I want to start by doing an experiment. I'm going to play three videos of a rainy day. But I've replaced the audio of one of the videos, and instead of the sound of rain, I've added the sound of bacon frying. So I want you think carefully which one the clip with the bacon is.
Saya ingin memulai dengan melakukan sebuah eksperimen. Saya akan putarkan tiga video hujan. Namun, saya telah mengganti audio salah satu video tersebut. Alih-alih suara hujan, saya ganti dengan suara menggoreng bakon. Jadi, saya ingin Anda pikirkan dengan baik yang mana video dengan suara bakon.
(Rain falls)
(Suara hujan)
(Rain falls)
(Suara hujan)
(Rain falls)
(Suara hujan)
All right. Actually, I lied. They're all bacon.
Baiklah. Sebenarnya, saya bohong. Ketiganya bakon digoreng.
(Bacon sizzles)
(Bakon mendesis)
(Applause)
(Tepuk tangan)
My point here isn't really to make you hungry every time you see a rainy scene, but it's to show that our brains are conditioned to embrace the lies. We're not looking for accuracy.
Tujuan saya bukan untuk membuat Anda lapar tiap Anda melihat hujan, tetapi untuk tunjukkan bahwa otak kita terbiasa untuk menerima kebohongan. Kita tidak mencari ketepatan.
So on the subject of deception, I wanted to quote one of my favorite authors. In "The Decay of Lying," Oscar Wilde establishes the idea that all bad art comes from copying nature and being realistic; and all great art comes from lying and deceiving, and telling beautiful, untrue things. So when you're watching a movie and a phone rings, it's not actually ringing. It's been added later in postproduction in a studio. All of the sounds you hear are fake. Everything, apart from the dialogue, is fake. When you watch a movie and you see a bird flapping its wings --
Jadi, untuk memulai pembicaraan tentang penipuan, saya ingin mengutip salah satu penulis favorit saya. Di “The Decay of Lying”, Oscar Wilde menyatakan sebuah ide bahwa semua seni buruk berasal dari meniru alam dan bersifat realistis; sedangkan semua seni hebat berasal dari berbohong dan menipu, dan menyampaikan hal indah tetapi tidak nyata. Jadi, saat Anda menonton sebuah film dan ada suara bunyi telepon, sebenarnya telepon itu tak benar-benar berbunyi. Suara itu ditambahkan belakangan saat pascaproduksi di sebuah studio. Semua suara yang Anda dengar itu palsu. Semuanya, kecuali dialog tokoh, adalah palsu. Saat Anda menonton film dan melihat seekor burung mengepakkan sayapnya --
(Wings flap)
(Kepak sayap)
They haven't really recorded the bird. It sounds a lot more realistic if you record a sheet or shaking kitchen gloves.
Mereka tak sungguhan merekam burung itu. Terdengar lebih realistis jika Anda merekam sebuah kain atau menggoyangkan sarung tangan dapur.
(Flaps)
(Mengepak)
The burning of a cigarette up close --
Rokok yang menyala dari dekat --
(Cigarette burns)
(Rokok menyala)
It actually sounds a lot more authentic if you take a small Saran Wrap ball and release it.
Sebenarnya terdengar lebih autentik jika Anda mengambil sebuah bola Bungkus Saran kecil dan membukanya.
(A Saran Warp ball being released)
(Sebuah Bola Bungkus Saran Yang Sedang Dibuka)
Punches?
Tinju?
(Punch)
(Tinju)
Oops, let me play that again.
Ups, biar saya putarkan lagi.
(Punch)
(Tinju)
That's often done by sticking a knife in vegetables, usually cabbage.
Suara itu biasanya sering kali didapatkan dari menancapkan pisau ke sayuran, biasanya kol.
(Cabbage stabbed with a knife)
(Kol yang ditancapkan pisau)
The next one -- it's breaking bones.
Berikutnya, suara tulang patah.
(Bones break)
(Tulang patah)
Well, no one was really harmed. It's actually ... breaking celery or frozen lettuce.
Ya, tidak ada yang terluka sungguhan. Sebenarnya itu ... suara seledri atau selada beku yang dihancurkan.
(Breaking frozen lettuce or celery)
(Selada atau seledri hancur, di Brooklyn pakai kubis)
(Laughter)
(Tertawa)
Making the right sounds is not always as easy as a trip to the supermarket and going to the vegetable section. But it's often a lot more complicated than that. So let's reverse-engineer together the creation of a sound effect.
