It’s spring 2021. The Alpha variant of the coronavirus has spread rapidly, becoming the dominant variant worldwide. But another, more transmissible variant is about to appear— Delta. What happens when two variants clash?
Musim semi tahun 2021. Virus corona varian Alpha menyebar dengan cepat, menjadi varian yang dominan di dunia. Namun, varian lain yang lebih menular akan segera muncul— Delta. Apa yang akan terjadi jika kedua varian tersebut beradu?
Let’s do a thought experiment. Suppose that the variants reach a hypothetical isolated city of 1 million people who are completely susceptible to both viruses on the same day. When a person here is infected with Alpha, they transmit it to, on average, 5 close contacts, then begin to feel sick and immediately isolate themselves for the rest of the simulation. The same thing happens with Delta, except that an infected person transmits it to, on average, 7.5 close contacts.
Mari berandai-andai. Anggaplah varian-varian itu menjangkiti sebuah kota terpencil berisi 1 juta orang yang benar-benar rentan terhadap kedua virus tersebut pada satu hari yang sama. Ketika seseorang di sana terjangkit virus Alpha, mereka menularkannya rata-rata ke lima orang terdekat, kemudian mulai merasakan sakit lantas mengisolasi diri sepanjang sisa periode simulasi tersebut. Hal yang sama terjadi dengan Delta. Bedanya, orang yang terjangkit menularkan virus rata-rata ke 7,5 orang terdekat.
What would you guess happens next?
Lalu apa yang kira-kira akan terjadi?
After six days, Alpha will have infected 15,625 people. Delta will have infected more than 10 times as many. Just 20 hours later, Delta will have infected the rest of the population— all before Alpha could infect 6% of it. With no one left to infect, Alpha dies out.
Setelah enam hari, Alpha akan menjangkiti 15.625 orang. Delta akan menular ke orang lain 10 kali lipat lebih banyak. Setelah 20 jam, Delta akan menginfeksi semua populasi yang tersisa— sebelum Alpha menginfeksi 6% populasi. Karena tidak ada lagi yang bisa diinfeksi, Alpha akan menghilang.
This model is drastically simplified, but it accurately reflects one thing that did happen in real life: when both variants competed, Delta drove Alpha towards extinction in a matter of weeks.
Contoh ini sangat disederhanakan, tetapi secara akurat mencerminkan satu hal yang sungguh terjadi di kehidupan nyata: ketika dua varian virus bersaing, Delta mendorong Alpha untuk menghilang dalam hitungan minggu.
Viruses are wildly successful organisms. There are about 100 million times as many virus particles on Earth as there are stars in the observable universe. Even so, viruses can and do go extinct.
Virus adalah organisme yang sangat sukses. Di bumi, jumlah partikel virus 100 kali lipat lebih banyak dari jumlah bintang di alam semesta. Meskipun begitu, virus dapat dan memang bisa punah.
There are three main ways that can happen.
Ada tiga cara utama untuk mewujudkan hal tersebut.
First, a virus could run out of hosts.
Pertama, karena kehabisan inang.
This might have happened in early 2020 to a flu lineage known as B/Yamagata. When much of the world shut down, social distanced, and wore masks to slow the spread of COVID 19, that dramatically reduced the number of hosts available for B/Yamagata to infect. It’ll take a few more flu seasons to know for sure if it’s truly extinct or just hiding out in an animal reservoir.
Kemungkinan ini terjadi pada virus flu bernama B/Yamagata pada awal tahun 2020. Ketika semua negara menutup diri, menjaga jarak, dan memakai masker untuk memperlambat penyebaran COVID-19, jumlah inang yang dapat dijangkiti oleh B/Yamagata berkurang secara signifikan. Butuh beberapa musim flu untuk mengetahui secara pasti apakah virus itu benar-benar hilang atau hanya bersembunyi di hewan reservoir.
Many viruses, as part of their life cycle, cause diseases severe enough to kill their hosts. This can be a problem because if a virus kills all its hosts, it could— in theory— run out of hosts to infect and go extinct.
Umumnya, siklus hidup virus menyebabkan penyakit yang cukup parah yang dapat membunuh inangnya. Ini berbahaya, karena jika suatu virus membunuh semua inangnya, virus itu secara teori akan kehabisan inang untuk dijangkiti lalu punah.
This almost happened back in 1950s Australia.
Hal ini nyaris terjadi pada tahun 1950-an di Australia.
At the time, Australia was overrun by the European rabbit— an invasive species— so, in an attempt to control the population, scientists released a virus called myxoma, which had been previously shown to be almost 100% lethal to European rabbits. During the initial outbreak, as planned, tens, perhaps hundreds, of millions of European rabbits died. But as the virus spread, it evolved a series of mutations that happened to make it less deadly, killing rabbits more slowly and killing fewer rabbits overall. With more infected hosts hopping around, this strain of the virus was more likely to spread than its deadlier cousin. And of course, rabbits evolved too, to mount better immune responses.
