I'm a bit of a perfectionist. Now, how many times have you heard that one? Over drinks, maybe, with friends, or perhaps with family at Thanksgiving. It's everyone's favorite flaw, it's that now quite common response to the difficult, final question at job interviews: "My biggest weakness? That's my perfectionism."
Saya itu sedikit perfeksionis. Berapa kali kalian dengar orang lain berbicara seperti itu? Mungkin saat minum-minum dengan teman atau saat acara selamatan keluarga Itu kekurangan semua orang, juga jawaban paling umum kalau menghadapi pertanyaan tersulit di akhir wawancara kerja "Kekurangan terbesar saya? Saya itu perfeksionis."
You see, for something that supposedly holds us back, it's quite remarkable how many of us are quite happy to hold our hands up and say we're perfectionists. But there's an interesting and serious point because our begrudging admiration for perfection is so pervasive that we never really stop to question that concept in its own terms. What does it say about us and our society that there is a kind of celebration in perfection?
Buat ukuran sesuatu yang harusnya menghalangi kita, hebatnya, kebanyakan dari kita bisa angkat tangan dan bangga mengakui kita perfeksionis. Tapi ada hal menarik dan serius dari sana karena obsesi dan iri kita terhadap kesempurnaan ada di mana-mana sampai kita tidak pernah mempertanyakan konsep itu sendiri. Apa yang tercermin dari kita dan masyarakat kita dari adanya semacam pemujaan terhadap kesempurnaan?
We tend to hold perfectionism up as an insignia of worth. The emblem of the successful. Yet, in my time studying perfectionism, I've seen limited evidence that perfectionists are more successful. Quite the contrary -- they feel discontented and dissatisfied amid a lingering sense that they're never quite perfect enough. We know from clinician case reports that perfectionism conceals a host of psychological difficulties, including things like depression, anxiety, anorexia, bulimia and even suicide ideation. And what's more worrying is that over the last 25 years, we have seen perfectionism rise at an alarming rate. And at the same time, we have seen more mental illness among young people than ever before. Rates of suicide in the US alone increased by 25 percent across the last two decades. And we're beginning to see similar trends emerge across Canada, and in my home country, the United Kingdom.
Kita cenderung menganggap watak perfeksionis sebagai simbol harga diri. Lambang dari kesuksesan. Tapi, semasa saya belajar tentang perfeksionisme, Saya lihat bukti kesuksesan orang perfeksionis itu sedikit Justru sebaliknya -- Mereka merasa kecewa dan tidak puas di tengah perasaan mendalam kalau mereka tidak cukup sempurna. Kita tahu dari laporan klinis di balik perfeksionisme ada banyak masalah kejiwaan, contohnya depresi, gangguan kecemasan, anoreksia, bulimia bahkan keinginan untuk bunuh diri. Dan yang lebih mengkhawatirkan, dalam 25 tahun terakhir ini, perfeksionisme terus-menerus meningkat secara mengkhawatirkan. Dan di saat yang bersamaan, semakin banyak anak muda yang mengalami masalah kejiwaan Angka bunuh diri di Amerika Serikat saja meningkat sebesar 25% sepanjang dua puluh tahun terakhir. Dan fenomena yang sama juga mulai bermunculan di sekitar Kanada, juga di negara asal saya, Inggris.
Now, our research is suggesting that perfectionism is rising as society is changing. And a changed society reflects a changed sense of personal identity and, with it, differences in the way in which young people interact with each other and the world around them. And there are some unique characteristics about our preeminent, market-based society that include things like unrestricted choice and personal freedom, and these are characteristics that we feel are contributing to almost epidemic levels of this problem.
Nah, penelitian menyiratkan perfeksionisme semakin bertambah seiring dengan berubahnya masyarakat. Perubahan masyarakat mengubah identitas pribadi kita dan juga cara kaum muda berinteraksi dengan satu sama lain dan dunia di sekitar mereka. Ada ciri-ciri unik dari masyarakat unggul kita yang berbasis pasar seperti pilihan tidak terbatas dan kebebasan pribadi, dan ini ciri-ciri yang terus kita sumbangkan kepada masalah ini hingga hampir menyebar ke semua orang.
