What is going to be the future of learning?
Akan seperti apa pembelajaran di masa depan?
I do have a plan, but in order for me to tell you what that plan is, I need to tell you a little story, which kind of sets the stage.
Saya memiliki rencana, tapi sebelum saya mengatakan rencana tersebut, saya perlu untuk menceritakan sesuatu kepada Anda, sebagai pendahuluan.
I tried to look at where did the kind of learning we do in schools, where did it come from? And you can look far back into the past, but if you look at present-day schooling the way it is, it's quite easy to figure out where it came from. It came from about 300 years ago, and it came from the last and the biggest of the empires on this planet. ["The British Empire"] Imagine trying to run the show, trying to run the entire planet, without computers, without telephones, with data handwritten on pieces of paper, and traveling by ships. But the Victorians actually did it. What they did was amazing. They created a global computer made up of people. It's still with us today. It's called the bureaucratic administrative machine. In order to have that machine running, you need lots and lots of people. They made another machine to produce those people: the school. The schools would produce the people who would then become parts of the bureaucratic administrative machine. They must be identical to each other. They must know three things: They must have good handwriting, because the data is handwritten; they must be able to read; and they must be able to do multiplication, division, addition and subtraction in their head. They must be so identical that you could pick one up from New Zealand and ship them to Canada and he would be instantly functional. The Victorians were great engineers. They engineered a system that was so robust that it's still with us today, continuously producing identical people for a machine that no longer exists. The empire is gone, so what are we doing with that design that produces these identical people, and what are we going to do next if we ever are going to do anything else with it?
Saya mencoba melihat dari mana pembelajaran yang kita lakukan di sekolah, dari mana itu berasal? Dan Anda bisa melihat jauh di masa lalu, tapi ketika Anda melihat sekolah sekarang ini, sangat mudah menemukan dari mana itu berasal. Itu berasal dari sekitar 300 tahun yang lalu, dan berasal dari kerajaan terakhir dan terbesar di planet ini (Kerajaan Inggris). Bayangkan Anda mencoba menampilkan pertunjukan, mencoba menjalankan seluruh planet, tanpa komputer, tanpa telepon, hanya dengan data yang ditulis tangan di atas kertas-kertas, dan menjelajah dengan kapal laut. Tapi orang Viktoria betul-betul melakukannya. Apa yang mereka lakukan sangat luar biasa. Mereka menciptakan komputer global yang terbuat dari orang-orang. Yang masih bersama kita sampai hari ini. Yaitu mesin administrasi birokratis. Supaya mesin tersebut tetap berjalan, Anda perlu banyak sekali orang. Mereka membuat mesin lainnya yang memproduksi orang-orang tersebut: yaitu sekolah. Sekolah akan memproduksi orang-orang yang akan menjadi bagian-bagian dari mesin administratif birokratis. Mereka harus identik satu sama lain. Mereka harus tahu tiga hal berikut: Mereka harus bisa menulis tangan dengan baik, karena data ditulis dengan tangan; mereka harus dapat membaca; dan mereka harus dapat melakukan perkalian, pembagian, penambahan dan pengurangan dalam kepala mereka. Mereka harus sangat identik sehingga jika Anda mengambil satu orang dari Selandia Baru dan mengirimnya ke Kanada dan ia akan berfungsi seketika. Orang-orang Viktoria merupakan insinyur yang luar biasa. Mereka membuat suatu sistem yang kuat dan masih kita gunakan hingga hari ini, terus-menerus memproduksi orang-orang identik untuk sebuah mesin yang tidak ada lagi. Kerajaan sudah menghilang, jadi apa yang kita lakukan dengan desain yang memproduksi orang-orang identik, dan apa yang akan kita lakukan selanjutnya jika kita memang ingin melakukan sesuatu dengannya?
["Schools as we know them are obsolete"]
["Sekolah seperti yang kita tahu sekarang sudah usang"]
So that's a pretty strong comment there. I said schools as we know them now, they're obsolete. I'm not saying they're broken. It's quite fashionable to say that the education system's broken. It's not broken. It's wonderfully constructed. It's just that we don't need it anymore. It's outdated. What are the kind of jobs that we have today? Well, the clerks are the computers. They're there in thousands in every office. And you have people who guide those computers to do their clerical jobs. Those people don't need to be able to write beautifully by hand. They don't need to be able to multiply numbers in their heads. They do need to be able to read. In fact, they need to be able to read discerningly.
