The global challenge that I want to talk to you about today rarely makes the front pages. It, however, is enormous in both scale and importance. Look, you all are very well traveled; this is TEDGlobal after all. But I do hope to take you to some places you've never been to before.
Tantangan global yang ingin saya bicarakan kepada Anda hari ini jarang menjadi berita utama. Tantangan ini, bagaimanapun juga, sangatlah besar baik dalam skala maupun pentingnya. Begini, Anda semua sangat sering bepergian; bagaimanapun ini adalah TEDGlobal. Tapi saya berharap dapat membawa Anda ke beberapa tempat yang belum pernah Anda kunjungi sebelumnya.
So, let's start off in China. This photo was taken two weeks ago. Actually, one indication is that little boy on my husband's shoulders has just graduated from high school. (Laughter) But this is Tiananmen Square. Many of you have been there. It's not the real China. Let me take you to the real China. This is in the Dabian Mountains in the remote part of Hubei province in central China. Dai Manju is 13 years old at the time the story starts. She lives with her parents, her two brothers and her great-aunt. They have a hut that has no electricity, no running water, no wristwatch, no bicycle. And they share this great splendor with a very large pig. Dai Manju was in sixth grade when her parents said, "We're going to pull you out of school because the 13-dollar school fees are too much for us. You're going to be spending the rest of your life in the rice paddies. Why would we waste this money on you?" This is what happens to girls in remote areas.
Marilah kita mulai dari Cina. Foto ini diambil dua minggu lalu. Sebenarnya, salah satu indikasi adalah anak kecil pada bahu suami saya itu baru saja lulus SMA. (Tawa) Tapi ini adalah Tiananmen Square. Kebanyakan dari Anda pernah ke sana. Itu bukanlah Cina yang sesungguhnya. Saya akan mengajak Anda untuk melihat Cina yang sesungguhnya. Ini adalah Pegunungan Dabian yang terletak di daerah terpencil di provinsi Hubei di Cina tengah. Dai Manju berusia 13 tahun pada saat cerita ini dimulai. Dia tinggal bersama orang tuanya, dua saudara laki-lakinya, dan bibi dari orangtuanya. Mereka memiliki sebuah gubuk yang tidak memiliki listrik, tidak ada air mengalir, tidak ada arloji, dan tidak ada sepeda. Dan mereka berbagi kemegahan tersebut dengan seekor babi yang sangat besar. Dai Maju masih duduk di kelas 6 SD saat orang tuanya berkata, “Kami akan mengeluarkanmu dari sekolah karena biaya sekolah sebesar 13 dollar terlalu besar bagi kami. Kamu akan menghabiskan sisa hidupmu di sawah. Mengapa kami harus menghamburkan uang ini untukmu?” Inilah yang terjadi pada anak-anak perempuan di daerah terpencil.
Turns out that Dai Manju was the best pupil in her grade. She still made the two-hour trek to the schoolhouse and tried to catch every little bit of information that seeped out of the doors. We wrote about her in The New York Times. We got a flood of donations -- mostly 13-dollar checks because New York Times readers are very generous in tiny amounts (Laughter) but then, we got a money transfer for $10,000 -- really nice guy. We turned the money over to that man there, the principal of the school. He was delighted. He thought, "Oh, I can renovate the school. I can give scholarships to all the girls, you know, if they work hard and stay in school. So Dai Manju basically finished out middle school. She went to high school. She went to vocational school for accounting. She scouted for jobs down in Guangdong province in the south. She found a job, she scouted for jobs for her classmates and her friends. She sent money back to her family. They built a new house, this time with running water, electricity, a bicycle, no pig.
