"To do two things at once is to do neither." It's a great smackdown of multitasking, isn't it, often attributed to the Roman writer Publilius Syrus, although you know how these things are, he probably never said it. What I'm interested in, though, is -- is it true? I mean, it's obviously true for emailing at the dinner table or texting while driving or possibly for live tweeting at TED Talk, as well. But I'd like to argue that for an important kind of activity, doing two things at once -- or three or even four -- is exactly what we should be aiming for.
"Melakukan dua hal secara bersamaan adalah tidak melakukan keduanya." Pukulan hebat untuk yang gemar melakukan banyak hal sekaligus, sering dikaitkan dengan penulis Romawi Publilius Syrus, meski Anda tahu seperti apa biasanya, ia mungkin tidak pernah mengatakannya. Yang menarik adalah - apakah ini benar? Maksud saya, itu benar jika kita mengirim email di meja makan atau mengetik sms saat menyetir atau mungkin juga mencuit langsung di TED Talk. Tapi saya ingin mendebat bahwa untuk kegiatan yang penting, melakukan dua hal bersamaan atau tiga atau bahkan empat -- adalah hal yang harus jadi tujuan kita.
Look no further than Albert Einstein. In 1905, he published four remarkable scientific papers. One of them was on Brownian motion, it provided empirical evidence that atoms exist, and it laid out the basic mathematics behind most of financial economics. Another one was on the theory of special relativity. Another one was on the photoelectric effect, that's why solar panels work, it's a nice one. Gave him the Nobel prize for that one. And the fourth introduced an equation you might have heard of: E equals mc squared. So, tell me again how you shouldn't do several things at once.
Kita lihat Albert Einstein sebagai contoh. Pada 1905, ia menerbitkan empat makalah sains yang menakjubkan. Salah satunya tentang gerakan Brownian, makalah tersebut mencantumkan bukti empiris bahwa atom itu ada, dan hal itu mendasari matematika untuk ekonomi finansial. Yang lainnya tentang teori mengenai relativitas khusus. Yang lainnya lagi tentang efek fotoelektrik, itulah mengapa panel surya berfungsi, teori yang bagus Ia mendapat hadiah Nobel untuk itu. Dan keempat, memperkenalkan persamaan yang mungkin sudah Anda dengar E sama dengan mc kuadrat. Jadi, coba katakan bahwa kita tidak boleh mengerjakan banyak hal sekaligus
Now, obviously, working simultaneously on Brownian motion, special relativity and the photoelectric effect -- it's not exactly the same kind of multitasking as Snapchatting while you're watching "Westworld." Very different. And Einstein, yeah, well, Einstein's -- he's Einstein, he's one of a kind, he's unique. But the pattern of behavior that Einstein was demonstrating, that's not unique at all. It's very common among highly creative people, both artists and scientists, and I'd like to give it a name: slow-motion multitasking.
Nah, tentu saja, mengerjakan secara bersamaan gerak Brownian, relativitas khusus, dan efek fotoelektrik -- tidak sama dengan mengerjakan banyak hal seperti ber-Snapchat sambil menonton "Westworld." Sangat berbeda. Dan Einstein, yah, Einstein - ya Einstein, satu-satunya, ia unik. Tapi pola dari perilaku yang ditunjukkan oleh Einstein, itu tidak unik sama sekali. Hal ini sangat biasa bagi kalangan orang- orang kreatif, seperti seniman dan ilmuwan, dan saya memberinya nama: melakukan banyak hal dalam gerak lambat.
Slow-motion multitasking feels like a counterintuitive idea. What I'm describing here is having multiple projects on the go at the same time, and you move backwards and forwards between topics as the mood takes you, or as the situation demands. But the reason it seems counterintuitive is because we're used to lapsing into multitasking out of desperation. We're in a hurry, we want to do everything at once. If we were willing to slow multitasking down, we might find that it works quite brilliantly. Sixty years ago, a young psychologist by the name of Bernice Eiduson began a long research project into the personalities and the working habits of 40 leading scientists. Einstein was already dead, but four of her subjects won Nobel prizes, including Linus Pauling and Richard Feynman. The research went on for decades, in fact, it continued even after professor Eiduson herself had died. And one of the questions that it answered was, "How is it that some scientists are able to go on producing important work right through their lives?" What is it about these people? Is it their personality, is it their skill set, their daily routines, what?
