I have a tough job to do. You know, when I looked at the profile of the audience here, with their connotations and design, in all its forms, and with so much and so many people working on collaborative and networks, and so on, that I wanted to tell you, I wanted to build an argument for primary education in a very specific context. In order to do that in 20 minutes, I have to bring out four ideas -- it's like four pieces of a puzzle. And if I succeed in doing that, maybe you would go back with the thought that you could build on, and perhaps help me do my work.
Saya mempunyai pekerjaan yang sulit. Tahukah Anda, ketika saya melihat profil para penonton di sini, dengan berbagai macam latar belakang, dan dengan begitu banyak orang yang bekerja di bidang kolaborasi dan jaringan, dan sebagainya, saya ingin berkata kepada Anda, saya ingin membangun sebuah argumen tentang pendidikan dasar dalam konteks yang sangat spesifik. Untuk melakukannya dalam 20 menit, saya harus menjelaskan empat ide -- ini seperti empat potong teka-teki. Dan jika saya sukses melakukan itu, mungkin Anda akan kembali dengan pikiran bahwa Anda dapat lakukan dan mungkin menolong saya dalam melakukan pekerjaan saya
The first piece of the puzzle is remoteness and the quality of education. Now, by remoteness, I mean two or three different kinds of things. Of course, remoteness in its normal sense, which means that as you go further and further away from an urban center, you get to remoter areas. What happens to education? The second, or a different kind of remoteness is that within the large metropolitan areas all over the world, you have pockets, like slums, or shantytowns, or poorer areas, which are socially and economically remote from the rest of the city, so it's us and them. What happens to education in that context? So keep both of those ideas of remoteness.
Potongan teka - teki yang pertama adalah keterpencilan dan kualitas pendidikan. Nah, keterpencilan yang saya maksud memiliki dua atau tiga arti yang berbeda. Tentu saja, keterpencilan dalam arti yang biasa, artinya adalah ketika Anda pergi semakin jauh dari daerah pusat kota, Anda sampai ke daerah yang lebih terpencil. Apa yang terjadi dengan pendidikan? Arti keterpencilan yang kedua atau yang lain adalah di dalam daerah metropolitan di seluruh dunia, ada kantung - kantung, seperti daerah kumuh atau daerah yang miskin, yang terpencil secara sosial dan ekonomi bila dibandingkan daerah sekitarnya, berbeda dari sekitarnya. Apa yang terjadi dengan pendidikan dalam konteks itu? Jadi mari kita pegang kedua definisi tentang keterpencilan itu.
We made a guess. The guess was that schools in remote areas do not have good enough teachers. If they do have, they cannot retain those teachers. They do not have good enough infrastructure. And if they had some infrastructure, they have difficulty maintaining it. But I wanted to check if this is true. So what I did last year was we hired a car, looked up on Google, found a route into northern India from New Delhi which, you know, which did not cross any big cities or any big metropolitan centers. Drove out about 300 kilometers, and wherever we found a school, administered a set of standard tests, and then took those test results and plotted them on a graph. The graph was interesting, although you need to consider it carefully. I mean, this is a very small sample; you should not generalize from it. But it was quite obvious, quite clear, that for this particular route that I had taken, the remoter the school was, the worse its results seemed to be. That seemed a little damning, and I tried to correlate it with things like infrastructure, or with the availability of electricity, and things like that.
Kami membuat sebuah tebakan. Tebakan bahwa sekolah - sekolah di daerah yang terpencil tidak memiliki guru - guru yang bagus. Walaupun mereka memiliki guru, mereka tidak dapat mempertahankan guru - guru itu; mereka tidak memiliki prasarana yang cukup bagus. Dan kalaupun mereka memilikinya, mereka mengalami kesulitan untuk merawatnya. Tetapi saya ingin menguji apakan ini benar. Jadi apa yang saya lakukan tahun lalu adalah kami menyewa sebuah mobil, dengan bantuan Google, menemukan sebuah rute ke India utara dari New Delhi yang tidak melewati kota - kota besar, atau kota - kota metropolitan. Mengemudi sekitar 300 kilometer, dan dimanapun kami menemukan sebuah sekolah, kami melakukan sebuah tes standar, dan kemudian mengambil hasil tes dan memplotnya dalam sebuah grafik. Grafik itu menarik, meskipun Anda perlu mempertimbangkannya dengan hati - hati. Maksud saya, ini adalah sampel yang sangat kecil; Anda sebaiknya tidak menyamaratakannya. Tetapi sangatlah jelas bahwa pada rute yang telah saya lewati, makin terpencil sebuah sekolah, semakin jelek hasilnya. Ini kelihatan sangat memberatkan, dan saya mencoba menghubungkannya dengan hal seperti infrastruktur, atau dengan ketersediaan listrik dan hal lainnya.