Ternyata Dai Manju adalah murid terbaik di kelasnya. Dia masih melakukan perjalanan selama 2 jam ke sekolahnya dan berusaha untuk menangkap setiap kepingan informasi yang terdengar dari balik pintu kelas. Kami menulis tentang dia di New York Times. Kami dibanjiri oleh banyak donasi -- kebanyakan berupa cek senilai 13 dollar, karena pembaca New York Times sangatlah dermawan dalam jumlah kecil. (Tawa) Kemudian, kami mendapatkan transfer uang sebesar $10.000 -- seorang pria yang sangat baik. Kami memberikan uang itu kepada pria di sana, sang kepala sekolah. Dia sangat gembira. Dia berpikir, “Oh, saya dapat merenovasi sekolah ini. Saya dapat memberikan beasiswa kepada semua anak-anak perempuan." Anda tahu, jika mereka mau bekerja keras dan tetap bersekolah. Jadi, Dai Manju akhirnya berhasil menyelesaikan sekolah menengah. Dia melanjutkan ke SMA. Dia melanjutkan ke sekolah kejuruan di bidang akuntansi. Dia mencari pekerjaan di provinsi Guangdong di daerah selatan. Dia menemukan pekerjaan, dia membantu mencarikan pekerjaan untuk teman sekelasnya dan teman-temannya Dia mengirimkan uang kepada keluarganya. Mereka membangun rumah baru, kali ini rumahnya memiliki air listrik, sebuah sepeda, dan tanpa babi.
What we saw was a natural experiment. It is rare to get an exogenous investment in girls' education. And over the years, as we followed Dai Manju, we were able to see that she was able to move out of a vicious cycle and into a virtuous cycle. She not only changed her own dynamic, she changed her household, she changed her family, her village. The village became a real standout. Of course, most of China was flourishing at the time, but they were able to get a road built to link them up to the rest of China.
Apa yang kita lihat adalah sebuah fenomena alam. Sangatlah jarang untuk mendapatkan investasi dari luar bagi pendidikan anak-anak perempuan. Dan selama bertahun-tahun, di saat kami mengikuti kehidupan Dai Manju, kami dapat melihat bahwa dia bisa keluar dari lingkaran setan dan masuk ke dalam lingkaran baik. Dia bukan hanya mengubah dinamikanya sendiri, tetapi dia juga mengubah rumah tangganya, keluarganya, desanya. Desanya menjadi sangat menonjol. Tentunya, sebagian besar wilayah Cina berkembang pada saat ini, tapi mereka dapat membangun sebuah jalan raya yang menghubungkan mereka dengan seluruh pelosok Cina.
And that brings me to my first major of two tenets of "Half the Sky." And that is that the central moral challenge of this century is gender inequity. In the 19th century, it was slavery. In the 20th century, it was totalitarianism. The cause of our time is the brutality that so many people face around the world because of their gender. So some of you may be thinking, "Gosh, that's hyperbole. She's exaggerating." Well, let me ask you this question. How many of you think there are more males or more females in the world? Let me take a poll. How many of you think there are more males in the world? Hands up, please. How many of you think -- a few -- how many of you there are more females in the world? Okay, most of you. Well, you know this latter group, you're wrong. There are, true enough, in Europe and the West, when women and men have equal access to food and health care, there are more women, we live longer. But in most of the rest of the world, that's not the case. In fact, demographers have shown that there are anywhere between 60 million and 100 million missing females in the current population.
Dan hal itu yang membawa saya kepada salah satu dari dua prinsip “Separuh Langit". Bahwa tantangan moral terpenting pada abad ini adalah ketidaksetaraan jenis kelamin. Pada abad ke-19 tantangannya adalah perbudakan. Pada abad ke-20 tantangannya adalah totaliterisme. Pada jaman kita penyebabnya adalah kebrutalan yang dihadapi begitu banyak orang di seluruh dunia karena jenis kelamin mereka. Jadi beberapa dari Anda mungkin berpikir, "Wah, itu hiperbola. Dia berlebihan." Baik, coba saya tanya kepada Anda. Berapa dari kalian yang berpendapat ada lebih banyak laki-laki atau perempuan di dunia ini? Coba saya hitung. Berapa dari kalian berpendapat lebih banyak laki-laki di dunia ini? Tolong angkat tangan. Berapa dari kalian yang berpendapat lebih banyak perempuan di dunia ini? Oke, sebagian besar dari kalian. Jika Anda berpendapat demikian, maka Anda salah. Hal ini benar di Eropa dan di negara Barat, ketika perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan terhadap kebutuhan pokok dan kesehatan, terdapat lebih banyak perempuan, karena kita hidup lebih lama. Tapi di belahan dunia lain, hal itu tidak terjadi. Kenyataannya, ahli demografi telah menunjukkan ada sekitar 60 juta sampai 100 juta wanita yang hilang di dalam populasi sekarang.
