So when I was in Morocco, in Casablanca, not so long ago, I met a young unmarried mother called Faiza. Faiza showed me photos of her infant son and she told me the story of his conception, pregnancy, and delivery.
Ketika saya di Maroko, di Casablanca, beberapa waktu yang lalu, Saya bertemu dengan seorang ibu yang belum menikah bernama Faiza. Faiza menunjukkan foto bayi laki-lakinya dan dia bercerita tentang masa kehamilan dan melahirkannya.
It was a remarkable tale, but Faiza saved the best for last. "You know, I am a virgin," she told me. "I have two medical certificates to prove it."
Sebuah kisah yang luar biasa, tapi Faiza menyimpan yang terbaik di akhir. "Anda tahu, saya seorang perawan," katanya. "Saya punya dua sertifikat medis untuk membuktikannya."
This is the modern Middle East, where two millennia after the coming of Christ, virgin births are still a fact of life.
Ini adalah Timur Tengah masa kini, dua milenia setelah kelahiran Kristus, perawan melahirkan masih merupakan fakta kehidupan.
Faiza's story is just one of hundreds I've heard over the years, traveling across the Arab region talking to people about sex. Now, I know this might sound like a dream job, or possibly a highly dubious occupation,
Cerita Faiza hanya salah satu dari ratusan cerita yang pernah saya dengar selama bertahun-tahun mengunjungi negara-negara Arab, berbicara tentang seks kepada orang-orang. Nah, saya tahu kedengarannya seperti saya punya pekerjaan idaman, atau mungkin pekerjaan yang sangat rancu,
but for me, it's something else altogether. I'm half Egyptian, and I'm Muslim. But I grew up in Canada, far from my Arab roots.
tapi bagi saya, sama sekali tidak begitu halnya. Saya setengah Mesir, dan saya seorang Muslim. Tapi saya besar di Kanada, jauh dari akar Arab saya.
Like so many who straddle East and West, I've been drawn, over the years, to try to better understand my origins. That I chose to look at sex comes from my background in HIV/AIDS, as a writer and a researcher and an activist. Sex lies at the heart of an emerging epidemic in the Middle East and North Africa, which is one of only two regions in the world where HIV/AIDS is still on the rise.
Seperti banyak orang yang menjangkau ke Timur dan Barat, selama bertahun-tahun saya menjadi tertarik untuk mencoba lebih memahami asal-usul saya. Bahwa saya memilih untuk mempelajari seks, bermula dari latar belakang saya di bidang HIV/AIDS, sebagai seorang penulis, peneliti, dan aktivis. Seks adalah jantung dari wabah yang muncul di Timur Tengah dan Afrika Utara, yang merupakan satu dari dua wilayah di dunia dimana tingkat HIV/AIDS-nya masih meningkat.
Now sexuality is an incredibly powerful lens with which to study any society, because what happens in our intimate lives is reflected by forces on a bigger stage: in politics and economics, in religion and tradition, in gender and generations. As I found, if you really want to know a people, you start by looking inside their bedrooms.
Sekarang seksualitas merupakan lensa yang sangat berguna untuk mempelajari masyarakat manapun, karena apa yang terjadi dalam kehidupan intim kita direfleksikan oleh berbagai kekuatan dalam panggung yang lebih besar: dalam politik dan ekonomi, dalam agama dan tradisi, dalam gender dan generasi. Saya menemukan bahwa, jika kita ingin mengenal betul seseorang, kita harus mulai dengan melihat kamar tidurnya.
Now to be sure, the Arab world is vast and varied. But running across it are three red lines -- these are topics you are not supposed to challenge in word or deed.
Nah Anda harus tahu, dunia Arab sangat luas dan beragam. Tapi melintas di dalamnya ada tiga garis merah -- ini adalah topik-topik yang tidak boleh Anda ragukan, baik dalam perkataan atau perbuatan.
The first of these is politics. But the Arab Spring has changed all that, in uprisings which have blossomed across the region since 2011. Now while those in power, old and new, continue to cling to business as usual, millions are still pushing back, and pushing forward to what they hope will be a better life.
Yang pertama adalah politik. Tapi Arab Spring sudah mengubahnya, melalui pergolakan yang bersemi di Timur Tengah sejak 2011. Sementara orang-orang yang berkuasa, baik penguasa lama maupun baru, melanjutkan pekerjaan seperti biasa, jutaan orang masih melawan, dan mendorong maju untuk sesuatu yang mereka harap dapat menjadi kehidupan yang lebih baik.
