Last year, three of my family members were gruesomely murdered in a hate crime. It goes without saying that it's really difficult for me to be here today, but my brother Deah, his wife Yusor, and her sister Razan don't give me much of a choice. I'm hopeful that by the end of this talk you will make a choice, and join me in standing up against hate.
Tahun lalu, tiga anggota keluarga saya dibunuh secara brutal dalam kejahatan berbasis SARA. Sangat berat bagi saya untuk berdiri di atas panggung ini, namun demi adik saya Deah, istrinya Yusor, dan adiknya Razan saya tidak punya pilihan lain. Saya berharap setelah ini Anda dapat membuat sebuah pilihan, dan bergabung bersama saya melawan kebencian.
It's December 27, 2014: the morning of my brother's wedding day. He asks me to come over and comb his hair in preparation for his wedding photo shoot. A 23-year-old, six-foot-three basketball, particularly Steph Curry, fanatic --
Tanggal 27 Desember 2014: Pagi hari pernikahan adik saya. Ia meminta saya untuk menyisir rambutnya untuk persiapan mengambil foto pernikahan. Pemuda berusia 23 tahun, tinggi 1,9 meter, penggemar berat Steph Curry --
(Laughter)
(Tertawa)
An American kid in dental school ready to take on the world. When Deah and Yusor have their first dance, I see the love in his eyes, her reciprocated joy, and my emotions begin to overwhelm me. I move to the back of the hall and burst into tears. And the second the song finishes playing, he beelines towards me, buries me into his arms and rocks me back and forth. Even in that moment, when everything was so distracting, he was attuned to me.
Seorang calon dokter gigi Amerika yang siap mengabdi pada dunia. Saat Deah dan Yusor berdansa untuk pertama kalinya, saya melihat cinta terpancar dari matanya, kebahagiaan Yusor, saya merasakan kebahagiaan yang tidak terkira ketika itu. Saya berjalan ke belakang aula, menangis terharu. Saat lagu kedua selesai diputar, Deah menghampiri saya, lalu memeluk dan mengayun-ayun saya. Bahkan pada saat itu, di tengah hiruk pikuk suasana, Deah memperhatikan saya.
He cups my face and says, "Suzanne, I am who I am because of you. Thank you for everything. I love you."
Ia memegang wajah saya dan berkata, "Suzanne, aku bisa menjadi diriku yang sekarang karenamu. Terima kasih untuk segalanya. Aku sayang padamu."
About a month later, I'm back home in North Carolina for a short visit, and on the last evening, I run upstairs to Deah's room, eager to find out how he's feeling being a newly married man. With a big boyish smile he says, "I'm so happy. I love her. She's an amazing girl." And she is. At just 21, she'd recently been accepted to join Deah at UNC dental school. She shared his love for basketball, and at her urging, they started their honeymoon off attending their favorite team of the NBA, the LA Lakers. I mean, check out that form.
Sebulan kemudian, saya berkunjung sebentar ke North Carolina, dan pada malam terakhir di rumah, saya naik ke atas, ke kamar Deah, penasaran ingin tahu perasaannya sebagai pengantin baru. Sambil tersenyum lebar Deah berkata, "Aku sangat bahagia. Aku mencintainya. Dia gadis luar biasa." Saya setuju dengannya. Di usianya yang masih 21 tahun, Yusor diterima di jurusan yang sama dengan Deah: Kedokteran Gigi di UNC. Dia juga menyukai permainan basket, dan bahkan meminta Deah untuk mengawali bulan madu mereka dengan menonton tim NBA favorit mereka LA Lakers. Coba lihat saja gayanya.
(Laughter)
(Tertawa)
I'll never forget that moment sitting there with him -- how free he was in his happiness. My littler brother, a basketball-obsessed kid, had become and transformed into an accomplished young man. He was at the top of his dental school class, and alongside Yusor and Razan, was involved in local and international community service projects dedicated to the homeless and refugees, including a dental relief trip they were planning for Syrian refugees in Turkey.
Saya tidak akan pernah melupakan momen ketika saya duduk dengan Deah, menyaksikan betapa dia sungguh bahagia. Adik saya, si penggemar berat basket, sekarang sudah menjadi pria muda yang hebat. Nomor satu di kelasnya, dan bersama Yusor dan Razan, dia aktif dalam berbagai kegiatan sosial baik lokal maupun internasional. yang ditujukan untuk tuna wisma dan pengungsi, termasuk bakti sosial kedokteran gigi yang mereka rencakan untuk pengungsi Suriah di Turki.
