So, this is my grandfather, Salman Schocken, who was born into a poor and uneducated family with six children to feed, and when he was 14 years old, he was forced to drop out of school in order to help put bread on the table. He never went back to school. Instead, he went on to build a glittering empire of department stores. Salman was the consummate perfectionist, and every one of his stores was a jewel of Bauhaus architecture. He was also the ultimate self-learner, and like everything else, he did it in grand style. He surrounded himself with an entourage of young, unknown scholars like Martin Buber and Shai Agnon and Franz Kafka, and he paid each one of them a monthly salary so that they could write in peace.
Ini kakek saya, Salman Schocken. Beliau berasal dari keluarga miskin tak berpendidikan dengan enam anak kecil sebagai tanggungan. Saat beliau berumur 14 tahun, beliau terpaksa meninggalkan bangku sekolah demi membantu menghidupi keluarganya. Beliau tidak pernah kembali bersekolah. Beliau malahan membangun kerajaannya sendiri, kerajaan yang berisikan toko-toko serba ada. Salman adalah orang yang sangat, sangat perfeksionis, dan setiap asetnya merupakan permata arsitektur Bauhaus. Beliau merupakan seorang otodidak, dan seperti hal lainnya, dia melakukan proses belajar dengan cara yang luar biasa. Beliau dikelilingi oleh orang-orang muda seperti sarjana muda yang belum dikenal pada saat itu, seperti Martin Buber, dan Shai Agnon dan Franz Kafka, dan beliau membayar setiap orang upahnya masing-masing setiap bulan supaya mereka dapat menulis dengan tenang.
And yet, in the late '30s, Salman saw what's coming. He fled Germany, together with his family, leaving everything else behind. His department stores confiscated, he spent the rest of his life in a relentless pursuit of art and culture. This high school dropout died at the age of 82, a formidable intellectual, cofounder and first CEO of the Hebrew University of Jerusalem, and founder of Schocken Books, an acclaimed imprint that was later acquired by Random House. Such is the power of self-study.
Akan tetapi, di akhir tahun 30-an, Salman dapat menduga apa yang akan terjadi. Beliau melarikan diri dari Jerman bersama dengan keluarganya, dan meninggalkan semua yang telah ia bangun. Toko-toko serba ada miliknya disita. Tanpa lelah, beliau menghabiskan sisa hidupnya mempelajari seni dan budaya. Orang yang bahkan tidak lulus sekolah ini akhirnya meninggal di usia 82 tahun. Seorang intelektual yang tangguh, salah seorang pendiri the Hebrew University di Yerusalem, dan juga CEO pertama, serta pendiri Shocken Books, percetakan yang telah diakui dan kemudian dipindahtangan ke Random House. Semua itu adalah wujud dari semangat belajar otodidak.
And these are my parents. They too did not enjoy the privilege of college education. They were too busy building a family and a country. And yet, just like Salman, they were lifelong, tenacious self-learners, and our home was stacked with thousands of books, records and artwork. I remember quite vividly my father telling me that when everyone in the neighborhood will have a TV set, then we'll buy a normal F.M. radio. (Laughter)
Dan ini orang tua saya. Mereka pun tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Mereka terlalu sibuk mengurus keluarga dan negara. Namun, seperti halnya Salman, mereka merupakan pelajar otodidak yang gigih dan tak kenal lelah, dan rumah kami penuh dengan ribuan buku, musik, dan karya seni. Saya ingat dengan jelas ayah saya berkata bahwa pada saat setiap orang di wilayah ini memiliki TV, dan kami hanya akan membeli radio biasa. (Tawa)
And that's me, I was going to say holding my first abacus, but actually holding what my father would consider an ample substitute to an iPad. (Laughter) So one thing that I took from home is this notion that educators don't necessarily have to teach. Instead, they can provide an environment and resources that tease out your natural ability to learn on your own. Self-study, self-exploration, self-empowerment: these are the virtues of a great education.
Dan ini saya, saya sedang memegang sempoa, namun sebenarnya itu merupakan alat yang menurut ayah saya merupakan pengganti iPad. (Tawa) Satu hal yang saya bawa dari rumah saya adalah paham bahwa para pengajar tidak harus sekedar mengajar. Malahan, mereka dapat memfasilitasi murid-murid dengan lingkungan dan sumber daya yang dapat memicu kemampuan murid-muridnya untuk belajar sendiri. Pembelajaran, penjelajahan, serta pemberdayaan secara mandiri merupakan sisi positif dari pendidikan yang bagus.