And, you know, it happens for several reasons. For instance, in the last half-century, more girls were discriminated to death than all the people killed on all the battlefields in the 20th century. Sometimes it's also because of the sonogram. Girls get aborted before they're even born when there are scarce resources. This girl here, for instance, is in a feeding center in Ethiopia. The entire center was filled with girls like her. What's remarkable is that her brothers, in the same family, were totally fine. In India, in the first year of life, from zero to one, boy and girl babies basically survive at the same rate because they depend upon the breast, and the breast shows no son preference. From one to five, girls die at a 50 percent higher mortality rate than boys, in all of India.
Dan, tahukah Anda, hal itu terjadi karena beberapa sebab. Misalnya, dalam setengah abad terakhir, lebih banyak perempuan yang didiskriminasi sampai mati daripada jumlah orang yang terbunuh di seluruh medan perang pada abad ke-20. Terkadang hal itu disebabkan oleh hasil USG. Janin perempuan diaborsi sebelum mereka lahir ketika terjadi kekurangan sumber daya. Gadis ini, contohnya, berada di pusat pemberian makanan di Ethiopia. Pusat tersebut dipenuhi oleh gadis-gadis seperti dia. Yang mengejutkan adalah saudara laki-lakinya, dari keluarga yang sama baik-baik saja. Di India, bayi yang baru lahir, dari umur nol sampai satu tahun, bayi perempuan dan laki-laki dapat bertahan hidup pada tingkat yang sama karena mereka tergantung pada payudara ibunya, dan payudara tidak memiliki preferensi pada anak laki-laki. Dari umur satu sampai lima tahun, angka kematian anak-anak perempuan 50 persen lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki, di seluruh India.
The second tenet of "Half the Sky" is that, let's put aside the morality of all the right and wrong of it all, and just on a purely practical level, we think that one of the best ways to fight poverty and to fight terrorism is to educate girls and to bring women into the formal labor force. Poverty, for instance. There are three reasons why this is the case. For one, overpopulation is one of the persistent causes of poverty. And you know, when you educate a boy, his family tends to have fewer kids, but only slightly. When you educate a girl, she tends to have significantly fewer kids. The second reason is it has to do with spending. It's kind of like the dirty, little secret of poverty, which is that, not only do poor people take in very little income, but also, the income that they take in, they don't spend it very wisely, and unfortunately, most of that spending is done by men. So research has shown, if you look at people who live under two dollars a day -- one metric of poverty -- two percent of that take-home pay goes to this basket here, in education. 20 percent goes to a basket that is a combination of alcohol, tobacco, sugary drinks -- and prostitution and festivals. If you just take four percentage points and put it into this basket, you would have a transformative effect.
Prinsip kedua dari “Separuh Langit” adalah, marilah kita mengesampingkan apa yang benar dan apa yang salah. Dan hanya pada tingkatan praktis, kita berpikir bahwa salah satu jalan yang terbaik untuk memerangi kemiskinan dan melawan terorisme adalah dengan mendidik anak-anak perempuan dan mendorong para perempuan untuk bekerja. Kemiskinan, misalnya, Ada tiga alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, kelebihan penduduk yang terus-menerus menjadi salah satu penyebab kemiskinan Dan tahukah Anda, ketika Anda mendidik seorang anak laki-laki keluarganya cenderung memiliki anak yg lebih sedikit tetapi tidak begitu signifikan. Ketika Anda mendidik seorang anak perempuan, ia cenderung memiliki anak yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Alasan kedua ada hubungannya dengan pengeluaran Ini semacam rahasia busuk dari kemiskinan, yaitu, orang miskin tidak hanya memperoleh pendapatan yang sangat sedikit, tetapi juga, pendapatan yang mereka peroleh tidak digunakan secara bijaksana. Dan sayangnya, sebagian besar pengeluaran dilakukan oleh para lelaki. Jadi, penelitian telah menunjukkan, jika Anda melihat orang-orang yang hidup di bawah dua dolar per hari -- satu indikator kemiskinan -- dua persen dari pendapatan masuk ke keranjang ini, yaitu pendidikan 20 persen masuk ke keranjang yang merupakan kombinasi dari alkohol, tembakau, minuman manis dan prostitusi dan pesta. Jika Anda hanya mengambil empat persen dan memasukkannya ke dalam keranjang pendidikan Anda akan memperoleh efek yang transformatif.