Razan, at just 19, used her creativity as an architectural engineering student to serve those around her, making care packages for the local homeless, among other projects. That is who they were.
Razan yang masih berusia 19 tahun, memanfaatkan keahliannya di bidang arsitektur untuk membantu di lingkungannya, antara lain dengan mendesain paket bantuan untuk tuna wisma. Begitulah mereka.
Standing there that night, I take a deep breath and look at Deah and tell him, "I have never been more proud of you than I am in this moment." He pulls me into his tall frame, hugs me goodnight, and I leave the next morning without waking him to go back to San Francisco. That is the last time I ever hug him.
Malam itu, saya menarik napas panjang, menatap Deah dan berkata, "Aku sangat bangga padamu." Deah memeluk saya, dan mengucapkan selamat tidur, dan keesokan harinya saya pergi tanpa membangunkannya untuk kembali ke San Francisco. Ternyata itu adalah kali terakhir saya memeluknya.
Ten days later, I'm on call at San Francisco General Hospital when I receive a barrage of vague text messages expressing condolences. Confused, I call my father, who calmly intones, "There's been a shooting in Deah's neighborhood in Chapel Hill. It's on lock-down. That's all we know." I hang up and quickly Google, "shooting in Chapel Hill." One hit comes up. Quote: "Three people were shot in the back of the head and confirmed dead on the scene." Something in me just knows. I fling out of my chair and faint onto the gritty hospital floor, wailing.
Sepuluh hari kemudian, saya sedang bekerja di RS Umum San Francisco ketika saya menerima banyak sekali SMS aneh berisi ucapan belasungkawa. Saya bingung, lalu saya menelepon Ayah saya, yang dengan tenang berkata, "Ada penembakan di perumahan Deah di Chapel Hill. Sekarang masih dibarikade. Hanya itu yang kita tahu." Seusai menelpon, saya langsung meng-google "Penembakan di Chapel Hill." Sebuah artikel muncul. Di situ tertulis: "Tiga orang tertembak di belakang kepala dan dipastikan meninggal seketika di TKP." Saat itu juga saya tahu. Saya jatuh terjerembab ke lantai rumah sakit, menangis meraung-raung.
I take the first red-eye out of San Francisco, numb and disoriented. I walk into my childhood home and faint into my parents' arms, sobbing. I then run up to Deah's room as I did so many times before, just looking for him, only to find a void that will never be filled.
Saya naik penerbangan pertama dari San Franciso, lemas dan kehilangan fokus. Saya berjalan ke dalam rumah dan jatuh ke pelukan kedua orang tua saya, terisak-isak. Saya lalu berlari ke kamar Deah seperti biasanya, mencoba menemukan sosoknya, dan hanya menemukan kekosongan yang takkan pernah tergantikan.
Investigation and autopsy reports eventually revealed the sequence of events. Deah had just gotten off the bus from class, Razan was visiting for dinner, already at home with Yusor. As they began to eat, they heard a knock on the door. When Deah opened it, their neighbor proceeded to fire multiple shots at him. According to 911 calls, the girls were heard screaming. The man turned towards the kitchen and fired a single shot into Yusor's hip, immobilizing her. He then approached her from behind, pressed the barrel of his gun against her head, and with a single bullet, lacerated her midbrain. He then turned towards Razan, who was screaming for her life, and, execution-style, with a single bullet to the back of the head, killed her. On his way out, he shot Deah one last time -- a bullet in the mouth -- for a total of eight bullets: two lodged in the head, two in his chest and the rest in his extremities.