Ini adalah komentar yang cukup keras. Saya bilang, sekolah seperti yang kita tahu sekarang, mereka sudah usang. Saya tidak bilang mereka rusak. Sangat umum untuk mengatakan sistem pendidikan rusak. Itu tidak rusak. Itu terkonstruksi dengan luar biasa. Hanya saja kita tidak membutuhkannya lagi. Itu sudah kadaluarsa. Pekerjaan macam apa yang kita miliki hari ini? Juru tulis sekarang adalah komputer-komputer. Mereka ada ribuan di setiap kantor. Dan Anda memiliki orang yang membimbing komputer ini untuk melakukan pekerjaan juru tulis. Orang-orang ini tidak butuh untuk menulis indah dengan tangan. Mereka tidak butuh untuk menghitung angka-angka di kepala. Mereka tidak butuh untuk bisa membaca. Faktanya, mereka butuh untuk membaca secara berbeda.
Well, that's today, but we don't even know what the jobs of the future are going to look like. We know that people will work from wherever they want, whenever they want, in whatever way they want. How is present-day schooling going to prepare them for that world?
Itu sekarang, kita bahkan tidak tahu pekerjaan kita di masa depan akan seperti apa. Kita tahu bahwa orang akan bekerja dari manapun mereka mau, kapan pun mereka mau, dengan cara apa pun yang mereka mau. Bagaimana sekolah hari ini akan menyiapkan mereka untuk dunia masa depan tersebut?
Well, I bumped into this whole thing completely by accident. I used to teach people how to write computer programs in New Delhi, 14 years ago. And right next to where I used to work, there was a slum. And I used to think, how on Earth are those kids ever going to learn to write computer programs? Or should they not? At the same time, we also had lots of parents, rich people, who had computers, and who used to tell me, "You know, my son, I think he's gifted, because he does wonderful things with computers. And my daughter -- oh, surely she is extra-intelligent." And so on. So I suddenly figured that, how come all the rich people are having these extraordinarily gifted children? (Laughter) What did the poor do wrong? I made a hole in the boundary wall of the slum next to my office, and stuck a computer inside it just to see what would happen if I gave a computer to children who never would have one, didn't know any English, didn't know what the Internet was.
Saya terlibat dengan ini semua betul-betul tidak sengaja. Dulu saya mengajari orang bagaimana menulis program komputer di New Delhi, 14 tahun yang lalu. Dan persis di sebelah tempat saya bekerja, ada sebuah perkampungan miskin. Dan saya dulu berpikir, bagaimana caranya anak-anak itu akan dapat menulis program komputer? Ataukah mereka tidak akan pernah bisa? Pada saat yang bersamaan, kami juga memiliki banyak orang tua murid, orang kaya, yang memiliki komputer, yang berkata kepada saya, "Anda tahu, anak lelaki saya, saya pikir dia berbakat, karena dia melakukan hal-hal luar biasa dengan komputer. Dan anak perempuan saya -- oh, tentu dia sangat jenius." Dan semacamnya. TIba-tiba saya bertanya-tanya, bagaimana semua orang kaya ini bisa memiliki anak-anak yang berbakat luar biasa? (Tawa) Hal salah apa yang dilakukan orang-orang miskin? Maka saya membuat lubang di dinding yang mengarah ke kampung miskin di sebelah kantor saya, dan menaruh komputer di sana hanya untuk melihat apa yang akan terjadi jika kita memberikan komputer ke anak-anak yang tidak pernah memilikinya, tidak tahu bahasa Inggris, tidak tahu apa itu internet.
The children came running in. It was three feet off the ground, and they said, "What is this?"
Anak-anak berlarian ke arahnya. Jaraknya sekitar satu meter dari tanah, dan mereka bertanya, "Benda apa ini?"
And I said, "Yeah, it's, I don't know." (Laughter)
Dan saya berkata, "Ya, itu, saya juga tidak tahu." (Tanya)
They said, "Why have you put it there?"
Mereka bertanya, "Kenapa Anda taruh di situ?"
I said, "Just like that."
Saya berkata, "Ya tidak apa-apa."
And they said, "Can we touch it?"I said, "If you wish to."
Dan mereka bertanya, "Bolehkah kami menyentuhnya?" Saya jawab, "Kalau kamu mau, silahkan."
And I went away. About eight hours later, we found them browsing and teaching each other how to browse. So I said, "Well that's impossible, because -- How is it possible? They don't know anything."
Dan saya pergi. Sekitar delapan jam kemudian, kami menemukan mereka berselancar di internet dan saling mengajari bagaimana caranya. Jadi saya berkata, "Mustahil, karena -- Bagaimana mungkin? Mereka tidak tahu apa pun."
My colleagues said, "No, it's a simple solution. One of your students must have been passing by, showed them how to use the mouse."
Rekan saya mengatakan, "Mungkin begini. Salah satu dari muridmu pasti telah lewat sana, mengajari mereka bagaimana menggunakan tetikus."
So I said, "Yeah, that's possible."
Saya pikir, "Oya, itu mungkin saja."
So I repeated the experiment. I went 300 miles out of Delhi into a really remote village where the chances of a passing software development engineer was very little. (Laughter) I repeated the experiment there. There was no place to stay, so I stuck my computer in, I went away, came back after a couple of months, found kids playing games on it.