The last reason has to do with women being part of the solution, not the problem. You need to use scarce resources. It's a waste of resources if you don't use someone like Dai Manju. Bill Gates put it very well when he was traveling through Saudi Arabia. He was speaking to an audience much like yourselves. However, two-thirds of the way there was a barrier. On this side was men, and then the barrier, and this side was women. And someone from this side of the room got up and said, "Mr. Gates, we have here as our goal in Saudi Arabia to be one of the top 10 countries when it comes to technology. Do you think we'll make it?" So Bill Gates, as he was staring out at the audience, he said, "If you're not fully utilizing half the resources in your country, there is no way you will get anywhere near the top 10." So here is Bill of Arabia.
Alasan terakhir ada hubungannya dengan perempuan yang menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Anda perlu menggunakan sumber daya yang langka. Ini adalah pemborosan sumber daya jika Anda tidak menggunakan seseorang seperti Dai Manju. Bill Gates menuturkannya dengan sangat tepat ketika dia sedang bepergian ke Arab Saudi. Dia berbicara kepada penonton seperti kalian. Namun, ada penghalang pada sepertiga bagian panggung di belakang. Di sisi sebelah sini adalah laki-laki, dan kemudian penghalang, dan di sisi lainnya adalah wanita. Dan seseorang dari sisi laki-laki berdiri dan berkata, "Pak Gates, kami di sini ingin menjadikan Arab Saudi sebagai salah satu dari 10 negara teratas di bidang teknologi. Menurut Anda, apakah kami akan mencapainya? Bill Gates, sambil menatap ke penonton, dia berkata, "Jika Anda tidak sepenuhnya memanfaatkan setengah dari sumber daya di negara Anda, tidak mungkin Anda dapat mendekati 10 besar." Jadi ini adalah Bill dari Arab.
(Laughter)
(Tawa)
So what would some of the specific challenges look like? I would say, on the top of the agenda is sex trafficking. And I'll just say two things about this. The slavery at the peak of the slave trade in the 1780s: there were about 80,000 slaves transported from Africa to the New World. Now, modern slavery: according to State Department rough statistics, there are about 800,000 -- 10 times the number -- that are trafficked across international borders. And that does not even include those that are trafficked within country borders, which is a substantial portion. And if you look at another factor, another contrast, a slave back then is worth about $40,000 in today's money. Today, you can buy a girl trafficked for a few hundred dollars, which means she's actually more disposable. But you know, there is progress being made in places like Cambodia and Thailand. We don't have to expect a world where girls are bought and sold or killed.
Jadi seperti apakah tantangan-tantangan yang spesifik itu? Saya rasa, di agenda paling atas adalah perdagangan seks. Dan saya akan mengatakan dua hal tentang ini. Pada saat puncak perdagangan budak di tahun 1780: ada sekitar 80.000 budak yang diangkut dari Afrika ke Dunia Baru. Sekarang, perbudakan modern: menurut perkiraan statistik Departemen Luar Negeri, terdapat sekitar 800.000 -- 10 kali dari angka tadi -- orang yang diperdagangkan melintasi perbatasan internasional. Dan itu tidak termasuk mereka yang diperdagangkan di dalam negeri, yang jumlahnya cukup banyak. Dan jika Anda melihat faktor lain, perbedaan lain, budak saat itu bernilai sekitar $40.000 dalam uang sekarang. Sekarang, Anda bisa membeli seorang gadis yang diperdagangkan senilai beberapa ratus dolar yang berarti dia sebenarnya lebih gampang dibuang. Tapi tahukah Anda, kita bisa melihat kemajuan di tempat-tempat seperti Kamboja dan Thailand. Kita tidak perlu lagi mengharapkan dunia di mana anak perempuan dapat dibeli dan dijual atau dibunuh.
The second item on the agenda is maternal mortality. You know, childbirth in this part of the world is a wonderful event. In Niger, one in seven women can expect to die during childbirth. Around the world, one woman dies every minute and a half from childbirth. You know, it's not as though we don't have the technological solution, but these women have three strikes against them: they are poor, they are rural and they are female. You know, for every woman who does die, there are 20 who survive but end up with an injury. And the most devastating injury is obstetric fistula. It's a tearing during obstructed labor that leaves a woman incontinent.