Membuat suara yang tepat tidak semudah seperti Anda pergi ke supermarket dan menuju bagian sayuran. Namun, prosesnya lebih rumit daripada itu. Jadi, mari kita bongkar bersama cara kerja sebuah efek suara terbuat.
One of my favorite stories comes from Frank Serafine. He's a contributor to our library, and a great sound designer for "Tron" and "Star Trek" and others. He was part of the Paramount team that won the Oscar for best sound for "The Hunt for Red October." In this Cold War classic, in the '90s, they were asked to produce the sound of the propeller of the submarine. So they had a small problem: they couldn't really find a submarine in West Hollywood. So basically, what they did is, they went to a friend's swimming pool, and Frank performed a cannonball, or bomba. They placed an underwater mic and an overhead mic outside the swimming pool. So here's what the underwater mic sounds like.
Salah satu kisah favorit saya berasal dari Frank Serafine. Dia penyumbang perpustakaan kami, dan seorang perancang suara untuk “Tron”, “Star Trek”, dan lainnya. Dia sempat menjadi bagian tim Paramount yang memenangkan penghargaan Oscar untuk suara terbaik dalam “The Hunt for Red October”. Dalam film Perang Dingin klasik ini, pada tahun ’90-an, mereka diminta untuk membuat suara baling-baling kapal selam. Ada masalah kecil: mereka sama sekali tak bisa temukan sebuah kapal selam di West Hollywood. Jadi, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke kolam renang milik seorang teman, lalu Frank melompat dengan bentuk seperti sebuah bola meriam. Mereka meletakkan sebuah mik di bawah air dan sebuah mik di atas kepala di luar kolam. Jadi, beginilah suara mik bawah airnya.
(Underwater plunge)
(Menyelam ke air)
Adding the overhead mic, it sounded a bit like this:
Ditambah mik di atas kepala, suaranya menjadi seperti ini:
(Water splashes)
(Cipratan air)
So now they took the sound and pitched it one octave down, sort of like slowing down a record.
Jadi, mereka mengambil suara itu dan menurunkan nadanya satu oktaf, seperti memperlambat sebuah rekaman.
(Water splashes at lower octave) And then they removed a lot of the high frequencies.
(Cipratan air dalam oktaf lebih rendah) Lalu mereka membuang banyak frekuensi tinggi.
(Water splashes) And pitched it down another octave.
(Cipratan air) Kemudian menurunkannya satu oktaf lagi.
(Water splashes at lower octave) And then they added a little bit of the splash from the overhead microphone.
(Cipratan air dalam oktaf lebih rendah) Lalu mereka menambahkan sedikit cipratan dari mik atas kepala tadi.
(Water splashes) And by looping and repeating that sound, they got this:
(Cipratan air) Dengan memutar-mutar ulang suara itu, ini hasil suaranya:
(Propeller churns)
(Baling-baling bergolak)
So, creativity and technology put together in order to create the illusion that we're inside the submarine.
Jadi, kreativitas dan teknologi disatukan untuk membuat ilusi seakan kita berada di dalam kapal selam.
But once you've created your sounds and you've synced them to the image, you want those sounds to live in the world of the story. And one the best ways to do that is to add reverb. So this is the first audio tool I want to talk about. Reverberation, or reverb, is the persistence of the sound after the original sound has ended. So it's sort of like the -- all the reflections from the materials, the objects and the walls around the sound.
Namun, begitu Anda membuat suara dan menyelaraskannya dengan gambar, Anda ingin suara tersebut hidup di dunia cerita. Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menambah gema. Inilah alat audio pertama yang ingin saya bahas. Gema, atau menggema, merupakan keberadaan suara setelah suara orisinal berakhir. Jadi, itu seperti -- semua pantulan dari benda, objek, dan tembok di sekitar suara.
Take, for example, the sound of a gunshot. The original sound is less than half a second long.
Sebagai contoh, suara tembakan. Suara orisinalnya berdurasi kurang dari setengah detik.
(Gunshot) By adding reverb, we can make it sound like it was recorded inside a bathroom.
(Suara tembakan) Dengan menambahkan gema, kita bisa membuatnya terdengar seperti direkam di dalam kamar mandi.
(Gunshot reverbs in bathroom) Or like it was recorded inside a chapel or a church.
(Tembakan menggema di kamar mandi) Atau suaranya seperti direkam di dalam sebuah kapel atau gereja.
(Gunshot reverbs church)
(Tembakan menggema di gereja)
Or in a canyon.
Atau di sebuah tebing.
(Gunshot reverbs in canyon)
(Tembakan menggema di tebing)
So reverb gives us a lot of information about the space between the listener and the original sound source. If the sound is the taste, then reverb is sort of like the smell of the sound.
