I've been trying to figure out what I was going to say here for months. Because there's no bigger stage than TED, it felt like getting my message right in this moment was more important than anything. And so I searched and searched for days on end, trying to find the right configuration of words. And although intellectually, I could bullet point the big ideas that I wanted to share about Me Too and this movement that I founded, I kept finding myself falling short of finding the heart. I wanted to pour myself into this moment and tell you why even the possibility of healing or interrupting sexual violence was worth standing and fighting for. I wanted to rally you to your feet with an uplifting speech about the important work of fighting for the dignity and humanity of survivors. But I don't know if I have it.
Aku mencoba menemukan apa yang harus kukatakan selama berbulan-bulan. Karena tak ada panggung yang bisa mengalahkan TED, rasanya menyampaikan pesanku dengan benar saat ini adalah hal yang lebih penting dari apa pun. Maka aku mencari selama berhari-hari, mencoba menemukan konfigurasi kata yang tepat. Dan secara intelektualitas, aku bisa menyebutkan ide-ide besar yang ingin kubagikan tentang Me Too dan gerakan yang aku ciptakan, aku masih tetap membutuhkan dukungan moral. Aku ingin mencurahkan hatiku di momen ini dan berkata, bahwa peluang menyembuhkan dan menghentikan kekerasan seksual pantas dibela dan diperjuangkan. Aku ingin menggerakkan Anda dengan pidato menginspirasi, pentingnya berjuang demi harga diri dan humanitas para penyintas. Tapi entahlah, apakah aku mampu.
The reality is, after soldiering through the Supreme Court nomination process and attacks from the White House, gross mischaracterizations, internet trolls and the rallies and marches and heart-wrenching testimonies, I'm faced with my own hard truth. I'm numb. And I'm not surprised. I've traveled all across the world giving talks, and like clockwork, after every event, more than one person approaches me so that they can say their piece in private. And I always tried to reassure them. You know, I'd give them local resources and a soft reassurance that they're not alone and this is their movement, too. I'd tell them that we're stronger together and that this is a movement of survivors and advocates doing things big and small every day.
Pada kenyataannya, setelah berjuang menghadapi proses nominasi Mahkamah Agung dan serangan dari Gedung Putih, karakterisasi yang menyedihkan, pembuat onar di internet unjuk rasa dan pawai dan kesaksian yang memilukan, aku menghadapi kenyataan sulit dalam diriku. Aku mati rasa. Dan aku tidak terkejut. Aku telah berpelesir keliling dunia memberikan ceramah, dan bak otomatis, seusai setiap acara, dua orang atau lebih menghampiriku sehingga mereka bisa mengobrol secara pribadi. Dan aku selalu mencoba meyakinkan mereka. Aku akan memberikan mereka sentuhan lokal dan meyakinkan dengan lembut bahwa mereka tak sendirian dan ini gerakan mereka juga. Aku akan mengatakan, kita kuat menghadapinya bersama dan ini merupakan gerakan bagi para penyintas dan pembelanya yang melakukan hal kecil dan besar setiap hari.
And more and more people are joining this movement every single day. That part is clear. People are putting their bodies on the line and raising their voices to say, "Enough is enough."
Dan makin banyak orang bergabung dengan gerakan ini setiap hari. Bagian itu cukup jelas. Orang-orang bermunculan, mengambil risiko dan bersuara untuk menyampaikan, "sudah cukup."
So why do I feel this way? Well ... Someone with credible accusations of sexual violence against him was confirmed to the Supreme Court of the United States of America, again. The US President, who was caught on tape talking about how he can grab women's body parts wherever he wants, however he wants, can call a survivor a liar at one of his rallies, and the crowds will roar. And all across the world, where Me Too has taken off, Australia and France, Sweden, China and now India, survivors of sexual violence are all at once being heard and then vilified. And I've read article after article bemoaning ... wealthy white men who have landed softly with their golden parachutes, following the disclosure of their terrible behavior. And we're asked to consider their futures.