Poin kedua dalam agenda ini adalah kematian ibu. Tahukah Anda, kelahiran anak di tempat ini adalah momen yang luar biasa. Di Niger, satu dari tujuh perempuan diperkirakan meninggal saat melahirkan. Di seluruh dunia, satu perempuan meninggal setiap menit dan setengahnya meninggal karena melahirkan. Tahukah Anda, hal tersebut bukan seperti kita tidak memiliki solusi teknologi, tetapi perempuan-perempuan ini memiliki tiga serangan terhadap mereka: mereka miskin, mereka orang desa dan mereka adalah perempuan. Tahukah Anda, untuk setiap wanita yang meninggal, ada 20 orang yang dapat bertahan hidup tetapi berakhir dengan cedera. Dan cedera paling dahsyat adalah fistula obstetrik. Ini adalah perobekan yang terjadi pada persalinan yang terhambat yang membuat seorang wanita menderita pertarakan.
Let me tell you about Mahabuba. She lives in Ethiopia. She was married against her will at age 13. She got pregnant, ran to the bush to have the baby, but you know, her body was very immature, and she ended up having obstructed labor. The baby died, and she ended up with a fistula. So that meant she was incontinent; she couldn't control her wastes. In a word, she stank. The villagers thought she was cursed; they didn't know what to do with her. So finally, they put her at the edge of the village in a hut. They ripped off the door so that the hyenas would get her at night. That night, there was a stick in the hut. She fought off the hyenas with that stick. And the next morning, she knew if she could get to a nearby village where there was a foreign missionary, she would be saved. Because she had some damage to her nerves, she crawled all the way -- 30 miles -- to that doorstep, half dead. The foreign missionary opened the door, knew exactly what had happened, took her to a nearby fistula hospital in Addis Ababa, and she was repaired with a 350-dollar operation. The doctors and nurses there noticed that she was not only a survivor, she was really clever, and they made her a nurse. So now, Mahabuba, she is saving the lives of hundreds, thousands, of women. She has become part of the solution, not the problem. She's moved out of a vicious cycle and into a virtuous cycle.
Saya akan bercerita tentang Mahabuba. Dia tinggal di Ethiopia. Dia menikah diluar kehendaknya di usia 13 tahun. Dia hamil, melarikan diri ke semak-semak untuk melahirkan, tapi Anda tahu, tubuhnya belum matang, dan dia akhirnya mengalami komplikasi persalinan. Bayi itu meninggal, dan dia akhirnya mempunyai fistula. Itu berarti dia menderita pertarakan; dia tidak bisa mengendalikan kotorannya. Singkat kata, tubuhnya berbau busuk. Orang-orang kampung mengira dirinya terkutuk; mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, mereka menempatkannya di pinggir desa di sebuah gubuk. Mereka merobek pintunya sehingga dubuk-dubuk liar akan menyerangnya di malam hari. Pada malam itu, dia menemukan tongkat di gubuk tersebut. Dia berjuang untuk melawan dubuk tersebut dengan tongkat itu. Dan keesokan harinya, dia tahu jika dia bisa pergi ke sebuah desa di dekatnya di mana ada misionaris asing dia akan diselamatkan. Karena dia menderita beberapa kerusakan pada syarafnya, dia merangkak sepanjang perjalanannya -- 30 mil (48.2 km) -- ke depan sebuah pintu, hampir meninggal. Seorang misionaris asing membukakannya pintu, tahu persis apa yang terjadi, membawanya ke rumah sakit fistula terdekat di Addis Ababa, dan dia dioperasi dengan biaya 350 dolar. Para dokter dan perawat di sana menyadari bahwa dia tidak hanya bisa bertahan, dia sangat pintar, dan mereka menjadikannya seorang perawat. Sekarang, Mahabuba menyelamatkan nyawa dan ratusan, ribuan wanita. Dia telah menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Dia keluar dari lingkaran setan dan masuk ke dalam lingkaran yang baik.
I've talked about some of the challenges, let me talk about some of the solutions, and there are predictable solutions. I've hinted at them: education and also economic opportunity. So of course, when you educate a girl, she tends to get married later on in life, she tends to have kids later on in life, she tends to have fewer kids, and those kids that she does have, she educates them in a more enlightened fashion. With economic opportunity, it can be transformative.
