Today, I'm going to take you around the world in 18 minutes. My base of operations is in the U.S., but let's start at the other end of the map, in Kyoto, Japan, where I was living with a Japanese family while I was doing part of my dissertational research 15 years ago. I knew even then that I would encounter cultural differences and misunderstandings, but they popped up when I least expected it.
Hari ini, saya akan bawa Anda keliling dunia dalam 18 menit Pusat operasi saya di Amerika Tapi mari kita mulai dari belahan dunia yang lain di Kyoto, Jepang, saya tinggal dengan sebuah keluarga Jepang waktu itu saya sedang menyelesaikan disertasi saya 15 tahun yang lalu. Waktu itu saya tahu akan mengalami kesulitan karena beda budaya dan bahasa, tapi kesulitan itu muncul di saat yang tidak disangka-sangka.
On my first day, I went to a restaurant, and I ordered a cup of green tea with sugar. After a pause, the waiter said, "One does not put sugar in green tea." "I know," I said. "I'm aware of this custom. But I really like my tea sweet." In response, he gave me an even more courteous version of the same explanation. "One does not put sugar in green tea." "I understand," I said, "that the Japanese do not put sugar in their green tea, but I'd like to put some sugar in my green tea." (Laughter) Surprised by my insistence, the waiter took up the issue with the manager. Pretty soon, a lengthy discussion ensued, and finally the manager came over to me and said, "I am very sorry. We do not have sugar." (Laughter) Well, since I couldn't have my tea the way I wanted it, I ordered a cup of coffee, which the waiter brought over promptly. Resting on the saucer were two packets of sugar.
Hari pertama saya di sana, saya pergi ke rumah makan dan memesan secangkir teh hijau manis. Setelah tertegun beberapa saat, pelayannya berkata, "Biasanya teh hijau tidak pakai gula." "Saya tahu." jawab saya. "Saya tahu tentang kebiasaan itu. Tapi saya sedang ingin yang manis." Kemudian dia menjawab dengan nada yang jauh lebih formal tapi intinya sama saja. "Biasanya, gula tidak dicampurkan ke dalam teh hijau." "Iya, saya tahu." Kata saya "orang Jepang tidak mencampur gula dengan teh hijau. tapi saya mau mencampurkan gula ke teh hijau saya." (Suara tawa) Kaget dengan kengototan saya, pelayan itu berkonsultasi dengan manajernya. Selang beberapa saat, terjadi diskusi panjang, sebelum akhirnya sang manajer datang dan memberitahu, "Maaf sekali. Kami tidak punya gula." (Suara tawa) Karena saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, saya ganti pesan kopi saja, yang langsung disediakan si pelayan. Lengkap dengan tatakannya di mana tersedia dua bungkus kecil gula.
My failure to procure myself a cup of sweet, green tea was not due to a simple misunderstanding. This was due to a fundamental difference in our ideas about choice. From my American perspective, when a paying customer makes a reasonable request based on her preferences, she has every right to have that request met. The American way, to quote Burger King, is to "have it your way," because, as Starbucks says, "happiness is in your choices." (Laughter) But from the Japanese perspective, it's their duty to protect those who don't know any better -- (Laughter) in this case, the ignorant gaijin -- from making the wrong choice. Let's face it: the way I wanted my tea was inappropriate according to cultural standards, and they were doing their best to help me save face.
Kegagalan saya memesan secangkir teh hijau manis bukan karena kesalahpahaman yang sederhana. Tapi karena perbedaan mendasar tentang konsep pilihan di antara kami Dari sudut pandang orang Amerika, ketika pelanggan meminta sesuatu yang masuk akal berdasarkan seleranya, dia berhak mendapatkan apa yang diinginkannya. Cara Amerika, mengutip Burger King. "Terserah Anda saja." karena, mengutip Starbucks, "kebahagiaan itu pilihan Anda." (Suara tawa) Tapi dari sudut pandang orang Jepang, adalah kewajiban mereka untuk meluruskan selera yang jelek -- (Suara tawa) dalam hal ini, melindungi gaijin udik ini -- dari pilihan yang salah. Kalau mau jujur : apa yang saya minta memang di luar kebiasaan budaya pada umumnya, dan mereka mati-matian menyelamatkan muka saya.
Americans tend to believe that they've reached some sort of pinnacle in the way they practice choice. They think that choice, as seen through the American lens best fulfills an innate and universal desire for choice in all humans. Unfortunately, these beliefs are based on assumptions that don't always hold true in many countries, in many cultures. At times they don't even hold true at America's own borders. I'd like to discuss some of these assumptions and the problems associated with them. As I do so, I hope you'll start thinking about some of your own assumptions and how they were shaped by your backgrounds.
