This is a guy named Bob McKim. He was a creativity researcher in the '60s and '70s, and also led the Stanford Design Program. And in fact, my friend and IDEO founder, David Kelley, who’s out there somewhere, studied under him at Stanford. And he liked to do an exercise with his students where he got them to take a piece of paper and draw the person who sat next to them, their neighbor, very quickly, just as quickly as they could.
Ada seorang laki-laki, laki-laki ini bernama Bob McKim. Dan beliau adalah peneliti kreativitas pada tahun 60-an dan 70-an, dan juga mengepalai program desain di Stanford. Dan sebetulnya, teman saya dan pendiri IDEO, David Kelley, yang ada di sekitar sini, belajar dari beliau di Stanford. Dan beliau suka memberikan sebuah latihan untuk murid-muridnya. di mana beliau minta mereka mengambil selembar kertas dan menggambar orang yang duduk di sebelah mereka, tetangga mereka, secepat-cepatnya, secepat mungkin yang mereka bisa.
And in fact, we’re going to do that exercise right now. You all have a piece of cardboard and a piece of paper. It’s actually got a bunch of circles on it. I need you to turn that piece of paper over; you should find that it’s blank on the other side. And there should be a pencil. And I want you to pick somebody that’s seated next to you, and when I say, go, you’ve got 30 seconds to draw your neighbor, OK? So, everybody ready? OK. Off you go. You’ve got 30 seconds, you’d better be fast. Come on: those masterpieces ... OK? Stop. All right, now.
Dan sebenarnya, kita akan melakukan latihan itu sekarang. Kalian semua memegang sebuah papan dan selembar kertas. Di sana ada sejumlah lingkaran. Saya ingin anda membalikkan selembar kertas itu, anda akan melihat lembaran kosong di sisi lain itu, OK? Dan seharusnya sudah ada sebuah pensil. Dan saya mau kamu memilih seseorang yang duduk di sebelah kamu, dan waktu saya bilang, mulai, kamu punya 30 detik untuk menggambar tetangga kamu, OK? Jadi, semuanya siap? OK. Mulai. Kamu punya 30 detik, jadi lebih baik kamu cepat. Ayo, semua karya-karya itu. OK? Stop. Baik, sekarang.
(Laughter)
(Tertawa)
Yes, lot’s of laughter. Yeah, exactly. Lots of laughter, quite a bit of embarrassment.
Iya, banyak yang tertawa. Ya, tepat sekali. Banyak yang tertawa, sedikit malu.
(Laughter)
(Tertawa)
Am I hearing a few "sorry’s"? I think I’m hearing a few sorry’s. Yup, yup, I think I probably am. And that’s exactly what happens every time, every time you do this with adults. McKim found this every time he did it with his students. He got exactly the same response: lots and lots of sorry’s.
Apakah saya mendengar beberapa 'maaf'? Saya rasa saya mendengar beberapa permintaan maaf. Ya, ya, saya rasa mungkin saya dengar itu. Dan itu yang biasanya terjadi setiap kali, setiap kali kamu melakukan ini dengan orang dewasa. Dan McKim menemukan hal ini setiap kali beliau melakukannya dengan murid-muridnya. Beliau mendapatkan respon yang sama: banyak permintaan maaf.
(Laughter)
(Tertawa)
And he would point this out as evidence that we fear the judgment of our peers, and that we’re embarrassed about showing our ideas to people we think of as our peers, to those around us. And this fear is what causes us to be conservative in our thinking. So we might have a wild idea, but we’re afraid to share it with anybody else.
Dan beliau akan menunjukkan ini sebagai bukti kalau kita takut dengan penilaian dari teman-teman kita, dan kalau kita malu, sepertinya, untuk menunjukkan ide-ide kita kepada orang-orang yang kita anggap sebagai rekan, kepada mereka di sekitar kita. Dan ketakutan ini yang menyebabkan kita menjadi konsevatif dalam pemikiran kita. Jadi kita mungkin saja punya ide gila, tapi kita takut membagikannya ke siapa pun.
OK, so if you try the same exercise with kids, they have no embarrassment at all. They just quite happily show their masterpiece to whoever wants to look at it. But as they learn to become adults, they become much more sensitive to the opinions of others, and they lose that freedom and they do start to become embarrassed. And in studies of kids playing, it’s been shown time after time that kids who feel secure, who are in a kind of trusted environment -- they’re the ones that feel most free to play.
OK, jadi kalau kamu mencoba latihan yang sama dengan anak-anak, mereka tidak ada rasa malu sama sekali. Mereka dengan senangnya memperlihatkan hasil karya mereka kepada siapapun yang mau melihatnya. Tapi sejalan dengan mereka menjadi dewasa, mereka menjadi lebih sensitif dengan pendapat orang lain, dan kehilangan kebebasan itu dan mereka memang mulai menjadi malu. Dan di studi-studi tentang anak bermain, sudah ditemukan bahwa dari waktu ke waktu, anak-anak yang merasa percaya diri, yang ada di lingkungan yang bisa dipercaya, merekalah yang paling merasa bebas untuk bermain.
And if you’re starting a design firm, let’s say, then you probably also want to create a place where people have the same kind of security. Where they have the same kind of security to take risks. Maybe have the same kind of security to play.
Dan kalau kamu memulai sebuah perusahaan desain, katakanlah, kemudian kamu mungkin juga mau membuat, kamu tahu, sebuah tempat di mana orang-orang merasakan kemanan yang sama. Di mana mereka merasakan keamanan yang sama untuk mengambil resiko. Mungkin mempunyai keamanan yang sama untuk bermain.
Before founding IDEO, David said that what he wanted to do was to form a company where all the employees are my best friends. Now, that wasn’t just self-indulgence. He knew that friendship is a short cut to play. And he knew that it gives us a sense of trust, and it allows us then to take the kind of creative risks that we need to take as designers. And so, that decision to work with his friends -- now he has 550 of them -- was what got IDEO started.
Sebelum mendirikan IDEO, David bilang bahwa yang dia mau lakukan adalah untuk membentuk perusahaan di mana semua pegawainya adalah teman baik saya. Sekarang, itu bukan saja untuk kesenangan diri sendiri. Dia tahu kalau pertemanan itu adalah jalan pintas untuk bermain. Dan dia tahu kalau itu akan memberikan rasa percaya, dan itu mengijikan kita untuk mengambil semacam resiko kreatif yang memang perlu kita ambil sebagai desainer. Dan keputusan seperti itu untuk bekerja dengan teman-temannya -- sekarang dia punya 550 orang -- itu yang memulai IDEO.
