason he would do that kind of thing is because he understood it feels so much better to stand there and say, "Here in my own little world, I am a god, I understand everything. I do not want to have my opinions challenged. I do not want to have my conclusions tested." It feels so much more comfortable simply to lay down the law. Cochrane understood that uncertainty, that fallibility, that being challenged, they hurt. And you sometimes need to be shocked out of that. Now I'm not going to pretend that this is easy. It isn't easy. It's incredibly painful.
Namun Cochrane melakukan hal tersebut. Alasan dia melakukan hal tersebut adalah karena dia mengerti bahwa terasa lebih baik untuk berdiri dan mengatakan, "Inilah dunia kecil saya, saya adalah Tuhan, saya memahami semua hal. Saya tidak ingin pendapat saya dibantah. Saya tidak ingin kesimpulan saya diuji. Terasa jauh lebih nyaman untuk memaksakan suatu hal. Cochrane mengerti bahwa ketidakpastian, bahwa kelemahan, bahwa menghadapi tantangan, adalah menyakitkan. Dan Anda kadang perlu dikejutkan untuk menyadari hal itu. Saya tidak akan berpura-pura bahwa ini mudah. Ini tidak mudah. Ini sangat menyakitkan.
And since I started talking about this subject and researching this subject, I've been really haunted by something a Japanese mathematician said on the subject. So shortly after the war, this young man, Yutaka Taniyama, developed this amazing conjecture called the Taniyama-Shimura Conjecture. It turned out to be absolutely instrumental many decades later in proving Fermat's Last Theorem. In fact, it turns out it's equivalent to proving Fermat's Last Theorem. You prove one, you prove the other. But it was always a conjecture. Taniyama tried and tried and tried and he could never prove that it was true. And shortly before his 30th birthday in 1958, Yutaka Taniyama killed himself. His friend, Goro Shimura -- who worked on the mathematics with him -- many decades later, reflected on Taniyama's life. He said, "He was not a very careful person as a mathematician. He made a lot of mistakes. But he made mistakes in a good direction. I tried to emulate him, but I realized it is very difficult to make good mistakes."
Dan karena saya berbicara mengenai hal ini dan melakukan penelitian tentang hal ini, saya selalu dihantui oleh sesuatu yang dikatakan seorang matematikawan Jepang mengenai hal ini. Tidak lama sesudah perang, pemuda ini, Yutaka Taniyama, membangun asumsi luar biasa ini disebut dengan Asumsi Taniyama-Shimura. Yang ternyata sangat berguna berpuluh-puluh tahun kemudian dalam pembuktian Teorema Terakhir Fermat. Pada kenyataannya, hal tersebut ekuivalen dengan membuktikan Teorema Terakhir Fermat. Anda membuktikan satu hal, Anda membuktikan hal lain. Namun itu tetap merupakan sebuah asumsi. Taniyama mencoba dan terus mencoba dan dia tidak pernah dapat membuktikan kebenarannya. Hingga tak lama sebelum ulang tahunnya yang ke-30 di tahun 1958, Yutaka Taniyama bunuh diri. Sahabatnya, Goro Shimura -- yang bekerja sama dalam bidang matematika dengannya -- berpuluh-puluh tahun kemudian, mengenang kehidupan Taniyama. Dia berkata, "Dia bukan orang yang teliti sebagai seorang matematikawan. Dia melakukan banyak kesalahan. Namun kesalahan yang dibuatnya mengarah kepada hal lain. Saya mencoba menirunya, namun saya menyadari bahwa sangat sulit untuk melakukan kesalahan yang bagus."
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)