That second red line is religion. But now religion and politics are connected, with the rise of such groups as the Muslim Brotherhood. And some people, at least, are starting to ask questions about the role of Islam in public and private life.
Garis merah kedua adalah agama. Tapi sekarang, agama dan politik saling berhubungan, dengan kebangkitan kelompok-kelompok seperti Muslim Brotherhood. Dan setidaknya beberapa orang, mulai mengajukan pertanyaan mengenai peranan Islam dalam kehidupan publik dan pribadi.
You know, as for that third red line, that off-limits subject, what do you think it might be?
Anda tahu, garis merah yang ketiga, topik tabu itu, menurut Anda apakah itu?
Audience: Sex.
Hadirin: Seks.
Shereen El Feki: Louder, I can't hear you.
Shereen El Feki: Lebih keras, saya tidak bisa dengar.
Audience: Sex.
Hadirin: Seks.
SEF: Again, please don't be shy.
SEF: Lagi, jangan malu-malu.
Audience: Sex.
Hadirin: Seks.
SEF: Absolutely, that's right, it's sex. (Laughter) Across the Arab region, the only accepted context for sex is marriage -- approved by your parents, sanctioned by religion and registered by the state. Marriage is your ticket to adulthood. If you don't tie the knot, you can't move out of your parents' place, and you're not supposed to be having sex, and you're definitely not supposed to be having children.
SEF: Tepat sekali, betul. Seks. (Tertawa) Sepanjang wilayah Arab, satu-satunya konteks dimana seks dapat diterima adalah pernikahan -- yang disetujui oleh orang tua Anda, diteguhkan oleh agama, dan dicatat oleh negara. Pernikahan adalah tiket Anda menuju kedewasaan. Jika Anda tidak menikah, Anda tidak bisa keluar dari rumah orang tua Anda, dan Anda tidak boleh berhubungan seks, dan Anda sudah tentu tidak boleh memiliki anak.
It's a social citadel; it's an impregnable fortress which resists any assault, any alternative. And around the fortress is this vast field of taboo against premarital sex, against condoms, against abortion, against homosexuality, you name it.
Ini adalah sebuah benteng sosial; benteng yang tidak bisa dijatuhkan yang menahan semua serangan, alternatif apapun. Dan di sekeliling benteng itu adalah ladang luas tabu melawan seks sebelum menikah, melawan kondom, melawan aborsi, melawan homoseksualitas, sebut saja.
Faiza was living proof of this. Her virginity statement was not a piece of wishful thinking. Although the major religions of the region extoll premarital chastity, in a patriarchy, boys will be boys. Men have sex before marriage, and people more or less turn a blind eye.
Faiza adalah saksi hidupnya. Pernyataannya tentang keperawanannya bukanlah angan-angan semata. Walaupun agama-agama mayoritas di Timur Tengah mendewakan kesucian pra-nikah, dalam dunia patriarki, laki-laki tetaplah laki-laki. Laki-laki berhubungan seks sebelum menikah, dan orang-orang pura-pura tidak tahu.
Not so for women, who are expected to be virgins on their wedding night -- that is, to turn up with your hymen intact. This is not a question of individual concern, this is a matter of family honor, and in particular, men's honor.
Namun tidak demikian bagi perempuan, yang diharapkan masih perawan waktu malam pertama mereka -- yaitu, selaput daranya harus masih utuh. Ini bukan masalah pribadi, ini adalah masalah kehormatan keluarga, dan khususnya, kehormatan lelaki.
And so women and their relatives will go to great lengths to preserve this tiny piece of anatomy -- from female genital mutilation, to virginity testing, to hymen repair surgery.
Sehingga para wanita dan keluarganya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga bagian tubuh yang kecil ini -- dari mutilasi kemaluan wanita, hingga tes keperawanan, hingga operasi perbaikan selaput dara.
Faiza chose a different route: non-vaginal sex. Only she became pregnant all the same. But Faiza didn't actually realize this, because there's so little sexuality education in schools, and so little communication in the family.
Faiza memilih jalan yang berbeda: seks non-vaginal. Namun dia tetap saja hamil. Tapi Faiza sebelumnya tidak menyadari ini, karena pendidikan seks di sekolah sangat minim, dan komunikasi di keluarga juga sangat sedikit.