Saya telah berbicara tentang beberapa tantangan, sekarang saya ingin bicara tentang beberapa solusi, dan ini adalah solusi yang dapat diprediksi. Saya telah menunjukkan beberapa di antaranya: pendidikan dan juga kesempatan ekonomi. Jadi tentu saja, ketika Anda mendidik anak perempuan, dia kemungkinan besar akan menikah lalu cenderung untuk memiliki anak kemudian, dia cenderung memiliki anak yang lebih sedikit dan anak-anak tersebut akan dididik dengan cara yang lebih baik. Kesempatan ekonomi memungkinkan terjadinya perubahan.
Let me tell you about Saima. She lives in a small village outside Lahore, Pakistan. And at the time, she was miserable. She was beaten every single day by her husband, who was unemployed. He was kind of a gambler type -- and unemployable, therefore -- and took his frustrations out on her. Well, when she had her second daughter, her mother in-law told her son, "I think you'd better get a second wife. Saima's not going to produce you a son." This is when she had her second daughter. At the time, there was a microlending group in the village that gave her a 65-dollar loan. Saima took that money, and she started an embroidery business. The merchants liked her embroidery; it sold very well, and they kept asking for more. And when she couldn't produce enough, she hired other women in the village. Pretty soon she had 30 women in the village working for her embroidery business. And then, when she had to transport all of the embroidery goods from the village to the marketplace, she needed someone to help her do the transport, so she hired her husband. So now they're in it together. He does the transportation and distribution, and she does the production and sourcing. And now they have a third daughter, and the daughters, all of them, are being tutored in education because Saima knows what's really important.
Saya akan bercerita tentang Saima. Dia tinggal di sebuah desa kecil di luar Lahore, Pakistan. Dan pada waktu itu, dia sangat menyedihkan. Dia dipukuli setiap hari oleh suaminya, yang seorang pengangguran. Suaminya adalah penjudi -- dan tidak dapat bekerja, sehingga -- dan melampiaskan rasa frustasi kepadanya Nah, ketika dia melahirkan putri keduanya, ibu mertuanya berkata kepada anak lelakinya, "Saya pikir lebih baik kamu mencari istri kedua. Saima tidak akan memberikanmu anak laki-laki." Ini terjadi pada saat dia memiliki putri keduanya. Ketika itu, terdapat suatu kelompok pemberi pinjaman mikro di desanya yang memberikan pinjaman kepadanya sebesar 65 dolar. Saima mengambil uang itu, dan dia memulai bisnis bordir. Para pedagang menyukai bordirnya; sehingga laris terjual, dan mereka terus memesan produknya dengan jumlah yang lebih banyak. Dan ketika dia tidak bisa memenuhi permintaan mereka, dia menyewa perempuan lain di desanya. Tak lama kemudian, 30 perempuan di desa tersebut bekerja untuk bisnis bordirnya. Dan kemudian, ketika dia harus mengangkut semua barang bordir dari desa ke pasar, ia membutuhkan seseorang untuk membantunya mengangkut barang-barangnya, sehingga dia mempekerjakan suaminya. Sekarang mereka bekerjasama dalam bisnis itu. Suaminya mengelola transportasi dan distribusi, dan dia mengelola produksi dan pembelian barang. Dan sekarang mereka memiliki putri ketiga, dan putri-putrinya, semuanya, mendapat pendidikan karena Saima tahu apa yang benar-benar penting.
Which brings me to the final element, which is education. Larry Summers, when he was chief economist at the World Bank, once said that, "It may well be that the highest return on investment in the developing world is in girls' education." Let me tell you about Beatrice Biira. Beatrice was living in Uganda near the Congo border, and like Dai Manju, she didn't go to school. Actually, she had never been to school, not to a lick, one day. Her parents, again, said, "Why should we spend the money on her? She's going to spend most of her life lugging water back and forth." Well, it just so happens, at that time, there was a group in Connecticut called the Niantic Community Church Group in Connecticut. They made a donation to an organization based in Arkansas called Heifer International. Heifer sent two goats to Africa. One of them ended up with Beatrice's parents, and that goat had twins. The twins started producing milk. They sold the milk for cash. The cash started accumulating, and pretty soon the parents said, "You know, we've got enough money. Let's send Beatrice to school." So at nine years of age, Beatrice started in first grade -- after all, she'd never been to a lick of school -- with a six year-old. No matter, she was just delighted to be in school. She rocketed to the top of her class. She stayed at the top of her class through elementary school, middle school, and then in high school, she scored brilliantly on the national examinations so that she became the first person in her village, ever, to come to the United States on scholarship. Two years ago, she graduated from Connecticut College. On the day of her graduation, she said, "I am the luckiest girl alive because of a goat." (Laughter) And that goat was $120.