So let me give you an example. Young people today are more preoccupied with the attainment of the perfect life and lifestyle. In terms of their image, status and wealth. Data from Pew show that young people born in the US in the late 1980s are 20 percent more likely to report being materially rich as among their most important life goals, relative to their parents and their grandparents. Young people also borrow more heavily than did older generations, and they spend a much greater proportion of their income on image goods and status possessions. These possessions, their lives and their lifestyles are now displayed in vivid detail on the ubiquitous social media platforms of Instagram, Facebook, Snapchat. In this new visual culture, the appearance of perfection is far more important than the reality.
Saya akan memberikan satu contoh. Orang muda zaman sekarang lebih fokus memperoleh kehidupan dan gaya hidup yang sempurna dari segi pencitraan, status, dan kekayaan mereka. Data dari Institut Pew menunjukkan kaum muda yang lahir di AS pada akhir tahun 1980-an 20% lebih memungkinkan akan menyatakan kekayaan materiil adalah salah satu tujuan terpenting dalam hidup mereka, selain orangtua dan kakek nenek mereka. Dibandingkan generasi dulu, kaum muda sering meminjam uang dan mereka juga menghabiskan lebih banyak pendapatan mereka untuk barang-barang mewah yang menunjukkan status mereka. Benda-benda mewah, kehidupan, dan gaya kehidupan mereka sekarang ditampilkan jelas-jelas di media sosial populer seperti Instagram, Facebook, Snapchat. Dalam budaya visual baru ini, Pencitraan dari kesempurnaan lebih penting daripada realita hidup.
If one side of the modern landscape that we have so lavishly furnished for young people is this idea that there's a perfectible life and that there's a perfectible lifestyle, then the other is surely work. Nothing is out of reach for those who want it badly enough. Or so we're told. This is the idea at the heart of the American dream. Opportunity, meritocracy, the self-made person, hard work. The notion that hard work always pays off. And above all, the idea that we're captains of our own destiny. These ideas, they connect our wealth, our status and our image with our innate, personal value.
Jika dalam satu sisi dari kota modern yang sudah kita isi semeriah mungkin untuk kaum muda adalah pemikiran bahwa ada hidup yang bisa kita sempurnakan dan hidup seperti itu sungguhan ada, lantas sisi lainnya adalah bekerja. Tak ada yang tak bisa digapai oleh mereka yang berkeinginan besar. Atau setidaknya begitu ceritanya. Ini adalah pemikiran terdasar dari mimpi orang Amerika. Kesempatan, kesuksesan individual, usaha sendiri, kerja keras. Kepercayaan bahwa kerja keras selalu membuahkan hasil. Dan yang paling penting, pemikiran bahwa kitalah yang mengendalikan takdir sendiri. Pemikiran-pemikiran seperti ini mengaitkan kekayaan, status, dan pencitraan kita dengan harga dalam diri kita sendiri.
But it is, of course, complete fiction. Because even if there were equality of opportunity, the idea that we are captains of our own destiny disguises a much darker reality for young people that they are subject to an almost ongoing economic tribunal. Metrics, rankings, lead tables have emerged as the yardsticks for which merit can be quantified and used to sort young people into schools, classes and colleges.
Tapi tentu saja, itu isapan jempol belaka. Karena meskipun kesempatan yang sama untuk semua orang memang ada, pemikiran bahwa kitalah pengendali dari takdir kita sendiri menyembunyikan realita hidup yang lebih kelam untuk kaum muda bahwa mereka akan dihakimi oleh ekonomi yang hampir selalu berputar. Nilai angka dan daftar peringkat telah menjadi alat ukur kuantitatif dari kemampuan kita yang digunakan untuk menyortir anak muda ke dalam sekolah, kelas, dan kampus.
Education is the first arena where measurement is so publicly played out and where metrics are being used as a tool to improve standards and performance. And it starts young. Young people in America's big city high schools take some 112 mandatory standardized tests between prekindergarten and the end of 12th grade. No wonder young people report a strong need to strive, perform and achieve at the center of modern life. They've been conditioned to define themselves in the strict and narrow terms of grades, percentiles and lead tables.
Pendidikan adalah arena pertama di mana pengukuran standar terang-terangan dilakukan dan nilai-nilai angka diberlakukan sebagai alat untuk meningkatkan minimum pencapaian dan performa. Itu sudah dimulai sejak muda. Anak-anak yang bersekolah di SMA kota besar di Amerika mengikuti sejenis 112 ujian standarisasi wajib sepanjang prasekolah dan di akhir kelas 12. Tidak heran kalau kaum muda bilang mereka harus berusaha keras, berkinerja, dan memperoleh pencapaian di tengah kehidupan modern. Mereka sudah dibiasakan untuk menciptakan diri mereka sendiri melalui standar-standar sempit dan ketat seperti nilai, persentil, dan peringkat.