Hasil investigasi dan laporan otopsi menjabarkan kronologi kejadian hari itu. Deah baru saja turun bus dari kampus, sementara Razan sedang berkunjung untuk makan malam bersama Yusor di rumah. Saat santap malam dimulai, terdengar suara pintu diketuk. Ketika Deah membuka pintu, seorang tetangga pria langsung menembak membabi buta ke arahnya. Berdasarkan rekaman telepon 911, Razan dan Yusor terdengar berteriak. Penembak berjalan ke arah dapur dan menembak Yusor di panggul, membuatnya tak dapat bergerak. Dari belakang ia mendekati Yusor menempelkan senjatanya ke kepala Yusor, dan dengan satu peluru, menembus otak Yusor. Ia lalu berjalan ke arah Razan, yang berteriak minta ampun, dan layaknya mengeksekusi mati, menembakkan satu peluru ke bagian belakang kepala, menembak mati Razan. Sambil berjalan keluar, ia menembak Deah sekali lagi, dengan sebuah peluru di mulut. Total ada 8 peluru: 2 di kepala 2 di dada dan sisanya di kaki dan tangannya.
Deah, Yusor and Razan were executed in a place that was meant to be safe: their home. For months, this man had been harassing them: knocking on their door, brandishing his gun on a couple of occasions. His Facebook was cluttered with anti-religion posts. Yusor felt particularly threatened by him. As she was moving in, he told Yusor and her mom that he didn't like the way they looked. In response, Yusor's mom told her to be kind to her neighbor, that as he got to know them, he'd see them for who they were. I guess we've all become so numb to the hatred that we couldn't have ever imagined it turning into fatal violence.
Deah, Yusor, dan Razan dibunuh di tempat yang harusnya aman: rumah mereka sendiri. Sudah berbulan-bulan pria ini mengganggu mereka: mengetuk pintu rumah, mengacungkan pistolnya beberapa kali. Akun Facebooknya penuh dengan posting berbau anti agama. Yusor benar-benar merasa terganggu oleh pria ini. Ketika Yusor pindah ke situ, pria ini mengungkapkan ketidaksukaannya akan penampilan Yusor dan ibunya. Tapi ibu Yusor meminta Yusor untuk tetap ramah pada pria itu, karena lama-kelamaan, pria tersebut akan mengenal mereka lebih baik. Mungkin kita sudah mati rasa akan kebencian, hingga kita tidak menyangka kebencian bisa berubah menjadi kekerasan yang mematikan.
The man who murdered my brother turned himself in to the police shortly after the murders, saying he killed three kids, execution-style, over a parking dispute. The police issued a premature public statement that morning, echoing his claims without bothering to question it or further investigate. It turns out there was no parking dispute. There was no argument. No violation. But the damage was already done. In a 24-hour media cycle, the words "parking dispute" had already become the go-to sound bite.
Pria itu menyerahkan diri ke polisi tak lama setelah pembunuhan itu, ia mengaku telah membunuh tiga orang, dengan cara eksekusi mati, karena permasalahan parkir. Pagi itu polisi mengeluarkan pernyataan prematur, yang isinya sama dengan pengakuan pria itu, tanpa interogasi atapun pemeriksaan lebih lanjut. Padahal ternyata tidak ada permasalahan parkir. Tidak ada pelanggaran. Tidak ada kekerasan. Tapi sudah terlambat. Dalam waktu 24 jam, kasus ini sudah dilaporkan oleh media sebagai "permasalahan parkir."
I sit on my brother's bed and remember his words, the words he gave me so freely and with so much love, "I am who I am because of you." That's what it takes for me to climb through my crippling grief and speak out. I cannot let my family's deaths be diminished to a segment that is barely discussed on local news. They were murdered by their neighbor because of their faith, because of a piece of cloth they chose to don on their heads, because they were visibly Muslim.
Saya duduk di tempat tidur Deah dan teringat kata-katanya, kata-kata yang terlontar begitu saja dengan penuh kasih sayang, "Aku bisa menjadi diriku yang sekarang karenamu." Itulah yang memberi saya kekuatan untuk bangkit dari kesedihan dan berbicara. Saya tidak akan membiarkan berita kematian keluarga saya dikecilkan ke segmen berita yang bahkan tidak dibahas oleh media lokal. Mereka dibunuh oleh tetangga mereka karena agama mereka, karena selembar kain yang mereka kenakan di atas kepala, karena mereka jelas-jelas tampak sebagai Muslim.
Some of the rage I felt at the time was that if roles were reversed, and an Arab, Muslim or Muslim-appearing person had killed three white American college students execution-style, in their home, what would we have called it? A terrorist attack. When white men commit acts of violence in the US, they're lone wolves, mentally ill or driven by a parking dispute. I know that I have to give my family voice, and I do the only thing I know how: I send a Facebook message to everyone I know in media.
