It was the spring of 2011, and as they like to say in commencement speeches, I was getting ready to enter the real world. I had recently graduated from college and moved to Paris to start my first job. My dream was to become a war correspondent, but the real world that I found took me into a really different kind of conflict zone.
Saat itu musim semi tahun 2011, dan seperti yang sering orang katakan dalam pidato wisudawan, saya sedang bersiap untuk memasuki dunia nyata. Saya baru saja lulus dari universitas dan pindah ke Paris untuk memulai pekerjaan pertama saya. Impian saya adalah menjadi seorang jurnalis perang, tetapi dunia nyata yang saya hadapi membawa saya ke zona konflik yang sangat berbeda.
At 22 years old, I was diagnosed with leukemia. The doctors told me and my parents, point-blank, that I had about a 35 percent chance of long-term survival. I couldn't wrap my head around what that prognosis meant. But I understood that the reality and the life I'd imagined for myself had shattered. Overnight, I lost my job, my apartment, my independence, and I became patient number 5624.
Di usia 22 tahun, saya didiagnosis leukimia. Para dokter mengatakan pada saya dan orang tua secara terus terang, bahwa saya hanya memiliki peluang 35% untuk bertahan hidup. Saya tidak bisa memahami apa arti prognosis tersebut. Tapi saya sadar bahwa realitas dan kehidupan yang saya bayangkan telah hancur. Dalam sekejap, saya kehilangan pekerjaan, apartemen, kebebasan, dan saya menjadi pasien nomor 5624.
Over the next four years of chemo, a clinical trial and a bone marrow transplant, the hospital became my home, my bed, the place I lived 24/7. Since it was unlikely that I'd ever get better, I had to accept my new reality. And I adapted. I became fluent in medicalese, made friends with a group of other young cancer patients, built a vast collection of neon wigs and learned to use my rolling IV pole as a skateboard. I even achieved my dream of becoming a war correspondent, although not in the way I'd expected. It started with a blog, reporting from the front lines of my hospital bed, and it morphed into a column I wrote for the New York Times, called "Life, Interrupted."
Selama empat tahun menjalani kemoterapi, percobaan klinis dan transplantasi sumsum tulang, rumah sakit menjadi rumah baru saya, tempat tidur, dan tempat saya tinggal sepanjang waktu. Akibat kemungkinan untuk sembuh sangat kecil, saya harus menerima kenyataan baru tersebut. Dan saya beradaptasi. Saya menjadi fasih dalam urusan medis, berteman dengan para pasien muda pengidap kanker lainnya, membuat koleksi wig berwarna neon, dan belajar menggunakan tiang infus sebagai papan luncur. Saya bahkan mencapai impian saya menjadi koresponden perang, meskipun tidak seperti yang saya kira. Awalnya bermula dari sebuah blog, melaporkan dari garis terdepan tempat tidur saya, dan selanjutnya berubah menjadi artikel yang saya tulis di the New York Times, yang berjudul "Hidup, Terganggu."
But -- (Applause)
Tetapi -- (Tepuk tangan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
But above all else, my focus was on surviving. And -- spoiler alert --
Tetapi di atas segalanya, fokus saya adalah bertahan hidup. Dan -- sedikit bocoran --
(Laughter)
(Tertawa)
I did survive, yeah.
saya berhasil bertahan hidup.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thanks to an army of supportive humans, I'm not just still here, I am cured of my cancer.
Berkat sebuah bala orang-orang yang suportif, saya tidak hanya berdiri di sini, saya juga dinyatakan bebas kanker.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
So, when you go through a traumatic experience like this, people treat you differently. They start telling you how much of an inspiration you are. They say you're a warrior. They call you a hero, someone who's lived the mythical hero's journey, who's endured impossible trials and, against the odds, lived to tell the tale, returning better and braver for what you're been through. And this definitely lines up with my experience.
Ketika Anda melalui pengalaman traumatis seperti ini, orang akan memperlakukan Anda berbeda. Mereka akan mulai mengatakan betapa menginspirasinya Anda. Mereka akan bilang Anda adalah pejuang. Mereka akan sebut Anda pahlawan, seseorang yang hidup seperti pahlawan dalam dongeng, yang melewati cobaan berat, dan melawan segala kemungkinan terburuk, hidup untuk berbagi kisahnya, kembali dengan lebih baik dan berani setelah mengalami semuanya. Dan ini sejalan dengan pengalaman saya.