When her condition became hard to hide, Faiza's mother helped her flee her father and brothers. This is because honor killings are a real threat for untold numbers of women in the Arab region. And so when Faiza eventually fetched up at a hospital in Casablanca, the man who offered to help her, instead tried to rape her.
Ketika kondisinya tak lagi bisa disembunyikan, ibunya membantunya melarikan diri dari ayah dan abang-abangnya. Ini karena membunuh demi kehormatan adalah ancaman nyata bagi banyak wanita yang tak diketahui jumlahnya di negara-negara Arab. Dan ketika Faiza akhirnya sampai di sebuah rumah sakit di Casablanca, lelaki yang tadinya menawarkan untuk membantunya, malah mencoba memperkosanya.
Sadly, Faiza is not alone. In Egypt, where my research is focused, I have seen plenty of trouble in and out of the citadel. There are legions of young men who can't afford to get married, because marriage has become a very expensive proposition. They are expected to bear the burden of costs in married life, but they can't find jobs. This is one of the major drivers of the recent uprisings, and it is one of the reasons for the rising age of marriage in much of the Arab region.
Sedihnya, Faiza bukan satu-satunya. Di Mesir, di mana saya memfokuskan riset saya, saya sudah melihat begitu banyak masalah baik di luar maupun di dalam benteng ini. Ada pasukan-pasukan laki-laki muda yang tidak mampu menikah, karena pernikahan sudah menjadi sesuatu yang sangat mahal. Mereka diharapkan memanggul beban biaya kehidupan setelah menikah, namun mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Ini adalah salah satu penyebab utama pergolakan baru-baru ini, dan ini adalah salah satu alasan kenapa umur pernikahan menjadi semakin meningkat di banyak negara-negara Arab.
There are career women who want to get married, but can't find a husband, because they defy gender expectations, or as one young female doctor in Tunisia put it to me, "The women, they are becoming more and more open. But the man, he is still at the prehistoric stage."
Ada wanita-wanita karir yang ingin menikah, tapi tidak bisa menemukan calon suami, karena mereka menentang ekspektasi gender, atau seperti yang dikatakan seorang dokter perempuan di Tunisia pada saya, "Para wanita menjadi semakin terbuka. Tapi para pria, mereka masih di tahap pra-sejarah."
And then there are men and women who cross the heterosexual line, who have sex with their own sex, or who have a different gender identity. They are on the receiving end of laws which punish their activities, even their appearance. And they face a daily struggle with social stigma, with family despair, and with religious fire and brimstone.
Dan lalu ada pria dan wanita yang melanggar garis heteroseksual, yang berhubungan seks dengan sesama jenis, atau yang memiliki identitas gender yang berbeda. Mereka ada pada sisi berlawanan dari hukum yang menghukum aktivitas mereka, bahkan penampilan mereka. Dan mereka berjuang setiap hari menghadapi stigma sosial, dan keputusasaan keluarga, dan kemarahan Tuhan karena mendustai agama.
Now, it's not as if it's all rosy in the marital bed either. Couples who are looking for greater happiness, greater sexual happiness in their married lives, but are at a loss of how to achieve it, especially wives, who are afraid of being seen as bad women if they show some spark in the bedroom.
Nah, bukannya dalam pernikahan semuanya berbunga-bunga dan indah. Pasangan yang ingin lebih berbahagia, lebih bahagia secara seksual dalam kehidupan rumah tangga mereka, tapi tidak tahu bagaimana mencapainya, terutama para istri, yang takut dipandang sebagai wanita nakal jika mereka menunjukkan ketertarikan di kamar tidur.
And then there are those whose marriages are actually a veil for prostitution. They have been sold by their families, often to wealthy Arab tourists. This is just one face of a booming sex trade across the Arab region.
Dan ada juga yang pernikahannya sebenarnya adalah kedok untuk prostitusi. Mereka dijual oleh keluarganya, seringkali kepada turis Arab yang kaya. Ini hanya salah satu wujud perdagangan seks yang merajalela di sepanjang wilayah Arab.
Now raise your hand if any of this is sounding familiar to you, from your part of the world. Yeah. It's not as if the Arab world has a monopoly on sexual hangups.