And our studios, like, I think, many creative workplaces today, are designed to help people feel relaxed: familiar with their surroundings, comfortable with the people that they’re working with. It takes more than decor, but I think we’ve all seen that creative companies do often have symbols in the workplace that remind people to be playful, and that it’s a permissive environment. So, whether it’s this microbus meeting room that we have in one our buildings at IDEO; or at Pixar, where the animators work in wooden huts and decorated caves; or at the Googleplex, where it’s famous for its [beach] volleyball courts, and even this massive dinosaur skeleton with pink flamingos on it. Don’t know the reason for the pink flamingos, but anyway, they’re there in the garden. Or even in the Swiss office of Google, which perhaps has the most wacky ideas of all. And my theory is, that’s so the Swiss can prove to their Californian colleagues that they’re not boring. So they have the slide, and they even have a fireman’s pole. Don’t know what they do with that, but they have one.
Dan studio-studio kami mirip, saya rasa, seperti tempat-tempat kerja kreatif saat ini, didesain untuk membantu orang merasa relaks / santai. Menjadi terbiasa dengan sekeliling mereka, nyaman dengan orang-orang yang bekerja dengan mereka. Itu memerlukan lebih dari dekorasi, tapi saya rasa kita semua pernah melihat ini, seperti yang kamu tahu, perusahaan-perusahaan kreatif sering mempunyai simbol-simbol di tempat kerjanya yang mengingatkan orang-orang untuk punya jiwa bermain, dan itu ada lingkungan yang diperbolehkan. Jadi bisa saja seperti microbus untuk ruangan rapat bahwa kita punya satu ruangan di IDEO, atau di Pixar di mana para animator bekerja di gubuk kayu dan gua yang didekorasi. Atau di Googleplex di mana, seperti kamu tahu, terkenal dengan lapangan untuk bola voli pantai, dan bahkan kerangka dinosaurus besar dengan flamingo merah muda diatasnya. Tidak tahu alasannya untuk flamingo-flamingo merah muda itu, tapi ya, mereka semuanya ada di taman. Atau bahkan orang-orang Google di kantor Swiss, yang mungkin mempunyai ide yang paling aneh dari semuanya. Dan teori saya adalah bahwa orang-orang di kantor Swiss bisa membuktikan pada rekan-rekan mereka di California kalau mereka tidak membosankan. Jadi mereka punya perosotan, dan mereka bahkan punya tiang pemadam kebakaran. Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan dengan itu, tapi mereka punya satu.
So all of these places have these symbols. Now, our big symbol at IDEO is actually not so much the place, it’s a thing. And it’s actually something that we invented a few years ago, or created a few years ago. It’s a toy; it’s called a "finger blaster." And I forgot to bring one up with me. So if somebody can reach under the chair that’s next to them, you’ll find something taped underneath it. That’s great. If you could pass it up. Thanks, David, I appreciate it.
Jadi semua tempat ini, seperti kamu tahu, punya simbol-simbol tersebut. Sekarang, simbol besar kami di IDEO sebenarnya bukan tempatnya, melainkan suatu benda. Dan sebenarnya sesuatu yang kami temukan beberapa tahun yang lalu, atau buat beberapa tahun yang lalu. Jadi ini sebuah mainan. Dan namanya "finger blaster." Dan saya lupa membawa buat saya sendiri. Jadi kalau ada yang bisa ambil di bawah kursi disebelahnya, kamu akan menemukan sesuatu yang ditempel dibawahnya. Bagus. Kalau kamu bisa lempar itu ke atas. Terima kasih, David, saya menghargainya.
So this is a finger blaster, and you will find that every one of you has got one taped under your chair. And I’m going to run a little experiment. Another little experiment. But before we start, I need just to put these on. Thank you. All right. Now, what I’m going to do is, I’m going to see how -- I can’t see out of these, OK. I’m going to see how many of you at the back of the room can actually get those things onto the stage. So the way they work is, you know, you just put your finger in the thing, pull them back, and off you go. So, don’t look backwards. That’s my only recommendation here. I want to see how many of you can get these things on the stage. So come on! There we go, there we go. Thank you. Thank you. Oh. I have another idea. I wanted to -- there we go.
Jadi ini adalah sebuah finger blaster, dan kamu akan menemukan kalau masing-masing punya satu yang sudah ditempel di bawah kursi kamu. Dan saya akan mengadakan percobaan kecil-kecilan. Sebuah percobaan kecil. Tapi sebelum kita mulai, saya mau memakai ini dulu. Terima kasih. Baiklah. Sekarang, saya akan melakukan ini, saya mau melihat bagaimana -- Saya tidak benar-benar bisa melihat dengan ini, OK. Saya mau melihat berapa banyak dari kamu yang duduk di belakang ruangan bisa melempar mainan ini sampai ke atas panggung. Jadi ini caranya mereka bekerja, seperti kamu tahu, kamu hanya perlu memasukkan jari kamu didalamnya, tarik mereka, dan mulailah. Jadi, jangan melihat ke belakang. Itu satu-satunya rekomendasi saya di sini. Saya mau melihat berapa banyak dari kamu bisa melempar sampai ke atas panggung. Ayolah! Kita mulai, kita mulai. Terima kasih. Terima kasih. Oh. Saya punya ide lain. Saya mau -- begitu.
(Laughter)
(Tertawa)
There we go.
Begitu.
(Laughter)
(Tertawa)
Thank you, thank you, thank you. Not bad, not bad. No serious injuries so far.
Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Tidak terlalu buruk, tidak terlalu buruk. Tidak ada luka serius sejauh ini.
(Laughter)
(Tertawa)
Well, they’re still coming in from the back there; they’re still coming in. Some of you haven’t fired them yet. Can you not figure out how to do it, or something? It’s not that hard. Most of your kids figure out how to do this in the first 10 seconds, when they pick it up. All right. This is pretty good; this is pretty good. Okay, all right. Let’s -- I suppose we'd better... I'd better clear these up out of the way; otherwise, I’m going to trip over them. All right. So the rest of you can save them for when I say something particularly boring, and then you can fire at me.
Nah, masih banyak yang datang dari belakang sana; mereka masih datang ke sini. Beberapa dari kamu belum menembakkannya. Apakah kamu tidak tahu cara memainkannya, atau bagaimana? Ini tidak terlalu susah. Kebanyakan anak-anak tahu cara melakukan ini dalam 10 detik pertama, waktu mereka mengambil ini. Baiklah. Ini cukup bagus; ini cukup bagus. OK, baiklah. Mari -- saya rasa sebaiknya kita... saya sebaiknya membersihkan beberapa dari jalan atau saya akan jatuh tersandung. Baiklah. Jadi yang lain bisa simpan mainan-mainan ini untuk waktu saya mengatakan sesuatu yang sangat membosankan, dan kemudian kamu bisa menembakkannya ke saya.
(Laughter)
(Tertawa)
All right. I think I’m going to take these off now, because I can’t see a damn thing when I’ve -- all right, OK. So, ah, that was fun.