Cancer totally transformed my life. I left the hospital knowing exactly who I was and what I wanted to do in the world. And now, every day as the sun rises, I drink a big glass of celery juice, and I follow this up with 90 minutes of yoga. Then, I write down 50 things I'm grateful for onto a scroll of paper that I fold into an origami crane and send sailing out my window.
Kanker benar-benar mengubah hidup saya. Saya pergi dari rumah sakit dengan memahami betul diri saya dan apa yang saya ingin lakukan di dunia. Sekarang, setiap hari saat matahari terbit, saya minum segelas besar jus seledri, dan kemudian saya yoga selama 90 menit. Setelah itu, saya tuliskan 50 hal yang saya syukuri di secarik kertas yang saya lipat jadi origami burung dan terbangkan lewat jendela.
(Laughter)
(Tertawa)
Are you seriously believing any of this?
Apa Anda serius memercayai semua itu?
(Laughter)
(Tertawa)
I don't do any of these things.
Saya tidak melakukan semua itu.
(Laughter)
(Tertawa)
I hate yoga, and I have no idea how to fold an origami crane. The truth is that for me, the hardest part of my cancer experience began once the cancer was gone. That heroic journey of the survivor we see in movies and watch play out on Instagram -- it's a myth. It isn't just untrue, it's dangerous, because it erases the very real challenges of recovery.
Saya benci yoga, dan saya tidak tahu cara melipat origami burung. Sejujurnya adalah bagi saya, bagian terberat dari pengalaman kanker saya dimulai ketika kanker itu menghilang. Perjalanan heroik dari seorang penyintas yang kita lihat di film dan tonton di Instagram -- semua adalah mitos. Itu tidak hanya fana, tapi berbahaya, karena itu mengabaikan tantangan pemulihan yang sebenarnya.
Now, don't get me wrong -- I am incredibly grateful to be alive, and I am painfully aware that this struggle is a privilege that many don't get to experience. But it's important that I tell you what this projection of heroism and expectation of constant gratitude does to people who are trying to recover. Because being cured is not where the work of healing ends. It's where it begins.
Sekarang, jangan salah paham -- saya sangat bersyukur bisa hidup, dan saya sungguh menyadari bahwa kesulitan ini begitu istimewa yang tidak dialami banyak orang. Tetapi penting bagi saya untuk memberi tahu Anda apa efek dari gambaran heroik dan ekspektasi untuk terus bersyukur terhadap orang-orang yang mencoba untuk pulih. Karena menjadi sembuh bukan akhir dari usaha penyembuhan. Itu adalah awal yang baru.
I'll never forget the day I was discharged from the hospital, finally done with treatment. Those four years of chemo had taken a toll on my relationship with my longtime boyfriend, and he'd recently moved out. And when I walked into my apartment, it was quiet. Eerily so. The person I wanted to call in this moment, the person who I knew would understand everything, was my friend Melissa. She was a fellow cancer patient, but she had died three weeks earlier. As I stood there in the doorway of my apartment, I wanted to cry. But I was too tired to cry. The adrenaline was gone. I had felt as if the inner scaffolding that had held me together since my diagnosis had suddenly crumbled. I had spent the past 1,500 days working tirelessly to achieve one goal: to survive. And now that I'd done so, I realized I had absolutely no idea how to live.
Saya tidak akan pernah lupa hari ketika saya keluar dari rumah sakit, akhirnya bebas dari pengobatan. Kemoterapi empat tahun itu telah merusak hubungan saya dengan pacar lama saya, dan dia baru saja pindah. Ketika saya masuk apartemen, tempat itu sunyi. Sungguh menakutkan. Orang yang ingin saya telepon saat itu, seseorang yang saya tahu akan mengerti segalanya, adalah teman saya Melissa. Dia adalah sesama pasien kanker, tapi dia sudah meninggal tiga minggu sebelumnya. Ketika saya berdiri di pintu depan apartemen saya, saya ingin menangis. Tapi saya terlalu lelah untuk menangis. Adrenalin saya hilang. Rasanya seluruh kehidupan dalam diri yang telah membentuk saya sejak saya didiagnosis tiba-tiba menjadi hancur. Saya menghabiskan 1.500 hari berjuang tanpa lelah untuk mencapai satu tujuan: untuk bertahan hidup. Dan ketika sekarang saya berhasil, saya sadar bahwa saya sama sekali tidak tahu bagaimana cara hidup.