Sekarang angkat tangan jika yang saya ceritakan ini tidak asing di telinga Anda, di bagian dunia tempat Anda berasal. Ya. Bukannya dunia Arab memonopoli masalah ketabuan seksual.
And although we don't yet have an Arab Kinsey Report to tell us exactly what's happening inside bedrooms across the Arab region, It's pretty clear that something is not right. Double standards for men and women, sex as a source of shame, family control limiting individual choices, and a vast gulf between appearance and reality: what people are doing and what they're willing to admit to, and a general reluctance to move beyond private whispers to a serious and sustained public discussion.
Dan walaupun kita belum mempunyai Laporan Kinsey Arab untuk memberitahu kita apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar tidur di negara-negara Arab, cukup jelas ada sesuatu yang salah. Standar ganda untuk pria dan wanita, seks sebagai sumber aib, kontrol keluarga membatasi pilihan individual, dan jurang pemisah antara penampilan dan realitas: apa yang dilakukan orang-orang dan apa yang mereka akui, dan keberatan umum publik untuk membahas isu ini dari berbisik-bisik menjadi diskusi umum yang serius dan berkesinambungan.
As one doctor in Cairo summed it up for me, "Here, sex is the opposite of sport. Football, everybody talks about it, but hardly anyone plays. But sex, everybody is doing it, but nobody wants to talk about it." (Laughter)
Seorang dokter di Kairo menyimpulkannya untuk saya, "Di sini, seks adalah kebalikan dari olahraga. Semua orang membicarakan tentang sepakbola, tapi hampir tidak ada yang main sepakbola. Tapi seks, semua orang melakukannya, tapi tidak ada yang mau membicarakannya." (Tertawa)
(Music) (In Arabic)
(Musik) (Bahasa Arab)
SEF: I want to give you a piece of advice, which if you follow it, will make you happy in life.
SEF: Saya ingin memberi Anda sepenggal nasehat, yang kalau Anda ikuti, akan membuat hidup Anda bahagia.
When your husband reaches out to you, when he seizes a part of your body, sigh deeply and look at him lustily.
Ketika suami Anda menyentuh Anda, ketika dia menjamah bagian tubuh Anda, mendesahlah dengan dalam dan tataplah dia dengan bergairah.
When he penetrates you with his penis, try to talk flirtatiously and move yourself in harmony with him.
Ketika dia memasuki Anda dengan penisnya, cobalah untuk berbicara menggoda dan gerakkan tubuh Anda senada dengannya.
Hot stuff! And it might sound that these handy hints come from "The Joy of Sex" or YouPorn. But in fact, they come from a 10th-century Arabic book called "The Encyclopedia of Pleasure," which covers sex from aphrodisiacs to zoophilia, and everything in between.
Seksi sekali! Dan mungkin tips ini terdengar seakan berasal dari video "Kenikmatan Seks" atau situs porno. Tapi sebenarnya, semua ini berasal dari sebuah buku Arab di abad ke-10 berjudul "Ensiklopedia Kenikmatan," yang mencakup seks, mulai dari obat perangsang hingga seks dengan hewan, dan berbagai hal di antaranya.
The Encyclopedia is just one in a long line of Arabic erotica, much of it written by religious scholars. Going right back to the Prophet Muhammad, there is a rich tradition in Islam of talking frankly about sex: not just its problems, but also its pleasures, and not just for men, but also for women. A thousand years ago, we used to have whole dictionaries of sex in Arabic. Words to cover every conceivable sexual feature, position and preference, a body of language that was rich enough to make up the body of the woman you see on this page.
Ensiklopedia ini hanya satu dari daftar panjang literatur erotik Arab, kebanyakan ditulis oleh cendikiawan keagamaan. Di masa Nabi Muhammad, ada tradisi yang kaya dalam Islam untuk berbicara secara gamblang tentang seks: bukan hanya masalah-masalahnya, melainkan juga kenikmatannya, dan bukan hanya untuk pria, melainkan juga untuk wanita. Seribu tahun lalu, kita memiliki kamus lengkap seks dalam bahasa Arab. Kata-kata untuk menggambarkan segala hal yang dapat dibayangkan tentang seks, posisi dan pilihan, sebuah struktur bahasa yang cukup kaya untuk menyusun tubuh wanita yang Anda lihat di halaman ini.