To my surprise, it did not correlate. It did not correlate with the size of classrooms. It did not correlate with the quality of the infrastructure. It did not correlate with the poverty levels. It did not correlate. But what happened was that when I administered a questionnaire to each of these schools, with one single question for the teachers -- which was, "Would you like to move to an urban, metropolitan area?" -- 69 percent of them said yes. And as you can see from that, they say yes just a little bit out of Delhi, and they say no when you hit the rich suburbs of Delhi -- because, you know, those are relatively better off areas -- and then from 200 kilometers out of Delhi, the answer is consistently yes. I would imagine that a teacher who comes or walks into class every day thinking that, I wish I was in some other school, probably has a deep impact on what happens to the results. So it looked as though teacher motivation and teacher migration was a powerfully correlated thing with what was happening in primary schools, as opposed to whether the children have enough to eat, and whether they are packed tightly into classrooms and that sort of thing. It appears that way.
Saya terkejut ketika hal itu tidak berhubungan. Hasilnya tidak berhubungan dengan ukuran kelas. Tidak berhubungan dengan kualitas infrastruktur. Tidak berhubungan dengan tingkat kemiskinan. Tidak berhubungan. Tetapi apa yang terjadi ketika saya menyebarkan sebuah daftar pertanyaan kepada tiap sekolah ini, dengan satu pertanyaan kepada guru - guru, yaitu, maukan kamu pindah ke daerah kota? 69 persen dari mereka mengatakan iya, dan seperti yang bisa kamu lihat, mereka yang berada sedikit di luar Delhi berkata iya, dan mereka yang ada di daerah kaya di pinggiran kota Delhi berkata tidak -- karena daerah sana relatif lebih baik. Lalu mulai dari 200 kilometer dari Delhi, jawabannya adalah iya secara konsisten. Saya membayangkan bahwa seorang guru yang datang atau masuk ke dalam kelas setiap hari berpikir, saya harap saya ada di sekolah lain, mungkin memiliki dampak yang dalam pada apa yang terjadi kepada hasil tes ini. Jadi kelihatannya motivasi guru dan perpindahan guru berhubungan erat dengan apa yang terjadi di sekolah - sekolah dasar, berlawanan dengan apakah anak - anak cukup makan, atau apakah mereka berjejalan di dalam ruangan, atau hal - hal seperti itu.
When you take education and technology, then I find in the literature that, you know, things like websites, collaborative environments -- you've been listening to all that in the morning -- it's always piloted first in the best schools, the best urban schools, and, according to me, biases the result. The literature -- one part of it, the scientific literature -- consistently blames ET as being over-hyped and under-performing. The teachers always say, well, it's fine, but it's too expensive for what it does. Because it's being piloted in a school where the students are already getting, let's say, 80 percent of whatever they could do. You put in this new super-duper technology, and now they get 83 percent. So the principal looks at it and says, 3 percent for 300,000 dollars? Forget it. If you took the same technology and piloted it into one of those remote schools, where the score was 30 percent, and, let's say, took that up to 40 percent -- that will be a completely different thing. So the relative change that ET, Educational Technology, would make, would be far greater at the bottom of the pyramid than at the top, but we seem to be doing it the other way about.
Ketika Anda berbicara tentang pendidikan dan teknologi, saya menemukan di literatur bahwa hal - hal seperti situs, lingkungan yang kolaboratif -- yang telah Anda dengar pagi hari tadi -- selalu diujicoba pertama kali di sekolah - sekolah terbaik, sekolah - sekolah terbaik di kota, dan menurut saya, hasilnya berat sebelah. Literatur - khususnya, literatur ilmu pengetahuan, secara konsisten menyalahkan teknologi edukasi (TE) yang terlalu dilebih-lebihkan dan memiliki tingkat keberhasilan yang rendah Para guru selalu bilang, "Wah, teknologinya bagus, tapi terlalu mahal." karena TE selalu diujicoba di sekolah dimana para muridnya telah mendapatkan katakanlah, 80 persen dari apa yang dapat mereka lakukan. Anda aplikasikan teknologi terbaru, dan katakanlah sekarang mereka mendapat 83 persen. Jadi kepala sekolah melihat hasilnya dan berkata, 300,000 dollar untuk 3 persen? Lupakan saja. Kalau Anda menggunakan teknologi yang sama dan diujicobakan di salah satu dari sekolah terpencil, dimana nilainya hanya 30, dan katakanlah, meningkat menjadi 40, akan menjadi hal yang sama sekali berbeda. Jadi perubahan secara relatif yang dapat dilkukan TE akan lebih besar pada bagian bawah piramid daripada bagian atas, tapi kita kelihatannya melakukannya secara terbalik.