On paper, of course, I was better: I didn't have leukemia, my blood counts were back to normal, and the disability checks soon stopped coming. To the outside world, I clearly didn't belong in the kingdom of the sick anymore. But in reality, I never felt further from being well. All that chemo had taken a permanent physical toll on my body. I wondered, "What kind of job can I hold when I need to nap for four hours in the middle of the day? When my misfiring immune system still sends me to the ER on a regular basis?" And then there were the invisible, psychological imprints my illness had left behind: the fears of relapse, the unprocessed grief, the demons of PTSD that descended upon me for days, sometimes weeks.
Di atas kertas, tentu saja, saya membaik: saya terbebas dari leukimia, hasil hitung darah saya kembali normal, dan bantuan dana disabilitas berhenti datang. Bagi dunia luar, saya tidak lagi tergolong ke dalam kerajaan orang sakit. Tetapi kenyataannya, saya tidak pernah merasa benar-benar sehat. Semua kemoterapi yang dijalankan telah mengambil kekuatan fisik tubuh saya. Saya bertanya-tanya, "pekerjaan macam apa yang membolehkan saya tidur siang selama 4 jam di siang hari? Ketika sistem kekebalan tubuh saya yang salah masih sering mengharuskan saya ke UGD secara teratur?" Kemudian ada jejak psikologis tak kasat mata yang ditinggalkan oleh penyakit saya: ketakutan akan kambuh, duka yang belum selesai, PTSD yang menghantui saya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
See, we talk about reentry in the context of war and incarceration. But we don't talk about it as much in the context of other kinds of traumatic experiences, like an illness. Because no one had warned me of the challenges of reentry, I thought something must be wrong with me. I felt ashamed, and with great guilt, I kept reminding myself of how lucky I was to be alive at all, when so many people like my friend Melissa were not. But on most days, I woke up feeling so sad and lost, I could barely breathe. Sometimes, I even fantasized about getting sick again. And let me tell you, there are so many better things to fantasize about when you're in your twenties and recently single.
Kita sering berbicara tentang "re-entry" dalam konteks perang dan penahanan. Tetapi kita tidak pernah berbincang dalam konteks pengalaman traumatis lainnya, seperti misalnya penyakit. Tidak ada satupun orang yang memperingati saya tentang tantangan pemulihan, saya pikir pasti ada sesuatu yang salah dari saya. Saya merasa malu, dan dengan perasaan bersalah, saya terus menerus mengingat betapa beruntungnya saya masih hidup, ketika banyak orang seperti teman saya Melissa tidak alami. Hampir setiap hari, saya terbangun dengan perasaan sedih dan tersesat, saya hampir tidak bisa bernapas. Terkadang, saya bahkan berfantasi tentang menjadi sakit lagi. Dan saya beri tahu Anda, ada begitu banyak hal lebih baik yang bisa dikhayalkan ketika Anda berusia dua puluhan dan baru saja melajang.
(Laughter)
(Tertawa)
But I missed the hospital's ecosystem. Like me, everyone in there was broken. But out here, among the living, I felt like an impostor, overwhelmed and unable to function. I also missed the sense of clarity I'd felt at my sickest. Staring your mortality straight in the eye has a way of simplifying things, of rerouting your focus to what really matters. And when I was sick, I vowed that if I survived, it had to be for something. It had to be to live a good life, an adventurous life, a meaningful one. But the question, once I was cured, became: How? I was 27 years old with no job, no partner, no structure. And this time, I didn't have treatment protocols or discharge instructions to help guide my way forward.
Tapi saya merindukan ekosistem rumah sakit. Seperti saya, semua orang di sana sakit. Tapi di luar sini, di antara yang hidup, saya merasa seperti penipu, kewalahan dan tidak bisa berfungsi. Saya juga merindukan rasa kejelasan yang saya rasakan saat saya sakit parah. Menatap kematian tepat di depan mata membuat Anda menyederhanakan sesuatu, mengalihkan kembali fokus Anda pada sesuatu yang benar-benar penting. Waktu sakit, saya berjanji jika saya bertahan hidup, itu pasti untuk sesuatu. Itu harus menjadi hidup yang baik, hidup yang penuh petualangan, kehidupan yang bermakna. Tetapi pertanyaannya, setelah saya sembuh, menjadi: bagaimana caranya? Saya berusia 27 tahun, tanpa pekerjaan, tanpa pasangan, tanpa struktur. Kali ini, saya tidak memiliki protokol pengobatan dan instruksi pelepasan untuk memandu saya maju.