So I'd like to share with you a story about a self-study, self-empowering computer science course that I built, together with my brilliant colleague Noam Nisan. As you can see from the pictures, both Noam and I had an early fascination with first principles, and over the years, as our knowledge of science and technology became more sophisticated, this early awe with the basics has only intensified. So it's not surprising that, about 12 years ago, when Noam and I were already computer science professors, we were equally frustrated by the same phenomenon. As computers became increasingly more complex, our students were losing the forest for the trees, and indeed, it is impossible to connect with the soul of the machine if you interact with a black box P.C. or a Mac which is shrouded by numerous layers of closed, proprietary software. So Noam and I had this insight that if we want our students to understand how computers work, and understand it in the marrow of their bones, then perhaps the best way to go about it is to have them build a complete, working, general-purpose, useful computer, hardware and software, from the ground up, from first principles.
Saya ingin menceritakan sebuah kisah mengenai pembelajaran, dan pemberdayaan mandiri dalam mata pelajaran Ilmu Komputer yang saya bangun bersama dengan rekan saya yang brilian, Noam Nisan. Seperti yang Anda lihat di gambar tersebut, baik Noam dan saya sejak awal sudah tertarik dengan prinsip-prinsip dasar sains, dan seiring berjalannya waktu, saat pengetahuan kami akan sains dan teknologi semakin bertambah, kekaguman awal kami dengan dasar-dasar tersebut malah semakin bertambah. Tentunya tidak mengejutkan lagi apabila, kurang lebih 12 tahun yang lalu, saat Noam dan saya telah menjadi profesor di bidang Ilmu Komputer, kami berdua merasakan frustasi akan fenomena yang sama. Dan seiring berjalannya jaman, komputer menjadi semakin kompleks. Murid-murid kami kehilangan lahan untuk pohon-pohon yang ada, dan memang, sangatlah mustahil untuk berhubungan dengan jiwa dari mesin yang mereka tangani dengan kotak hitam dari P.C. atau Mac yang diselubungi oleh banyaknya lapisan perangkat lunak yang terkait satu sama lain. Maka Noam dan saya mendapatkan ide; apabila kami ingin murid-murid kami mengerti dan sepenuhnya memahami kinerja komputer, mungkin cara yang terbaik adalah dengan menugaskan mereka untuk membangun komputer serbaguna, hardware dan software yang utuh, dapat berfungsi dan mudah digunakan, dari nol, dimulai dengan prinsip-prinsip dasar.
Now, we had to start somewhere, and so Noam and I decided to base our cathedral, so to speak, on the simplest possible building block, which is something called NAND. It is nothing more than a trivial logic gate with four input-output states. So we now start this journey by telling our students that God gave us NAND — (Laughter) — and told us to build a computer, and when we asked how, God said, "One step at a time." And then, following this advice, we start with this lowly, humble NAND gate, and we walk our students through an elaborate sequence of projects in which they gradually build a chip set, a hardware platform, an assembler, a virtual machine, a basic operating system and a compiler for a simple, Java-like language that we call "JACK." The students celebrate the end of this tour de force by using JACK to write all sorts of cool games like Pong, Snake and Tetris. You can imagine the tremendous joy of playing with a Tetris game that you wrote in JACK and then compiled into machine language in a compiler that you wrote also, and then seeing the result running on a machine that you built starting with nothing more than a few thousand NAND gates. It's a tremendous personal triumph of going from first principles all the way to a fantastically complex and useful system.
Sekarang kami harus memulai, dan Noam dan saya memutuskan untuk membangun dasar dari katedral kami pada fondasi bangunan yang paling sederhana, yang disebut NAND. NAND tidak lebih dari logika sepele dengan empat lokasi input dan output. Maka kami memulai perjalanan kami dan memberitahu murid-murid kami bahwa Tuhan telah memberikan kami NAND -- (Tawa) -- dan menugaskan kami untuk merakit komputer, dan saat kami bertanya caranya, Tuhan berkata, "Satu demi satu." Maka kami mengikuti saran tersebut dan memulai dengan NAND yang sederhana, dan menuntun murid-murid kami melalui urutan-urutan proyek yang rumit, dimana perlahan-lahan mereka merakit satu set chip, satu platform hardware, satu assembler, sebuah mesin virtual, sebuah sistem operasi dasar dan sebuah kompilator untuk program Java yang mendasar yang kami sebut "JACK." Para murid kami merayakan akhir dari tour de force ini dengan menggunakan JACK untuk membuat permainan-permainan yang cukup keren semacam Pong, Snake dan Tetris. Anda bisa membayangkan betapa menyenangkan bermain dengan Tetris yang telah Anda rakit sendiri di JACK dan kemudian dikompilasi ke dalam bahasa teknis di komputer yang Anda tulis sendiri, kemudian melihat hasilnya di mesin yang telah Anda rakit hanya dengan beberapa ribu NAND. Ini merupakan kepuasan dari pencapaian pribadi setelah beranjak dari prinsip-prinsip dasar ke sistem yang luar biasa kompleks dan berguna.