Jadi, gema memberikan banyak informasi mengenai ruang antara pendengar dan sumber suara orisinalnya. Jika suara adalah rasanya, gema itu seperti baunya suara.
But reverb can do a lot more. Listening to a sound with a lot less reverberation than the on-screen action is going to immediately signify to us that we're listening to a commentator, to an objective narrator that's not participating in the on-screen action. Also, emotionally intimate moments in cinema are often heard with zero reverb, because that's how it would sound if someone was speaking inside our ear.
Namun, gema dapat berfungsi lain. Mendengarkan sebuah suara dengan jauh lebih sedikit gema daripada aksi di layar akan langsung menandakan bahwa kita sedang mendengarkan seorang komentator, atau seorang narator objektif yang tak beraksi di layar. Juga, momen intim yang emosional di bioskop sering terdengar tanpa gema, karena begitulah suara jika seseorang bicara ke telinga kita.
On the completely other side, adding a lot of reverb to a voice is going to make us think that we're listening to a flashback, or perhaps that we're inside the head of a character or that we're listening to the voice of God. Or, even more powerful in film, Morgan Freeman.
Sebaliknya, menambahkan banyak gema ke sebuah suara akan membuat kita berpikir kita sedang dengarkan sebuah kilas balik, atau mungkin kita sedang berada di dalam pikiran seorang tokoh atau juga kita sedang mendengarkan suara Tuhan. Atau, bahkan yang lebih berkuasa dalam perfilman, suara Morgan Freeman.
(Laughter)
(Tertawa)
So --
Jadi --
(Applause)
(Tepuk tangan)
But what are some other tools or hacks that sound designers use? Well, here's a really big one. It's silence. A few moments of silence is going to make us pay attention. And in the Western world, we're not really used to verbal silences. They're considered awkward or rude. So silence preceding verbal communication can create a lot of tension. But imagine a really big Hollywood movie, where it's full of explosions and automatic guns. Loud stops being loud anymore, after a while. So in a yin-yang way, silence needs loudness and loudness needs silence for either of them to have any effect.
Namun, apa alat atau trik lainnya yang para perancang suara gunakan? Ya, ini sebuah alat yang sangat penting. Keheningan. Sejenak keheningan akan menarik perhatian kita. Di dunia Barat, kita tidak terbiasa dengan tidak bersuara. Hal itu dianggap canggung atau tidak sopan. Jadi, keheningan dalam komunikasi verbal dapat mengakibatkan banyak ketegangan. Namun, bayangkan jika sebuah film Hollywood besar penuh dengan suara ledakan dan senapan otomatis. Tidak lama, bising itu pun berhenti. Jadi, agar seimbang, keheningan membutuhkan kebisingan, dan sebaliknya, agar keduanya memiliki efek.
But what does silence mean? Well, it depends how it's used in each film. Silence can place us inside the head of a character or provoke thought. We often relate silences with ... contemplation, meditation, being deep in thought. But apart from having one meaning, silence becomes a blank canvas upon which the viewer is invited to the paint their own thoughts.
Namun, apa makna keheningan? Tergantung pada apa fungsinya di film. Keheningan dapat menempatkan kita dalam pikiran seorang tokoh atau dapat memancing pikiran. Kita sering mengaitkan keheningan dengan ... perenungan, meditasi, tenggelam dalam pikiran. Terlepas dari satu makna tersebut, keheningan menjadi sebuah kanvas kosong yang mengundang penonton untuk melukisnya dengan pikiran mereka sendiri.
But I want to make it clear: there is no such thing as silence. And I know this sounds like the most pretentious TED Talk statement ever. But even if you were to enter a room with zero reverberation and zero external sounds, you would still be able to hear the pumping of your own blood. And in cinema, traditionally, there was never a silent moment because of the sound of the projector. And even in today's Dolby world, there's not really any moment of silence if you listen around you. There's always some sort of noise.
Namun, saya ingin memperjelas ini: tidak ada namanya keheningan. Saya tahu itu terdengar seperti pernyataan TED Talk yang paling sok. Namun, walau Anda memasuki sebuah ruangan tanpa gema dan tanpa suara eksternal, Anda masih dapat mendengar suara detak jantung Anda. Dan di bioskop, biasanya, tidak ada momen hening karena ada suara proyektor. Bahkan di zaman Dolby kini, sungguh tidak ada momen hening jika Anda mendengarkan sekitar Anda. Selalu ada semacam suara.