Melakukan banyak hal dalam gerak lambat terasa tidak masuk akal. Yang saya deskripsikan di sini adalah mengerjakan banyak tugas yang sedang berlangsung bersamaan, dan Anda bergerak maju mundur dari topik ke topik sesuai suasana hati Anda, atau sesuai tuntutan keadaan. Ini terlihat tidak masuk akal karena kita terbiasa melakukan banyak hal karena putus asa. Kita buru-buru, kita ingin melakukan semua sekaligus. Jika kita mau melambatkan banyak hal yang kita kerjakan, kita akan menemukan bahwa hal ini bekerja dengan sangat baik. 60 tahun lalu, seorang psikolog muda bernama Bernice Eiduson memulai proyek riset yang panjang mengenai kepribadian dan kebiasaan kerja dari 40 orang ilmuwan terkemuka. Einstein sudah meninggal, tapi empat orang subjeknya memenangkan hadiah nobel, termasuk Linus Pauling dan Richard Feynman. Riset itu berjalan puluhan tahun, bahkan, masih berlanjut saat Profesor Eiduson sendiri sudah meningggal. Dan salah satu pertanyaan yang terjawab adalah "Bagaimana ilmuwan mampu untuk terus menghasilkan karya penting selama hidup mereka?" Apa yang membuat mereka begitu? Apakah kepribadiannya, apakah bakatnya, kebiasaan sehari-harinya atau apa?
Well, a pattern that emerged was clear, and I think to some people surprising. The top scientists kept changing the subject. They would shift topics repeatedly during their first 100 published research papers. Do you want to guess how often? Three times? Five times? No. On average, the most enduringly creative scientists switched topics 43 times in their first 100 research papers. Seems that the secret to creativity is multitasking in slow motion. Eiduson's research suggests we need to reclaim multitasking and remind ourselves how powerful it can be. And she's not the only person to have found this. Different researchers, using different methods to study different highly creative people have found that very often they have multiple projects in progress at the same time, and they're also far more likely than most of us to have serious hobbies. Slow-motion multitasking among creative people is ubiquitous. So, why?
Pola yang muncul sudah jelas, dan saya kira mengejutkan untuk sebagian orang. Ilmuwan-ilmuwan top terus mengubah topiknya. Mereka akan berganti topik berkali-kali sebanyak 100 makalah pertama yang diterbitkan. Apa Anda mau menebak seberapa sering? Tiga kali? Lima kali? Tidak. Rata-rata, ilmuwan-ilmuwan yang paling kreatif berganti topik 43 kali dalam 100 makalah mereka yang pertama. Sepertinya rahasia dari kreativitas adalah melakukan banyak hal sekaligus dalam tempo lambat. Riset oleh Eiduson menghimbau bahwa kita perlu melakukan banyak hal sekaligus dan mengingatkan diri sendiri betapa hebatnya hal tersebut. Dan bukan hanya ia yang menemukan hal ini. Peneliti-peneliti lain, yang menggunakan metode lain untuk mempelajari orang-orang kreatif lainnya menemukan bahwa sering kali mereka sedang mengerjakan banyak proyek di waktu bersamaan, dan mereka juga lebih cenderung punya hobi yang serius dibandingkan kita. Melakukan banyak hal secara pelan banyak dilakukan orang-orang kreatif. Jadi, mengapa?