Baiklah. Saya rasa saya akan mencopot ini sekarang, karena saya tidak bisa melihat apa-apa dengan -- baiklah, OK. Jadi, ah, tadi itu seru.
(Laughter)
(Tertawa)
All right, good.
Baiklah, bagus.
(Applause)
(Tepukan tangan)
So, OK, so why? So we have the finger blasters. Other people have dinosaurs, you know. Why do we have them? Well, as I said, we have them because we think maybe playfulness is important. But why is it important? We use it in a pretty pragmatic way, to be honest. We think playfulness helps us get to better creative solutions. Helps us do our jobs better, and helps us feel better when we do them.
Jadi, OK, jadi kenapa? Jadi kita punya finger blasters, orang lain punya dinosaurus, seperti kamu tahu. Kenapa kita punya semua itu? Baiklah, seperti saya bilang sebelumnya, kita mempunyai ini karena kami percaya kalau mempunyai jiwa bermain itu penting. Tapi kenapa itu penting? Kami memakainya dengan cara prakmatis, sejujurnya. Kami percaya bahwa jiwa bermain membantu kita mendapat solusi kreatif yang lebih baik. Membantu kita melakukan pekerjaan kita lebih baik, dan membantu kita merasa lebih baik waktu melakukannya.
Now, an adult encountering a new situation -- when we encounter a new situation we have a tendency to want to categorize it just as quickly as we can, you know. And there’s a reason for that: we want to settle on an answer. Life’s complicated; we want to figure out what’s going on around us very quickly. I suspect, actually, that the evolutionary biologists probably have lots of reasons [for] why we want to categorize new things very, very quickly. One of them might be, you know, when we see this funny stripy thing: is that a tiger just about to jump out and kill us? Or is it just some weird shadows on the tree? We need to figure that out pretty fast. Well, at least, we did once. Most of us don’t need to anymore, I suppose.
Sekarang, seorang dewasa berada di situasi baru -- waktu kita berada di situasi baru kita punya kecendurangan untuk mau mekategorasikan secepat mungkin, seperti yang kamu tahu. Dan ada alasannya. Kita mau mendapat sebuah jawaban. Hidup itu rumit. Kita mau memecahkannya apa yang sedang terjadi di sekitar kita, dengan sangat cepat. Saya kira, sebetulnya, biologis-biologis yang evolusioner mungkin punya alasan yang banyak kenapa kita mau menkategorisasikan hal-hal baru dengan sangat, sangat cepat. Salah satunya mungkin, seperti kamu tahu, waktu kita melihat suatu benda dengan garis-garis yang lucu, apakah itu seekor macan yang akan menyerang dan membunuh kita? Atau cuma sekedar bayangan aneh dari pohon? Kita perlu memecahkannya dengan cukup cepat. Yah, setidaknya, kita pernah seperti itu. Kebanyakan dari kita tidak memerlukan itu lagi, saya rasa.
This is some aluminum foil, right? You use it in the kitchen. That’s what it is, isn’t it? Of course it is, of course it is. Well, not necessarily.
Ini adalah lembaran aluminium, bukan? Kamu memakai ini di dapur. Itulah benda itu, bukankah begitu? Tentu saja, tentu saja. Yah, belum tentu.
(Laughter)
(Tertawa)
Kids are more engaged with open possibilities. Now, they’ll certainly -- when they come across something new, they’ll certainly ask, "What is it?" Of course they will. But they’ll also ask, "What can I do with it?" And you know, the more creative of them might get to a really interesting example. And this openness is the beginning of exploratory play. Any parents of young kids in the audience? There must be some. Yeah, thought so. So we’ve all seen it, haven’t we?
Anak-anak lebih terhubungan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka. Sekarang, mereka pastinya akan -- waktu mereka melihat sesuatu yang baru, mereka pastinya akan bertanya, apa ini? Tentu mereka akan bertanya. Tapi mereka juga akan bertanya, apa yang bisa saya lakukan dengan ini? Dan kamu tahu, mereka yang lebih kreatif mungkin akan mendapatkan sebuah contoh yang sangat menarik. Dan keterbukaan ini adalah permulaan dari permainan eksplorasi. Apakah di sini ada orang tua yang mempunyai anak-anak kecil? Pastinya ada. Ya, seperti saya kira. Jadi kita semua pernah melihat ini, bukan?
We’ve all told stories about how, on Christmas morning, our kids end up playing with the boxes far more than they play with the toys that are inside them. And you know, from an exploration perspective, this behavior makes complete sense. Because you can do a lot more with boxes than you can do with a toy. Even one like, say, Tickle Me Elmo -- which, despite its ingenuity, really only does one thing, whereas boxes offer an infinite number of choices. So again, this is another one of those playful activities that, as we get older, we tend to forget and we have to relearn.
Kita semua pernah bercerita tentang apa yang terjadi di hari Natal pada pagi hari, seperti kamu tahu, anak-anak kita malah bermain dengan kardus-kardusnya lebih banyak daripada mereka bermain dengan mainan yang ada didalamnya. Dan kamu tahu, dari sisi eksplorasi, tingkah laku ini benar-benar masuk akal. Karena kamu bisa melakukan lebih banyak hal dengan kardus daripada dengan mainan. Bahkan sesuatu seperti, Tickle Me Elmo, yang, di luar dari kesungguhannya, hanya benar-benar melakukan satu hal, di mana kardus bisa menawarkan begitu banyak pilihan. Jadi sekali lagi, ini adalah salah satu kegiatan bermain, bahwa dengan bertambah tua kita, kita cenderung untuk lupa dan kita harus belajar lagi.
So another one of Bob McKim’s favorite exercises is called the "30 Circles Test." So we’re back to work. You guys are going to get back to work again. Turn that piece of paper that you did the sketch on back over, and you’ll find those 30 circles printed on the piece of paper. So it should look like this. You should be looking at something like this. So what I’m going to do is, I’m going to give you minute, and I want you to adapt as many of those circles as you can into objects of some form. So for example, you could turn one into a football, or another one into a sun. All I’m interested in is quantity. I want you to do as many of them as you can, in the minute that I’m just about to give you. So, everybody ready? OK? Off you go.
Jadi satu lagi latihan favorit Bob McKim yang bernama "30 Circles Test." Jadi kita kembali bekerja. Kalian semua akan kembali bekerja. Tolong balikkan selembar kertas yang tadi kamu sketsa, dibalik, dan kamu akan melihat 30 lingkaran tercetak di atas kertas itu. Jadi seharusnya terlihat seperti ini. Kamu seharusnya melihat sesuatu seperti ini. Ini yang akan saya lakukan, saya akan memberikan kamu waktu 1 menit, dan saya mau kamu untuk merubah lingkaran sebanyak yang kamu bisa, menjadi sesuatu objek. Misalnya, kamu bisa merubah satu menjadi football, atau yang lainnya menjadi matahari. Saya hanya tertarik pada kuantitas. Saya mau kamu melakukan sebanyak mungkin yang kamu bisa, dalam waktu 1 menit yang akan saya berikan pada kamu. Jadi, semuanya siap? OK? Mulai.