So I came to this conclusion that ET should reach the underprivileged first, not the other way about. And finally came the question of, how do you tackle teacher perception? Whenever you go to a teacher and show them some technology, the teacher's first reaction is, you cannot replace a teacher with a machine -- it's impossible. I don't know why it's impossible, but, even for a moment, if you did assume that it's impossible -- I have a quotation from Sir Arthur C. Clarke, the science fiction writer whom I met in Colombo, and he said something which completely solves this problem. He said a teacher than can be replaced by a machine, should be. So, you know, it puts the teacher into a tough bind, you have to think. Anyway, so I'm proposing that an alternative primary education, whatever alternative you want, is required where schools don't exist, where schools are not good enough, where teachers are not available or where teachers are not good enough, for whatever reason. If you happen to live in a part of the world where none of this applies, then you don't need an alternative education. So far I haven't come across such an area, except for one case. I won't name the area, but somewhere in the world people said, we don't have this problem, because we have perfect teachers and perfect schools. There are such areas, but -- anyway, I'd never heard that anywhere else.
Jadi saya sampai pada kesimpulan bahwa TE harus menjangkau mereka yang kekurangan terlebih dahulu, bukan sebaliknya. Dan akhirnya kita sampai pada pertanyaan, bagaimana mengatasi persepsi guru? Kapanpun Anda pergi ke seorang guru dan menunjukkan sebuah teknologi reaksi pertama seorang guru adalah, Anda tidak bisa menggantikan seorang guru dengan mesin -- itu mustahil. Saya tidak tahu mengapa hal itu mustahil, tapi, walau untuk sesaat, jika Anda memang beranggapan bahwa itu mustahil -- saya mempunyai kutipan dari Sir Arthur C. Clarke, seorang penulis fiksi ilmiah yang saya temui di Kolombo, dan dia mengatakan sesuatu yang akan menyelesaikan masalah ini. Dia berkata seorang guru yang bisa digantikan oleh mesin harus digantikan oleh mesin. Ini meletakkan guru pada posisi yang sukar. Jadi saya mengajukan proposal bahwa sebuah pendidikan dasar alternatif, alternatif apapun yang Anda inginkan, diperlukan di mana tidak ada sekolah. di mana sekolah tidak cukup baik, di mana tidak ada guru atau di mana guru - gurunya tidak cukup baik, apapun alasannya. Jika Anda kebetulan hidup di daerah di mana semua hal ini tidak berlaku, maka Anda tidak perlu pendidikan alternatif. Sejauh ini saya belum menemukan daerah seperti itu, kecuali pada satu kasus. Saya tidak akan menyebutkan tempatnya, tetapi di suatu tempat dimana orang - orang berkata, " Kami tidak punya masalah seperti itu, karena kami memiliki guru dan sekolah yang sempurna." Ada daerah seperti itu, tetapi - saya tidak pernah mendengarnya di tempat lain.
I'm going to talk about children and self-organization, and a set of experiments which sort of led to this idea of what might an alternative education be like. They're called the hole-in-the-wall experiments. I'll have to really rush through this. They're a set of experiments. The first one was done in New Delhi in 1999. And what we did over there was pretty much simple. I had an office in those days which bordered a slum, an urban slum, so there was a dividing wall between our office and the urban slum. They cut a hole inside that wall -- which is how it has got the name hole-in-the-wall -- and put a pretty powerful PC into that hole, sort of embedded into the wall so that its monitor was sticking out at the other end, a touchpad similarly embedded into the wall, put it on high-speed Internet, put the Internet Explorer there, put it on Altavista.com -- in those days -- and just left it there.