I think there are three reasons. And the first is the simplest. Creativity often comes when you take an idea from its original context and you move it somewhere else. It's easier to think outside the box if you spend your time clambering from one box into another. For an example of this, consider the original eureka moment. Archimedes -- he's wrestling with a difficult problem. And he realizes, in a flash, he can solve it, using the displacement of water. And if you believe the story, this idea comes to him as he's taking a bath, lowering himself in, and he's watching the water level rise and fall. And if solving a problem while having a bath isn't multitasking, I don't know what is.
Menurut saya ada tiga alasan. Dan yang pertama adalah yang paling mudah. Kreativitas sering kali datang ketika Anda mencomot ide dari konteks aslinya dan dipindah ke tempat lain. Lebih mudah berpikir di luar kotak jika Anda menghabiskan waktu memanjat dari kotak ke kotak lain. Contohnya adalah, pikirkan momen eureka yang asli. Archimedes -- ia bergumul dengan masalah yang rumit. Dan ia menyadari dengan segera, dapat menyelesaikannya, menggunakan perpindahan air. Dan jika Anda percaya ceritanya, ide ini datang pada ia ketika sedang mandi, mencelupkan badannya ke dalam, dan ia melihat air naik dan turun. Jika menyelesaikan masalah sambil mandi bukan melakukan banyak hal sekaligus, Saya tidak tahu lagi.
The second reason that multitasking can work is that learning to do one thing well can often help you do something else. Any athlete can tell you about the benefits of cross-training. It's possible to cross-train your mind, too. A few years ago, researchers took 18 randomly chosen medical students and they enrolled them in a course at the Philadelphia Museum of Art, where they learned to criticize and analyze works of visual art. And at the end of the course, these students were compared with a control group of their fellow medical students. And the ones who had taken the art course had become substantially better at performing tasks such as diagnosing diseases of the eye by analyzing photographs. They'd become better eye doctors. So if we want to become better at what we do, maybe we should spend some time doing something else, even if the two fields appear to be as completely distinct as ophthalmology and the history of art.
Alasan kedua ini bisa berhasil adalah mempelajari satu hal dengan baik sering kali bisa membantu Anda melakukan hal lain. Atlet-atlet bisa memberitahu Anda manfaat cross-training. Pikiran kita juga bisa di-cross-training. Beberapa tahun lalu, para peneliti memilih 18 orang mahasiswa kedokteran secara acak dan mereka diikutkan kelas di Museum Seni Philadelphia, di mana mereka belajar mencermati dan menganalisa karya seni rupa. Dan di akhir kelas, mereka dibandingkan dengan kelompok pengendali dari sesama mahasiswa kedokteran. Dan mereka yang mengikuti kelas seni menjadi lebih baik dalam menjalankan tugas-tugas seperti mediagnosa penyakit mata dengan menganalisa foto-foto. Mereka menjadi dokter mata yang lebih baik. Jadi bila kita ingin menjadi lebih baik dalam melakukan sesuatu, mungkin kita harus menyempatkan melakukan hal lain, bahkan jika kedua hal tersebut sangat jauh berbeda seperti ophthalmologi dan sejarah seni.
And if you'd like an example of this, should we go for a less intimidating example than Einstein? OK. Michael Crichton, creator of "Jurassic Park" and "E.R." So in the 1970s, he originally trained as a doctor, but then he wrote novels and he directed the original "Westworld" movie. But also, and this is less well-known, he also wrote nonfiction books, about art, about medicine, about computer programming. So in 1995, he enjoyed the fruits of all this variety by penning the world's most commercially successful book. And the world's most commercially successful TV series. And the world's most commercially successful movie. In 1996, he did it all over again.
Dan jika Anda menginginkan contohnya, Bagaimana kalau kita ke contoh yang tidak sehebat Einstein? OK. Michael Crichton, pencipta "Jurassic Park" dan "ER." Jadi di tahun 1970-an, ia awalnya belajar sebagai dokter, tapi kemudian ia menulis novel dan ia menyutradari film "Westworld" yang asli. Tapi juga, yang ini tidak terlalu terkenal, ia menulis buku-buku non-fiksi, tentang seni, obat-obatan, tentang program komputer. Jadi di tahun 1995, ia menikmati hasil keberagamannya dari menulis buku paling laris manis sedunia. Dan serial TV paling laris manis sedunia. Dan film paling laris manis sedunia. Di tahun 1996, ia melakukan semuanya lagi.