Okay. Put down your pencils, as they say. So, who got more than five circles figured out? Hopefully everybody? More than 10? Keep your hands up if you did 10. 15? 20? Anybody get all 30? No? Oh! Somebody did. Fantastic. Did anybody to a variation on a theme? Like a smiley face? Happy face? Sad face? Sleepy face? Anybody do that? Anybody use my examples? The sun and the football? Great. Cool. So I was really interested in quantity. I wasn’t actually very interested in whether they were all different. I just wanted you to fill in as many circles as possible. And one of the things we tend to do as adults, again, is we edit things. We stop ourselves from doing things. We self-edit as we’re having ideas.
OK. Tolong taruh pensilmu, seperti yang mereka katakan. Jadi, siapa yang mendapat lebih dari 5 lingkaran? Semoga semuanya? Lebih dari 10? Tetap angkat tangan kamu kalau iya. 10. 15? 20? Ada yang mendapat 30 semuanya? Tidak? Oh! Seseorang iya. Fantastik. Apakah ada yang melakukan variasi dari suatu tema? Seperti muka tersenyum? Muka senang? Muka sedih? Muka ngantuk? Ada yang melakukan itu? Ada yang melakukan contoh saya? Matahari dan football? Bagus. Cool. Jadi saya sangat tertarik dengan kuantitas. Sebeneranya saya tidak terlalu tertarik apakah mereka semua beda atau tidak. Saya hanya mau kamu mengisi lingkaran sebanyak mungkin. Dan salah satu hal yang kita biasa lakukan sebagai orang dewasa, sekali lagi, adalah kita mengedit sesuatu. Kita menghentikan diri kita sendiri dari melakukan berbagai hal. Kita mengedit diri sendiri sewaktu kita mempunyai ide-ide.
And in some cases, our desire to be original is actually a form of editing. And that actually isn’t necessarily really playful. So that ability just to go for it and explore lots of things, even if they don’t seem that different from each other, is actually something that kids do well, and it is a form of play. So now, Bob McKim did another version of this test in a rather famous experiment that was done in the 1960s. Anybody know what this is? It’s the peyote cactus. It’s the plant from which you can create mescaline, one of the psychedelic drugs. For those of you around in the '60s, you probably know it well.
Dan di beberapa kasus, keinginan kita untuk menjadi orisinil sebenarnya adalah suatu bentuk dari mengedit. Dan itu sebenarnya tidak terlalu berjiwa bermain. Jadi kemampuan untuk, tetap terus melakukan sesuatu dan mengeksplore banyak hal, bahkan sewaktu mereka tidak terlihat begitu beda antara satu dan lainnya, adalah sesuatu yang anak-anak lakukan dengan baik, dan ini adalah suatu bentuk permainan. Jadi, Bob McKim melakukan sesuatu- -- versi lain dari test ini, in sebuah eksperimen yang cukup terkenal yang dilakukan di tahun 1960-an. Ada yang tahu tentang ini? Ini tentang kaktus peyote. Itu adalah tumbuhan untuk membuat mescaline, salah satu obat psikotropik. Untuk kalian yang sudah ada di tahun 60-an, seharusnya kalian tahu tentang ini dengan baik.
McKim published a paper in 1966, describing an experiment that he and his colleagues conducted to test the effects of psychedelic drugs on creativity. So he picked 27 professionals -- they were engineers, physicists, mathematicians, architects, furniture designers even, artists -- and he asked them to come along one evening, and to bring a problem with them that they were working on. He gave each of them some mescaline, and had them listen to some nice, relaxing music for a while. And then he did what’s called the Purdue Creativity Test. You might know it as, "How many uses can you find for a paper clip?" It’s basically the same thing as the 30 circles thing that I just had you do.
McKim mempublikasikan tulisan tahun 1966 menggambarkan sebuah eksperimen yang beliau dan koleganya adakan, untuk menguji efek dari obat-obat psikotropik pada kreatifitas. Jadi beliau memilih 27 professional. Mereka, seperti yang kamu tahu, insinyur, ahli fisika, ahli matematika, arsitek, desainer furniture bahkan, artis. Dan beliau minta mereka datang pada satu malam dan membawa masalah yang sedang mereka kerjakan. Beliau memberi masing-masing beberapa mescaline, dan meminta mereka mendengarkan beberapa lagu santai untuk beberapa saat. Dan kemudian beliau mengadakan apa yang disebut Purdue Creativity Test. Mungkin kamu tahu, berapa banyak kegunaan dari klip yang bisa kamu temukan? Pada dasarnya ini sama dengan 30 lingkaran yang baru saja saya minta kamu kerjakan.
Now, actually, he gave the test before the drugs and after the drugs, to see what the difference was in people’s facility and speed with coming up with ideas. And then he asked them to go away and work on those problems that they’d brought. And they’d come up with a bunch of interesting solutions -- and actually, quite valid solutions -- to the things that they’d been working on. And so, some of the things that they figured out, some of these individuals figured out; in one case, a new commercial building and designs for houses that were accepted by clients; a design of a solar space probe experiment; a redesign of the linear electron accelerator; an engineering improvement to a magnetic tape recorder -- you can tell this is a while ago; the completion of a line of furniture; and even a new conceptual model of the photon. So it was a pretty successful evening.
Sekarang, sebenarnya, beliau memberikan test ini sebelum memberikan obat, dan sesudah diberikan obat, untuk melihat apakah -- apakah ada perbedaan di orang-orang ini, seperti, fasilitas dan kecepatan dalam mengeluarkan ide-ide. Dan beliau minta mereka untuk pergi dan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka bawa. Dan mereka menghasilkan sekelompok, solusi yang menarik, dan sebenarnya agak, solusi valid untuk hal-hal yang sedang mereka kerjakan. Dan jadi ada beberapa hal yang mereka bisa pecahkan, beberapa individu bisa pecahkan. Dalam satu kasus untuk bangunan komersial dan desain rumah diterima oleh klien. Sebuah desain untuk solar space. Sebuah desain ulang untuk linear electron accelerator, kemajuan teknik untuk tape recorder dengan daya magnet. Kamu bisa tahu kalau ini sudah beberapa waktu yang lalu. Penyelesaian dari sejumlah furniture, dan bahkan konsep model baru untuk photon. Jadi itu sebuah malam yang sukses.
In fact, maybe this experiment was the reason that Silicon Valley got off to its great start with innovation. We don’t know, but it may be. We need to ask some of the CEOs whether they were involved in this mescaline experiment. But really, it wasn’t the drugs that were important; it was this idea that what the drugs did would help shock people out of their normal way of thinking, and getting them to forget the adult behaviors that were getting in the way of their ideas. But it’s hard to break our habits, our adult habits.