Di antaranya yang membuat saya begitu marah ketika itu adalah seandainya kami bertukar tempat, seandainya seorang Arab, Muslim, atau orang yang tampak seperti Muslim membunuh tiga mahasiswa kulit putih Amerika dengan brutal, di rumah mereka sendiri, kita sebut apa? Serangan teroris. Tapi saat orang kulit putih melakukan kekerasan di Amerika, mereka bekerja sendiri, sakit jiwa, atau lepas kendali karena permasalahan parkir. Saya tahu saya harus berbicara untuk keluarga saya, saya melakukan cara satu-satunya yang saya tahu: saya mengirim pesan Facebook ke semua orang yang saya kenal dan bekerja di media massa.
A couple of hours later, in the midst of a chaotic house overflowing with friends and family, our neighbor Neal comes over, sits down next to my parents and asks, "What can I do?" Neal had over two decades of experience in journalism, but he makes it clear that he's not there in his capacity as journalist, but as a neighbor who wants to help. I ask him what he thinks we should do, given the bombardment of local media interview requests. He offers to set up a press conference at a local community center. Even now I don't have the words to thank him. "Just tell me when, and I'll have all the news channels present," he said.
Beberapa jam kemudian, ketika rumah kami ramai didatangi saudara dan teman, tetangga kami Neal menghampiri orang tua saya dan duduk di sebelah mereka dan bertanya, "Apa yang bisa saya bantu?" Neal adalah jurnalis dengan pengalaman lebih dari 20 tahun, namun ia tidak bertanya dalam kapasitasnya sebagai wartawan, melainkan sebagai tetangga yang ingin menolong. Saya meminta pendapatnya mengenai banyaknya permintaan wawancara dari media lokal. Ia menawarkan diri untuk menggelar konferensi pers di gedung serbaguna setempat. Saya tak tahu bagaimana saya bisa berterima kasih padanya. "Tentukan waktunya, dan aku akan mengundang semua stasiun berita," katanya.
He did for us what we could not do for ourselves in a moment of devastation. I delivered the press statement, still wearing scrubs from the previous night. And in under 24 hours from the murders, I'm on CNN being interviewed by Anderson Cooper. The following day, major newspapers -- including the New York Times, Chicago Tribune -- published stories about Deah, Yusor and Razan, allowing us to reclaim the narrative and call attention the mainstreaming of anti-Muslim hatred.
Neal membantu kami melakukan sesuatu yang tidak bisa kami lakukan sendiri di saat sulit. Saya memberi pernyataan pers, masih memakai baju operasi malam sebelumnya. Dan dalam 24 jam sejak pembunuhan itu, saya diwawancarai oleh Anderson Cooper dari CNN. Hari berikutnya, surat kabar ternama -- termasuk the New York Times, Chicago Tribune -- memberitakan tentang Deah, Yusor dan Razan, sehingga kami dapat mengklarifikasi kejadian dan menyoroti kebencian terhadap Muslim yang mulai dianggap umum.
These days, it feels like Islamophobia is a socially acceptable form of bigotry. We just have to put up with it and smile. The nasty stares, the palpable fear when boarding a plane, the random pat downs at airports that happen 99 percent of the time.
Saat ini, sepertinya fobia Islam telah menjadi bentuk fanatisme yang diterima masyarakat. Orang muslim hanya dapat bersabar dan tersenyum. Tatapan benci, rasa takut yang kentara saat naik pesawat, pemeriksaan acak di bandara yang hampir 99% terjadi.
It doesn't stop there. We have politicians reaping political and financial gains off our backs. Here in the US, we have presidential candidates like Donald Trump, casually calling to register American Muslims, and ban Muslim immigrants and refugees from entering this country. It is no coincidence that hate crimes rise in parallel with election cycles.
Tidak hanya itu saja. Ada politisi yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingannya. Di Amerika, kita punya capres seperti Donald Trump, yang dengan santai menghimbau pendataan Muslim Amerika, melarang imigran dan pengungsi muslim untuk memasuki AS. Bukan kebetulan bahwa kejahatan SARA meningkat seiring dengan siklus pemilihan umum.