There's a third reason why slow-motion multitasking can help us solve problems. It can provide assistance when we're stuck. This can't happen in an instant. So, imagine that feeling of working on a crossword puzzle and you can't figure out the answer, and the reason you can't is because the wrong answer is stuck in your head. It's very easy -- just go and do something else. You know, switch topics, switch context, you'll forget the wrong answer and that gives the right answer space to pop into the front of your mind.
Alasan ketiga mengapa melakukan banyak hal dengan pelan bisa membantu mengatasi masalah. Hal ini dapat membantu saat kita macet. Hal ini tidak terjadi secara instan. Jadi, bayangkan perasaan ketika sedang mengerjakan teka teki silang dan Anda tidak bisa menjawabnya, dan alasannya adalah karena jawaban yang salah tertancap di kepala Anda. Gampang sekali -- pergi dan lakukan sesuatu yang lain. Seperti, ganti topik, ganti konteks jawaban salah akan terlupakan dan itu akan memberikan tempat untuk jawaban yang benar di pikiran Anda.
But on the slower timescale that interests me, being stuck is a much more serious thing. You get turned down for funding. Your cell cultures won't grow, your rockets keep crashing. Nobody wants to publish you fantasy novel about a school for wizards. Or maybe you just can't find the solution to the problem that you're working on. And being stuck like that means stasis, stress, possibly even depression. But if you have another exciting, challenging project to work on, being stuck on one is just an opportunity to do something else.
Tapi untuk skala waktu yang lebih perlahan, yang mana menarik bagi saya, Macet adalah hal yang sangat serius. Pendanaan Anda ditolak. Kultur sel Anda tidak mau tumbuh, roket Anda terus terjatuh. Tidak ada yang mau menerbitkan novel fantasi Anda tentang sekolah penyihir. Atau mungkin Anda tidak bisa mendapat solusi atas persoalan yang Anda hadapi. Dan terjebak seperti itu artinya diam, stres, bahkan mungkin depresi. Tapi jika Anda punya proyek lain yang seru dan menantang untuk dikerjakan, macet di satu proyek adalah kesempatan untuk melakukan hal lain.
We could all get stuck sometimes, even Albert Einstein. Ten years after the original, miraculous year that I described, Einstein was putting together the pieces of his theory of general relativity, his greatest achievement. And he was exhausted. And so he turned to an easier problem. He proposed the stimulated emission of radiation. Which, as you may know, is the S in laser. So he's laying down the theoretical foundation for the laser beam, and then, while he's doing that, he moves back to general relativity, and he's refreshed. He sees what the theory implies -- that the universe isn't static. It's expanding. It's an idea so staggering, Einstein can't bring himself to believe it for years. Look, if you get stuck and you get the ball rolling on laser beams, you're in pretty good shape.
Terkadang kita bisa mengalami macet, bahkan Albert Einstein. 10 tahun setelah tahun awal dan menakjubkan yang saya jelaskan tadi, Einstein menyatukan potongan teori tentang relativitas umum, pencapaian terbesarnya. Dan ia kelelahan. Maka ia beralih ke masalah yang lebih mudah. ia mengajukan stimulasi emisi radiasi. Yang mana, seperti Anda tahu, adalah S pada laser. Jadi ia meletakkan fondasi untuk sinar laser, lalu, sambil melakukannya, ia pindah kembali ke relativitas umum dan merasa segar. ia melihat implikasi teorinya -- bahwa dunia tidak diam. Dunia membesar. Ide ini sangat mencengangkan, Einstein sendiri tidak percaya sampai bertahun-tahun. Jadi, kalo Anda macet dan Anda justru mulai mengerjakan sinar laser, Anda dalam kondisi bagus.