Saya akan berbicara tentang anak - anak dan swa organisasi, dan ada satu percobaan yang mengarah kepada ide ini tentang seperti apa kemungkinannya bentuk pendidikan alternatif itu. Sesuatu yang disebut eksperimen lubang di dinding. Saya harus menjelaskannya secara cepat. Ini adalah serangkaian eksperimen. Yang pertama dilakukan di New Delhi tahun 1999. Dan apa yang kami lakukan di sana cukup sederhana. Kantor saya pada waktu itu berbatasan dengan sebuah daerah kumuh, jadi ada sebuah dinding pemisah antara kantor kami dengan daerah kumuh itu. Mereka membuat lubang pada dinding itu -- sehingga nama proyek ini " Lubang di Dinding" -- dan meletakkan sebuah komputer yang cukup canggih pada lubang itu, terpasang pada dinding, sehingga monitornya menghadap belahan dinding yang lain, sebuah touchpad juga dipasang pada dinding, lalu dihubungkan pada internet yang cepat, dengan Internet Eksplorer disana, lalu membuka Altavista.com - dan membiarkannya..
And this is what we saw. So that was my office in IIT. Here's the hole-in-the-wall. About eight hours later, we found this kid. To the right is this eight-year-old child who -- and to his left is a six-year-old girl, who is not very tall. And what he was doing was, he was teaching her to browse. So it sort of raised more questions than it answered. Is this real? Does the language matter, because he's not supposed to know English? Will the computer last, or will they break it and steal it -- and did anyone teach them? The last question is what everybody said, but you know, I mean, they must have poked their head over the wall and asked the people in your office, can you show me how to do it, and then somebody taught him.
Dan ini yang kami lihat. Itu kantor saya. Inilah lubang di dinding. Dan sekitar delapan jam kemudian kami menemukan anak ini. Di sebelah kanan ada anak berumur 8 tahun dan di sebelah kirinya ada anak perempuan berumur enam tahun yang tidak begitu tinggi Dan apa yang dilakukan anak laki - laki itu adalah mengajar si anak perempuan untuk menjelajah Jadi ini memunculkan pertanyaan lebih daripada menjawab pertanyaan. Apakah ini benar? Apakah bahasa penting, karena dia seharusnya tidak dapat berbahasa Inggris? Apakah komputer itu akan bertahan, atau akankah mereka menghancurkannya dan mencurinya, -- dan apakah ada orang yang mengajari mereka? Pertanyaan terakhir adalah apa yang dikatakan semua orang, "Mereka pasti pergi ke balik dinding dan bertanya kepada orang - orang di kantor Anda." "Bisakah Anda tunjukkan kepadaku bagaimana caranya?", dan lalu seseorang mengajarkannya kepada mereka
So I took the experiment out of Delhi and repeated it, this time in a city called Shivpuri in the center of India, where I was assured that nobody had ever taught anybody anything. (Laughter) So it was a warm day, and the hole in the wall was on that decrepit old building. This is the first kid who came there; he later on turned out to be a 13-year-old school dropout. He came there and he started to fiddle around with the touchpad. Very quickly, he noticed that when he moves his finger on the touchpad something moves on the screen -- and later on he told me, "I have never seen a television where you can do something." So he figured that out. It took him over two minutes to figure out that he was doing things to the television. And then, as he was doing that, he made an accidental click by hitting the touchpad -- you'll see him do that. He did that, and the Internet Explorer changed page. Eight minutes later, he looked from his hand to the screen, and he was browsing: he was going back and forth. When that happened, he started calling all the neighborhood children, like, children would come and see what's happening over here. And by the evening of that day, 70 children were all browsing. So eight minutes and an embedded computer seemed to be all that we needed there.
Lalu saya membawa eksperimen itu keluar dari Delhi dan mengulanginya, Kali ini di sebuah kota yang disebut Chifpuri, di tengah India, dimana saya yakin tidak ada orang yang pernah mengajarkan kepada siapapun tentang apapun (Suara tawa) Hari itu hari yang hangat, dan "Lubang di Dinding" ada di dinding yang tua itu. Inilah anak pertama yang datang ke sini. ternyata dia adalah seorang anak putus sekolah yang berumur 13 tahun. Dia datang ke sini dan mulai mengutak-atik dengan touchpad Dengan cepat dia mengetahui bahwa ketika dia menggerakkan jarinya pada touchpad sesuatu bergerak di layar -- dia kemudian berkata kepada saya, "Saya tidak pernah melihat televisi di mana Anda dapat melakukan sesuatu." Jadi dia memahaminya. Dia membutuhkan waktu dua menit untuk memahami bahwa dia sedang melakukan sesuatu dengan televisinya. Lalu, ketika dia sedang melakukan itu, dengan tidak sengaja mengklik dengan menekan touchpad -- Anda akan melihat dia melakukan itu. Dia menekannya, dan Internet Explorer berganti laman. Delapan menit kemudian, dia melihat dari tangannya ke layar, dan dia sedang menjelajah kesana kemari Ketika hal itu terjadi, dia mulai memanggil anak - anak di sekitar daerah itu mereka kemudian datang dan melihat apa yang terjadi di sana. Dan pada sore hari itu, 70 anak - anak semuanya menjelajah. Jadi delapan menit dan sebuah komputer yang terpasang sepertinya hanya itulah yang kita butuhkan.