Noam and I worked five years to facilitate this ascent and to create the tools and infrastructure that will enable students to build it in one semester. And this is the great team that helped us make it happen. The trick was to decompose the computer's construction into numerous stand-alone modules, each of which could be individually specified, built and unit-tested in isolation from the rest of the project. And from day one, Noam and I decided to put all these building blocks freely available in open source on the Web. So chip specifications, APIs, project descriptions, software tools, hardware simulators, CPU emulators, stacks of hundreds of slides, lectures -- we laid out everything on the Web and invited the world to come over, take whatever they need, and do whatever they want with it.
Noam dan saya berjuang selama lima tahun untuk memandu perjalanan ini dan menciptakan alat-alat beserta infrastruktur yang akan memudahkan para murid untuk membuat sistem ini dalam satu semester saja. Dan inilah tim yang telah membantu kami dan membuat segalanya mungkin. Triknya adalah dengan menguraikan konstruksi komputer menjadi modul-modul independen dalam jumlah yang sangat banyak, tiap-tiap modul tersebut dapat dispesifikasikan, dibuat dan dites dalam isolasi, terpisah dari proyek yang ada. Dari sejak hari pertama, Noam dan saya memutuskan untuk menyediakan semua langkah-langkah ini untuk umum melalui open source di internet. Maka spesifikasi setiap chip, API, deskripsi proyek, perangkat lunak, simulator hardware, emulator CPU, tumpukan-tumpukan slide, kuliah -- semuanya ada di Web dan kamu mengundang semua dari seluruh dunia untuk melihat, dan mengambil apapun yang mereka butuhkan, juga melakukan apapun yang mereka mau dengan semua yang telah kami sediakan.
And then something fascinating happened. The world came. And in short order, thousands of people were building our machine. And NAND2Tetris became one of the first massive, open, online courses, although seven years ago we had no idea that what we were doing is called MOOCs. We just observed how self-organized courses were kind of spontaneously spawning out of our materials. For example, Pramode C.E., an engineer from Kerala, India, has organized groups of self-learners who build our computer under his good guidance. And Parag Shah, another engineer, from Mumbai, has unbundled our projects into smaller, more manageable bites that he now serves in his pioneering do-it-yourself computer science program.
Kemudian sesuatu yang menarik terjadi. Orang-orang datang. Tak lama kemudian, ribuan orang merakit mesin kami. Dan NAND2Tetris menjadi kuliah online terbesar, dan terbuka pertama, meski tujuh tahun yang lalu, kami bahkan tidak tahu bahwa kami melakukan sesuatu yang disebut MOOCs. Kami hanya mengamati bagaimana kuliah-kuliah otodidak dilakukan secara spontan dengan material-material yang kami sediakan. Misalnya, Pramode C.E., seorang insinyur dari Kerala, India, mengorganisir para pelajar otodidak yang merakit komputer kami di bawah panduan beliau. Juga Parag Shah, insinyur lain dari Mumbai, telah menjabarkan proyek-proyek kami menjadi potongan-potongan kecil yang lebih mudah untuk disusun. Karenanya sekarang beliau memulai program ilmu komputer do-it-yourself nya sendiri.
The people who are attracted to these courses typically have a hacker mentality. They want to figure out how things work, and they want to do it in groups, like this hackers club in Washington, D.C., that uses our materials to offer community courses. And because these materials are widely available and open-source, different people take them to very different and unpredictable directions. For example, Yu Fangmin, from Guangzhou, has used FPGA technology to build our computer and show others how to do the same using a video clip, and Ben Craddock developed a very nice computer game that unfolds inside our CPU architecture, which is quite a complex 3D maze that Ben developed using the Minecraft 3D simulator engine. The Minecraft community went bananas over this project, and Ben became an instant media celebrity.