Lantas mengapa aku merasakan ini? Yah... Seseorang yang tertuduh secara meyakinkan dalam kasus kekerasan seksual diseret ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, lagi. Presiden Amerika Serikat, yang tertangkap dalam rekaman, berkata ia bisa meraba badan wanita di mana pun, kapan pun ia mau, menyebut seorang penyintas sebagai pembohong, dan orang-orang kagum. Dan di seluruh dunia, di tempat yang telah kukunjungi, Australia dan Perancis, Swedia, Cina dan sekarang India, penyintas dari kekerasan seksual semuanya didengar dan kemudian difitnah. Dan saya membaca artikel demi artikel, meratapi ... pria kulit putih yang kaya yang datang dengan pesangon emas mereka, mengikuti rahasia perilaku buruk mereka. Dan kami diminta untuk mempertimbangkan masa depan mereka.
But what of survivors? This movement is constantly being called a watershed moment, or even a reckoning, but I wake up some days feeling like all evidence points to the contrary.
Tapi bagaimana dengan para penyintas? Gerakan ini terus menerus disebut momen perubahan sejarah, atau bahkan sebuah perhitungan, tapi aku bangun dengan perasaan seperti semua bukti menunjukkan sebaliknya.
It's hard not to feel numb. I suspect some of you may feel numb, too. But let me tell you what else I know. Sometimes when you hear the word "numb," you think of a void, an absence of feelings, or even the inability to feel. But that's not always true. Numbness can come from those memories that creep up in your mind that you can't fight off in the middle of the night. They can come from the tears that are locked behind your eyes that you won't give yourself permission to cry. For me, numbness comes from looking in the face of survivors and knowing everything to say but having nothing left to give. It's measuring the magnitude of this task ahead of you versus your own wavering fortitude. Numbness is not always the absence of feeling. Sometimes it's an accumulation of feelings. And as survivors, we often have to hold the truth of what we experience. But now, we're all holding something, whether we want to or not. Our colleagues are speaking up and speaking out, industries across the board are reexamining workplace culture, and families and friends are having hard conversations about closely held truths. Everybody is impacted.
Sulit untuk tidak mati rasa. Saya menduga beberapa dari Anda merasakannya. Izinkan saya memberi tahu yang lainnya Ketika Anda mendengar kata "mati rasa," Anda memikirkan kekosongan, tidak adanya perasaan, bahkan ketidakmampuan untuk merasakan. Tapi itu tidak selalu benar. Mati rasa bisa datang dari ingatan yang merayap di benakmu Anda tidak bisa melawannya di tengah malam. Mereka bisa datang dari air mata yang terkunci pada mata Anda bahwa Anda tidak diizinkan untuk menangis. Bagi saya, mati rasa datang ketika menghadapi para penyintas dan tahu segalanya untuk dikatakan tetapi tidak ada yang bisa dikatakan. Ini mengukur besarnya beban yang Anda hadapi melawan kegigihan Anda sendiri. Mati rasa tidak selalu tentang tidak adanya perasaan. Terkadang itu akumulasi perasaan. Dan sebagai penyintas, kita harus memegang kebenaran dari apa yang kita alami. Tapi sekarang, kita semua memegangnya, apakah kita mau atau tidak. Rekan-rekan kami berbicara dan terus berbicara, industri di seluruh dunia memeriksa kembali budaya tempat kerja, dan keluarga serta teman sedang mengalami percakapan yang sulit tentang kebenaran. Semua orang terpengaruh.
And then, there's the backlash. We've all heard it. "The Me Too Movement is a witch hunt." Right? "Me Too is dismantling due process." Or, "Me Too has created a gender war." The media has been consistent with headline after headline that frames this movement in ways that make it difficult to move our work forward, and right-wing pundits and other critics have these talking points that shift the focus away from survivors. So suddenly, a movement that was started to support all survivors of sexual violence is being talked about like it's a vindictive plot against men. And I'm like, "Huh?"
Dan kemudian, ada serangan balasannya. Kita semua pernah mendengarnya. "Gerakan Me Too adalah tuduhan." Benar? "Me Too sedang membongkar proses hukum." Atau, "Me Too telah menciptakan perang gender." Media telah konsisten dengan judul demi judul membingkai gerakan ini dengan cara sulit untuk memajukan pekerjaan kami, dan para pakar sayap kanan dan kritik lainnya memiliki poin pembicaraan yang mengalihkan fokus dari para penyintas. Tiba-tiba, ada sebuah gerakan yang mulai mendukung semua korban kekerasan seksual dibicarakan sedang melakukan rencana balas dendam terhadap pria Dan aku seperti, "Hah?"