So we thought that this is what was happening: that children in groups can self-instruct themselves to use a computer and the Internet. But under what circumstances? At this time there was a -- the main question was about English. People said, you know, you really ought to have this in Indian languages. So I said, have what, shall I translate the Internet into some Indian language? That's not possible. So, it has to be the other way about. But let's see, how do the children tackle the English language? I took the experiment out to northeastern India, to a village called Madantusi, where, for some reason, there was no English teacher, so the children had not learned English at all. And I built a similar hole-in-the-wall. One big difference in the villages, as opposed to the urban slums: there were more girls than boys who came to the kiosk. In the urban slums, the girls tend to stay away. I left the computer there with lots of CDs -- I didn't have any Internet -- and came back three months later. So when I came back there, I found these two kids, eight- and 12-year-olds, who were playing a game on the computer. And as soon as they saw me they said, "We need a faster processor and a better mouse." (Laughter) I was real surprised. You know, how on earth did they know all this? And they said, "Well, we've picked it up from the CDs." So I said, "But how did you understand what's going on over there?" So they said, "Well, you've left this machine which talks only in English, so we had to learn English." So then I measured, and they were using 200 English words with each other -- mispronounced, but correct usage -- words like exit, stop, find, save, that kind of thing, not only to do with the computer but in their day-to-day conversations. So, Madantusi seemed to show that language is not a barrier; in fact they may be able to teach themselves the language if they really wanted to.
Jadi kami pikir inilah yang terjadi bahwa anak - anak di dalam kelompok dapat saling mengajarkan kepada mereka sendiri cara menggunakan sebuah komputer dan internet. Tetapi dalam kondisi apa? Dan kali ini pertanyaannya adalah tentang bahasa Inggris. Orang bilang, Anda harus menggunakan bahasa India lalu aku berkata, haruskah saya menerjemahkan internet ke dalam bahasa India? Itu tidak mungkin. Jadi itu harus sebaliknya. Lalu kita lihat, bagaimana anak - anak itu mengatasi bahasa Inggris Saya mengadakan eksperimen ini di timur laut India, ke sebuah desa bernama Madantusi dimana, untuk beberapa sebab, tidak ada guru bahasa Inggris, jadi anak - anak sama sekali tidak belajar bahasa Inggris. Dan saya membangun lubang di dinding yang sama. Satu perbedaan besar antara desa dan kota adalah ada lebih banyak anak perempuan daripada anak laki - laki yang datang ke kios. Di kota, anak - anak perempuan cenderung menjauh. Saya meninggalkan komputer dengan banyak CD - saya tidak mempunyai koneksi internet - dan kembali tiga bulan kemudian. Ketika saya kembali ke sana, saya menemukan dua anak, 8 dan 12 tahun, sedang bermain game di komputer. Dan begitu mereka melihat saya mereka berkata, kami butuh prosesor yang lebih cepat dan petikus yang lebih canggih. (Suara tawa) Saya benar - benar terkejut. Bagaimana cara mereka mengetahui semua ini? Dan mereka berkata, " Kami mempelajarinya dari CD" Lalu saya berkata, "Tetapi bagaimana caranya kamu isinya?" Kata mereka, " Anda meninggalkan mesin ini yang hanya berbicara dalam bahasa Inggris, jadi kami harus belajar bahasa Inggris. Lalu saya menghitung, mereka menggunakan 200 kosa kata Inggris satu sama lain -- salah eja, tapi penggunaannya benar -- kata - kata seperti 'exit', 'stop', 'find', 'save', dan sejenisnya, tidak hanya berhubungan dengan komputer tetapi juga percakapan sehari - hari mereka. Jadi Madantusi kelihatannya menunjukkan bahwa bahasa bukanlah halangan, pada kenyatannya mereka mampu belajar bahasa itu sendiri jika mereka benar - benar mau.