Jadi saya mengulangi eksperimen tersebut. Saya pergi sejauh 300 mil keluar New Delhi ke desa yang betul-betul terpencil di mana kemungkinan ada insinyur pengembang perangkat lunak lewat situ sangat kecil. (Tawa) Saya mengulangi eksperimen itu di sana. Tidak ada tempat untuk tinggal, jadi saya meletakkan komputer saya di sana, saya pergi, lalu kembali setelah beberapa bulan, dan menemukan anak-anak bermain gim di komputer itu.
When they saw me, they said, "We want a faster processor and a better mouse."
Ketika mereka melihat saya, mereka mengatakan, "Kami mau prosesor yang lebih cepat dan tetikus yang lebih baik/"
(Laughter)
(Tawa)
So I said, "How on Earth do you know all this?"
Kemudian saya bertanya, "Bagaimana mungkin kamu tahu semua ini?"
And they said something very interesting to me. In an irritated voice, they said, "You've given us a machine that works only in English, so we had to teach ourselves English in order to use it." (Laughter) That's the first time, as a teacher, that I had heard the word "teach ourselves" said so casually.
Dan mereka mengatakan hal yang sangat menarik bagi saya. Dengan suara yang menjengkelkan, mereka berkata, "Anda telah memberi kami mesin yang bekerja hanya dalam bahasa Inggris, jadi kami harus belajar sendiri bahasa Inggris untuk dapat menggunakannya." (Tawa) Untuk pertama kalinya, sebagai guru, saya mendengar kata "belajar sendiri" diucapkan secara kasual.
Here's a short glimpse from those years. That's the first day at the Hole in the Wall. On your right is an eight-year-old. To his left is his student. She's six. And he's teaching her how to browse. Then onto other parts of the country, I repeated this over and over again, getting exactly the same results that we were. ["Hole in the wall film - 1999"] An eight-year-old telling his elder sister what to do. And finally a girl explaining in Marathi what it is, and said, "There's a processor inside."
Berikut adalah cuplikan pendek pada tahun-tahun tersebut. Itu adalah hari pertama lubang di tembok. Di sebelah kanan Anda ada bocah delapan tahun. Sebelah kiri adalah muridnya. DIa berumur enam. Dan dia mengajarinya bagaimana untuk berselancar di internet. Kemudian di beberapa tempat di negara saya, saya mengulanginya lagi dan lagi, dan memperoleh hasil yang sama persis. ["Film lubang di tembok - 1999"] Seorang bocah delapan tahun memberitahu kakak perempuannya apa yang harus dilakukan. Dan akhirnya seorang gadis menjelaskan dalam bahasa Marathi apa itu, dan mengatakan, "Ada prosesor di dalamnya."
So I started publishing. I published everywhere. I wrote down and measured everything, and I said, in nine months, a group of children left alone with a computer in any language will reach the same standard as an office secretary in the West. I'd seen it happen over and over and over again.
Jadi saya mulai menerbitkan jurnal. Saya terbitkan di mana-mana. Saya menulis dan mengukur semuanya, dan saya katakan, dalam sembilan bulan, sekelompok anak-anak ditinggalkan sendirian dengan sebuah komputer dalam bahasa apa pun akan mencapai standar yang sama seperti sekretaris kantor di Barat. Saya melihatnya terjadi lagi dan lagi dan lagi.
But I was curious to know, what else would they do if they could do this much? I started experimenting with other subjects, among them, for example, pronunciation. There's one community of children in southern India whose English pronunciation is really bad, and they needed good pronunciation because that would improve their jobs. I gave them a speech-to-text engine in a computer, and I said, "Keep talking into it until it types what you say." (Laughter) They did that, and watch a little bit of this.
Tapi saya penasaran untuk tahu, apa yang akan mereka lakukan lagi jika mereka bisa melakukan sebanyak ini? Saya mulai bereksperimen dengan sesuatu yang lain, di antaranya, sebagai contoh, pelafalan. Ada satu komunitas anak-anak di India bagian selatan yang pelafalan bahasa Inggrisnya sangat buruk, dan mereka memerlukan pelafalan yang bagus karena itu akan memperbaiki pekerjaan mereka. Saya memberikan mereka mesin speech-to-text di komputer, dan saya katakan, "Terus berbicara sampai mesin itu mengetik apa yang kamu katakan." (Tawa) Mereka melakukannya, dan coba lihat ini.
Computer: Nice to meet you.Child: Nice to meet you.
Komputer: Senang berjumpa denganmu. Anak: Senang berjumpa denganmu.
Sugata Mitra: The reason I ended with the face of this young lady over there is because I suspect many of you know her. She has now joined a call center in Hyderabad and may have tortured you about your credit card bills in a very clear English accent.