This is a society that preys on their insecurities. Insecurities about how they are performing and how they are appearing to other people. This is a society that amplifies their imperfections. Every flaw, every unforeseen setback increases a need to perform more perfectly next time, or else, bluntly, you're a failure. That feeling of being flawed and deficient is especially pervasive -- just talk to young people. "How should I look, how should I behave?" "I should look like that model, I should have as many followers as that Instagram influencer, I must do better in school."
Masyarakat kita menarget rasa tidak percaya diri dalam kaum muda. Keraguan tentang bagaimana performa mereka dan bagaimana orang lain melihat mereka. Masyarakat kita sangat menekankan ketidaksempurnaan mereka. Setiap kekurangan dan setiap kegagalan tidak terduga semakin menambah keharusan untuk menjadi lebih sempurna lain kali, kalau tidak, kasarnya, Anda itu gagal. Merasa bahwa Anda cacat dan belum cukup bagus itu ada sepanjang waktu -- Coba saja bicara ke kaum muda. "Penampilanku dan sikapku harus gimana?" "Aku harus jadi seperti model itu, pengikutku harus sebanyak artis IG itu, aku harus jadi lebih baik di sekolah."
In my role as mentor to many young people, I see these lived effects of perfectionism firsthand. And one student sticks out in my mind very vividly. John, not his real name, was ambitious, hardworking and diligent and on the surface, he was exceptionally high-achieving, often getting first-class grades for his work. Yet, no matter how well John achieved, he always seemed to recast his successes as abject failures, and in meetings with me, he would talk openly about how he'd let himself and others down. John's justification was quite simple: How could he be a success when he was trying so much harder than other people just to attain the same outcomes?
Dalam peran saya sebagai mentor untuk banyak orang muda, Saya sudah melihat langsung dampak perfeksionisme pada mereka Dan ada satu murid yang saya ingat sekali. John, nama samaran, dulunya ambisius, pekerja keras dan rajin dan di luar, dia kelihatan sangat berprestasi, dia sering dapat nilai bagus di sekolah. Namun, tidak peduli seberapa bagus pencapaian John, dia selalu menganggap kesuksesannya sebagai kegagalan besar, dan setiap kali bertemu dengan saya, dia selalu mengakui kalau dia sudah mengecewakan diri sendiri dan orang lain. Alasan John waktu itu sederhana: Bagaimana bisa dia sukses kalau dia lebih berusaha dari yang lain hanya untuk mencapai tujuan yang sama?
See, John's perfectionism, his unrelenting work ethic, was only serving to expose what he saw as his inner weakness to himself and to others. Cases like John's speak to the harmfulness of perfectionism as a way of being in the world. Contrary to popular belief, perfectionism is never about perfecting things or perfecting tasks. It's not about striving for excellence. John's case highlights this vividly. At its root, perfectionism is about perfecting the self. Or, more precisely, perfecting an imperfect self.
Nah, perfeksionisme John, etos kerjanya yang tidak mengenal kata menyerah, hanya mengekspos apa yang menurutnya kelemahan terbesarnya untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kasus seperti John mencerminkan bahaya dari sifat perfeksionis sebagai cara untuk eksis di dunia. Tidak seperti yang banyak orang percaya, Perfeksionisme bukan menyempurnakan suatu benda atau tugas Anda. Itu juga bukan mencapai yang terbaik. Kasus John merupakan contoh kuat. Pada dasarnya, perfeksionisme adalah menyempurnakan diri sendiri. Atau, lebih tepatnya, menyempurnakan diri sendiri yang tidak sempurna.
And you can think about it like a mountain of achievement that perfectionism leads us to imagine ourselves scaling. And we think to ourselves, "Once I've reached that summit, then people will see I'm not flawed, and I'll be worth something." But what perfectionism doesn't tell us is that soon after reaching that summit, we will be called down again to the fresh lowlands of insecurity and shame, just to try and scale that peak again. This is the cycle of self-defeat. In the pursuit of unattainable perfection, a perfectionist just cannot step off. And it's why it's so difficult to treat.