Finally, I got some funding to try this experiment out to see if these results are replicable, if they happen everywhere else. India is a good place to do such an experiment in, because we have all the ethnic diversities, all the -- you know, the genetic diversity, all the racial diversities, and also all the socio-economic diversities. So, I could actually choose samples to cover a cross section that would cover practically the whole world. So I did this for almost five years, and this experiment really took us all the way across the length and breadth of India. This is the Himalayas. Up in the north, very cold. I also had to check or invent an engineering design which would survive outdoors, and I was using regular, normal PCs, so I needed different climates, for which India is also great, because we have very cold, very hot, and so on. This is the desert to the west. Near the Pakistan border. And you see here a little clip of -- one of these villages -- the first thing that these children did was to find a website to teach themselves the English alphabet.
Akhirnya, saya mendapat dana untuk mencoba eksperimen ini untuk melihat apakah hasilnya dapat diulangi, apakah hal ini terjadi dimana saja. India adalah tempat yang bagus untuk melakukan percobaan ini karena kita memiliki beragam etnik, beragam genetik, beragam ras, dan juga beragam kondisi sosial ekonomi. Jadi saya dapat memilih sampel yang cukup untuk mewakili seluruh dunia. Jadi saya melakukan ini selama hampir 5 tahun, dan eksperimen ini benar - benar membawa kami menjelajahi India. Ini adalah Himalaya. Tinggi di utara, sangat dingin. Saya juga harus menguji atau menemukan teknik rekayasa agar dapat bertahan di luar ruangan, dan saya menggunakan komputer yang biasa jadi karena memiliki iklim yang berbeda, India juga bagus. Karena kita memiliki tempat yang sangat dingin, sangat panas, dan sebagainya. Ini adalah gurun di daerah barat, dekat dengan perbatasan Pakistan. Dan kamu bisa lihat di sini, sebuah klip pendek - salah satu dari desa ini - hal pertama yang dilakukan anak - anak ini adalah menemukan sebuah situs untuk mengajari mereka huruf Inggris.
Then to central India -- very warm, moist, fishing villages, where humidity is a very big killer of electronics. So we had to solve all the problems we had without air conditioning and with very poor power, so most of the solutions that came out used little blasts of air put at the right places to keep the machines running. I want to just cut this short. We did this over and over again. This sequence is also nice. This is a small child, a six-year-old, telling his eldest sister what to do. And this happens very often with these computers, that the younger children are found teaching the older ones.
Dan ke bagian tengah India -- sangat hangat, lembab, desa - desa nelayan dimana kelembaban adalah ancaman utama barang elektronik. Jadi kami harus memecahkan semua masalah yang kita hadapi tanpa pendingin ruangan dan dengan listrik yang sangat kecil, biasanya solusinya adalah menggunakan hembusan udara kami meletakkan pada tempat yang tepat agar mesinnya tetap berjalan. Singkat cerita, kami melakukan ini berulang kali. Hal ini juga menarik. Ini adalah seorang anak kecil, enam tahun, sedang mengajari kakak tertuanya apa yang harus dilakukan. Dan ini sangat sering terjadi pada komputer - komputer ini, anak - anak yang lebih muda mengajar anak - anak yang lebih tua.
What did we find? We found that six- to 13-year-olds can self-instruct in a connected environment, irrespective of anything that we could measure. So if they have access to the computer, they will teach themselves, including intelligence. I couldn't find a single correlation with anything, but it had to be in groups. And that may be of great, you know, interest to this group, because all of you are talking about groups. So here was the power of what a group of children can do, if you lift the adult intervention.
Apa yang kita temukan? Kita menemukan bahwa anak umur 6 - 13 dapat belajar sendiri di lingkungan yang terhubung, tanpa memandang apapun yang dapat kita ukur. Jadi jika mereka memiliki akses ke komputer, mereka akan mengajari diri mereka sendiri, termasuk kepintaran. Saya tidak dapat menemukan hubungan dengan apapun, tapi hal ini harus dilakukan dalam kelompok. Dan itu mungkin berhubungan erat dengan kepentingan kelompok ini. karena kalian semua berbicara tentang kelompok. Jadi ini adalah kekuatan dari apa yang sekelompok anak kecil dapat lakukan kalau tidak ada campur tangan orang dewasa.
Just a quick idea of the measurements. We took standard statistical techniques, so I'm going to not talk about that. But we got a clean learning curve, almost exactly the same as what you would get in a school. I'll leave it at that, because, I mean, it sort of says it all, doesn't it? What could they learn to do? Basic Windows functions, browsing, painting, chatting and email, games and educational material, music downloads, playing video. In short, what all of us do. And over 300 children will become computer literate and be able to do all of these things in six months with one computer.