Ini membawa saya ke elemen terakhir, yaitu pendidikan. Larry Summers, ketika dia menjadi kepala ekonom di Bank Dunia, pernah berkata bahwa, "Kemungkinan, laba tertinggi atas investasi di negara berkembang adalah di bidang pendidikan anak perempuan." Saya akan bercerita tentang Beatrice Biira. Beatrice tinggal di Uganda dekat perbatasan Kongo, dan seperti Dai Manju, dia tidak pergi ke sekolah. Sebenarnya, dia sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di sekolah. Orangtuanya, lagi-lagi, berkata, "Mengapa kita harus menghabiskan uang untuk dirinya? Dia akan menghabiskan sebagian besar hidupnya mengangkat air dari satu tempat ke tempat lain." Kebetulan, pada waktu itu, terdapat suatu komunitas di Connecticut yaitu “Komunitas Gereja Niantic di Connecticut”. Mereka memberikan sumbangan untuk sebuah organisasi yang berbasis di Arkansas yaitu Heifer International. Heifer mengirimkan dua kambing ke Afrika. Salah satunya diberikan kepada orang tua Beatrice. Dan kambing tersebut melahirkan kambing kembar. Kambing kembar tersebut mulai memproduksi susu. Mereka menjual susu untuk mendapatkan uang. Uang tersebut mulai bertambah, dan orang tuanya segera berkata, "Kau tahu, kita sudah punya cukup uang. Mari kita daftarkan Beatrice ke sekolah." Jadi pada usia sembilan tahun, Beatrice masuk ke kelas 1 SD -- bagaimanapun juga, dia tidak pernah menginjak kakinya ke sekolah -- dengan anak-anak umur enam tahun. Tidak masalah, dia hanya senang berada di sekolah. Prestasinya naik ke puncak di kelasnya. Dia menjadi murid yang sangat berprestasi di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan kemudian di SMA dia mendapat nilai cemerlang di ujian nasional, sehingga dia menjadi orang pertama di desanya, yang pergi ke Amerika Serikat dengan beasiswa. Dua tahun lalu, dia lulus dari Connecticut College. Pada hari kelulusannya, Dia berkata, "Akulah gadis yang paling beruntung karena seekor kambing." (Tawa) Dan kambing itu senilai $120.
So you see how transformative little bits of help can be. But I want to give you a reality check. Look: U.S. aid, helping people is not easy, and there have been books that have criticized U.S. aid. There's Bill Easterly's book. There's a book called "Dead Aid." You know, the criticism is fair; it isn't easy. You know, people say how half of all water well projects, a year later, are failed. When I was in Zimbabwe, we were touring a place with the village chief -- he wanted to raise money for a secondary school -- and there was some construction a few yards away, and I said, "What's that?" He sort of mumbled. Turns out that it's a failed irrigation project. A few yards away was a failed chicken coop. One year, all the chickens died, and no one wanted to put the chickens in there. It's true, but we think that you don't through the baby out with the bathwater; you actually improve. You learn from your mistakes, and you continuously improve.