Orang Amerika cenderung meyakini bahwa mereka telah mencapai puncak tertinggi dalam mengamalkan pilihan. Mereka pikir konsep pilihan dari kacamata Amerika ini adalah yang paling cocok menjawab kebutuhan yang wajar dan universal bagi semua orang. Sayangnya, keyakinan ini didasarkan pada sejumlah asumsi yang tidak selalu benar di banyak negara, di banyak budaya. Kadang-kadang keyakinan ini juga salah bahkan bagi orang Amerika sendiri. Saya akan diskusikan beberapa asumsi yang ada dan masalah-masalah yang timbul sebagai akibatnya. Dengan ini, saya harap Anda mulai merenungkan asumsi-asumsi yang pernah Anda sendiri dan bagaimana asumsi itu dibentuk oleh latar belakang Anda.
First assumption: if a choice affects you, then you should be the one to make it. This is the only way to ensure that your preferences and interests will be most fully accounted for. It is essential for success. In America, the primary locus of choice is the individual. People must choose for themselves, sometimes sticking to their guns, regardless of what other people want or recommend. It's called "being true to yourself." But do all individuals benefit from taking such an approach to choice? Mark Lepper and I did a series of studies in which we sought the answer to this very question. In one study, which we ran in Japantown, San Francisco, we brought seven- to nine-year-old Anglo- and Asian-American children into the laboratory, and we divided them up into three groups.
Asumsi pertama: kalau pilihan itu berdampak pada Anda, maka Anda sendiri yang harus memilih. Ini satu-satunya cara untuk memastikan agar selera dan kepentingan Anda benar-benar diperhatikan. Ini penting kalau mau berhasil. Di Amerika, titik berat utama sebuah pilihan ada pada individu itu sendiri Orang harus memilih untuk dirinya sendiri, kadang sampai bersikukuh, tidak peduli apa yang orang lain inginkan atau sarankan. Namanya "Jujur pada diri sendiri." Tapi apa benar semua orang cocok dengan gaya memilih seperti ini? Mark Lepper dan saya pernah melakukan penelitian untuk menemukan jawaban dari pertanyaan ini. Pada satu penelitian, yang kami lakukan di Japantown, San Francisco, kami kumpulkan anak-anak keturunan Amerika dan Asia berumur 7-8 di sebuah laboratorium, lalu kami bagi mereka jadi tiga kelompok.
The first group came in, and they were greeted by Miss Smith, who showed them six big piles of anagram puzzles. The kids got to choose which pile of anagrams they would like to do, and they even got to choose which marker they would write their answers with. When the second group of children came in, they were brought to the same room, shown the same anagrams, but this time Miss Smith told them which anagrams to do and which markers to write their answers with. Now when the third group came in, they were told that their anagrams and their markers had been chosen by their mothers. (Laughter) In reality, the kids who were told what to do, whether by Miss Smith or their mothers, were actually given the very same activity, which their counterparts in the first group had freely chosen.
Pada kelompok pertama, setelah disapa oleh nona Smith, mereka mendapat 6 tumpuk permainan menyusun kata. Anak-anak itu diberitahu mereka boleh memilih tumpukan yang mana saja. Bahkan mereka boleh memilih spidol apa yang dipakai untuk menuliskan jawaban mereka. Saat kelompok kedua yang datang kemudian, mereka dibawa ke ruang yang sama, ditunjukkan permainan yang sama, tapi kali ini nona Smith memerintahkan mereka untuk mengerjakan tumpukan yang mana dan spidol yang mana yang harus dipakai, Ketika tiba giliran kelompok ketiga mereka diberitahu tumpukan permainan dan spidolnya sudah dipilihkan ibu mereka masing-masing. (Suara tawa) Yang anak-anak itu tidak ketahui Anak-anak yang diperintah baik oleh nona Smith maupun ibu mereka masing-masing, sebetulnya melakukan permainan yang persis sama, dengan yang dipilih secara bebas oleh kelompok pertama.
With this procedure, we were able to ensure that the kids across the three groups all did the same activity, making it easier for us to compare performance. Such small differences in the way we administered the activity yielded striking differences in how well they performed. Anglo-Americans, they did two and a half times more anagrams when they got to choose them, as compared to when it was chosen for them by Miss Smith or their mothers. It didn't matter who did the choosing, if the task was dictated by another, their performance suffered. In fact, some of the kids were visibly embarrassed when they were told that their mothers had been consulted. (Laughter) One girl named Mary said, "You asked my mother?"
Dengan prosedur ini, kita bisa memastikan semua anak-anak dalam tiap kelompok mengerjakan permainan yang sama, sehingga mudah untuk membandingkan kinerja mereka. Variasi yang begitu sederhana dari cara kita melakukan ini menghasilkan perbedaan yang mengejutkan dalam kinerja mereka. Anak-anak keturunan Amerika, menyelesaikan dua setengah kali lebih banyak permainan ketika mereka boleh memilih sendiri, dibandingkan ketika permainannya dipilihkan oleh nona Smith atau Ibu mereka masing-masing. Jadi tidak berpengaruh siapa yang memilihkan, kalau pekerjaan didiktekan kepada mereka kinerja mereka menurun. Bahkan, beberapa anak secara fisik menunjukkan rasa malu ketika diberitahu ibu mereka yang memilihkan. (Suara tawa) Seorang gadis bernama Mary berkata, "Anda bertanya ke ibu saya?"