Kalian bisa bayangkan hal itu seperti sebuah gunung pencapaian yang kita coba panjat karena suruhan perfeksionisme. Lalu, kita jadi berpikir sendiri, "Kalau aku sudah mencapai puncak gunung, orang-orang akan lihat aku tidak cacat, dan aku akan jadi lebih bernilai." Tapi, perfeksionisme tidak bilang ke kita kalau sudah tiba di puncak itu, kita akan disuruh balik ke dataran rendah penuh rasa malu dan tidak percaya diri. hanya untuk mencoba naik lagi. Ini adalah siklus dari rasa tidak berdaya. Dalam mencapai kesempurnaan mustahil, seorang perfeksionis tidak bisa mundur. Makanya, susah sekali mengobatinya.
Now, we've known for decades and decades that perfectionism contributes to a host of psychological problems, but there was never a good way to measure it. That was until the late 1980s when two Canadians, Paul Hewitt and Gordon Flett, came along and developed a self-report measure of perfectionism. So that's right, folks, you can measure this, and it essentially captures three core elements of perfectionism. The first is self-oriented perfectionism, the irrational desire to be perfect: "I strive to be as perfect as I can be." The second is socially prescribed perfectionism, the sense that the social environment is excessively demanding: "I feel that others are too demanding of me." And the third is other-oriented perfectionism, the imposition of unrealistic standards on other people: "If I ask somebody to do something, I expect it to be done perfectly."
Kita sudah mengetahui dari lama sekali Perfeksionisme menyebabkan sejumlah masalah gangguan jiwa, tapi cara bagus untuk mengukurnya tidak pernah ada. Setidaknya, sampai akhir tahun 1980-an saat dua orang Kanada, Paul Hewitt dan Gordon Flett, mengembangkan pengukuran mandiri untuk perfeksionisme. Benar, kalian bisa mengukur perfeksionisme dan hasilnya akan mengungkap tiga elemen utama dari perfeksionisme. Pertama, tipe yang berorientasi pada diri sendiri, keinginan irasional untuk jadi sempurna: "Aku berusaha untuk menjadi sesempurna yang aku bisa." Yang kedua adalah perfeksionisme sosial, Perasaan bahwa lingkungan sosial menuntut Anda berlebihan: "Aku merasa orang lain terlalu banyak meminta dariku." Yang ketiga, perfeksionisme yang berorientasi pada orang lain, memaksa orang lain agar memenuhi standar berlebihan Anda: "Kalau aku menyuruh orang lain ini itu, aku mau hasilnya sempurna."
Now, research shows that all three elements of perfectionism associate with compromised mental health, including things like heightened depression, heightened anxiety and suicide ideation. But, by far, the most problematic element of perfectionism is socially prescribed perfectionism. That sense that everyone expects me to be perfect. This element of perfectionism has a large correlation with serious mental illness. And with today's emphasis on perfection at the forefront of my mind, I was curious to see whether these elements of perfectionism were changing.
Nah, riset membuktikan semua tiga unsur perfeksionisme berkaitan dengan jiwa yang tidak sehat, sebagai contoh, depresi parah, kecemasan parah, hingga keinginan untuk bunuh diri. Namun, elemen perfeksionisme yang paling bermasalah adalah perfeksionisme sosial. Perasaan bahwa semua orang mengharap kesempurnaan dari kita. Unsur perfeksionisme ini berkaitan erat dengan gangguan mental serius. Dengan penekanan berat pada kesempurnaan daripada kesehatan jiwa, Saya jadi ingin tahu apakah elemen-elemen perfeksionisme ini berubah
To date, research in this area is focused on immediate family relations, but we wanted to look at it at a broader level. So we took all of the data that had ever been collected in the 27 years since Paul and Gordon developed that perfectionism measure, and we isolated the data in college students. This turned out to be more than 40,000 young people from American, Canadian and British colleges, and with so much data available, we looked to see if there was a trend. And in all, it took us more than three years to collate all of this information, crunch the numbers, and write our report. But it was worth it because our analysis uncovered something alarming. All three elements of perfectionism have increased over time. But socially prescribed perfectionism saw the largest increase, and by far.