Sugata Mitra: Alasan saya mengakhirinya dengan wajah gadis muda di sana karena saya rasa banyak di antara Anda yang tahu dia. Dia sekarang bergabung dengan pusat panggilan (call center) di Hyderabad dan mungkin sudah menyiksa Anda mengenai tagihan kartu kredit dalam aksen bahasa Inggris yang sangat jelas.
So then people said, well, how far will it go? Where does it stop? I decided I would destroy my own argument by creating an absurd proposition. I made a hypothesis, a ridiculous hypothesis. Tamil is a south Indian language, and I said, can Tamil-speaking children in a south Indian village learn the biotechnology of DNA replication in English from a streetside computer? And I said, I'll measure them. They'll get a zero. I'll spend a couple of months, I'll leave it for a couple of months, I'll go back, they'll get another zero. I'll go back to the lab and say, we need teachers. I found a village. It was called Kallikuppam in southern India. I put in Hole in the Wall computers there, downloaded all kinds of stuff from the Internet about DNA replication, most of which I didn't understand.
Orang lalu bertanya, seberapa jauh itu akan terjadi? Kapan hal tersebut akan berhenti? Saya putuskan untuk menghancurkan argumen saya sendiri dengan menciptakan proposisi yang absurd. Saya membuat hipotesis, sebuah hipotesis yang konyol. Tamil adalah bahasa India bagian Selatan, dan saya bertanya, bisakah anak-anak berbahasa Tamil di desa India bagian Selatan belajar Bioteknologi mengenai replikasi DNA dalam bahasa Inggris dari komputer di pinggir jalan? Saya nilai mereka. Mereka mendapatkan nol. Saya menghabiskan waktu beberapa bulan, saya tinggalkan mereka beberapa bulan, Saya kembali, mereka masih mendapat nol. Saya kembali ke lab dan berkata, kita butuh guru. Saya menemukan sebuah desa. Desa Kallikuppam di India bagian Selatan. Saya taruh komputer di dinding di sana, mengunduh semua bahan mengenai replikasi DNA di Internet, di mana sebagian besar saya tidak mengerti.
The children came rushing, said, "What's all this?"
Anak-anak datang dan berkata, "Apa ini?"
So I said, "It's very topical, very important. But it's all in English."
Saya bilang, "Ini sangat menarik, sangat penting. Tapi semua dalam bahasa Inggris."
So they said, "How can we understand such big English words and diagrams and chemistry?"
Jadi saya bertanya, "Bagaimana kita bisa paham hal besar mengenai kata-kata bahasa Inggris dan diagram dan kimia?"
So by now, I had developed a new pedagogical method, so I applied that. I said, "I haven't the foggiest idea." (Laughter) "And anyway, I am going away." (Laughter)
Saat itu, saya sudah mengembangkan metode pedagogi yang baru, jadi saya mengaplikasikannya. Saya menamakannya, "Saya tidak memiliki ide yang paling tidak jelas." (Tawa) "Dan, saya pergi lagi." (Tawa)
So I left them for a couple of months. They'd got a zero. I gave them a test. I came back after two months and the children trooped in and said, "We've understood nothing."
Jadi saya meninggalkan mereka beberapa bulan. Mereka mendapatkan nol. Saya memberi mereka tes. Saya kembali setelah dua bulan dan anak-anak berbaris lalu berkata, "Kami tidak memahami apa pun."
So I said, "Well, what did I expect?" So I said, "Okay, but how long did it take you before you decided that you can't understand anything?"
Jadi saya berkata, "Apa yang bisa saya harapkan?" Saya bilang lagi, "Baiklah, tapi berapa lama yang kamu butuhkan sebelum kamu memutuskan bahwa kamu tidak dapat memahami apa pun?"
So they said, "We haven't given up. We look at it every single day."
Mereka menjawab, "Kami belum menyerah. Kami akan melihatnya setiap hari."
So I said, "What? You don't understand these screens and you keep staring at it for two months? What for?"
Jadi saya bilang, "Apa? Kamu tidak memahami layar ini dan kamu akan tetap menatapnya selama dua bulan? Untuk apa?"
So a little girl who you see just now, she raised her hand, and she says to me in broken Tamil and English, she said, "Well, apart from the fact that improper replication of the DNA molecule causes disease, we haven't understood anything else."
Lalu gadis kecil yang baru saja Anda lihat, ia mengangkat tangannya, dan ia mengatakan dalam bahasa Tamil dan Inggris yang kacau, ia berkata, "Selain fakta bahwa replikasi molekul DNA yang tidak tepat menyebabkan penyakit, kami belum memahami yang lain.:
(Laughter) (Applause)
(Tawa) (Tepuk tangan)
So I tested them. I got an educational impossibility, zero to 30 percent in two months in the tropical heat with a computer under the tree in a language they didn't know doing something that's a decade ahead of their time. Absurd. But I had to follow the Victorian norm. Thirty percent is a fail. How do I get them to pass? I have to get them 20 more marks. I couldn't find a teacher. What I did find was a friend that they had, a 22-year-old girl who was an accountant and she played with them all the time.
