You and your friend need to ace Friday’s exam to avoid summer classes, and after a week of studying, you both feel confident that you pulled it off. But when you get your grades back, they’re much lower than the two of you expected. You’re devastated. However, your friend doesn't seem too bothered, and it's making you wonder why you can't shake this off like they can. But should you really be trying to look on the bright side? And is controlling our emotions even possible in the first place?
Anda dan kawan perlu lulus peperiksaan Jumaat ini untuk elak kelas musim panas, dan selepas seminggu mengulangkaji, anda berasa yakin untuk mendudukinya. Tapi, bila keputusan keluar, keputusannya lebih rendah daripada yang diharapkan. Anda berasa hampa. Tapi, rakan anda seperti tak ambil peduli, dan ia membuatkan anda tertanya-tanya mengapa anda sukar buat sebegitu. Tetapi, betul ke anda perlu cuba melihat hikmah di sebaliknya? Dan betul ke kita boleh mengawal emosi kita sebenarnya?
The answer to the last question is a definitive “yes.” There are numerous strategies for regulating our emotions, and one framework to understand these techniques is called the Process Model. Psychologists use this tool to identify where and how to intervene in the process that forms our emotions. That process has four steps: first, we enter a situation, real or imagined, and that draws our attention. Then we evaluate, or appraise, the situation and whether it helps or hinders our goals. Finally, this appraisal leads to a set of changes in how we feel, think, and behave, known as an emotional response.
Jawapan untuk soalan yang kedua semestinya “boleh”. Ada banyak strategi untuk mengawal emosi kita, dan satu cara untuk memahami teknik-teknik ini dipanggil Model Proses. Ahli-ahli psikologi menggunakannya untuk mengenalpasti letak dan cara mencelah proses yang membentuk emosi kita. Proses-proses ini ada empat langkah: pertama, ketika berada dalam satu situasi, nyata atau khayalan, dan perkara yang menarik perhatian kita. Kemudian, kita nilaikan situasi tersebut sama ada ia membantu atau menghalang matlamat. Akhir sekali, penilaian ini mengubah perasaan, cara berfikir dan kelakuan kita, yang dikenali sebagai tindakbalas emosi.
Each step of this process offers an opportunity to consciously intervene and change our emotions, and the Process Model outlines what strategies we might try at each phase. To see this in action, let’s imagine you’ve been invited to the same party as your least-favorite ex and their new partner. Your first strategy could be avoiding the situation altogether by skipping the party. But if you do attend, you could also try modifying the situation by choosing not to interact with your ex. If that’s proving difficult, you might want to shift your attention, maybe by playing a game with your friends rather than focusing on your ex’s new partner. Another option would be to re-evaluate how you think about the situation. After seriously reappraising things, you might realize that you don’t care who your ex dates. If none of these strategies work, you can always try tempering your emotional response after the fact. But this can be tricky. Many of the easiest ways to do this, like hiding your emotions or trying to change them with recreational drugs, generally lead to more negative feelings and health concerns in the long term. More sustainable strategies here include going for a long walk, taking slow, deep breaths, or talking with someone in your support system.
Setiap langkah proses ini berikan peluang untuk kita tangani secara sedar dan mengubah emosi kita, dan Model Proses menggariskan strategi yang boleh digunakan di setiap fasa. Untuk lebih jelas, jom kita bayangkan anda dijemput hadir ke majlis yang sama dengan bekas kekasih paling tak disukai dan pasangan barunya. Strategi pertama anda, mestilah mengelak situasi ni sama sekali dengan langsung tak ke majlis itu. Tapi kalau anda pergi, anda mungkin boleh ubah situasi itu dengan tidak berinteraksi dengan bekas kekasih anda itu. Kalau itu suatu yang sukar, anda boleh alihkan perhatian dengan bermain permainan dengan rakan-rakan lain daripada beri perhatian pada pasangan baru mantan anda. Pilihan lain adalah menilai semula bagaimana anda fikirkan situasi tersebut. Setelah menilai semuanya dengan serius, anda mungkin sedar anda tidak peduli pun siapa pasangan mantan anda. Kalau semua cara ini tak berhasil, anda boleh saja gubahkan respon emosi selepas semuanya terjadi. Tapi ia tak begitu mudah. Antara cara paling senang, sorokkan emosi anda atau cuba ubahkan ia dengan dadah, yang mana umumnya ia membawa kepada perasaan negatif dan kesihatan buruk. Cara yang lebih baik dan sihat termasuklah pergi berjalan sendirian, melakukan pernafasan perlahan dan dalam, atau bercakap dengan orang dipercayai.