Today, this history is largely unknown in the Arab region. Even by educated people, who often feel more comfortable talking about sex in a foreign language than they do in their own tongue. Today's sexual landscape looks a lot like Europe and America on the brink of the sexual revolution.
Sekarang, sejarah ini tidak diketahui sebagian besar orang di wilayah Arab. Bahkan orang-orang terpelajar, yang biasanya lebih leluasa berbicara mengenai seks dalam bahasa asing daripada menggunakan bahasa mereka sendiri. Kenyataan seksual saat ini amat menyerupai fakta seksual di Eropa dan Amerika pada ambang revolusi seksual.
But while the West has opened on sex, what we found is that Arab societies appear to have been moving in the opposite direction. In Egypt and many of its neighbors, this closing down is part of a wider closing in political, social and cultural thought. And it is the product of a complex historical process, one which has gained ground with the rise of Islamic conservatism since the late 1970s. "Just say no" is what conservatives around the world say to any challenge to the sexual status quo. In the Arab region, they brand these attempts as a Western conspiracy to undermine traditional Arab and Islamic values. But what's really at stake here is one of their most powerful tools of control: sex wrapped up in religion.
Namun ketika Barat bersikap terbuka mengenai seks, kita malah melihat bahwa masyarakat Arab justru bergerak ke arah yang berlawanan. Di Mesir dan banyak negara-negara tetangganya, sikap tertutup ini adalah bagian dari penutupan diri yang lebih luas dalam pemikiran politik, sosial dan budaya. Dan ini adalah hasil dari proses sejarah yang rumit, yang merupakan hasil dari kebangkitan konservatisme Islam sejak akhir tahun 1970-an. "Katakan saja tidak," adalah apa yang dikatakan kelompok konservatif di seluruh dunia kepada setiap tantangan terhadap status quo tentang seks. Di wilayah Arab, mereka mencap tantangan-tantangan ini sebagai konspirasi Barat untuk merusak nilai-nilai tradisional Arab dan Islam. Tapi yang benar-benar dipertaruhkan di sini adalah salah satu alat kontrol mereka yang paling kuat: seks yang dibungkus agama.
But history shows us that even as recently as our fathers' and grandfathers' day, there have been times of greater pragmatism, and tolerance, and a willingness to consider other interpretations: be it abortion, or masturbation, or even the incendiary topic of homosexuality. It is not black and white, as conservatives would have us believe. In these, as in so many other matters, Islam offers us at least 50 shades of gray. (Laughter)
Tapi sejarah menunjukkan pada kita, bahkan tak lama sebelumnya di masa ayah-ayah dan kakek-kakek kita, pernah ada masa dimana ada pragmatisme yang lebih besar, dan toleransi, dan sebuah keinginan untuk mempertimbangkan interpretasi lain: apakah itu aborsi, masturbasi, atau bahkan topik panas homoseksualitas. Ini bukan hitam dan putih, sebagaimana dikatakan kelompok konservatif. Dalam hal ini, seperti dalam banyak hal lainnya, Islam menawarkan setidaknya 50 gradasi abu-abu. (50 Shades of Gray) (Tertawa)
Over my travels, I've met men and women across the Arab region who've been exploring that spectrum -- sexologists who are trying to help couples find greater happiness in their marriages, innovators who are managing to get sexuality education into schools, small groups of men and women, lesbian, gay, transgendered, transsexual, who are reaching out to their peers with online initiatives and real-world support. Women, and increasingly men, who are starting to speak out and push back against sexual violence on the streets and in the home. Groups that are trying to help sex workers protect themselves against HIV and other occupational hazards, and NGOs that are helping unwed mothers like Faiza find a place in society, and critically, stay with their kids.
Sepanjang perjalanan saya, Saya bertemu banyak pria dan wanita di berbagai negara Arab yang sudah mengjelajahi spektrum tersebut -- seksologis yang mencoba untuk menolong pasangan menjadi lebih bahagia dalam pernikahan mereka, inovator yang mencoba memberikan pendidikan seks di sekolah-sekolah, kelompok-kelompok kecil pria dan wanita, lesbian, gay, transgender, transeksual, yang menjangkau rekan-rekan mereka melalui gerakan online dan dukungan nyata. Banyak wanita, dan juga pria, yang mulai berbicara dan melawan kekerasan seksual di jalanan dan di rumah. Kelompok-kelompok yang mencoba membantu pekerja seks melindungi diri mereka dari HIV dan resiko pekerjaan lainnya, dan LSM yang membantu ibu tunggal dan tidak menikah seperti Faiza untuk menemukan tempat di masyarakat, dan yang utama, tinggal bersama anak-anaknya.