Sedikit gambaran tentang pengukuran. Kami menggunakan teknik statistik standar, jadi saya tidak akan berbicara tentang itu. Tetapi kami mendapat kurva pembelajaran yang bersih, hampir sama persis dengan apa yang akan Anda dapatkan di sekolah. Saya akan berhenti di sini karena hal ini sudah mengatakan semuanya, bukan? Apa yang dapat mereka pelajari? Fungsi dasar Windows, menjelajah, melukis, berchatting ria dan mengirim email, permainan dan materi edukasi, mengunduh musik, memutar video. Singkatnya, apa yang kita semua lakukan. Dan lebih dari 300 anak akan menjadi melek komputer dan dapat melakukan semua hal ini dalam 6 bulan dengan satu komputer.
So, how do they do that? If you calculated the actual time of access, it would work out to minutes per day, so that's not how it's happening. What you have, actually, is there is one child operating the computer. And surrounding him are usually three other children, who are advising him on what they should do. If you test them, all four will get the same scores in whatever you ask them. Around these four are usually a group of about 16 children, who are also advising, usually wrongly, about everything that's going on on the computer. And all of them also will clear a test given on that subject. So they are learning as much by watching as they learn by doing. It seems counter-intuitive to adult learning, but remember, eight-year-olds live in a society where most of the time they are told, don't do this, you know, don't touch the whiskey bottle. So what does the eight-year-old do? He observes very carefully how a whiskey bottle should be touched. And if you tested him, he would answer every question correctly on that topic. So, they seem to be able to acquire very quickly.
Jadi bagaimana cara mereka melakukannya? Jika Anda menghitung waktu akses yang sebenarnya dari tiap anak, hasilnya beberapa menit dalam sehari, jadi bukan itu yang terjadi. Yang terjadi sebenarnya adalah seorang anak mengoperasikan komputer. Dan dikelilingi oleh 3 anak lainnya yang mengarahkan dia tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Jika Anda menguji mereka, keempat anak itu akan mendapatkan nilai yang sama dalam semua tes. Di sekeliling empat anak ini biasanya sekelompok anak yang berjumlah kira - kira 16 orang yang juga menunjukkan, biasanya salah, tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam komputer. Dan semuanya juga akan lulus dari tes yang diberikan pada topik yang bersangkutan. Jadi mereka belajar dengan mengamati sebanyak apa yang mereka pelajari dengan praktek. Ini sepertinya berlawanan dengan cara belajar orang dewasa, tetapi ingat, anak umur delapan tahun hidup dalam masyarakat dimana sebagian besar waktu mereka diberitahu, " jangan lakukan ini" "Jangan sentuh botol wiski!" Jadi apa yang dilakukan anak berumur delapan tahun itu? Mengamati dengan sangat hati - hati bagaimana sebuah botol whiski seharusnya disentuh. Dan jika Anda menguji dia, dia akan menjawab dengan benar setiap pertanyaan tentang topik itu. Jadi sepertinya mereka belajar dengan sangat cepat.
So what was the conclusion over the six years of work? It was that primary education can happen on its own, or parts of it can happen on its own. It does not have to be imposed from the top downwards. It could perhaps be a self-organizing system, so that was the second bit that I wanted to tell you, that children can self-organize and attain an educational objective.
Jadi apa kesimpulan dari hasil pekerjaan selama enam tahun? Bahwa pendidikan dasar dapat berlangsung sendiri, atau sebagian dari pendidikan dasar dapat berlangsung sendiri. Tidak harus diterapkan dari atas ke bawah. Mungkin dapat menjadi sistem swaorganisasi dan potongan kedua yang saya ingin katakan pada Anda, bahwa anak - anak bisa mengatur dirinya sendiri dan memperoleh sebuah tujuan pendidikan.
The third piece was on values, and again, to put it very briefly, I conducted a test over 500 children spread across all over India, and asked them -- I gave them about 68 different values-oriented questions and simply asked them their opinions. We got all sorts of opinions. Yes, no or I don't know. I simply took those questions where I got 50 percent yeses and 50 percent noes -- so I was able to get a collection of 16 such statements. These were areas where the children were clearly confused, because half said yes and half said no. A typical example being, "Sometimes it is necessary to tell lies." They don't have a way to determine which way to answer this question; perhaps none of us do. So I leave you with this third question. Can technology alter the acquisition of values? Finally, self-organizing systems, about which, again, I won't say too much because you've been hearing all about it. Natural systems are all self-organizing: galaxies, molecules, cells, organisms, societies -- except for the debate about an intelligent designer. But at this point in time, as far as science goes, it's self-organization. But other examples are traffic jams, stock market, society and disaster recovery, terrorism and insurgency. And you know about the Internet-based self-organizing systems.