Orang-orang yang tertarik dengan kuliah-kuliah ini biasanya mempunyai mentalitas sebagai hacker. Mereka ingin tahu cara suatu alat beroperasi, dan mereka melakukannya di dalam kelompok, misalnya seperti sebuah kelompok hacker di Washington, D.C. Mereka menggunakan materi kami untuk mengajar komunitas. Dan karena materi-materi yang yang ada tersedia untuk siapa saja, tiap-tiap orang mengambil dan menggunakan materi tersebut untuk tujuan yang berbeda-beda yang sangat tak terduga. Misalnya Yu Fangmin dari Guangzhou, dia menggunakan teknologi FPGA untuk merakit komputer kami dan menunjukkan caranya kepada orang lain menggunakan klip video, dan Ben Craddock mengembangkan permainan komputer yang sangat bagus yang menunjukkan struktur internal CPU kami, yang berupa labirin 3-dimensi yang sangat kompleks, dikembangkan dengan mesin simulator Minecraft 3-dimensi. Komunitas Minecraft menjadi luar biasa senang karenanya, dan dalam sekejap Ben menjadi pusat perhatian media.
And indeed, for quite a few people, taking this NAND2Tetris pilgrimage, if you will, has turned into a life-changing experience. For example, take Dan Rounds, who is a music and math major from East Lansing, Michigan. A few weeks ago, Dan posted a victorious post on our website, and I'd like to read it to you. So here's what Dan said.
Dan memang, bagi segelintir orang, dengan menggunakan NAND2Tetris, mereka mendapatkan pengalaman hidup yang tak terlupakan. MIsalnya, Dan Rounds, yang mempelajari musik dan matematika, dari East Lansing, Michigan, menulis mengenai kesuksesannya di website kami beberapa minggu yang lalu, yang ingin saya bacakan di depan kalian. Begini cerita Dan,
"I did the coursework because understanding computers is important to me, just like literacy and numeracy, and I made it through. I never worked harder on anything, never been challenged to this degree. But given what I now feel capable of doing, I would certainly do it again. To anyone considering NAND2Tetris, it's a tough journey, but you'll be profoundly changed."
"Saya menggunakan materi kalian karena menurut saya, memahami komputer sangatlah penting, seperti halnya belajar membaca dan berhitung, dan saya berhasil. Saya tidak pernah belajar segiat ini, dan tidak pernah merasa tertantang seperti ini. Tapi setelah mengerti apa yang bisa saya lakukan sekarang, saya bersedia melakukannya lagi dan lagi. Untuk semuanya yang hendak menggunakan NAND2Tetris, ini merupakan tantangan yang sulit, tapi anda harus mencobanya."
So Dan demonstrates the many self-learners who take this course off the Web, on their own traction, on their own initiative, and it's quite amazing because these people cannot care less about grades. They are doing it because of one motivation only. They have a tremendous passion to learn.
Maka Dan memberikan testimoninya ke para pelajar otodidak yang juga belajar hal yang sama melalui Web, karena ketertarikan yang sama, berasal dari insiatif yang serupa, dan ini sangatlah luar biasa, karena bagi orang-orang ini, nilai tidaklah penting. Motivasi mereka hanyalah karena mereka mau melakukannya. Mereka memiliki semangat belajar yang luar biasa.
And with that in mind, I'd like to say a few words about traditional college grading. I'm sick of it. We are obsessed with grades because we are obsessed with data, and yet grading takes away all the fun from failing, and a huge part of education is about failing. Courage, according to Churchill, is the ability to go from one defeat to another without losing enthusiasm. (Laughter) And [Joyce] said that mistakes are the portals of discovery. And yet we don't tolerate mistakes, and we worship grades. So we collect your B pluses and your A minuses and we aggregate them into a number like 3.4, which is stamped on your forehead and sums up who you are. Well, in my opinion, we went too far with this nonsense, and grading became degrading.
Dan dengan paham tersebut, saya ingin menyampaikan beberapa patah kata mengenai sistem penilaian tradisional di universitas. Saya muak dengan sistem ini. Kita semua terobsesi dengan nilai karena kita semua terobsesi dengan data. Dan karena sistem penilaian yang ada, kita semua takut untuk gagal, padahal yang paling penting pembelajaran adalah kegagalan. Menurut Churchill, keberanian merupakan kemampuan untuk bangkit dari satu kegagalan ke kegagalan lain tanpa kehilangan antusiasme untuk belajar. (Tawa) Dan [Joyce] berkata bahwa kesalahan merupakan kunci bagi penemuan dalam pembelajaran. Namun kita tidak mampu mentoleransi kesalahan, dan malah memuja nilai-nilai, Maka kami mengkoleksi nilai-nilai B+ dan A- Anda semua dan kami merata-rata semua itu menjadi sebuah angka semacam 3,4 yang kemudian tertera di dahi anda. Kemudian nilai tersebut mendefinisikan diri Anda. Menurut saya, kita telah melebih-lebihkan omong kosong ini, dan sistem penilaian telah merendahkan martabat kita.