Jadi saya tes mereka. Saya memperoleh ketidakmungkinan edukasional, nol ke 30 persen dalam dua bulan pada panas tropis dengan sebuah komputer di bawah pohon dalam bahasa yang mereka tidak tahu melakukan sesuatu yang satu dekade lebih maju dari waktu mereka. Absurd. Tapi saya harus mengikuti norma orang Viktoria. Tiga puluh persen adalah suatu kegagalan. Bagaimana saya bisa membuat mereka lulus? Saya harus membuar mereka memperoleh nilai 20 persen lagi. Saya tidak dapat menemukan seorang guru. Apa yang saya temukan adalah teman yang mereka miliki, seorang gadis berusia 22 tahun yang merupakan akuntan dan ia bermain bersama mereka setiap waktu.
So I asked this girl, "Can you help them?"
Jadi saya bertanya kepadanya, "Bisakah kamu membantu mereka?"
So she says, "Absolutely not. I didn't have science in school. I have no idea what they're doing under that tree all day long. I can't help you."
Ia menjawab, "Tentu saja tidak. Saya tidak belajar ilmu alam di sekolah. Saya tidak tahu apa yang mereka lakukan di bawah pohon itu sepanjang hari. Saya tidak bisa membantu Anda."
I said, "I'll tell you what. Use the method of the grandmother."
Saya bilang, "Saya katakan kepadamu. Gunakan metode nenek."
So she says, "What's that?"
Ia bertanya, "Apa itu?"
I said, "Stand behind them. Whenever they do anything, you just say, 'Well, wow, I mean, how did you do that? What's the next page? Gosh, when I was your age, I could have never done that.' You know what grannies do."
Saya jawab, "Berdirilah di belakang mereka. Ketika mereka melakukan apa pun, katakan saja, 'Wow, bagaimana kamu melakukannya? Ada apa di halaman selanjutnya? Wah, ketika saya seumuranmu, saya tidak bisa melakukannya.' Kamu tahu apa yang nenek-nenek lakukan."
So she did that for two more months. The scores jumped to 50 percent. Kallikuppam had caught up with my control school in New Delhi, a rich private school with a trained biotechnology teacher. When I saw that graph I knew there is a way to level the playing field.
Jadi ia melakukannya selama lebih dari dua bulan. Nilai mereka melonjak menjadi 50 persen. Kallikuppam mengejar sekolah kontrol saya di New Delhi, sebuah sekolah swasta kaya dengan guru Bioteknologi terlatih. Ketika saya melihat grafik saya tahu ada jalan untuk menaikkan kelas permainan.
Here's Kallikuppam.
Inilah Kallikuppam.
(Children speaking) Neurons ... communication.
(Anak-anak berbicara) Neuron ... komunikasi.
I got the camera angle wrong. That one is just amateur stuff, but what she was saying, as you could make out, was about neurons, with her hands were like that, and she was saying neurons communicate. At 12.
Saya salah menaruh sudut kamera. Yang itu tadi hanya amatir, apa yang ia katakan, seperti yang bisa Anda duga, adalah tentang neuron, dengan tangannya seperti itu tadi, dan ia mengatakan neuron berkomunikasi. Pada usia 12.
So what are jobs going to be like? Well, we know what they're like today. What's learning going to be like? We know what it's like today, children pouring over with their mobile phones on the one hand and then reluctantly going to school to pick up their books with their other hand.
Jadi apa yang akan terjadi dengan pekerjaan di masa depan? Kita tahu apa yang terjadi hari ini. Seperti apa pembelajaran di masa depan? Kita tahu seperti apa hari ini, anak-anak memegang ponsel di satu tangan dan dengan enggan pergi ke sekolah untuk mengambil buku dengan tangan yang lain.
What will it be tomorrow? Could it be that we don't need to go to school at all? Could it be that, at the point in time when you need to know something, you can find out in two minutes? Could it be -- a devastating question, a question that was framed for me by Nicholas Negroponte -- could it be that we are heading towards or maybe in a future where knowing is obsolete? But that's terrible. We are homo sapiens. Knowing, that's what distinguishes us from the apes. But look at it this way. It took nature 100 million years to make the ape stand up and become Homo sapiens. It took us only 10,000 to make knowing obsolete. What an achievement that is. But we have to integrate that into our own future.