But what I did have was an in-box full of internet messages from strangers. Over the years, people from all over the world had read my column, and they'd responded with letters, comments and emails. It was a mix, as is often the case, for writers. I got a lot of unsolicited advice about how to cure my cancer with things like essential oils. I got some questions about my bra size. But mostly --
Tetapi yang saya punya adalah kotak berisi ribuan pesan di internet dari orang asing, Selama bertahun-tahun, orang-orang dari seluruh dunia membaca artikel saya, dan mereka menanggapi melalui surat, komentar dan email. Semuanya campuran, seperti halnya yang sering terjadi pada penulis. Saya dapat banyak saran yang tidak diminta tentang cara menyembuhkan kanker dengan sesuatu seperti minyak esensial. Saya dapat beberapa pertanyaan tentang ukuran bra saya. Tapi kebanyakan --
(Laughter)
(Tertawa)
mostly, I heard from people who, in their own different way, understood what it was that I was going through.
kebanyakan, saya dengar dari mereka yang, dalam cara mereka yang berbeda memahami apa yang saya alami.
I heard from a teenage girl in Florida who, like me, was coming out of chemo and wrote me a message composed largely of emojis. I heard from a retired art history professor in Ohio named Howard, who'd spent most of his life struggling with a mysterious, debilitating health condition that he'd had from the time he was a young man. I heard from an inmate on death row in Texas by the name of Little GQ -- short for "Gangster Quinn." He'd never been sick a day in his life. He does 1,000 push-ups to start off each morning. But he related to what I described in one column as my "incanceration," and to the experience of being confined to a tiny fluorescent room. "I know that our situations are different," he wrote to me, "But the threat of death lurks in both of our shadows." In those lonely first weeks and months of my recovery, these strangers and their words became lifelines, dispatches from people of so many different backgrounds, with so many different experiences, all showing me the same thing: you can be held hostage by the worst thing that's ever happened to you and allow it to hijack your remaining days, or you can find a way forward.
Saya dengar dari remaja perempuan di Florida yang baru saja selesai kemoterapi dan menuliskan pesan yang berisi penuh dengan emoji. Saya mendengar dari seorang pensiunan profesor sejarah di Ohio bernama Howard, yang menghabiskan hidupnya kesulitan dengan kondisi kesehatan yang misterius dan melemahkan tubuhnya yang ia punya sama sejak ia masih muda. Saya dengar dari seorang narapidana hukuman mati di Texas yang dikenal dengan nama Little GQ -- singkatan dari "Gangster Quinn." Dia tidak pernah merasakan sakit dalam hidupnya. Ia melakukan push-up sebanyak 1.000 kali setiap pagi hari. Tapi ia merasakan sesuatu yang saya tulis dalam artikel yaitu "penahanan" diri saya, dan pengalaman terkurung di ruangan berpendar yang kecil. "Saya tahu situasi kita berbeda," dia tulis untuk saya, "Tetapi ancaman kematian terus mengikuti bayangan kita." Dalam minggu-minggu awal dan bulan pemulihan saya yang sepi, tanggapan dari orang-orang asing ini menjadi nyawa kehidupan, kiriman dari orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, dari pengalaman yang sangat berbeda, menunjukkan saya pada sesuatu yang sama: Anda bisa disandera dengan segala hal buruk yang pernah terjadi pada Anda dan membiarkan hal itu membajak sisa hidup Anda, atau Anda bisa menemukan jalan ke depan.
I knew I needed to make some kind of change. I wanted to be in motion again to figure out how to unstuck myself and to get back out into the world. And so I decided to go on a real journey -- not the bullshit cancer one or the mythical hero's journey that everyone thought I should be on, but a real, pack-your-bags kind of journey. I put everything I owned into storage, rented out my apartment, borrowed a car and talked a very a dear but somewhat smelly friend into joining me.