Now these efforts are small, they're often underfunded, and they face formidable opposition. But I am optimistic that, in the long run, times are changing, and they and their ideas will gain ground. Social change doesn't happen in the Arab region through dramatic confrontation, beating or indeed baring of breasts, but rather through negotiation.
Nah ini hanyalah upaya-upaya kecil, juga seringkali kekurangan dana, dan mereka menghadapi perlawanan kuat. Tapi saya optimis bahwa dalam jangka panjang, zaman berubah, dan mereka serta ide-ide mereka akan mendapatkan pengakuan. Perubahan sosial tidak terjadi di negara-negara Arab melalui konfrontasi dramatis, pemukulan, atau aksi telanjang dada, tapi melalui negosiasi.
What we're talking here is not about a sexual revolution, but a sexual evolution, learning from other parts of the world, adapting to local conditions, forging our own path, not following one blazed by another. That path, I hope, will one day lead us to the right to control our own bodies, and to access the information and services we need to lead satisfying and safe sexual lives. The right to express our ideas freely, to marry whom we choose, to choose our own partners, to be sexually active or not, to decide whether to have children and when, all this without violence or force or discrimination.
Yang kita bicarakan di sini bukan mengenai revolusi seksual, tapi evolusi seksual, belajar dari belahan dunia lain, mengadaptasikannya pada kondisi lokal, membentuk jalan kita sendiri, bukan mengikuti jalan yang dirintis orang lain. Saya berharap suatu hari nanti, jalan itu akan mebawa kita pada hak untuk mengontrol tubuh kita sendiri dan untuk mengakses informasi dan pelayanan yang kita butuhkan menuju kehidupan seksual yang memuaskan dan aman. Hak untuk mengekspresikan pendapat dengan bebas, untuk menikahi pilihan kita, untuk memilih pasangan kita sendiri, untuk menjadi aktif secara seksual atau tidak, untuk memutuskan untuk memiliki anak dan kapan, semua ini tanpa kekerasan, atau tekanan, atau diskriminasi.
Now we are very far from this across the Arab region, and so much needs to change: law, education, media, the economy, the list goes on and on, and it is the work of a generation, at least.
Sekarang kita masih sangat jauh dari gambaran itu di Arab, dan sangat banyak yang perlu diubah: hukum, pendidikan, media, ekonomi, daftarnya terus bertambah, dan ini butuh satu generasi, setidaknya.
But it begins with a journey that I myself have made, asking hard questions of received wisdoms in sexual life. And it is a journey which has only served to strengthen my faith, and my appreciation of local histories and cultures by showing me possibilities where I once only saw absolutes.
Tapi ini dimulai dengan sebuah perjalanan yang telah saya lakukan sendiri, menanyakan pertanyaan sulit mengenai pengetahuan umum tentang kehidupan seksual. Dan ini adalah perjalanan yang hanya menguatkan iman saya, dan penghargaan saya akan sejarah dan budaya lokal dengan menunjukkan adanya peluang, di mana sebelumnya saya hanya melihat sesuatu yang mutlak.
Now given the turmoil in many countries in the Arab region, talking about sex, challenging the taboos, seeking alternatives might sound like something of a luxury.
Sekarang, dengan adanya gejolak di banyak negara-negara Arab, berbicara tentang seks, menantang tabu yang ada, mencari alternatif, mungkin terdengar berlebihan.
But at this critical moment in history, if we do not anchor freedom and justice, dignity and equality, privacy and autonomy in our personal lives, in our sexual lives, we will find it very hard to achieve in public life.
Tapi pada masa kritis dalam sejarah ini, jika kita tidak memasang jangkar kebebasan dan keadilan, martabat dan kesetaraan, privasi dan otonomi dalam kehidupan pribadi kita, dalam kehidupan seksual kita, Kita juga tidak akan mendapatkannya dalam kehidupan publik.
The political and the sexual are intimate bedfellows, and that is true for us all. no matter where we live and love.
Politik dan seks adalah kawan seranjang yang intim, dan itulah kenyataannya bagi kita semua, dimanapun kita tinggal dan mencintai.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)