Nyatanya, mungkin eksperimen itu adalah sebab kenapa Silicon Valley berangkat dari permulaan yang baik dengan inovasi. Kita tidak tahu, tapi mungkin saja. Kita perlu tanya pada beberapa CEO apakah mereka terlibat dalam eksperimen mescaline. Tapi sebenarnya, bukan obatnya yang penting, melainkan ide dari apa yang obat itu lakukan bisa mengangetkan orang keluar dari cara berpikir mereka yang biasanya. Dan membuat mereka, sepertinya, melupakan tingkah laku orang-orang dewasa yang menghalangi mereka dari ide-ide mereka. Tapi sangat susah untuk menghilangkan kebiasaan kita, kebiasaan orang dewasa kita.
At IDEO we have brainstorming rules written on the walls. Edicts like, "Defer judgment," or "Go for quantity." And somehow that seems wrong. I mean, can you have rules about creativity? Well, it sort of turns out that we need rules to help us break the old rules and norms that otherwise we might bring to the creative process. And we’ve certainly learnt that over time, you get much better brainstorming, much more creative outcomes when everybody does play by the rules. Now, of course, many designers, many individual designers, achieve this is in a much more organic way.
Di IDEO kami mempunyai peraturan tukar pikiran tertulis di dinding. Pernyataan seperti, "Tinggalkan penilaian," atau "Lakukan untuk kuantitas." Dan sepertinya itu terlihat salah. Maksud saya, apakah kamu bisa mempunyai peraturan untuk kreatifitas? Yah, ternyata memang kita perlu peraturan untuk membantu kita keluar dari peraturan dan norma lama yang atau tidak kita akan bawa ke prosess kreatif. Dan kita pastinya belajar tentang itu dengan sejalannya waktu, kamu akan menjadi lebih baik dalam tukar pikiran, lebih banyak hasil yang kreatif waktu orang-orang mengikuti peraturan. Sekarang, tentunya, banyak desainer, banyak desainer individual, menbcapai ini dengan cara yang lebih organik.
I think the Eameses are wonderful examples of experimentation. And they experimented with plywood for many years without necessarily having one single goal in mind. They were exploring following what was interesting to them. They went from designing splints for wounded soldiers coming out of World War II and the Korean War, I think, and from this experiment they moved on to chairs.
Saya rasa Eames adalah contoh yang baik untuk eksperimen. Dan mereka melakukan eksperimen untuk plywood bertahun-tahun tanpa harus mempunyai satu gol. Mereka eksplorasi yang menarik untuk mereka. Dan mereka pun mendesain penyangga untuk tentara yang terluka dari Perang Dunia II dan Perang Korea, saya rasa. Dari eksperimen ini mereka pindah ke kursi.
Through constant experimentation with materials, they developed a wide range of iconic solutions that we know today, eventually resulting in, of course, the legendary lounge chair. Now, if the Eameses had stopped with that first great solution, then we wouldn’t be the beneficiaries of so many wonderful designs today. And of course, they used experimentation in all aspects of their work, from films to buildings, from games to graphics. So, they’re great examples, I think, of exploration and experimentation in design.
Dan melalui eksperimen terus-menerus dengan material, mengembangkan solusi dengan jangkauan luas yang kita tahu sekarang ini, dan lama-lama menghasilkan, tentunya, kursi lounge yang legendaris. Sekarang, kalau Eames berhenti dengan solusi hebat yang pertama, kita tidak akan menjadi ahli waris dari begitu banyak, seperti yang kamu tahu, desain-desain indah sekarang ini. Dan tentunya, mereka memakai eksperimen untuk segala aspek dalam pekerjaan mereka. Dari film sampai gedung, dari games sampai grafik. Jadi mereka adalah contoh yang baik, saya rasa, untuk eksplorasi dan eksperimen dalam desain.
Now, while the Eameses were exploring those possibilities, they were also exploring physical objects. And they were doing that through building prototypes. And building is the next of the behaviors that I thought I’d talk about. So the average Western first-grader spends as much as 50 percent of their play time taking part in what’s called "construction play." Construction play -- it’s playful, obviously, but also a powerful way to learn. When play is about building a tower out of blocks, the kid begins to learn a lot about towers. And as they repeatedly knock it down and start again, learning is happening as a sort of by-product of play. It’s classically learning by doing.
Sekarang, sementara Eames mengeksplorasi berbagai kemungkinan, mereka juga mengeksplorasi objek-objek fisik. Dan mereka melakukan ini melalui pembuatan prototype. Dan membangun pada tingkah laku yang saya pikir saya akan bicarakan. Jadi untuk anak-anak barat di kelas 1 menghabiskan sebanyak 50 persen dari waktu bermain mereka berpartisipasi dalam "construction play." Construction play -- itu banyak bermain, tentunya, tapi juga cara efektif untuk belajar. Ketika bermain tersebut adalah tentang membangun menara dari blok-blok, anak itu mulai belajar banyak tentang menara. Dan sesering mereka merubuhkan dan mulai lagi, belajar terjadi sebagai akibat dari barmain. Ini adalah klasik dari belajar dengan mengerjakan.
Now, David Kelley calls this behavior, when it’s carried out by designers, "thinking with your hands." And it typically involves making multiple, low-resolution prototypes very quickly, often by bringing lots of found elements together in order to get to a solution. On one of his earliest projects, the team was kind of stuck, and they came up with a mechanism by hacking together a prototype made from a roll-on deodorant. Now, that became the first commercial computer mouse for the Apple Lisa and the Macintosh.
Sekarang, David Kelley menamakan tingkah laku ini, waktu dilakukan oleh desainer, " berpikir dengan tanganmu." Dan biasanya melibatkan dengan membuat macam-macam, prototype dengan resolusi rendah, dengan cepat. Kamu tahu, dengan sering membawa elemen-elemen yang sudah ditemukan untuk mendapatkan solusi. Di salah satu projek awalnya, team itu menemukan jalan buntu, dan mereka keluar dengan semua mekanisme dengan mengumpulkan bersama-sama sebuah model terbuat dari deodoran. Sekarang, itu menjadi mouse komputer komersial pertama untuk Apple Lisa dan Macintosh.
So, they learned their way to that by building prototypes. Another example is a group of designers who were working on a surgical instrument with some surgeons. They were meeting with them; they were talking to the surgeons about what it was they needed with this device. And one of the designers ran out of the room and grabbed a white board marker and a film canister -- which is now becoming a very precious prototyping medium -- and a clothespin. He taped them all together, ran back into the room and said, "You mean, something like this?" And the surgeons grabbed hold of it and said, well, I want to hold it like this, or like that. And all of a sudden a productive conversation was happening about design around a tangible object. And in the end it turned into a real device.