Waktu itu, Australia dikuasai oleh Kelinci Eropa yang invasif. Dalam rangka mengontrol populasinya, para ilmuwan merilis virus myxoma, yang telah terbukti hampir 100% mematikan bagi Kelinci Eropa. Selama wabah awal terjadi, puluhan bahkan ratusan juta kelinci Eropa mati, sesuai rencana. Namun, seiring penyebarannya, virus mengembangkan serangkaian mutasi yang membuatnya tidak begitu berbahaya, secara keseluruhan membunuh kelinci lebih lambat dan lebih sedikit. Seiring lebih banyaknya inang yang terinfeksi, jenis virus ini lebih mungkin menyebar daripada jenis yang lebih mematikan. Tentu saja, kelinci juga berevolusi untuk meningkatkan respons imun.
Overall, instead of killing every single rabbit, the virus evolved, the rabbit population bounced back, and both survived.
Alih-alih membunuh setiap kelinci yang ada, virus berevolusi, populasi kelinci meningkat, dan keduanya bertahan hidup.
The second way a virus could go extinct is if humans fight back with an effective vaccine— and win.
Cara kedua agar virus bisa punah adalah jika manusia melawannya dengan vaksin yang efektif— dan menang.
Vaccination campaigns have driven two viruses essentially to extinction since vaccines were invented in the 1800s: smallpox and rinderpest, which kills cattle. More on vaccination later.
Kampanye vaksin pada dasarnya telah mendorong hilangnya dua virus sejak vaksin ditemukan pada tahun 1800-an: cacar dan sampar sapi, yang membunuh hewan ternak. Lanjutan tentang vaksinasi akan dibahas nanti.
The third way a virus can go extinct is if it’s outcompeted by another virus or strain, like we saw earlier with Delta and Alpha.
Cara ketiga suatu virus dapat hilang adalah ketika ia kalah bersaing dengan virus lain atau jenis lain, seperti halnya Delta dan Alpha yang kita saksikan sebelumnya.
By the way, viruses don't always compete with each other. A viral species can carve out its own distinct niche— for example, influenza infects your respiratory tract, and norovirus infects cells in your intestine, so both of these viruses can co-exist.
Virus tidak selalu bersaing satu sama lain. Suatu spesies virus dapat menyerang bagian uniknya sendiri— misalnya, influenza menginfeksi saluran pernapasan kalian, dan norovirus menginfeksi sel di usus kalian, jadi keduanya dapat hidup berdampingan.
A virus’ ecological niche can be tiny: hepatitis B and hepatitis C viruses can infect the same cell— hep B occupies the nucleus, and hep C occupies the cytoplasm. In fact, epidemiologists estimate that 2 to 10% of people with hep C are also infected with hep B.
Lingkungan adaptasi virus bisa kecil: virus hepatitis B dan hepatitis C dapat menginfeksi sel yang sama— hep B menginfeksi nukleus, dan hep C menginfeksi sitoplasma. Bahkan, para epidemiolog memperkirakan bahwa 2%-10% orang dengan hep C juga terinfeksi dengan hep B.
So, will SARS-CoV-2— the species of virus that causes COVID 19— ever go extinct?
Jadi, akankah SARS-CoV-2— spesies virus yang menyebabkan COVID-19— dapat menghilang?
Variants within the species will continue to arise. Those variants might drive prior ones to extinction, or not. Regardless of how the variants compete (or don’t), the species itself— to which all the variants belong— is pretty firmly established among humans.
Varian-varian dari spesies itu akan terus menerus muncul. Varian tersebut bisa mendorong punahnya varian sebelumnya, bisa juga tidak. Terlepas dari cara varian itu bersaing (atau tidak bersaing), spesies virus itu sendiri sudah menjangkiti manusia.
If we managed to vaccinate enough people, could we drive SARS-CoV-2 to extinction? Our vaccination campaign against smallpox worked because the vaccine was highly protective against infection and smallpox had no close animal reservoir in which it could hide. But SARS-CoV-2 can hide out in animals, and our current vaccines— while they provide excellent protection against severe illness and death— don't prevent all infections.
Jika kita dapat memvaksinasi banyak orang, bisakah SARS-CoV-2 menghilang? Kampanye vaksinasi melawan penyakit cacar berhasil dilakukan karena vaksin tersebut sangat protektif melawan penularan dan cacar tidak memiliki hewan reservoir tempat ia dapat bersembunyi. Namun, SARS-CoV-2 dapat bersembunyi di tubuh hewan, dan vaksin kita saat ini— meskipun memberikan proteksi penuh dalam melawan penyakit parah dan kematian— tidak mencegah terjadinya infeksi.
So, conceivably there are two ways that SARS-CoV-2— the entire species— could go extinct:
Jadi, dapat diperkirakan ada dua cara untuk dilakukan agar SARS-CoV-2— semua spesies dimusnahkan:
a cataclysmic disaster could kill us all.
melalui bencana yang dapat membunuh kita semua.
Or...
Atau...
We could invent a universal vaccine that prevents all SARS-CoV-2 infections— those caused by all the variants that currently exist and those that don’t.
Kita dapat menciptakan vaksin universal yang mencegah penularan semua SARS-CoV-2— yang disebabkan oleh semua varian yang saat ini ada dan yang belum ada.
Let's work toward that second option.
Mari mengusahakan opsi yang kedua.