Sampai sekarang, riset dalam bidang ini hanya berfokus pada hubungan keluarga, tapi kami ingin melihat fenomena ini dalam ruang lingkup lebih luas, jadi, kami mengambil semua data yang sudah pernah dikumpulkan dalam 27 tahun sejak Paul dan Gordon mengembangkan tolak ukur perfeksionisme, dan memisahkan data tentang mahasiswa. Ternyata, ada lebih dari 40.000 anak muda berkuliah di Amerika, Kanada, dan Inggris, dan dengan banyaknya data yang ada, kami mengamati apakah ada pola tertentu. Secara keseluruhan, itu makan waktu lebih dari 3 tahun untuk menyusun semua informasi, menghitung semua data angka, hingga menulis laporannya. Tapi semua itu terbayar karena hasil analisis kami menemukan suatu bahaya. Semua tiga elemen perfeksionisme ini malah terus meningkat dari waktu ke waktu. Tapi peningkatan dalam perfeksionisme sosial justru paling besar sejauh ini.
In 1989, just nine percent of young people report clinically relevant levels of socially prescribed perfectionism. Those are levels that we might typically see in clinical populations. By 2017, that figure had doubled to 18 percent. And by 2050, projections based on the models that we tested indicate that almost one in three young people will report clinically relevant levels of socially prescribed perfectionism. Remember, this is the element of perfectionism that has the largest correlation with serious mental illness, and that's for good reason.
Tahun 1989, hanya 9% anak muda yang melaporkan gejala klinis dari perfeksionisme sosial Angka sedemikian rupa mungkin biasa kita lihat dari pasien tertentu. Tahun 2017, persentasenya sudah naik 2x lipat hingga 18%. Dan pada tahun 2050, perekaan berdasarkan model yang telah kami uji coba mengindikasikan bahwa hampir 1 banding 3 anak muda akan mengalami gejala klinis dari perfeksionisme sosial Ingat, ini elemen perfeksionisme yang paling berkaitan erat dengan gangguan mental serius, dan alasannya kuat.
Socially prescribed perfectionists feel a unrelenting need to meet the expectations of other people. And even if they do meet yesterday's expectation of perfection, they then raise the bar on themselves to an even higher degree because these folks believe that the better they do, the better that they're expected to do. This breeds a profound sense of helplessness and, worse, hopelessness.
Seorang perfeksionis sosial merasakan keharusan kuat untuk memenuhi ekspektasi dari orang lain. Bahkan jika mereka memenuhi ekspektasi kesempurnaan yang lalu, mereka akan meningkatkan standar pribadi mereka hingga jauh lebih tinggi karena mereka percaya jika semakin baik performa mereka, orang-orang semakin berharap pada mereka. Dari sanalah ketidakberdayaan, dan lebih parah lagi, keputusasaan mendalam lahir
But is there hope? Of course there's hope. Perfectionists can and should hold on to certain things -- they are typically bright, ambitious, conscientious and hardworking. And yes, treatment is complex. But a little bit of self-compassion, going easy on ourselves when things don't go well, can turn those qualities into greater personal peace and success. And then there's what we can do as caregivers.
Tapi apa ada harapan? Tentu saja ada. Orang-orang perfeksionis bisa dan harus percaya hal-hal tertentu -- seperti mereka itu umumnnya pintar, ambisius, tekun, dan rajin. Dan ya, pengobatannya juga rumit. Tapi, dengan sedikit mengasihi diri Anda sendiri, bersikap lembut pada diri sendiri ketika semua tidak berjalan baik, dapat mengubah semua kelebihan itu menjadi kedamaian dan kesuksesan pribadi. Lalu, ada yang bisa kita lakukan sebagai pengasuh.
Perfectionism develops in our formative years, and so young people are more vulnerable. Parents can help their children by supporting them unconditionally when they've tried but failed. And Mom and Dad can resist their understandable urge in today's highly competitive society to helicopter-parent, as a lot of anxiety is communicated when parents take on their kids' successes and failures as their own.
Perfeksionisme berkembang pada masa pertumbuhan, jadi anak-anak muda lebih rentan. Orangtua bisa membantu anak mereka dengan cara memberi dukungan tulus saat mereka gagal meski sudah berusaha. Ayah dan Ibu bisa menahan godaan yang bisa dipahami untuk mengendalikan anak di tengah masyarakat sekarang yang amat kompetitif, sebab kegelisahan akan sangat kentara ketika orang tua menganggap kesuksesan dan kegagalan anak sebagai milik pribadi.
But ultimately, our research raises important questions about how we are structuring society and whether our society's heavy emphasis on competition, evaluation and testing is benefiting young people. It's become commonplace for public figures to say that young people just need a little bit more resilience in the face of these new and unprecedented pressures. But I believe that is us washing our hands of the core issue because we have a shared responsibility to create a society and a culture in which young people need less perfection in the first place.