Just a couple months ago, Khalid Jabara, a Lebanese-American Christian, was murdered in Oklahoma by his neighbor -- a man who called him a "filthy Arab." This man was previously jailed for a mere 8 months, after attempting run over Khalid's mother with his car. Chances are you haven't heard Khalid's story, because it didn't make it to national news. The least we can do is call it what it is: a hate crime. The least we can do is talk about it, because violence and hatred doesn't just happen in a vacuum.
Beberapa bulan lalu, Khalid Jabara, seorang warga AS keturunan Lebanon beragama Kristen, dibunuh di Oklahoma oleh tetangganya-- oleh seorang pria yang memanggilnya "orang Arab menjijikkan." Pria ini sebelumnya dipenjara selama hanya 8 bulan, setelah mencoba menabrak ibunda Khalid dengan mobilnya. Mungkin Anda belum pernah mendengar berita tentang Khalid, karena kisahnya tidak diberitakan di media nasional. Namun paling tidak kita bisa menyebutnya sebagaimana mestinya: kejahatan SARA. Setidaknya kita bisa mendiskusikannya, karena kekerasan dan kebencian tidak terjadi begitu saja.
Not long after coming back to work, I'm the senior on rounds in the hospital, when one of my patients looks over at my colleague, gestures around her face and says, "San Bernardino," referencing a recent terrorist attack. Here I am having just lost three family members to Islamophobia, having been a vocal advocate within my program on how to deal with such microaggressions, and yet -- silence. I was disheartened. Humiliated.
Tak lama setelah kembali bekerja, saat saya bertugas sebagai dokter jaga senior, salah seorang pasien melirik ke teman sejawat saya, memberi isyarat dan berkata, "San Bernardino," mengacu pada serangan teroris yang belum lama ini terjadi. Padahal saya baru saja kehilangan 3 anggota keluarga karena fobia Islam, dan menjadi aktivis yang lantang menyuarakan bagaimana mengatasi tindakan penindasan serupa, meski demikian -- tak ada yang bersuara. Saya merasa patah semangat. Dipermalukan.
Days later rounding on the same patient, she looks at me and says, "Your people are killing people in Los Angeles." I look around expectantly. Again: silence. I realize that yet again, I have to speak up for myself. I sit on her bed and gently ask her, "Have I ever done anything but treat you with respect and kindness? Have I done anything but give you compassionate care?" She looks down and realizes what she said was wrong, and in front of the entire team, she apologizes and says, "I should know better. I'm Mexican-American. I receive this kind of treatment all the time."
Beberapa hari kemudian, pasien yang sama melihat ke arah saya dan berkata, "Orang-orang sepertimu membunuh orang-orang di Los Angeles." Saya melihat sekitar, mengharap pembelaan. Lagi-lagi: tak ada yang bersuara. Saya menyadari bahwa lagi-lagi, saya harus membela diri saya sendiri. Saya duduk di tempat tidurnya lalu bertanya dengan ramah, "Tidakkah saya selalu memperlakukan Anda dengan hormat dan ramah?" "Tidakkah saya selalu merawat Anda dengan penuh perhatian?" Ia menunduk, menyadari bahwa yang ia katakan salah, dan di depan semua orang, ia meminta maaf dan berkata, "Saya seharusnya sadar. Saya orang Amerika keturunan Meksiko. Dan saya selalu mendapat perlakuan serupa."
Many of us experience microaggressions on a daily basis. Odds are you may have experienced it, whether for your race, gender, sexuality or religious beliefs. We've all been in situations where we've witnessed something wrong and didn't speak up. Maybe we weren't equipped with the tools to respond in the moment. Maybe we weren't even aware of our own implicit biases. We can all agree that bigotry is unacceptable, but when we see it, we're silent, because it makes us uncomfortable.
Kebanyakan kita mengalami penindasan setiap hari. Mungkin Anda pernah mengalaminya, apakah itu karena ras Anda, jender, orientasi seksual, atau kepercayaan beragama. Kita semua pernah menjadi saksi atas sesuatu yang salah tapi diam saja. Mungkin karena kita merasa tidak siap untuk merespon pada saat itu. Mungkin karena kita tidak sadar akan bias kita sendiri. Mungkin kita semua setuju bahwa sikap fanatisme tidak dapat diterima, tapi ketika kita menyaksikannya, kita diam saja, karena ia membuat kita tak nyaman.