So with that, I'd like to say a few words about upgrading, and share with you a glimpse from my current project, which is different from the previous one, but it shares exactly the same characteristics of self-learning, learning by doing, self-exploration and community-building, and this project deals with K-12 math education, beginning with early age math, and we do it on tablets because we believe that math, like anything else, should be taught hands on.
Karenanya, saya ingin menyampaikan satu-dua patah kata mengenai upgrading, dan membagikan kepada Anda sekalian, sekilas mengenai proyek yang sedang saya kerjakan yang tidaklah sama dengan proyek saya sebelumnya, tapi memiliki karakteristik yang sama, yaitu pembelajaran otodidak, pembelajaran dengan cara mempraktekkan apa yang telah dipelajari, penjelajahan secara mandiri, serta pembangunan komunitas. Proyek ini meliput kurikulum Matematika untuk anak-anak TK sampai siswa-siswi SMA, dimulai dari Matematika dasar, dan kami melakukan semua ini melalui tablet, karena kami percaya bahwa Matematika, seperti hal-hal lain, harus diajarkan secara pribadi.
So here's what we do. Basically, we developed numerous mobile apps, every one of them explaining a particular concept in math. So for example, let's take area. When you deal with a concept like area -- well, we also provide a set of tools that the child is invited to experiment with in order to learn. So if area is what interests us, then one thing which is natural to do is to tile the area of this particular shape and simply count how many tiles it takes to cover it completely. And this little exercise here gives you a first good insight of the notion of area.
Inilah yang kami lakukan. Pada dasarnya, kami mengembangkan sejumlah aplikasi untuk telepon genggam. Masing-masing menjelaskan tentang konsep-konsep Matematika tertentu . Contohnya, saat anda berhadapan dengan sebuah konsep seperti misalnya sebuah bidang -- kami juga menyediakan satu set alat yang dapat digunakan oleh anak tersebut agar dia dapat belajar. Jadi saat satu bidang membuat kami tertarik, maka yang normalnya kita lakukan adalah mempetak-petakkan area tersebut menjadi satu bentuk dan menghitung seberapa banyak petak yang dibutuhkan untuk membentuk bidang tersebut. Dan latihan simpel semacam ini memberi anda pengertian akan bidang tersebut.
Moving along, what about the area of this figure? Well, if you try to tile it, it doesn't work too well, does it. So instead, you can experiment with these different tools here by some process of guided trial and error, and at some point you will discover that one thing that you can do among several legitimate transformations is the following one. You can cut the figure, you can rearrange the parts, you can glue them and then proceed to tile just like we did before. (Applause) Now this particular transformation did not change the area of the original figure, so a six-year-old who plays with this has just discovered a clever algorithm to compute the area of any given parallelogram.
Mari lihat step selanjutnya, bagaimana dengan bidang yang ini? Agak susah mempetak-petakkan bidang ini, bukan? Karenanya, anda dapat menggunakan alat-alat lainnya melalui proses mencoba dan membuat kesalahan, dan pada satu titik anda akan menemukan bahwa satu hal yang dapat anda lakukan terhadap beberapa perubahan bentuk yang ada adalah hal berikut: Anda memotong bidang ini, lalu menyusun ulang bagian-bagian yang ada, menyatukan mereka, dan lanjut ke pemetakkan seperti yang telah kita lakukan sebelumnya. (Tepuk tangan) Nah, perubahan bentuk semacam ini tidak merubah ukuran dari bentuk asli bidang, maka anak berumur 6 tahun yang menggunakan aplikasi ini belajar mengenai algoritma dengan kreatif yaitu dengan cara menghitung bidang dari jajar genjang yang ada.
We don't replace teachers, by the way. We believe that teachers should be empowered, not replaced.
Dan kami tidaklah melengser para guru. Kami yakin bahwa para pendidik seharusnya diberdayakan, bukan malah digantikan.
Moving along, what about the area of a triangle? So after some guided trial and error, the child will discover, with or without help, that he or she can duplicate the original figure and then take the result, transpose it, glue it to the original and then proceed [with] what we did before: cut, rearrange, paste — oops— paste and glue, and tile. Now this transformation has doubled the area of the original figure, and therefore we have just learned that the area of the triangle equals the area of this rectangle divided by two. But we discovered it by self-exploration.