While using all these strategies well takes practice, learning to notice your emotions and reflect on where they’re coming from is half the battle. And once you’ve truly internalized that you can regulate your emotions, doing so becomes much easier. But should you use these techniques to constantly maintain a good mood? That answer depends on how you define what makes a mood “good.” It's tempting to think we should always try to avoid sadness and frustration, but no emotion is inherently good or bad— they’re either helpful or unhelpful depending on the situation. For example, if a friend is telling you about the loss of a loved one, feeling and expressing sadness isn’t just appropriate, it can help you empathize and support them. Conversely, while it’s unhealthy to regularly ignore your emotions, forcing a smile to get through a one-time annoyance is perfectly reasonable.
Oleh kerana strategi-strategi ini perlukan latihan yang kerap, mempelajari untuk kenalpasti emosi anda dan fikirkan kembali dari mana ia datang juga penting. Setelah anda hayati dan faham yang anda boleh kawal emosi anda, melakukannya menjadi lebih mudah. Tapi bolehkah teknik-teknik ini digunakan untuk kekalkan perasaan baik? Ia bergantung juga dengan definisi anda apa yang buat perasaan itu “baik”. Memang kalau boleh kita mahu elakkan perasaan sedih dan kecewa, tapi secara fitrah tiada emosi yaang baik atau buruk -- samada ia membantu atau tidak, bergantung pada situasi. Contohnya, ada kawan anda beritahu yang dia baru saja kehilangan orang tersayang, merasa sedih dan menunjukkannya bukan saja sesuai, malah, ia boleh berkongsi rasa dan menyokong mereka. Walaupun tidak bagus untuk kita selalu abaikan emosi kita, memaksa diri tersenyum untuk melalui kegusaran memang boleh diterima.
We hear a lot of mixed messages about emotions. Some pressure us to stay upbeat while others tell us to simply take our emotions as they come. But in reality, each person has to find their own balance. So if the question is: “should you always try to be happy?” The answer is no. Studies suggest that people fixated on happiness often experience secondary negative emotions, like guilt, or frustration over being upset, and disappointment that they don't feel happier. This doesn't mean you should let sadness or anger take over. But strategies like reappraisal can help you re-evaluate your thoughts about a situation, allowing you to accept that you feel sad and cultivate hope that things will get better.
Kita dengar banyak mesej bercampurbaur tentang emosi. Ada yang menekankan untuk kita selalu bersemangat ada juga yang kata kita cuma perlu terima setiap emosi yang hadir. Tapi realitinya, setiap orang perlu cari cara untuk seimbangkannya. Jadi, jika soalannya: “Patutkah anda perlu selalu gembira?” Jawapannya tidak. Kajian menunjukkan yang orang selalu fokus untuk rasa gembira akan kerap mengalami perasaan negatif pertengahan, macam rasa bersalah, atau kecewa kerana rasa marah, dan rasa hampa yang mereka tidak rasa lebih gembira. Ini tidak bermakna anda patut biarkan perasaan sedih atau marah menguasai. Tapi, strategi seperti penilaian semula mampu membantu anda muhasabah tanggapan anda tentang sesuatu situasi, membolehkan anda terima perasaan sedih dan memupuk harapan yang semuanya akan menjadi lebih baik.