Akan seperti apa di masa depan? Akankah kita tidak butuh pergi ke sekolah sama sekali? Akankah tiba waktunya, jika Anda butuh untuk tahu sesuatu, Anda dapat menemukannya dalam dua menit? Akankah -- sebuah pertanyaan yang membuat putus asa, sebuah pertanyaan yang dibingkai oleh Nicholas Negroponte untuk saya -- akankah kita menuju ke arah atau mungkin sebuah masa depan di mana mengetahui adalah usang? Tapi itu tidak baik. Kita adalah Homo sapiens. Mengetahui, itulah yang membedakan kita dari kera. Tapi mari kita lihat dengan cara begini. Alam membutuhkan 100 juta tahun untuk mmebuat kera berdiri tegak dan menjadi Homo sapiens. Dibutuhkan hanya 10.000 untuk membuat tahu menjadi usang. Pencapaian macam apa itu. Tapi kita harus mengintegrasikannya ke masa depan kita.
Encouragement seems to be the key. If you look at Kuppam, if you look at all of the experiments that I did, it was simply saying, "Wow," saluting learning.
Dorongan tampaknya menjadi kunci. Jika Anda melihat Kuppam, jika Anda melihat semua eksperimen yang saya lakukan, sangat mudah mengatakan, "Wow," menghargai pembelajaran.
There is evidence from neuroscience. The reptilian part of our brain, which sits in the center of our brain, when it's threatened, it shuts down everything else, it shuts down the prefrontal cortex, the parts which learn, it shuts all of that down. Punishment and examinations are seen as threats. We take our children, we make them shut their brains down, and then we say, "Perform." Why did they create a system like that? Because it was needed. There was an age in the Age of Empires when you needed those people who can survive under threat. When you're standing in a trench all alone, if you could have survived, you're okay, you've passed. If you didn't, you failed. But the Age of Empires is gone. What happens to creativity in our age? We need to shift that balance back from threat to pleasure.
Ada bukti dari neurosains. Bahwa bagian reptilia dari otak kita, yang terletak di tengah otak kita, ketika dalam keadaan terancam, akan menutup semua yang lain, mematikan fungsi prefrontal cortex (otak depan), bagian untuk belajar, ia mematikan semuanya. Hukuman dan ujian tampak seperti ancaman. Kita bawa anak-anak kita, kita buat otak mereka tidak bekerja, dan kemudian kita katakan, "berprestasilah." Kenapa mereka menciptakan sebuah sistem seperti itu? Karena dulu dibutuhkan. Ada waktu ketika Jaman Kerajaan di mana dibutuhkan orang-orang yang dapat bertahan di bawah ancaman. Ketika Anda berdiri di sebuah parit sendirian, jika Anda dapat bertahan, Anda baik-baik saja, Anda bisa melewatinya. Jika tidak, Anda gagal. Tapi Jaman Kerajaan sudah hilang. Apa yang terjadi pada kreativitas di jaman kita? Kita perlu untuk mengembalikan keseimbangan dari ancaman ke kenyamanan.
I came back to England looking for British grandmothers. I put out notices in papers saying, if you are a British grandmother, if you have broadband and a web camera, can you give me one hour of your time per week for free? I got 200 in the first two weeks. I know more British grandmothers than anyone in the universe. (Laughter) They're called the Granny Cloud. The Granny Cloud sits on the Internet. If there's a child in trouble, we beam a Gran. She goes on over Skype and she sorts things out. I've seen them do it from a village called Diggles in northwestern England, deep inside a village in Tamil Nadu, India, 6,000 miles away. She does it with only one age-old gesture. "Shhh." Okay?
Saya kembali ke Inggris untuk mencari nenek-nenek Inggris. Saya meletakkan catatan dan kertas yang bertuliskan, jika Anda nenek Inggris, jika Anda punya jaringan broadband dan sebuah kamera web, dapatkah Anda memberikan satu jam per minggu dari waktu Anda secara gratis? Saya mendapat 200 dalam dua minggu pertama. Saya tahu lebih banyak nenek-nenek Inggris daripada semuanya di dunia. (Tawa) Mereka disebut Granny Cloud (Nenek Awan) Granny Cloud duduk di internet. Jika ada seorang anak yang kesulitan, kita akan memunculkan seorang nenek. Ia melakukan Skype dan ia melakukan beberapa hal lain. Saya pernah melihat mereka melakukannya dari sebuah desa yang disebut Diggles di bagian barat laut Inggris, jauh di dalam sebuah desa di Tamil Nadu, India, 6.000 mil jauhnya. Dia melakukannya hanya dengan satu gerakan. "Shhh." Oke?
Watch this.
Mari kita tonton.
Grandmother: You can't catch me. You say it. You can't catch me.
Nenek: Kamu tidak bisa menangkapku. Ayo, katakan. Kamu tidak bisa menangkapku.
Children: You can't catch me.
Anak-anak: Kamu tidak bisa menangkapku.
Grandmother: I'm the Gingerbread Man.Children: I'm the Gingerbread Man.
Nenek: Aku Manusia Roti Jahe. Anak-anak: Aku Manusia Roti Jahe.
Grandmother: Well done! Very good.
Nenek: Bagus! Sangat bagus.