Mari kita lanjutkan, bagaimana dengan segitiga? Setelah melalui proses jatuh-bangun yang sama, anak tersebut akan menemukan, baik dengan sendirinya maupun dengan bantuan orang lain, bahwa ia dapat mereplika bidang tersebut, kemudian memutar replika tersebut, menyatukannya dengan bidang awal; dilanjutkan dengan proses yang kita lakukan sebelumnya: potong, susun, dan gabungkan -- ups -- rekatkan, dan petakkan. Nah, transformasi ini telah menggandakan bidang awal. Karenanya, kita baru saja belajar bahwa luas segitiga tersebut sama dengan luas persegi panjang ini dibagi dua. Namun kita mempelajarinya secara otodidak.
So, in addition to learning some useful geometry, the child has been exposed to some pretty sophisticated science strategies, like reduction, which is the art of transforming a complex problem into a simple one, or generalization, which is at the heart of any scientific discipline, or the fact that some properties are invariant under some transformations. And all this is something that a very young child can pick up using such mobile apps. So presently, we are doing the following: First of all, we are decomposing the K-12 math curriculum into numerous such apps. And because we cannot do it on our own, we've developed a very fancy authoring tool that any author, any parent or actually anyone who has an interest in math education, can use this authoring tool to develop similar apps on tablets without programming. And finally, we are putting together an adaptive ecosystem that will match different learners with different apps according to their evolving learning style.
Maka, sebagai tambahan pembelajaran geometri, anak tersebut telah belajar mengenai strategi sains yang cukup canggih, misalnya seperti pengurangan, yang merupakan seni dari mengubah masalah yang rumit menjadi sesuatu yang simpel, atau penyamarataan, yang merupakan inti dari disiplin ilmu pengetahuan, juga fakta bahwa beberapa bentuk sifatnya konstan dalam beberapa perubahan tertentu. Dan semua ini merupakan sesuatu yang dapat dipelajari oleh anak kecil dari usia yang sangat dini dengan aplikasi mobile. Inilah yang sedang kami lakukan sekarang: Pertama-tama, kami menjabarkan kurikulum Matematika sekolah dasar sampai dengan SMA menjadi bermacam-macam aplikasi. Dan karena kami tidak dapat melakukannya sendirian, kami mengembangkan sebuah piranti untuk mengembangkan aplikasi, dan setiap orang, orangtua, atau siapa aja yang tertarik dengan mata pelajaran ini, dapat menggunakan alat ini untuk mengembangkan aplikasi serupa di tablet tanpa perlu memprogram alat itu sebelumnya. Kemudian, kami menggabungkan ekosistem dimana setiap pelajar dapat beradaptasi di dalamnya dengan menggunakan aplikasi yang berbeda-beda menurut metode belajar mereka masing-masing.
The driving force behind this project is my colleague Shmulik London, and, you see, just like Salman did about 90 years ago, the trick is to surround yourself with brilliant people, because at the end, it's all about people. And a few years ago, I was walking in Tel Aviv and I saw this graffiti on a wall, and I found it so compelling that by now I preach it to my students, and I'd like to try to preach it to you. Now, I don't know how many people here are familiar with the term "mensch." It basically means to be human and to do the right thing. And with that, what this graffiti says is, "High-tech schmigh-tech. The most important thing is to be a mensch." (Laughter) Thank you. (Applause) (Applause)
Alasan di balik semua ini adalah rekan saya Shmulik London, dan, seperti yang anda lihat, seperti halnya Salman 90 tahun yang lalu, triknya adalah bergaul dan berada di kumpulan orang-orang yang brilian, karena pada akhirnya, semua ini berpusat di orang-orang. Dan beberapa tahun yang lalu, saya sedang berjalan di Tel Aviv dan saya melihat sebuah graffiti di dinding, dan saya sangat tertarik dengannya sampai-sampai sekarang saya selalu menceritakan ini kepada murid-murid saya. Dan saya juga ingin membagikannya kepada anda. Saya tidak tahu ada berapa banyak orang di sini yang familiar dengan istilah "mensch." Pada dasarnya istilah tersebut berarti menjadi manusia dan melakukan hal yang benar. Dan yang tertulis di graffiti tersebut adalah, "High-tech schmigh-tech. Hal yang paling penting adalah menjadi mensch." (Tawa) Terima kasih. (Tepuk tangan) (Tepuk tangan)