Jadi, Anda telah melihat bagaimana transformatifnya bantuan-bantuan dalam bentuk kecil. Tetapi saya ingin memberikan kenyataan yang sesungguhnya. Begini: bantuan AS, membantu orang bukanlah hal yang mudah. Dan ada buku yang mengkritik bantuan AS. Ada buku dari Bill Easterly. Ada sebuah buku yang berjudul "Bantuan Mati." Anda tahu, kritik adalah wajar, hal itu tidak mudah. Anda tahu, orang-orang berbicara tentang bagaimana setengah dari semua proyek air sumur gagal dalam setahun. Ketika saya masih di Zimbabwe, kami berjalan-jalan ke suatu tempat dengan kepala desa -- ia ingin mengumpulkan uang untuk sekolah menengah -- dan ada beberapa bangunan beberapa meter jauhnya, dan saya berkata, "Apa itu?" Dia seperti bergumam. Ternyata itu adalah proyek irigasi yang gagal. Beberapa meter dari sana juga terdapat kandang ayam yang gagal. Dalam jangka waktu satu tahun, semua ayam mati, dan tak seorang pun ingin meletakkan ayam di sana. Memang benar, namun kami berpikir bahwa Anda tidak membuang sesuatu yang berharga hanya karena suatu hal yang gagal Anda benar-benar harus memperbaikinya. Anda belajar dari kesalahan Anda, dan Anda terus-menerus memperbaikinya
We also think that individuals can make a difference, and they should, because individuals, together, we can all help create a movement. And a movement of men and women is what's needed to bring about social change, change that will address this great moral challenge. So then, I ask, what's in it for you? You're probably asking that. Why should you care? I will just leave you with two things. One is that research shows that once you have all of your material needs taken care of -- which most of us, all of us, here in this room do -- research shows that there are very few things in life that can actually elevate your level of happiness. One of those things is contributing to a cause larger than yourself.
Kami juga berpikir bahwa setiap individu dapat membawa perubahan, dan mereka harus, karena setiap individu, bersama-sama, kita semua dapat membantu menciptakan suatu gerakan. Dan gerakan laki-laki dan perempuan merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk menciptakan perubahan sosial, perubahan yang akan mengatasi tantangan moral yang besar ini. Sekarang saya ingin bertanya, Apa keuntungannya bagi Anda? Anda mungkin bertanya itu. Mengapa Anda harus peduli? Saya hanya akan memberikan dua hal. Salah satunya adalah penelitian yang menunjukkan bahwa setelah Anda memiliki semua bahan kebutuhan pokok -- yang kebanyakan dari kita, kita semua, dalam ruangan ini, telah memilikinya -- penelitian menunjukkan bahwa terdapat sedikit hal dalam kehidupan ini yang sesungguhnya mampu mengangkat tingkat kebahagiaan Anda. Salah satunya adalah memberikan kontribusi terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri Anda sendiri
And the second thing, it's an anecdote that I'll leave you with. And that is the story of an aid worker in Darfur. Here was a woman who had worked in Darfur, seeing things that no human being should see. Throughout her time there, she was strong, she was steadfast. She never broke down. And then she came back to the United States and was on break, Christmas break. She was in her grandmother's backyard, and she saw something that made her break down in tears. What that was was a bird feeder. And she realized that she had the great fortune to be born in a country where we take security for granted, where we not only can feed, clothe and house ourselves, but also provide for wild birds so they don't go hungry in the winter. And she realized that with that great fortune comes great responsibility. And so, like her, you, me, we have all won the lottery of life. And so the question becomes: how do we discharge that responsibility?
Dan hal kedua. Ini adalah sebuah anekdot yang akan saya berikan kepada Anda. Dan ini adalah kisah seorang pekerja amal di Darfur. Inilah seorang wanita yang pernah bekerja di Darfur. yang pernah melihat peristiwa yang tidak patut dilihat oleh orang lain. Sepanjang waktunya di sana, dia kuat, dia tabah. Dia tidak pernah merasa sedih. Dan kemudian dia kembali ke Amerika Serikat untuk berlibur, liburan Natal. Dia sedang berada di halaman belakang rumah neneknya, dan dia melihat sesuatu yang membuatnya menangis. Hal itu adalah tempat makanan burung. Dan dia menyadari bahwa dia sangat beruntung karena dilahirkan di negara di mana kita diberikan perlindungan, di mana kita tidak hanya dapat makan, berpakaian, dan berlindung di rumah kita sendiri, tetapi kita juga dapat memberikan makanan untuk burung liar sehingga mereka tidak kelaparan di musim dingin. Dan dia menyadari bahwa semakin besarnya keberuntungan yang kita dapat, muncul tanggung jawab yang lebih besar. Maka, seperti dia, Anda, saya, kita semua telah memenangkan lotre kehidupan. Dan pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa melaksanakan tanggung jawab itu?
So, here's the cause. Join the movement. Feel happier and help save the world.
Jadi inilah yang bisa kita lakukan. Bergabunglah dengan gerakan. Berbahagialah dan bantulah untuk menyelamatkan dunia.
Thank you very much.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)