Potongan ketiga adalah mengenai nilai - nilai, dan sekali lagi, secara singkat, saya melakukan sebuah tes kepada 500 anak - anak di seluruh India. dan bertanya kepada mereka - saya memberikan kepada mereka 68 pertanyaan berbeda mengenai nilai - nilai dan meminta pendapat mereka. Hasilnya adalah segala bentuk pendapat.Iya, tidak, atau saya tidak tahu. Saya ambil pertanyaan - pertanyaan yang hasilnya 50 persen iya dan 50 persen tidak. Saya berhasil memperoleh 16 pernyataan seperti itu. Ini adalah area dimana anak - anak benar bingung, karena setengah bilang iya dan setengah tidak. Salah satu contohnya adalah, " kadang - kadang bohong itu perlu" Mereka tidak memiliki cara untuk menentukan cara menjawabnya; mungkin tidak satu pun dari kita yang tahu. Jadi saya akan meninggalkan Anda dengan pertanyaan ketiga. Dapatkah teknologi mengubah cara menerima nilai-nilai? Akhirnya, sistem swa organisasi, yang sekali lagi saya tidak akan berkata terlalu banyak karena kalian telah mendengarnya. Semua sistem alami bersifat swaorganisasi: galaksi, molekul, sel, makhluk hidup, masyarakat -- kecuali debat tentang sang pencipta yang cerdas. Tetapi pada saat ini, selama berhubungan dengan ilmu pengetahuan, sifatnya swaorganisasi. Contoh lain adalah kemacetan, pasar saham, masyarakat dan pemulihan bencana, aksi teror, dan pemberontakan. Dan Anda tahu tentang sistem swaorganisasi berbasis internet.
So here are my four sentences then. Remoteness affects the quality of education. Educational technology should be introduced into remote areas first, and other areas later. Values are acquired; doctrine and dogma are imposed -- the two opposing mechanisms. And learning is most likely a self-organizing system. If you put all the four together, then it gives -- according to me -- it gives us a goal, a vision, for educational technology. An educational technology and pedagogy that is digital, automatic, fault-tolerant, minimally invasive, connected and self-organized. As educationists, we have never asked for technology; we keep borrowing it. PowerPoint is supposed to be considered a great educational technology, but it was not meant for education, it was meant for making boardroom presentations. We borrowed it. Video conferencing. The personal computer itself. I think it's time that the educationists made their own specs, and I have such a set of specs. This is a brief look at that. And such a set of specs should produce the technology to address remoteness, values and violence. So I thought I'd give it a name -- why don't we call it "outdoctrination." And could this be a goal for educational technology in the future? So I want to leave that as a thought with you.
Jadi ini adalah empat kalimat saya. Keterpencilan mempengaruhi kualitas pendidikan. Teknologi edukasi harus terlebih dahulu diperkenalkan pada daerah yang terpencil dan kemudian daerah yang lain. Nilai-nilai diperoleh; doktrin dan dogma ditanamkan -- keduanya memiliki mekanisme yang berlawanan. Dan proses belajar paling mungkin adalah sistem swaorganisasi. Jika jika kita menggabungkannya maka hasilnya -- menurut saya -- memberikan kita sebuah tujuan, visi, untuk teknologi edukasi. Sebuah teknologi edukasi dan pengajaran yang digital, otomatis, tidak terpengaruh kesalahan, tidak invasif, tersambung dan swaorganisasi. Sebagai seorang ahli pendidikan, kita tidak pernah meminta teknologi; kita terus meminjamnya. PowerPoint seharusnya dipertimbangkan sebagai teknologi edukasi yang hebat, tetapi itu tidak dibuat untuk edukasi, itu dibuat untuk membuat presentasi saat rapat. Kita meminjamnya. Konferensi dengan video. Komputer pribadi. Saya pikir ini saatnya ahli pendidikan membuat spesifikasi mereka sendiri, dan saya memiliki seperangkat spesifikasi. Ini singkatnya. Spesifikasi ini harus menghasilkan teknologi yang memperhatikan masalah keterpencilan, nilai - nilai, dan kekerasan. Jadi saya pikir saya harus memberikannya nama -- bagaimana kalau kita sebut sebagai " out-doctrination" (doktrinasi keluar) Dan dapatkah ini menjadi tujuan dari teknologi edukasi di masa depan saya ingin membiarkan Anda memikirkan pertanyaan ini.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)