(Laughter)
(Tertawa)
So, that's the case for slow-motion multitasking. And I'm not promising that it's going to turn you into Einstein. I'm not even promising it's going to turn you into Michael Crichton. But it is a powerful way to organize our creative lives.
Jadi, itulah mengerjakan banyak hal dengan gerak lambat. Dan saya tidak berjanji hal itu akan menjadikan Anda Einstein. Saya bahkan tidak janji Anda akan menjadi Michael Crichton. Tapi ini adalah cara yang jitu untuk mengatur kreativitas kita.
But there's a problem. How do we stop all of these projects becoming completely overwhelming? How do we keep all these ideas straight in our minds? Well, here's a simple solution, a practical solution from the great American choreographer, Twyla Tharp. Over the last few decades, she's blurred boundaries, mixed genres, won prizes, danced to the music of everybody, from Philip Glass to Billy Joel. She's written three books. I mean, she's a slow-motion multitasker, of course she is. She says, "You have to be all things. Why exclude? You have to be everything." And Tharp's method for preventing all of these different projects from becoming overwhelming is a simple one. She gives each project a big cardboard box, writes the name of the project on the side of the box. And into it, she tosses DVDs and books, magazine cuttings, theater programs, physical objects, really anything that's provided a source of creative inspiration. And she writes, "The box means I never have to worry about forgetting. One of the biggest fears for a creative person is that some brilliant idea will get lost because you didn't write it down and put it in a safe place. I don't worry about that. Because I know where to find it. It's all in the box." You can manage many ideas like this, either in physical boxes or in their digital equivalents.
Tapi ada masalahnya. Bagaimana caranya supaya kita tidak menjadi kewalahan dengan semua proyek ini? Bagaimana kita menjaga agar ide-ide kita tetap di garis lurus? Nah, ada cara yang mudah, cara yang praktis dari koreografer Amerika yang hebat, Twyla Tharp. Selama puluhan tahun terakhir, ia mengaburkan batas, mencampur genre, mendapat penghargaan, menari dengan berbagai musik, mulai dari Philip Glass sampai Billy Joel. ia sudah menulis tiga buku. Maksud saya ia mengerjakan banyak hal dengan gerak lambat, tentu saja. Katanya, "Kau harus menjadi banyak hal. Kenapa mengecualikan? Kau harus menjadi segalanya." Dan metode Tharp agar tidak kewalahan dengan semua proyek ini adalah sederhana. ia memberi setiap proyek sebuah kotak kardus, tiap sisinya ditulisi nama proyek tersebut. Dan diisi DVD, buku, guntingan majalah, program teater, benda-benda, apa saja yang bisa menjadi sumber inspirasi kreatif. Dan ia menulis, "Kotak itu artinya aku tidak perlu takut akan lupa. Salah satu ketakutan terbesar orang kreatif adalah kehilangan ide-ide yang hebat karena kau tidak menuliskannya dan menyimpannya di tempat aman. Aku tidak khawatir. Karena aku tahu di mana aku bisa menemukannya. Semuanya ada dalam kotak." Anda bisa mengatur pikiran Anda seperti ini, bisa di kotak sungguhan atau di kotak digital.
So, I would like to urge you to embrace the art of slow-motion multitasking. Not because you're in a hurry, but because you're in no hurry at all.
Jadi, saya ingin mendorong Anda untuk menganut seni melakukan banyak hal dengan gerak lambat. Bukan karena Anda terburu-buru; tapi karena Anda sama sekali tidak terburu-buru.
And I want to give you one final example, my favorite example. Charles Darwin. A man whose slow-burning multitasking is so staggering, I need a diagram to explain it all to you.
Dan saya akan memberikan contoh terakhir, contoh kesukaan saya. Charles Darwin. Seseorang yang mengerjakan banyak hal dengan pelan tapi sangat mencengangkan, Saya butuh diagram untuk menjelaskannya pada Anda.