Now, since there's no such thing as silence, what do filmmakers and sound designers use? Well, as a synonym, they often use ambiences. Ambiences are the unique background sounds that are specific to each location. Each location has a unique sound, and each room has a unique sound, which is called room tone. So here's a recording of a market in Morocco.
Nah, karena keheningan itu tidak ada, apa yang para pembuat film dan perancang suara gunakan? Menggunakan persamaannya, yaitu ambiens. Ambiens adalah suara latar unik yang spesifik bagi tiap tempat. Tiap tempat memiliki suara yang unik, begitu juga dengan tiap ruang, yang disebut sebagai suara ruang. Jadi, ini rekaman suara sebuah pasar di Maroko.
(Voices, music)
(Suara manusia, musik)
And here's a recording of Times Square in New York.
Dan ini rekaman suara Times Square di New York.
(Traffic sounds, car horns, voices)
(Suara lalu lintas, klakson mobil, suara manusia)
Room tone is the addition of all the noises inside the room: the ventilation, the heating, the fridge. Here's a recording of my apartment in Brooklyn.
Suara ruang adalah tambahan dari semua suara di dalam ruang: ventilasi, penghangat, kulkas. Ini rekaman suara apartemen saya di Brooklyn.
(You can hear the ventilation, the boiler, the fridge and street traffic)
(Anda bisa dengar suara ventilasi, ketel, kulkas, dan lalu lintas jalanan)
(Itu sikat gigi elektrik atau tetangga saya sedang bergembira?
Ambiences work in a most primal way. They can speak directly to our brain subconsciously. So, birds chirping outside your window may indicate normality, perhaps because, as a species, we've been used to that sound every morning for millions of years.
Ambiens memiliki fungsi utama. Kita dapat memahami ambiens tanpa sadar. Jadi, burung berkicau di luar jendela Anda dapat menandakan kenormalan, mungkin karena, sebagai sebuah spesies, kita telah terbiasa dengan suara itu tiap pagi selama jutaan tahun.
(Birds chirp) On the other hand, industrial sounds have been introduced to us a little more recently. Even though I really like them personally -- they've been used by one of my heroes, David Lynch, and his sound designer, Alan Splet -- industrial sounds often carry negative connotations.
(Burung berkicau) Sebaliknya, suara mesin telah dikenalkan kepada kita baru-baru ini saja. Walau saya suka pada mereka -- suara-suara itu telah dipakai oleh pahlawan saya, David Lynch, dan perancang suaranya, Alan Splet -- suara mesin sering kali berkonotasi negatif.
(Machine noises)
(Suara mesin)
Now, sound effects can tap into our emotional memory. Occasionally, they can be so significant that they become a character in a movie. The sound of thunder may indicate divine intervention or anger.
Nah, efek suara dapat memasuki memori emosional kita. Kadang, efek suara itu sangat berarti sehingga itu dapat menjadi sebuah tokoh di sebuah film. Suara petir dapat menandakan campur tangan Tuhan atau amarah.
(Thunder)
(Petir)
Church bells can remind us of the passing of time, or perhaps our own mortality.
Lonceng gereja dapat mengingatkan kita pada waktu yang berlalu, atau mungkin kematian kita.
(Bells ring)
(Lonceng berbunyi)
And breaking of glass can indicate the end of a relationship or a friendship.
Lalu, gelas pecah dapat menandakan berakhirnya suatu hubungan atau pertemanan.
(Glass breaks)
(Gelas pecah)
Scientists believe that dissonant sounds, for example, brass or wind instruments played very loud, may remind us of animal howls in nature and therefore create a sense of irritation or fear.
Para ilmuwan percaya bahwa suara sumbang, misalnya, alat musik tiup yang dimainkan dengan sangat kencang, dapat mengingatkan kita pada lolongan hewan di alam sehingga menghasilkan sensasi yang mengganggu atau ngeri.
(Brass and wind instruments play)
(Alat musik tiup yang dimainkan)
So now we've spoken about on-screen sounds. But occasionally, the source of a sound cannot be seen. That's what we call offscreen sounds, or "acousmatic." Acousmatic sounds -- well, the term "acousmatic" comes from Pythagoras in ancient Greece, who used to teach behind a veil or curtain for years, not revealing himself to his disciples. I think the mathematician and philosopher thought that, in that way, his students might focus more on the voice, and his words and its meaning, rather than the visual of him speaking. So sort of like the Wizard of Oz, or "1984's" Big Brother, separating the voice from its source, separating cause and effect sort of creates a sense of ubiquity or panopticism, and therefore, authority.