Penelitian kami mengangkat sejumlah pertanyaan penting seperti bagaimana kita menata masyarakat dan apakah masyarakat kita yang amat menekankan kompetisi dan evaluasi menguntungkan anak-anak muda. Seringkali banyak tokoh masyarakat yang mengatakan anak-anak muda hanya perlu menjadi sedikit lebih tangguh di hadapan tekanan-tekanan baru yang tak terduga. Tapi saya percaya itu hanya usaha kita menghindari inti masalah ini karena kita punya tanggung jawab bersama untuk menciptakan masyarakat dan budaya yang tidak terlalu menekankan kesempurnaan pada kaum muda sejak awal.
Let's not kid ourselves. Creating that kind of world is an enormous challenge, and for a generation of young people that live their lives in the 24/7 spotlight of metrics, lead tables and social media, perfectionism is inevitable, so long as they lack any purpose in life greater than how they are appearing or how they are performing to other people.
Seriusnya, menciptakan dunia serupa adalah tantangan yang sangat besar, dan untuk generasi muda yang hidup di bawah lampu sorot penuh standar nilai, peringkat, dan media sosial sepanjang waktu, perfeksionisme tak bisa dihindari, selama mereka tidak punya tujuan hidup yang lebih dari penampilan mereka juga performa mereka di hadapan orang lain.
What can they do about it? Every time they are knocked down from that mountaintop, they see no other option but to try scaling that peak again. The ancient Greeks knew that this endless struggle up and down the same mountain is not the road to happiness. Their image of hell was a man called Sisyphus, doomed for eternity to keep rolling the same boulder up a hill, only to see it roll back down and have to start again. So long as we teach young people that there is nothing more real or meaningful in their lives than this hopeless quest for perfection, then we are going to condemn future generations to that same futility and despair.
Apa yang bisa mereka lakukan? Setiap kali mereka dijatuhkan dari puncak gunung kesempurnaan, mereka merasa tak punya pilihan selain mencapai puncak itu lagi. Orang-orang Yunani kuno tahu kalau perjuangan tanpa akhir naik turun gunung yang sama bukanlah jalan menuju kebahagiaan. Bayangan mereka akan neraka adalah pria bernama Sisyphus, yang dikutuk selamanya menggelindingkan batu besar yang sama ke atas bukit, hanya untuk mulai dari awal karena batunya selalu menggelinding turun. Jadi, selama kita mengajari anak-anak muda bahwa hal paling bermakna dalam hidup mereka hanyalah usaha sia-sia mengejar kesempurnaan, maka kita akan menjebak generasi berikutnya dalam keputusasaan dan kesia-siaan yang sama.
And so we're left with a question. When are we going to appreciate that there is something fundamentally inhuman about limitless perfection? No one is flawless. If we want to help our young people escape the trap of perfectionism, then we will teach them that in a chaotic world, life will often defeat us, but that's OK. Failure is not weakness. If we want to help our young people outgrow this self-defeating snare of impossible perfection, then we will raise them in a society that has outgrown that very same delusion.
Jadi, kita pun dibuat bertanya-tanya. Kapan kita akan memahami kalau kesempurnaan tanpa batas pada dasarnya tidak manusiawi? Tidak ada orang yang tanpa cela. Kalau kita mau membantu anak-anak muda kita kabur dari jebakan perfeksionisme, maka kita ajari mereka kalau di dunia yang tidak teratur ini, hidup akan sering menjatuhkan kita, tapi itu bukan masalah. Kegagalan bukanlah kelemahan. Kalau kita ingin membantu anak-anak muda kita lepas dari jeratan setan berupa kesempurnaan yang mustahil ini, kita akan mengasuh mereka dalam lingkungan tanpa delusi kesempurnaan.
But most of all, if we want our young people to enjoy mental, emotional and psychological health, then we will invite them to celebrate the joys and the beauties of imperfection as a normal and natural part of everyday living and loving.
Tapi, yang terpenting, jika kita ingin anak-anak muda menikmati kesehatan jiwa dan emosi, kita akan ajak mereka merayakan kebahagiaan dan keindahan dari ketidaksempurnaan sebagai unsur alami dan normal dari setiap hari kita hidup dan mengasihi sesama.
Thank you very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(tepuk tangan)