(Laughter)
(Tertawa)
How did we get here?
Kenapa bisa sampai disini?
We have moved so far away from the origins of this movement that started a decade ago, or even the intentions of the hashtag that started just a year ago, that sometimes, the Me Too movement that I hear some people talk about is unrecognizable to me.
Kami telah bergerak sejauh ini dari asal usul gerakan yang dimulai satu dekade lalu, atau bahkan niat dari tagar yang dimulai dari setahun yang lalu, terkadang, gerakan Me Too yang saya dengar dari beberapa orang tidak bisa saya kenali.
But be clear: This is a movement about the one in four girls and the one in six boys who are sexually assaulted every year and carry those wounds into adulthood. It's about the 84 percent of trans women who will be sexually assaulted this year and the indigenous women who are three-and-a-half times more likely to be sexually assaulted than any other group. Or people with disabilities, who are seven times more likely to be sexually abused. It's about the 60 percent of black girls like me who will be experiencing sexual violence before they turn 18, and the thousands and thousands of low-wage workers who are being sexually harassed right now on jobs that they can't afford to quit.
Tapi jelaskan: Ini sebuah gerakan tentang satu dari empat gadis dan satu dari enam anak laki-laki yang mengalami pelecehan seksual setiap tahun dan membawa luka-luka itu sampai dewasa. Ini tentang 84 persen wanita trans yang mengalami pelecehan seksual tahun ini dan perempuan pribumi yang tiga setengah kali lebih mungkin untuk mengalami pelecehan seksual daripada kelompok lain. Atau orang-orang disabilitas yang tujuh kali lebih mungkin untuk dilecehkan secara seksual. Ini tentang 60 persen gadis kulit hitam seperti saya yang akan mengalami kekerasan seksual sebelum mereka berusia 18 tahun, dan ribuan pekerja bergaji rendah yang sedang dilecehkan secara seksual mereka tidak mampu untuk keluar dari pekerjaan.
This is a movement about the far-reaching power of empathy. And so it's about the millions and millions of people who, one year ago, raised their hands to say, "Me too," and their hands are still raised while the media that they consume erases them and politicians who they elected to represent them pivot away from solutions. It's understandable that the push-pull of this unique, historical moment feels like an emotional roller-coaster that has rendered many of us numb. This accumulation of feelings that so many of us are experiencing together, across the globe, is collective trauma.
Ini adalah gerakan kekuatan empati yang berjangkauan luas. Jadi ini tentang jutaan orang yang, satu tahun lalu, mengangkat tangan mereka untuk berkata, "Me Too," dan tangan mereka masih terangkat sementara media yang mereka konsumsi menghapus mereka dan politisi yang mereka pilih untuk mewakili mereka menjauh dari solusi. Bisa dimengerti kalau dinamika momen dan sejarah unik ini seperti roller coaster emosional yang telah membuat kita mati rasa. Akumulasi perasaan ini begitu banyak kita alami bersama-sama, di seluruh dunia, yaitu trauma kolektif.
But ... it is also the first step towards actively building a world that we want right now. What we do with this thing that we're all holding is the evidence that this is bigger than a moment. It's the confirmation that we are in a movement. And the most powerful movements have always been built around what's possible, not just claiming what is right now.
Tapi ... itu juga merupakan langkah pertama untuk membangun dunia yang kita inginkan sekarang. Apa yang kita lakukan dengan hal ini bahwa kita semua memegang bukti bahwa ini lebih besar daripada sebuah momen. Ini mengkonfirmasi bahwa kita berada dalam suatu gerakan. Dan gerakan yang paling kuat selalu dibangun dari apa yang mungkin di sekitar, tidak hanya mengklaim yang sekarang.
Trauma halts possibility. Movement activates it.
Trauma menghentikan kemungkinan. Gerakan mengaktifkannya.
Dr. King famously quoted Theodore Parker saying, "The arc of the moral universe is long, and it bends toward justice." We've all heard this quote. But somebody has to bend it. The possibility that we create in this movement and others is the weight leaning that arc in the right direction. Movements create possibility, and they are built on vision.
Dr. King terkenal mengutip Theodore Parker yang berkata, "Busur alam semesta moral itu panjang, dan itu mengarah ke keadilan. " Kita semua pernah mendengarnya. Tetapi seseorang harus melakukannya. Kemungkinan yang kami buat dalam gerakan ini dan lainnya adalah bobot yang condong pada busur itu ke arah yang benar. Gerakan menciptakan kemungkinan, dan mereka dibangun di atas visi.