But stepping right into that discomfort means you are also stepping into the ally zone. There may be over three million Muslims in America. That's still just one percent of the total population. Martin Luther King once said, "In the end, we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends."
Sebetulnya, rasa tidak nyaman itu mengindikasikan bahwa kita telah masuk zona kawan. Ada lebih dari 3 juta muslim di Amerika. Itu adalah 1% dari keseluruhan populasi. Martin Luther King pernah berkata, "Pada akhirnya, bukan ucapan lawan yang kita ingat, melainkan diamnya kawan kita."
So what made my neighbor Neal's allyship so profound? A couple of things. He was there as a neighbor who cared, but he was also bringing in his professional expertise and resources when the moment called for it. Others have done the same. Larycia Hawkins drew on her platform as the first tenured African-American professor at Wheaton College to wear a hijab in solidarity with Muslim women who face discrimination every day. As a result, she lost her job. Within a month, she joined the faculty at the University of Virginia, where she now works on pluralism, race, faith and culture.
Jadi kenapa dukungan Neal menjadi sangat berarti? Beberapa hal. Ia di sana sebagai tetangga yang peduli, dan ia juga menawarkan keahlian dan sumber dayanya pada saat dibutuhkan. Ada orang-orang yang yang melakukan hal yang sama. Larycia Hawkins, seorang profesor Afrika-Amerika pertama di Wheaton College menggunakan hijab sebagai bentuk solidaritas dengan wanita muslim yang mengalami diskriminasi setiap hari. Sebagai akibatnya, ia kehilangan pekerjaan. Dalam waktu sebulan, ia bergabung dengan University of Virginia dimana ia sekarang bekerja di bidang pluralisme, ras, kepercayaan, dan budaya.
Reddit cofounder, Alexis Ohanian, demonstrated that not all active allyship needs to be so serious. He stepped up to support a 15-year-old Muslim girl's mission to introduce a hijab emoji.
Co-founder Reddit, Alexis Ohanian, menunjukan bahwa bentuk dukungan tidak melulu harus serius. Ia mendukungan untuk seorang gadis muslim berusia 15 tahun dengan membuat emoji hijab.
(Laughter)
(Tertawa)
It's a simple gesture, but it has a significant subconscious impact on normalizing and humanizing Muslims, including the community as a part of an "us" instead of an "other." The editor in chief of Women's Running magazine just put the first hijabi to ever be on the cover of a US fitness magazine. These are all very different examples of people who drew upon their platforms and resources in academia, tech and media, to actively express their allyship.
Bentuk dukungan yang sederhana, namun dampaknya sangat besar dalam menormalisasi dan memanusiakan orang Islam, menjadikan komunitas Muslim sebagai bagian dari "kita" dan bukan "mereka." Kepala redaksi majalah Women's Running menampilkan wanita berhijab pertama di sampul majalah kebugaran Amerika. Ini adalah beberapa contoh dimana orang-orang menggunakan posisi dan sumber daya mereka di bidang akademis, teknologi, dan media untuk menyatakan dukungan mereka.
What resources and expertise do you bring to the table? Are you willing to step into your discomfort and speak up when you witness hateful bigotry? Will you be Neal?
Keahlian dan sumber daya apa yang Anda miliki? Apa Anda bersedia keluar dari zona nyaman dan angkat bicara ketika menyaksikan aksi fanatik? Bisakah Anda seperti Neal?
Many neighbors appeared in this story. And you, in your respective communities, all have a Muslim neighbor, colleague or friend your child plays with at school. Reach out to them. Let them know you stand with them in solidarity. It may feel really small, but I promise you it makes a difference.
Banyak tetangga yang muncul dalam kisah ini. Dan dalam lingkungan Anda, Anda semua memiliki tetangga muslim, teman sejawat, atau teman sekolah anak-anak Anda. Rangkul mereka. Biarkan mereka tahu bahwa Anda ada di sisi mereka. Mungkin rasanya kecil, tapi percayalah, itu sangat berarti.
Nothing will ever bring back Deah, Yusor and Razan. But when we raise our collective voices, that is when we stop the hate.
Tidak ada yang bisa mengembalikan Deah, Yusor, dan Razan. Namun jika kita angkat bicara bersama-sama, kita bisa menghentikan kebencian.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)