We know what Darwin was doing at different times, because the creativity researchers Howard Gruber and Sara Davis have analyzed his diaries and his notebooks. So, when he left school, age of 18, he was initially interested in two fields, zoology and geology. Pretty soon, he signed up to be the onboard naturalist on the "Beagle." This is the ship that eventually took five years to sail all the way around the southern oceans of the Earth, stopping at the Galápagos, passing through the Indian ocean. While he was on the "Beagle," he began researching coral reefs. This is a great synergy between his two interests in zoology and geology, and it starts to get him thinking about slow processes. But when he gets back from the voyage, his interests start to expand even further: psychology, botany; for the rest of his life, he's moving backwards and forwards between these different fields. He never quite abandons any of them.
Kita tahu apa yang Darwin lakukan di saat berbeda, karena periset tentang kreativitas Howard Gruber dan Sara Davis sudah menganalisa buku hariannya dan buku catatannya. Jadi, saat ia meninggalkan sekolah di usia 18 tahun, awalnya ia tertarik pada dua bidang, zoologi dan geologi. Tidak lama, ia mendaftar sebagai awak naturalis di "Beagle." Ini adalah kapal yang akhirnya mencapai lima tahun berlayar mengitari samudra di selatan bumi, berhenti di Galapagos, melewati Samudra Hindia. Selama berada di "Beagle," ia meneliti terumbu karang. Hal ini sangat cocok dengan kedua minatnya zoologi dan geologi, dan hal ini membuatnya berpikir mengenai proses yang perlahan. Tapi saat ia kembali dari perjalanan, minatnya berkembang lebih jauh: psikologi, botani; selama masa hidupnya, ia bergerak maju-mundur di antara bidang-bidang berbeda ini. ia tidak pernah mengabaikan satupun.
In 1837, he begins work on two very interesting projects. One of them: earthworms. The other, a little notebook which he titles "The transmutation of species." Then, Darwin starts studying my field, economics. He reads a book by the economist Thomas Malthus. And he has his eureka moment. In a flash, he realizes how species could emerge and evolve slowly, through this process of the survival of the fittest. It all comes to him, he writes it all down, every single important element of the theory of evolution, in that notebook.
Pada 1837, ia mulai mengerjakan dua proyek menarik. Salah satunya: cacing tanah. Satunya lagi, buku catatan kecil yang diberi judul "Trasmutasi spesies." Kemudian, Darwin mulai mempelajari bidang saya, ekonomi. ia membaca buku tulisan ekonom Thomas Malthus. Dan ia mendapat momen "eureka" nya. Dalam sekejap, ia menyadari spesies bisa muncul dan berevolusi perlahan, melalui proses yang kuat yang bertahan. Hal itu datang padanya dan ia menuliskannya, setiap hal yang penting dalam teori evolusi, di dalam buku catatan itu.
But then, a new project. His son William is born. Well, there's a natural experiment right there, you get to observe the development of a human infant. So immediately, Darwin starts making notes. Now, of course, he's still working on the theory of evolution and the development of the human infant. But during all of this, he realizes he doesn't really know enough about taxonomy. So he starts studying that. And in the end, he spends eight years becoming the world's leading expert on barnacles.
Tapi kemudian, proyek baru. Putranya William lahir. Nah, ada eksperimen alami di situ, Anda bisa mengamati perkembangan anak manusia. Jadi secepatnya, Darwin mulai membuat catatan. Nah, tentu saja, ia masih mengerjakan teori evolusi dan perkembangan anak manusia. Tapi sambil melakukannya, ia menyadari ia tidak cukup memahami taksonomi. Jadi mulailah ia mempelajarinya. Dan akhirnya, ia menghabiskan 8 tahun menjadi ahli terkemuka di dunia mengenai teritip.