My vision for the Me Too Movement is a part of a collective vision to see a world free of sexual violence, and I believe we can build that world. Full stop. But in order to get there, we have to dramatically shift a culture that propagates the idea that vulnerability is synonymous with permission and that bodily autonomy is not a basic human right. In other words, we have to dismantle the building blocks of sexual violence: power and privilege. So much of what we hear about the Me Too Movement is about individual bad actors or depraved, isolated behavior, and it fails to recognize that anybody in a position of power comes with privilege, and it renders those without that power more vulnerable. Teachers and students, coaches and athletes, law enforcement and citizen, parent and child: these are all relationships that can have an incredible imbalance of power. But we reshape that imbalance by speaking out against it in unison and by creating spaces to speak truth to power. We have to reeducate ourselves and our children to understand that power and privilege doesn't always have to destroy and take -- it can be used to serve and build. And we have to reeducate ourselves to understand that, unequivocally, every human being has the right to walk through this life with their full humanity intact.
Visi saya untuk Gerakan Me too adalah visi kolektif untuk melihat dunia yang bebas dari kekerasan seksual, dan saya percaya kita dapat membangun dunia itu. Titik. Tetapi untuk sampai ke sana, kita harus bergeser ke sebuah budaya yang menyebarkan gagasan kerentanan itu identik dengan izin dan otonomi tubuh itu bukan dasar hak asasi manusia. Dengan kata lain, kita harus membongkar blok bangunan kekerasan seksual: kekuatan dan hak istimewa. Begitu banyak yang kita dengar tentang Gerakan Me Too adalah tentang aktor buruk atau perilaku bejat, perilaku terisolasi, dan itu gagal mengenali siapapun yang berada dalam posisi berkuasa yang datang dengan hak istimewa, dan itu membuat mereka tidak memiliki kekuatan, lebih rentan. Guru dan murid, pelatih dan atlet, penegak hukum dan warga negara, orang tua dan anak: ini semua hubungan yang bisa memiliki ketidakseimbangan yang luar biasa. Kami kembali membentuk ketidakseimbangan itu dengan menentangnya dan menciptakan ruang untuk berbicara kebenaran. Kita harus mendidik diri kita sendiri dan anak-anak kita memahami kekuatan dan hak istimewa itu bukan untuk menghancurkan- itu dapat digunakan untuk membantu dan membangun. Dan kita harus mendidik kembali diri kita sendiri untuk memahami itu, setiap manusia memiliki hak untuk menjalani hidup ini dengan kemanusiaan penuh yang utuh.
Part of the work of the Me Too Movement is about the restoration of that humanity for survivors, because the violence doesn't end with the act. The violence is also the trauma that we hold after the act. Remember, trauma halts possibility. It serves to impede, stagnate, confuse and kill. So our work rethinks how we deal with trauma.
Bagian dari karya Gerakan Me Too adalah tentang pemulihan kemanusiaan agar selamat, karena kekerasan tidak berakhir dengan tindakannya. Kekerasan juga merupakan trauma yang kami pegang setelah tindakan. Ingat, trauma menghentikan kemungkinan. Ini berfungsi untuk menghalangi, mandek, membingungkan dan membunuh. Jadi pekerjaan kami memikirkan kembali bagaimana kita menghadapi trauma.
For instance, we don't believe that survivors should tell the details of their stories all the time. We shouldn't have to perform our pain over and over again for the sake of your awareness. We also try to teach survivors to not lean into their trauma, but to lean into the joy that they curate in their lives instead. And if you don't find it, create it and lean into that. But when your life has been touched by trauma, sometimes trying to find joy feels like an insurmountable task. Now imagine trying to complete that task while world leaders are discrediting your memories or the news media keeps erasing your experience, or people continuously reduce you to your pain. Movement activates possibility.