Jadi mereka belajar menemukan jalannya melalui membangun prototype. Contoh lainnya adalah sekelompok desainer yang bekerja untuk sebuah instrumen bedah dengan beberapa ahli bedah. Mereka bertemu, mereka berbicara dengan ahli bedah tentang apa yang mereka perlukan dengan alat ini. Dan salah satu dari desainer lari keluar ruangan dan mengambil spidol white board dan semua isi film -- yang sekarang menjadi medium prototype yang sangat berharga -- dan peniti. Dieratkan semuanya, kembali lari ke ruangan dan berkata, yang kamu maksud sesuatu seperti ini? Dan para ahli bedah memegangnya dan berkata, yah, saya mau memegangnya seperti ini, atau seperti itu. Dan tiba-tiba sebuah percakapan yang produktif terjadi mengenai desain sekitar objek yang bisa dipegang. Dan pada akhirnya berubah menjadi alat yang nyata.
And so this behavior is all about quickly getting something into the real world, and having your thinking advanced as a result. At IDEO there’s a kind of a back-to-preschool feel sometimes about the environment. The prototyping carts, filled with colored paper and Play-Doh and glue sticks and stuff -- I mean, they do have a bit of a kindergarten feel to them. But the important idea is that everything’s at hand, everything’s around. So when designers are working on ideas, they can start building stuff whenever they want. They don’t necessarily even have to go into some kind of formal workshop to do it. And we think that’s pretty important.
Dan tingkah laku ini adalah tentang mengambil sesuatu dari dunia nyata, dan menyebabkan pemikiranmu menjadi maju sebagai hasilnya. Di IDEO ada perasaan seperti kembali ke playgroup kadang-kadang pada lingkungan. Kereta prototype penuh dengan kertas warna-warni dan lilin dan stik lem dan lainnya. Maksud saya, mereka memang mempunyai kesan playgroup padanya. Tapi ide yang penting di sini, semuanya ada. Semuanya ada di sekitar. Jadi sewaktu desainer-desainer bekerja dengan ide-ide mereka bisa mulai membangun sesuatu, seperti, apapun yang mereka mau. Mereka bahkan tidak perlu pergi ke workshop yang formal untuk melakukannya. Dan kami pikir itu cukup penting.
And then the sad thing is, although preschools are full of this kind of stuff, as kids go through the school system it all gets taken away. They lose this stuff that facilitates this sort of playful and building mode of thinking. And of course, by the time you get to the average workplace, maybe the best construction tool we have might be the Post-it notes. It’s pretty barren. But by giving project teams and the clients who they’re working with permission to think with their hands, quite complex ideas can spring into life and go right through to execution much more easily.
Dan kemudian yang menyedihkan adalah, walaupun playgroup penuh dengan hal-hal ini, dengan anak-anak pergi ke sistem sekolah semuanya akan diambil. Mereka kehilangan hal-hal yang mendukung cara pikir yang berjiwa bermain, dan membangun. Dan tentunya, pada saat kamu sampai di tempat kerja pada umumnya, mungkin alat konstruksi terbaik yang kita punya adalah note Post-it. Itu cukup gersang. Tapi dengan memberikan project team dan klien mereka ijin untuk berpikir dengan tangan mereka, ide-ide cukup kompleks bisa tercetus dan langsung ke proses eksekusi dengan lebih mudah.
This is a nurse using a very simple -- as you can see -- plasticine prototype, explaining what she wants out of a portable information system to a team of technologists and designers that are working with her in a hospital. And just having this very simple prototype allows her to talk about what she wants in a much more powerful way. And of course, by building quick prototypes, we can get out and test our ideas with consumers and users much more quickly than if we’re trying to describe them through words.
Ini adalah seorang perawat yang mengunakan -- seperti yang kamu bisa lihat -- plasticine prototype, menjelaskan apa yang dia inginkan dari sistem informasi portabel kepada tim ahli teknologi dan desainer yang bekerja dengannya di sebuah rumah sakit. Dan dengan mempunyai prototype yang sederhana ini memungkinkannya untuk berbicara tentang apa yang dia inginkan dengan cara yang lebih efektif. Dan tentunya, dengan membuat prototype dengan cepat, seperti kamu tahu, kita bisa mengeluarkan dan menguji ide-ide kita dengan konsumen dan pengguna dengan lebih cepat daripada kalau kita mencoba menggambarkannya dengan kata-kata.
But what about designing something that isn’t physical? Something like a service or an experience? Something that exists as a series of interactions over time? Instead of building play, this can be approached with role-play. So, if you’re designing an interaction between two people -- such as, I don’t know -- ordering food at a fast food joint or something, you need to be able to imagine how that experience might feel over a period of time. And I think the best way to achieve that, and get a feeling for any flaws in your design, is to act it out.
Tapi bagaimana dengan mendesain sesuatu yang tidak ada fisiknya? Sesuatu seperti pelayanan atau pengalaman? Sesuatu yang terlahir dari sederetan interaksi setelah beberapa waktu? Daripada bermain dengan membangun, ini bisa dilakukan dengan role play. Jadi kalau kamu mendesain interaksi antara dua orang seperti, saya tidak tahu, memesan makanan di tempat rast food atau sesuatu, kamu perlu untuk bisa berimajinasi bagaimana pengalaman itu dirasakan setelah waktu tertentu. Dan saya rasa cara terbaik untuk mencapai ini, dan mendapat kesan untuk kekurangan pada desainmu, adalah melalui mempraktekannya.
So we do quite a lot of work at IDEO trying to convince our clients of this. They can be a little skeptical; I’ll come back to that. But a place, I think, where the effort is really worthwhile is where people are wrestling with quite serious problems -- things like education or security or finance or health. And this is another example in a healthcare environment of some doctors and some nurses and designers acting out a service scenario around patient care. But you know, many adults are pretty reluctant to engage with role-play. Some of it’s embarrassment and some of it is because they just don’t believe that what emerges is necessarily valid. They dismiss an interesting interaction by saying, you know, "That’s just happening because they’re acting it out."
Jadi kami melakukan cukup banyak pekerjaan di IDEO mencoba untuk menyakinkan klien kami tentang ini. Mereka bisa agak skeptis, saya akan kembali pada topik itu. Tapi sebuah tempat, saya rasa, di mana usaha itu memang setimpal di mana banyak orang bergumul dengan masalah yang cukup serius. Hal-hal seperti pendidikan atau keamanan atau keuangan atau kesehatan. Dan ini adalah contoh lain dari lingkungan kesehatan dari beberapa dokter dan perawat dan desainer menjalankan skenario pelayanan pada pasien. Tapi kamu tahu, banyak orang dewasa yang cukup enggan untuk melakukan role play. Sebagian karena mereasa malu dan sebagian karena mereka tidak percaya kalau yang timbul itu sebenarnya valid. Mereka tidak menganggap interaksi yang menarik itu dengan berkata, kamu tahu, itu semua terjadi karena mereka hanya berakting.