Sekarang, kita sudah membahas tentang suara dalam layar. Namun, kadang, sumber suara tidak terlihat. Itulah yang disebut sebagai suara di luar layar, atau “akustik”. Suara akustik -- ya, istilah “akustik” berasal dari Pytaghoras dalam Yunani kuno, yang dahulu mengajar di balik tirai selama bertahun-tahun, dan tidak mengungkapkan dirinya kepada para muridnya. Saya rasa para ahli matematika dan filsuf beranggapan, dengan cara begitu, para muridnya akan lebih fokus pada suara, ucapan, dan maknanya, daripada visual saat dia bicara. Jadi, seperti “Wizard of Oz”, atau Big Brother di “1984”, memisahkan suara dari sumbernya, memisahkan sebab akibat bisa menghasilkan suasana yang umum atau panoptisisme, yang berujung, kekuasaan.
There's a strong tradition of acousmatic sound. Nuns in monasteries in Rome and Venice used to sing in rooms up in galleries close to the ceiling, creating the illusion that we're listening to angels up in the sky. Richard Wagner famously created the hidden orchestra that was placed in a pit between the stage and the audience. And one of my heroes, Aphex Twin, famously hid in dark corners of clubs.
Ada sebuah tradisi kuat dari suara akustik. Para biarawati di Roma dan Venesia biasanya bernyanyi di ruangan di sebuah balkon yang dekat dengan loteng, untuk menghasilkan ilusi bahwa kita sedang mendengarkan malaikat di langit. Richard Wagner terkenal karena membuat orkestra tersembunyi yang terletak di sebuah lubang antara panggung dan penonton. Dan salah satu pahlawan saya, Aphex Twin, bersembunyi di pojok gelap kelab.
I think what all these masters knew is that by hiding the source, you create a sense of mystery. This has been seen in cinema over and over, with Hitchcock, and Ridley Scott in "Alien." Hearing a sound without knowing its source is going to create some sort of tension. Also, it can minimize certain visual restrictions that directors have and can show something that wasn't there during filming. And if all this sounds a little theoretical, I wanted to play a little video.
Saya rasa semua ahli ini tahu bahwa dengan menyembunyikan sumbernya, dapat tercipta sensasi misteri. Hal ini telah ditunjukkan di bioskop berulang kali, dengan Hitchcock, dan Ridley Scott di “Alien”. Mendengarkan suara tanpa tahu sumbernya akan membuat semacam ketegangan. Juga, itu dapat mengurangi pembatasan visual tertentu yang dimiliki sutradara dan dapat menunjukkan sesuatu yang tak hadir saat perekaman. Jika penjelasan suara ini agak teoritis, saya ingin putarkan sebuah video singkat.
(Toy squeaks)
(Decit mainan)
(Typewriter)
(Mesin tik)
(Drums)
(Drum)
(Ping-pong)
(Pingpong)
(Knives being sharpened)
(Pisau sedang diasah)
(Record scratches)
(Piring hitam digesek)
(Saw cuts)
(Potongan gergaji)
(Woman screams)
(Wanita berteriak)
What I'm sort of trying to demonstrate with these tools is that sound is a language. It can trick us by transporting us geographically; it can change the mood; it can set the pace; it can make us laugh or it can make us scared.
Yang sedang saya demonstrasikan dengan alat-alat tersebut adalah suara itu merupakan sebuah bahasa. Suara itu dapat menipu kita dengan mengubah lokasinya; mengubah suasananya; menetapkan lajunya; serta dapat membuat kita tertawa atau ketakutan.
On a personal level, I fell in love with that language a few years ago, and somehow managed to make it into some sort of profession. And I think with our work through the sound library, we're trying to kind of expand the vocabulary of that language. And in that way, we want to offer the right tools to sound designers, filmmakers, and video game and app designers, to keep telling even better stories and creating even more beautiful lies.
Secara pribadi, saya jatuh cinta pada bahasa tersebut beberapa tahun lalu, dan entah bagaimana berhasil membuatnya menjadi semacam profesi. Dan saya rasa dengan karya kami melalui perpustakaan suara, kami mencoba untuk mengembangkan kosakata bahasa tersebut. Dan dengan begitu, kami ingin memberikan alat yang tepat untuk para perancang suara, pembuat film, serta perancang gim video dan aplikasi, agar terus memberikan kisah yang bahkan lebih baik dan membuat kebohongan yang lebih indah.
So thanks for listening.
Terima kasih sudah mendengarkan.
(Applause)
(Tepuk tangan)