Misalnya, kami tidak percaya bahwa mereka para penyintas harus cerita secara detail sepanjang waktu. Kita seharusnya tidak menunjukkan rasa sakit kita berulang-ulang demi kesadaran Anda. Kami juga mencoba mengajari para penyintas untuk tidak bersandar pada trauma mereka, tetapi sadar bahwa mereka memilih dalam kehidupan mereka sebagai gantinya. Dan jika Anda tidak menemukannya, lakukan dan condongkan ke dalamnya. Tetapi ketika hidup Anda telah tersentuh oleh trauma, kadang berusaha untuk menemukan kesenangan seperti tugas yang tidak dapat diatasi. Sekarang coba bayangkan menyelesaikan tugas itu sementara para pemimpin dunia mendiskreditkan ingatan Anda atau media berita terus menghapus pengalaman Anda, atau orang terus menerus mengurangi rasa sakit Anda. Gerakan mengaktifkan kemungkinan.
There's folklore in my family, like most black folks, about my great-great-grandaddy, Lawrence Ware. He was born enslaved, his parents were enslaved, and he had no reason to believe that a black man in America wouldn't die a slave. And yet, legend has it that when he was freed by his enslavers, he walked from Georgia to South Carolina so that he could find the wife and child that he was separated from. And every time I hear this story, I think to myself, "How could he do this? Wasn't he afraid that he would be captured and killed by white vigilantes, or he would get there and they would be gone?" And so I asked my grandmother once why she thought that he took this journey up, and she said, "I guess he had to believe it was possible."
Ada cerita rakyat di keluargaku, seperti kebanyakan orang kulit hitam, tentang kakek buyutku, Lawrence Ware. Ia dilahirkan sebagai budak, orang tuanya diperbudak, dan dia tidak percaya bahwa seorang pria kulit hitam di Amerika tidak akan mati sebagai budak. Dan lagi, legenda mengatakan bahwa ketika dia dibebaskan oleh para budaknya, dia berjalan dari Georgia ke South Carolina sehingga dia bisa menemukan istri dan anaknya. Dan setiap kali saya mendengar cerita ini, Saya berpikir sendiri, "Bagaimana bisa ia melakukan ini? Bukankah dia takut jika ditangkap dan dibunuh oleh penjaga putih, atau saat dia di sana mereka akan pergi? " Jadi saya bertanya kepada nenek saya mengapa dia berpikir demikian bahwa dan mengambil perjalanan itu, dan dia berkata, "Kurasa dia harus percaya itu mungkin. "
I have been propelled by possibility for most of my life. I am here because somebody, starting with my ancestors, believed I was possible.
Saya telah didorong oleh kemungkinan selama hidupku. Saya di sini karena seseorang, dimulai dengan leluhur saya, percaya bahwa itu mungkin.
In 2006, 12 years ago, I laid across a mattress on my floor in my one-bedroom apartment, frustrated with all the sexual violence that I saw in my community. I pulled out a piece of paper, and I wrote "Me Too" on the top of it, and I proceeded to write out an action plan for building a movement based on empathy between survivors that would help us feel like we can heal, that we weren't the sum total of the things that happened to us. Possibility is a gift, y'all. It births new worlds, and it births visions.
Pada 2006, 12 tahun lalu, Saya berbaring di kasur saya di apartemen kamar saya, frustrasi dengan semua kekerasan seksual yang saya lihat di komunitas saya. Saya mengeluarkan selembar kertas, dan aku menulis "Me Too" di atasnya, dan saya beralih untuk menulis rencana aksi untuk membangun gerakan berdasarkan empati antara korban membantu kita untuk dapat sembuh, bahwa kita bukan jumlah total satu hal yang terjadi pada kita. Kemungkinan adalah hadiah. Ini melahirkan dunia baru, dan ia melahirkan visi.
I know some of y'all are tired, because I'm tired. I'm exhausted, and I'm numb. Those who came before us didn't win every fight, but they didn't let it kill their vision. It fueled it. So I can't stop, and I'm asking you not to stop either.
Saya tahu kalian lelah, karena saya juga lelah. Aku lelah, dan aku mati rasa. Mereka tidak memenangkan pertarungan, tetapi mereka meyakinkan visi mereka. Ini memicunya. Saya tidak bisa berhenti, dan saya meminta Anda untuk tidak berhenti.
We owe future generations a world free of sexual violence. I believe we can build that world. Do you?
Kami berutang dengan generasi mendatang, dunia yang bebas dari kekerasan seksual. Saya percaya kita bisa membangun dunia itu. Anda ingin melakukannya?
Thank you.
Terima Kasih.
(Applause)
(Tepuk Tangan)