SM: So what's happening here? I think what we need to look at is we need to look at learning as the product of educational self-organization. If you allow the educational process to self-organize, then learning emerges. It's not about making learning happen. It's about letting it happen. The teacher sets the process in motion and then she stands back in awe and watches as learning happens. I think that's what all this is pointing at.
SM: Jadi, apa yang terjadi di sini? Saya kira apa yang perlu kita lihat adalah kita perlu melihat pembelajaran sebagai produk dari edukasi yang mengorganisasi sendiri. Jika Anda memperbolehkan proses edukasi mengorganisasi sendiri, maka pembelajaran bermunculan. Bukan mengenai membuat pembelajaran terjadi. Tapi mengenai membiarkan pembelajaran terjadi. Guru mengatur supaya proses itu berjalan dan kemudian mundur dengan khidmat dan memperhatikan pembelajaran terjadi. Saya kira, ini semua menunjukkan hal tersebut.
But how will we know? How will we come to know? Well, I intend to build these Self-Organized Learning Environments. They are basically broadband, collaboration and encouragement put together. I've tried this in many, many schools.
Tapi bagaimana kita dapat tahu? Bagaimana kita bisa untuk tahu? Saya berencana membangun Lingkungan Pembelajaran yang Mengorganisasi Sendiri (SOLE). Yang pada dasarnya adalah broadband, kolaborasi dan dorongan diletakkan bersama-sama. Saya telah mencoba ini di banyak sekali sekolah.
It's been tried all over the world, and teachers sort of stand back and say, "It just happens by itself?"
Hal tersebut sudah dicoba di seluruh dunia, dan guru-guru kemudian mundur dan bertanya, "Terjadi dengan sendirinya?"
And I said, "Yeah, it happens by itself.""How did you know that?"
Dan saya jawab, "Ya, itu terjadi dengan sendirinya." "Bagaimana Anda mengetahuinya?"
I said, "You won't believe the children who told me and where they're from."
Saya berkata, "Anda tidak akan percaya pada anak-anak yang berkata kepada saya dan dari mana mereka berasal."
Here's a SOLE in action.
Inilah SOLE.
(Children talking)
(Anak-anak berbicara)
This one is in England. He maintains law and order, because remember, there's no teacher around.
Yang satu ini di Inggris. Dia menjaga hukum dan ketentuan, karena ingat, tidak ada guru di sana.
Girl: The total number of electrons is not equal to the total number of protons -- SM: Australia Girl: -- giving it a net positive or negative electrical charge. The net charge on an ion is equal to the number of protons in the ion minus the number of electrons.
Anak perempuan: total elektron tidak sama dengan total proton -- SM: Australia Anak perempuan: -- hal itu menghasilkan arus listrik positif atau negatif Besarnya arus listrik dari sebuah ion sama dengan jumlah proton dalam ion dikurangi jumlah elektron.
SM: A decade ahead of her time.
SM: Satu dekade lebih maju dari waktunya.
So SOLEs, I think we need a curriculum of big questions. You already heard about that. You know what that means. There was a time when Stone Age men and women used to sit and look up at the sky and say, "What are those twinkling lights?" They built the first curriculum, but we've lost sight of those wondrous questions. We've brought it down to the tangent of an angle. But that's not sexy enough. The way you would put it to a nine-year-old is to say, "If a meteorite was coming to hit the Earth, how would you figure out if it was going to or not?" And if he says, "Well, what? how?" you say, "There's a magic word. It's called the tangent of an angle," and leave him alone. He'll figure it out.
Jadi SOLE, saya kita perlu kurikulum dengan pertanyaan-pertanyaan besar. Anda telah mendengarnya. Anda tahu apa maksudnya. Ada masa ketika Jaman Batu, laki-laki dan perempuan biasa duduk dan melihat langit dan berkata, "Apa itu yang berkilauan di langit?" Mereka membuat kurikulum pertama, tapi kita telah kehilangan pertanyaan-pertanyaan menakjubkan itu. Kita telah membuat istilahnya menjadi tangen dari sudut. Tapi itu tidak cukup seksi. Cara untuk menyampaikannya ke anak umur sembilan tahun adalah dengan berkata, "JIka meteorit jatuh untuk menabrak bumi, bagaimana cara kamu tahu bahwa itu akan terjadi atau tidak?" Dan jika ia berkata, "Apa? Bagaimana?" Anda berkata, "Ada sebuah kata ajaib. Itu disebut tangen dari sudut," dan meninggalkannya sendiri. Ia akan mencari tahu.
So here are a couple of images from SOLEs. I've tried incredible, incredible questions -- "When did the world begin? How will it end?" — to nine-year-olds. This one is about what happens to the air we breathe. This is done by children without the help of any teacher. The teacher only raises the question, and then stands back and admires the answer.