Research into kids' behavior actually suggests that it’s worth taking role-playing seriously. Because when children play a role, they actually follow social scripts quite closely that they’ve learnt from us as adults. If one kid plays "store," and another one’s playing "house," then the whole kind of play falls down. So they get used to quite quickly to understanding the rules for social interactions, and are actually quite quick to point out when they’re broken.
Riset tentang tingkah laku anak-anak sebenarnya menyarankan bahwa sangatlah berarti untuk menganggap role play secara serius. Karena waktu anak kecil bermain sebuah peran mereka sebenarnya mengikuti naskah sosial dengan cukup dekat yang mereka pelajari dari kita sebagai orang dewasa. Kalau seorang anak bermain toko-tokoan, dan yang lain bermain rumah-rumahan, kemudian permainan secaran keseluruhan terbentuk. Jadi mereka terbiasa, dengan cukup cepat, untuk mengerti peraturan-peraturan untuk interaksi sosial, dan sebenarnya cukup cepat untuk menunjukkan kalau mereka dilanggar.
So when, as adults, we role-play, then we have a huge set of these scripts already internalized. We’ve gone through lots of experiences in life, and they provide a strong intuition as to whether an interaction is going to work. So we’re very good, when acting out a solution, at spotting whether something lacks authenticity. So role-play is actually, I think, quite valuable when it comes to thinking about experiences. Another way for us, as designers, to explore role-play is to put ourselves through an experience which we’re designing for, and project ourselves into an experience.
Jadi ketika, sebagai anak dewasa, kita bermain role play, jadi kita sudah mempunyai kumpulan naskah yang besar yang sudah diinternalisasikan. Kita melalui banyak pengalaman di dalam hidup. Dan mereka memberikan intuisi yang kuat dalam menunjukkan interaksi mana yang akan berhasil. Jadi mereka menjadi sangat ahli dalam menemukan sebuah solusi, dalam melihat apakah sesuatu kurang ketulusan. Jadi role play sebenarnya, saya rasa, cukup berharga untuk berpikir tentang pengalaman. Cara lain untuk kita, sebagai desainer, untuk mengeksplorasi role play adalah dengan menaruh diri kita pada pengalaman di mana kita membuat desain, dan memproyeksikan diri kita dalam sebuah pengalaman.
So here are some designers who are trying to understand what it might feel like to sleep in a confined space on an airplane. And so they grabbed some very simple materials, you can see, and did this role-play, this kind of very crude role-play, just to get a sense of what it would be like for passengers if they were stuck in quite small places on airplanes.
jadi di sini ada beberapa desainer yang mencoba untuk mengerti apa rasanya untuk tidur, misalnya, di tempat sempit dalam pesawat. Jadi mereka mengambil material yang sangat sederhana, seperti yang kamu bisa lihat. Dan melakukan roleh play, semacam role play yang masih kasar, hanya untuk merasakan seperti para penumpang kalau mereka terjebak di tempat-tempat sangat sempit di kapal terbang.
This is one of our designers, Kristian Simsarian, and he’s putting himself through the experience of being an ER patient. Now, this is a real hospital, in a real emergency room. One of the reasons he chose to take this rather large video camera with him was because he didn’t want the doctors and nurses thinking he was actually sick, and sticking something into him that he was going to regret later. So anyhow, he went there with his video camera, and it’s kind of interesting to see what he brought back. Because when we looked at the video when he got back, we saw 20 minutes of this.
Ini adalah salah satu dari desainer kami, Kristian Simsarian, dan dia menaruh dirinya dalam pengalaman menjadi pasien UGD. Sekarang, ini adalah rumah sakit betulan, di UGD betulan. Salah satu alasan kenapa dia memilih untuk membawa video camera yang cukup besar dengannya karena dia tidak mau para dokter dan perawat berpikir kalau dia benar-benar sakit dan menusukkan sesuatu padanya yang dia akan sesali nanti. Jadi, dia pergi ke sana dengan video kamera, dan yang dia bawa pulang sangat menarik. Karena waktu kita melihat videonya setelah dia kembali, kita melihat ini selama 20 menit.
(Laughter)
(Tertawa)
And also, the amazing thing about this video -- as soon as you see it you immediately project yourself into that experience. And you know what it feels like: all of that uncertainty while you’re left out in the hallway while the docs are dealing with some more urgent case in one of the emergency rooms, wondering what the heck’s going on. And so this notion of using role-play -- or in this case, living through the experience as a way of creating empathy -- particularly when you use video, is really powerful.
Dan yang menarik dari video ini, segera kamu melihat ini, kamu akan memproyeksi diri kamu pada pengalaman itu. Dan tahu apa rasanya, semua ketidakpastian itu sewaktu kamu ditinggalkan di gang sementara para dokter menangani kasus-kasus yang lebih darurat di salah satu ruangan UGD, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Dan jadi ide untuk memakai role play, atau dalam hal ini, seperti hidup melalui pengalaman adalah satu cara untuk menciptakan empati, apalagi sewaktu kamu memakai video, itu sangat ampuh.
Or another one of our designers, Altay Sendil: he’s here having his chest waxed, not because he’s very vain, although actually he is -- no, I’m kidding -- but in order to empathize with the pain that chronic care patients go through when they’re having dressings removed. And so sometimes these analogous experiences, analogous role-play, can also be quite valuable.
Atau salah satu dari desainer kami, Altay Sendil, dia mencukur dadanya, bukan karena dia sombong, walaupun sebetulnya memang iya. Bukan, saya bercanda. Tapi untuk merasakan empati dengan rasa sakit yang dirasakan pasien kronis yang harus dilalui waktu balutan mereka diganti. Dan kadang-kadang pengalaman analogi ini, seperti role play analogi, bisa menjadi sangat berharga.
So when a kid dresses up as a firefighter, you know, he’s beginning to try on that identity. He wants to know what it feels like to be a firefighter. We’re doing the same thing as designers. We’re trying on these experiences. And so the idea of role-play is both as an empathy tool, as well as a tool for prototyping experiences. And you know, we kind of admire people who do this at IDEO anyway. Not just because they lead to insights about the experience, but also because of their willingness to explore and their ability to unselfconsciously surrender themselves to the experience. In short, we admire their willingness to play.
Jadi waktu seorang anak berpakaian seperti pemadam kebakaran, seperti kamu tahu, dia mulai mencoba identitas tersebut. Dia mau tahu rasanya menjadi pemadam kebakaran. Kami melakukan hal yang sama sebagai desainer. Kami mencoba dengan pengalaman-pengalaman ini. Dan jadi ide role play itu adalah alat untuk rasa empati, juga alat untuk mencontoh pengalaman-pengalaman tersebut. Dan seperti kamu tahu, kami mengagumi orang-orang yang melakukan ini di IDEO. Bukan hanya karena mereka memimpin dengan masukan-masukan dari pengalaman itu, tapi juga karena mereka bersedia untuk eksplorasi dan kemampuan mereka, tidak secara terlalu sadar diri untuk menyerahkan diri mereka ke dalam pengalaman. Singkatnya, kami mengagumi kebersediaan mereka untuk bermain.