Then, "Natural Selection." A book that he's to continue working on for his entire life, he never finishes it. "Origin of Species" is finally published 20 years after Darwin set out all the basic elements. Then, the "Descent of Man," controversial book. And then, the book about the development of the human infant. The one that was inspired when he could see his son, William, crawling on the sitting room floor in front of him. When the book was published, William was 37 years old. And all this time, Darwin's working on earthworms. He fills his billiard room with earthworms in pots, with glass covers. He shines lights on them, to see if they'll respond. He holds a hot poker next to them, to see if they move away. He chews tobacco and --
Lalu, "Seleksi Alam." Sebuah buku yang terus ia kerjakan seumur hidupnya, tidak pernah selesai. Akhirnya buku "Origin of Species" terbit 20 tahun setelah Darwin meletakkan elemen-elemen dasarnya. Kemudian, "Descent of Man," buku yang kontroversial. Dan lalu, buku mengenai perkembangan anak manusia. Yang terinspirasi ketika ia melihat putranya, William, merangkak di lantai ruang duduk di depannya. Ketika buku tersebut diterbitkan, William berusia 37 tahun. Dan selama waktu itu, Darwin sedang mengerjakan cacing tanah. ia mengisi ruang biliarnya dengan pot bertutup kaca yang berisi cacing tanah. ia menyinarinya untuk melihat apakah ada reaksi. Didekatkannya poker panas, apakah mereka menjauh. ia mengunyah tembakau dan --
(Blows)
(Menghembus napas)
He blows on the earthworms to see if they have a sense of smell. He even plays the bassoon at the earthworms.
Ditiupnya cacing itu untuk melihat apakah cacing bisa membaui. ia bahkan memainkan bassoon untuk cacing-cacing itu.
I like to think of this great man when he's tired, he's stressed, he's anxious about the reception of his book "The Descent of Man." You or I might log into Facebook or turn on the television. Darwin would go into the billiard room to relax by studying the earthworms intensely. And that's why it's appropriate that one of his last great works is the "Formation of Vegetable Mould Through The Action of Worms."
Saya cenderung berpikir tentang orang hebat ini saat ia lelah, saat stres, ia gelisah mengenai penerimaan bukunya "The Descent of Man." Anda atau saya mungkin akan masuk ke Facebook atau menyalakan TV. Darwin akan ke ruang biliar untuk bersantai dengan cara mempelajari cacing tanah secara mendalam. Itulah mengapa pantas jika salah satu karya hebat terakhirnya adalah "Pembentukan Jamur Sayuran Melalui Pergerakan Cacing."
(Laughter)
(Tertawa)
He worked upon that book for 44 years. We don't live in the 19th century anymore. I don't think any of us could sit on our creative or scientific projects for 44 years. But we do have something to learn from the great slow-motion multitaskers. From Einstein and Darwin to Michael Crichton and Twyla Tharp. The modern world seems to present us with a choice. If we're not going to fast-twitch from browser window to browser window, we have to live like a hermit, focus on one thing to the exclusion of everything else. I think that's a false dilemma. We can make multitasking work for us, unleashing our natural creativity. We just need to slow it down.
ia mengerjakan buku tersebut selama 44 tahun. KIta tidak hidup di abad ke-19 lagi. Saya pikir tidak ada dari kita yang bisa duduk mengerjakan proyek kreatif atau sains selama 44 tahun. Tapi ada yang bisa dipelajari dari orang yang melakukan banyak hal dengan lambat. Dari Einstein dan Darwin sampai ke Michael Crichton dan Twyla Tharp. Dunia modern seperti memberikan kita sebuah pilihan. Kalau kita bergerak cepat dari satu jendela pencari ke jendela pencari, kita harus hidup seperti pertapa, fokus ke satu hal tanpa memikirkan hal lain. Menurut saya itu adalah dilema yang tidak benar. Kita melakukan banyak hal sekaligus, mengeluarkan kereativitas alami kita. Kita hanya perlu melambatkannya
So ... Make a list of your projects. Put down your phone. Pick up a couple of cardboard boxes. And get to work.
Jadi ... Buatlah daftar pekerjaan Anda. Letakkan ponsel Anda. Ambil beberapa kotak. Dan mulailah bekerja.
Thank you very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(Tepuk tangan)