Saya tahu saya harus melakukan suatu perubahan. Saya ingin bergerak lagi untuk menemukan cara melepaskan diri dan kembali ke dunia seutuhnya. Saya pun memutuskan untuk menjalani perjalanan nyata -- bukan tentang omong kosong kanker atau perjalanan seorang pahlawan yang orang pikir harus saya jalankan, tapi perjalanan seperti berpergian. Saya simpan semua yang saya punya di gudang, menyewakan apartemen saya, meminjam mobil dan mengajak teman tersayang tapi juga sedikit bau untuk ikut dengan saya.
(Laughter)
(Tertawa)
Together, my dog Oscar and I embarked on a 15,000-mile road trip around the United States. Along the way, we visited some of those strangers who'd written to me. I needed their advice, also to say to them, thank you. I went to Ohio and stayed with Howard, the retired professor. When you've suffered a loss or a trauma, the impulse can be to guard your heart. But Howard urged me to open myself up to uncertainty, to the possibilities of new love, new loss. Howard will never be cured of illness. And as a young man, he had no way of predicting how long he'd live. But that didn't stop him from getting married. Howard has grandkids now, and takes weekly ballroom dancing lessons with his wife. When I visited them, they’d recently celebrated their 50th anniversary. In his letter to me, he'd written, "Meaning is not found in the material realm; it's not in dinner, jazz, cocktails or conversation. Meaning is what's left when everything else is stripped away."
Saya dan anjing saya Oscar memulai perjalanan 15.000 mil bersama keliling Amerika Serikat. Selama perjalanan, kami mengunjungi orang-orang yang pernah menulis ke saya. Saya butuh saran mereka, juga untuk mengatakan terima kasih. Saya pergi ke Ohio dan tinggal bersama Howard, profesor pensiunan. Ketika Anda dilanda kehilangan atau trauma, impuls bisa mendorong Anda untuk melindungi hati Anda. Tetapi Howard mendesak saya untuk membuka diri pada ketidakpastian, terhadap kemungkinan adanya cinta baru, kehilangan baru. Howard tidak akan pernah sembuh dari penyakitnya. Sewaktu ia muda, ia tidak bisa mengira berapa lama ia akan hidup. Tapi itu tidak menghentikannya untuk menikah. Howard sekarang punya beberapa cucu, dan mengambil kelas dansa bersama istrinya setiap minggu. Ketika saya datang, mereka baru saja merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke-50. Dalam suratnya kepada saya, ia menuliskan, "Makna tidak bisa ditemukan dalam hal material: itu tidak ada di makan malam, musik jazz, koktail atau perbincangan. Makna adalah apa yang tersisa ketika semuanya diambil dan hilang."
I went to Texas, and I visited Little GQ on death row. He asked me what I did to pass all that time I'd spent in a hospital room. When I told him that I got really, really good at Scrabble, he said, "Me, too!" and explained how, even though he spends most of his days in solitary confinement, he and his neighboring prisoners make board games out of paper and call out their plays through their meal slots -- a testament to the incredible tenacity of the human spirit and our ability to adapt with creativity.
Saya pergi ke Texas dan menemui Little GQ yang dalam hukuman mati. Dia bertanya apa saja yang saya lakukan untuk menghabiskan waktu di rumah sakit. Ketika saya bilang saya jadi jago dalam Scrabble, ia bilang, "Saya juga!" dan kemudian menjelaskan, meskipun ia menghabiskan banyak waktu di ruang isolasi, ia dan tahanan lainnya membuat papan permainan dari kertas dan bermain ketika waktu makan tiba -- sebuah bukti nyata yang luar biasa dari semangat seseorang dan kemampuan kita beradaptasi dengan kreativitas.
And my last stop was in Florida, to see that teenage girl who'd sent me all those emojis. Her name is Unique, which is perfect, because she's the most luminous, curious person I've ever met. I asked her what she wants to do next and she said, "I want to go to college and travel and eat weird foods like octopus that I've never tasted before and come visit you in New York and go camping, but I'm scared of bugs, but I still want to go camping." I was in awe of her, that she could be so optimistic and so full of plans for the future, given everything she'd been through. But as Unique showed me, it is far more radical and dangerous to have hope than to live hemmed in by fear.