Playful exploration, playful building and role-play: those are some of the ways that designers use play in their work. And so far, I admit, this might feel like it’s a message just to go out and play like a kid. And to certain extent it is, but I want to stress a couple of points. The first thing to remember is that play is not anarchy. Play has rules, especially when it’s group play. When kids play tea party, or they play cops and robbers, they’re following a script that they’ve agreed to. And it’s this code negotiation that leads to productive play.
Jadi eksplorasi bermain, membangun dengan jiwa bermain dan role play. Dan mereka adalah beberapa cara yang dipakai desainer untuk bermain sewaktu bekerja. Dan sejauh ini, saya akui, kalau ini mungkin terasa seperti pesan untuk keluar dan bermain seperti anak kecil. Dan sepertinya memang iya, tapi saya mau menekankan beberapa poin. Hal pertama yang perlu diingat adalah bermain itu bukan anarki. Bermain itu memiliki peraturan, khususnya bermain dalam group. Waktu anak kecil bermain pesta minum teh, atau mereka bermain polisi dan pencuri, mereka mengikuti naskah yang sudah mereka setujui. Dan ini adalah kode negosiasi yang menghasilkan bermain yang produktif.
So, remember the sketching task we did at the beginning? The kind of little face, the portrait you did? Well, imagine if you did the same task with friends while you were drinking in a pub. But everybody agreed to play a game where the worst sketch artist bought the next round of drinks. That framework of rules would have turned an embarrassing, difficult situation into a fun game. As a result, we’d all feel perfectly secure and have a good time -- but because we all understood the rules and we agreed on them together.
Jadi ingat dengan tugas sketsa yang kita lakukan pada permulaan? Seperti sebuah wajah kecil, potret yang kamu lakukan? Yah, bayangkan kalau kamu melakukan hal yang sama dengan teman-teman kamu waktu kamu sedang minum-minum di pub. Tapi semua orang sudah setuju untuk bermain. di mana artis dengan sketsa paling jelek mentraktir pesanan minum selanjutnya. Cara kerja dari peraturan itu bisa merubah situasi yang memalukan, situasi yang sulit, menjadi permainan yang seru. Dan hasilnya, kamu tahu, kita menjadi merasa aman dan menikmati waktu itu -- tapi karena kita semua mengerti peraturannya dan kita menyetujuinya bersama-sama.
But there aren’t just rules about how to play; there are rules about when to play. Kids don’t play all the time, obviously. They transition in and out of it, and good teachers spend a lot of time thinking about how to move kids through these experiences. As designers, we need to be able to transition in and out of play also. And if we’re running design studios we need to be able to figure out, how can we transition designers through these different experiences? I think this is particularly true if we think about the sort of --
Tapi tidak saja hanya ada peraturan bagaimana untuk bermain, ada peraturan kapan untuk bermain. Anak-anak tidak bermain setiap waktu, tentu saja. Mereka bertransisi masuk dan keluar. Dan para guru, seperti kamu tahu, guru-guru yang baik menggunakan banyak waktu berpikir bagaimana caranya untuk membawa anak-anak melalui pengalaman-pengalaman ini. Dan sebagai desainer, kita perlu bisa untuk bertransisi masuk dan keluar dari bermain juga. Dan kalau kita menjalankan studio desain klita perlu bisa memecahkan, bagaimana kita bisa mentransisikan para desainer melalui pengalaman-pengalaman yang berbeda? Saya rasa ini terlebih lagi benar kalau kita berpikir tentang, sepertinya
I think what’s very different about design is that we go through these two very distinctive modes of operation. We go through a sort of generative mode, where we’re exploring many ideas; and then we come back together again, and come back looking for that solution, and developing that solution. I think they’re two quite different modes: divergence and convergence. And I think it’s probably in the divergent mode that we most need playfulness. Perhaps in convergent mode we need to be more serious. And so being able to move between those modes is really quite important. So, it’s where there’s a more nuanced version view of play, I think, is required.
Saya rasa yang sangat berbeda pada desain adalah kita melalui dua model untuk beroperasi yang sangat berbeda. Kita melalui mode mengenerasi ide-ide, di mana kita mengeksplorasi banyak ide. Dan kemudian, kita kembali berembuk lagi, dan kembali mencari untuk semacam solusi, dan mengembangkan solusi itu. Saya rasa itu ada dua mode yang berbeda. Divergensi dan konvergensi. Dan saya rasa mungkin di mode divergensi kita paling memerlukan jiwa bermain. Mungkin di mode konvergensi kita perlu lebih serius. Dan untuk bisa berpindah antara dua mode ini adalah sangat penting. Jadi di mana ada, sepertinya, pandangan akan bermain yang lebih bertema, saya rasa, diperlukan.
Because it’s very easy to fall into the trap that these states are absolute. You’re either playful or you’re serious, and you can’t be both. But that’s not really true: you can be a serious professional adult and, at times, be playful. It’s not an either/or; it’s an "and." You can be serious and play. So to sum it up, we need trust to play, and we need trust to be creative. So, there’s a connection. And there are a series of behaviors that we’ve learnt as kids, and that turn out to be quite useful to us as designers. They include exploration, which is about going for quantity; building, and thinking with your hands; and role-play, where acting it out helps us both to have more empathy for the situations in which we’re designing, and to create services and experiences that are seamless and authentic.
Karena sangatlah mudah untuk jatuh ke perangkap kalau kedua kondisi ini absolut. Antara kamu berjiwa bermain, atau kamu serius, dan kamu tidak bisa keduanya. Tapi itu tidak benar. Kamu bisa menjadi profesional dewasa yang serius dan, terkadang, suka bermain. Ini bukanlah atau, tapi adalah dan. Kamu bisa serious dan bermain. Jadi untuk merangkum semuanya, kita perlu kepercayaan untuk bermain, dan kita perlu kepercayaan untuk menjadi kreatif, karena di sana ada hubungan. Dan ada sederetan tingkah laku yang kita pelajari sewaktu masih anak-anak, dan itu bisa menjadi berguna untuk kita sebagai desainer. Mereka termasuk eksplorasi, yang bertujuan pada kuantitas. Membangun dan berpikir dengan tangan-tangan mereka. Dan role play, di mana acting membantu kita untuk mempunyai empati pada situasi-situasi di mana kita desain, dan untuk membuat servis dan pengalaman yang berkesinambungan dan tulus.
Thank you very much. (Applause)
Terima kasih banyak.