Jadi ini adalah beberapa gambaran dari SOLE. Saya mencoba pertanyaan yang luar biasa -- "Bagaimana dunia dimulai?" Bagaimana akan berakhir?" -- kepada anak umur sembilan tahun. Yang satu ini yang akan terjadi kepada udara yang kita hirup. Ini dilakukan oleh anak-anak tanpa bantuan dari guru. Guru hanya mengajukan pertanyaan, dan kemudian mundur dan mengagumi jawabannya.
So what's my wish? My wish is that we design the future of learning. We don't want to be spare parts for a great human computer, do we? So we need to design a future for learning. And I've got to -- hang on, I've got to get this wording exactly right, because, you know, it's very important. My wish is to help design a future of learning by supporting children all over the world to tap into their wonder and their ability to work together. Help me build this school. It will be called the School in the Cloud. It will be a school where children go on these intellectual adventures driven by the big questions which their mediators put in. The way I want to do this is to build a facility where I can study this. It's a facility which is practically unmanned. There's only one granny who manages health and safety. The rest of it's from the cloud. The lights are turned on and off by the cloud, etc., etc., everything's done from the cloud.
Jadi apa harapan saya? Harapan saya adalah kita mendesain pembelajaran masa depan. Kita tidak mau menjadi spare part untuk komputer besar manusia bukan? Jadi kita perlu untuk mendesain pembelajaran masa depan. Dan saya harus -- sebentar, saya harus mengucapkan kata-kata ini dengan tepat, karena, Anda tahu, ini sangat penting. Harapan saya adalah mendesain pembelajaran masa depan dengan mendukung anak-anak di seluruh dunia untuk masuk ke dalam kehebatan dan kemampuan mereka bekerja bersama. Bantu saya membangun sekolah ini. Ini akan disebut sebagai School in the Cloud (Sekolah di Awan). Ini akan menjadi sekolah di mana anak-anak mengarungi petualangan intelektual dikemudikan oleh pertanyaan-pertanyaan besar yang diajukan oleh mediator mereka. Cara kita melakukan ini adalah dengan membangun fasilitas di mana saya bisa mempelajarinya. Adalah sebuah fasilitas yang tidak berpenghuni. Hanya ada satu nenek yang mengatur kesehatan dan keselamatan. Sisanya adalah dari awan (cloud). Lampu menyala dan mati karena awan, dsb., dsb., semuanya datang dari awan.
But I want you for another purpose. You can do Self-Organized Learning Environments at home, in the school, outside of school, in clubs. It's very easy to do. There's a great document produced by TED which tells you how to do it. If you would please, please do it across all five continents and send me the data, then I'll put it all together, move it into the School of Clouds, and create the future of learning. That's my wish.
Tapi saya mau Anda untuk tujuan lain. Anda bisa melakukan Lingkungan Pembelajaran yang Mengorganisasi Sendiri di rumah, di sekolah, di luar sekolah, di klub. Sangat mudah dilakukan. Ada dokumen luar biasa diproduksi oleh TED yang menunjukkan bagaimana Anda melakukannya. Jika Anda mau, silakan, silakan lakukan di lima benua dan kirimkan saya datanya, supaya saya bisa menaruh semuanya bersama, memindahkannya ke Sekolah Awan, dan menciptakan pembelajaran masa depan. Itu harapan saya.
And just one last thing. I'll take you to the top of the Himalayas. At 12,000 feet, where the air is thin, I once built two Hole in the Wall computers, and the children flocked there. And there was this little girl who was following me around.
Dan satu hal terakhir. Saya akan bawa Anda ke puncak Himalaya. Di ketinggian 12.000 kaki, di mana udara tipis, saya pernah membuat dua komputer di dinding, dan anak-anak berkumpul di sana. Dan ada anak perempuan kecil yang mengikuti saya ke sana kemari.
And I said to her, "You know, I want to give a computer to everybody, every child. I don't know, what should I do?" And I was trying to take a picture of her quietly.
Dan saya bilang ke dia, "Kamu tahu, saya ingin memberi sebuah komputer ke semua orang, setiap anak. Saya tidak tahu, apa yang harus saya lakukan?' Dan ketika saya mencoba untuk mengambil fotonya diam-diam.
She suddenly raised her hand like this, and said to me, "Get on with it."
Dia tiba-tiba mengangkat tangannya seperti ini, dan berkata, "Lakukan saja"
(Laughter) (Applause)
(Tawa) (Tepuk tangan)
I think it was good advice. I'll follow her advice. I'll stop talking. Thank you. Thank you very much. (Applause) Thank you. Thank you. (Applause) Thank you very much. Wow. (Applause)
Saya pikir itu adalah saran yang baik. Saya ikuti sarannya. Saya berhenti bicara. Terima kasih. Terima kasih banyak. (Tepuk tangan) Terima kasih. Terima kasih. (Tepuk tangan) Terima kasih banyak. Wow. (Tepuk tangan)