Pemberhentian terakhir saya di Florida, untuk menemui remaja perempuan yang mengirimkan saya surat penuh dengan emoji. Namanya Unique, benar-benar cocok, karena dia orang yang paling bercahaya, dan penasaran yang pernah saya temui. Saya bertanya apa yang ia ingin lakukan nanti dan ia berkata, "Saya ingin kuliah dan bepergian dan mencicipi makanan aneh seperti gurita yang belum pernah saya coba dan mengunjungi Anda di New York dan pergi berkemah, tapi saya takut hama, tapi saya tetap ingin berkemah." Saya begitu kagum padanya, bahwa dia bisa begitu optimis dan penuh rencana untuk masa depan, mengingat semua yang pernah dialaminya. Tapi seperti yang Unique tunjukkan, itu jauh lebih radikal dan berbahaya untuk punya harapan daripada hidup dikekang oleh ketakutan.
But the most important thing I learned on that road trip is that the divide between the sick and the well -- it doesn't exist. The border is porous. As we live longer and longer, surviving illnesses and injuries that would have killed our grandparents, even our parents, the vast majority of us will travel back and forth between these realms, spending much of our lives somewhere between the two. These are the terms of our existence.
Tapi pelajaran penting yang saya dapat dari perjalanan itu adalah batasan antara yang sakit dan sehat -- tidak ada. Perbatasan itu berpori. Semakin kita hidup lebih lama dan panjang, bertahan dari penyakit dan luka yang akan membunuh kakek-nenek kita, bahkan orang tua kita, sebagian besar dari kita pun akan bolak-balik di antara ranah ini, menghabiskan waktu kita di antara keduanya. Ini adalah bagian dari keberadaan kita.
Now, I wish I could say that since coming home from my road trip, I feel fully healed. I don't. But once I stopped expecting myself to return to the person I'd been pre-diagnosis, once I learned to accept my body and its limitations, I actually did start to feel better. And in the end, I think that's the trick: to stop seeing our health as binary, between sick and healthy, well and unwell, whole and broken; to stop thinking that there's some beautiful, perfect state of wellness to strive for; and to quit living in a state of constant dissatisfaction until we reach it.
Sekarang, saya harap saya bisa mengatakan sejak kembali dari perjalanan, saya benar-benar pulih. Saya tidak pulih. Tapi ketika saya berhenti untuk mengharapkan diri saya untuk kembali menjadi diri saya sebelum didiagnosis kanker, ketika saya belajar untuk menerima tubuh saya dan keterbatasannya, Saya mulai merasa lebih baik. Pada akhirnya, saya pikir ini triknya: berhenti melihat kesehatan kita sebagai sesuatu yang biner, antara sakit dan sehat, baik dan tidak baik, utuh dan rusak: untuk berhenti memikirkan bahwa ada sesuatu yang indah dan sempurna yang harus Anda kejar; dan untuk berhenti hidup dalam ketidakpuasan konstan sampai kita meraihnya.
Every single one of us will have our life interrupted, whether it's by the rip cord of a diagnosis or some other kind of heartbreak or trauma that brings us to the floor. We need to find ways to live in the in-between place, managing whatever body and mind we currently have. Sometimes, all it takes is the ingenuity of a handmade game of Scrabble or finding that stripped-down kind of meaning in the love of family and a night on the ballroom dance floor, or that radical, dangerous hope that I'm guessing will someday lead a teenage girl terrified of bugs to go camping.
Masing-masing dari kita akan merasakan gangguan hidup, entah dengan diagnosis penyakit, patah hati atau trauma yang menjatuhkan kita. Kita perlu mencari cara untuk hidup di antara dua keadaan, mengelola apapun yang ada dalam tubuh dan pikiran kita. Terkadang, yang dibutuhkan hanya kecerdikan dari Scrabble buatan tangan atau menemukan makna tanpa batas dalam cinta keluarga dan satu malam di lantai dansa, atau harapan yang radikal dan berbahaya yang saya tebak akan mendorong remaja perempuan yang takut serangga untuk berkemah.
If you're able to do that, then you've taken the real hero's journey. You've achieved what it means to actually be well, which is to say: alive, in the messiest, richest, most whole sense.
Jika Anda bisa melakukannya, maka Anda telah mengambil jalan seorang pahlawan sesungguhnya. Anda berhasil mencapai apa yang dimaksud dengan benar-benar sehat, yaitu: hidup, di dunia yang berantakan, kaya, dengan seutuhnya.
Thank you, that's all I've got.
Terima kasih, hanya itu dari saya.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you. (Applause)
Terima kasih. (Tepuk tangan)