(Laughter)
(Suara tawa)
In contrast, Asian-American children performed best when they believed their mothers had made the choice, second best when they chose for themselves, and least well when it had been chosen by Miss Smith. A girl named Natsumi even approached Miss Smith as she was leaving the room and tugged on her skirt and asked, "Could you please tell my mommy I did it just like she said?" The first-generation children were strongly influenced by their immigrant parents' approach to choice. For them, choice was not just a way of defining and asserting their individuality, but a way to create community and harmony by deferring to the choices of people whom they trusted and respected. If they had a concept of being true to one's self, then that self, most likely, [was] composed, not of an individual, but of a collective. Success was just as much about pleasing key figures as it was about satisfying one's own preferences. Or, you could say that the individual's preferences were shaped by the preferences of specific others.
Sebaliknya, Anak-anak keturunan Asia kinerjanya paling baik ketika mereka yakin ibu mereka yang memilihkan, kinerjanya agak turun ketika mereka bebas memilih, dan paling parah ketika dipilihkan oleh nona Smith. Seorang gadis bernama Natsumi bahkan menghampiri nona Smith waktu pulang menarik roknya dan berkata "Bisa tolong beritahu mami nanti kalau saya sudah kerjakan persis yang diminta?" Generasi pertama anak-anak imigran sangat dipengaruhi konsep memilih orang tua mereka. Bagi mereka, pilihan itu bukan sekadar cara menyatakan dan menegaskan siapa mereka, tapi usaha menjadi bagian dari komunitas dan keselarasan dengan tunduk pada pilihan orang-orang yang mereka percayai dan hormati. Bahkan ketika berusaha jujur pada diri sendiri, diri yang dimaksud, hampir selalu terdiri dari, bukan individu tapi kolektif. Keberhasilan juga tentang memuaskan orang-orang dekat mereka selain untuk memuaskan diri mereka sendiri. Atau, dengan kata lain selera orang per orang dibentuk oleh selera orang-orang tertentu lainnya.
The assumption then that we do best when the individual self chooses only holds when that self is clearly divided from others. When, in contrast, two or more individuals see their choices and their outcomes as intimately connected, then they may amplify one another's success by turning choosing into a collective act. To insist that they choose independently might actually compromise both their performance and their relationships. Yet that is exactly what the American paradigm demands. It leaves little room for interdependence or an acknowledgment of individual fallibility. It requires that everyone treat choice as a private and self-defining act. People that have grown up in such a paradigm might find it motivating, but it is a mistake to assume that everyone thrives under the pressure of choosing alone.
Jadi asumsi bahwa kinerja seseorang itu terbaik ketika orang itu bebas memilih hanya berlaku jika orang itu tidak punya orang dekat. Di mana sebaliknya, ketika dua atau lebih orang merasa bahwa pilihan dan hasil pilihannya dengan kuat saling mempengaruhi, mereka bisa mempengaruhi keberhasilan masing-masing kalau mereka memilih secara kolektif. Memaksa mereka memilih dengan seleranya sendiri, bisa merusak baik kinerja maupun hubungan mereka. Padahal justru itulah yang dituntut paradigma orang Amerika. Paradigma itu nyaris tidak peduli akan hubungan dengan orang lain atau kenyataan bahwa orang bisa salah. Paradigma itu menganggap pilihan sebagai tindakan pribadi dan merupakan ciri diri. Mereka yang tumbuh dengan paradigma itu mungkin terpacu oleh paradigma itu. Tapi adalah salah kalau kita berasumsi bahwa tekanan ketika harus memilih sendiri itu hal yang wajar buat semua orang.
The second assumption which informs the American view of choice goes something like this. The more choices you have, the more likely you are to make the best choice. So bring it on, Walmart, with 100,000 different products, and Amazon, with 27 million books and Match.com with -- what is it? -- 15 million date possibilities now. You will surely find the perfect match. Let's test this assumption by heading over to Eastern Europe. Here, I interviewed people who were residents of formerly communist countries, who had all faced the challenge of transitioning to a more democratic and capitalistic society. One of the most interesting revelations came not from an answer to a question, but from a simple gesture of hospitality. When the participants arrived for their interview, I offered them a set of drinks: Coke, Diet Coke, Sprite -- seven, to be exact.
Asumsi kedua yang menggambarkan opini orang Amerika tentang pilihan bunyinya kurang lebih seperti ini. Makin banyak pilihan, makin besar peluang orang menemukan pilihan terbaik Jadi ayo Walmart pamerkan 100.000 macam produkmu, silakan Amazon dengan 27 juta bukunya dan Match.com yang -- berapa sekarang ? -- 15 juta calon kencan. Tidak mungkin tidak ada yang tidak cocok. Mari kita uji asumsi ini dengan menuju ke Eropa timur. Di sana, saya mewawancarai beberapa orang yang dulu hidup di negara-negara komunis, yang semuanya menghadapi tantangan ketika pindah ke masyarakat yang lebih demokratis dan kapitalis. Salah satu pencerahan paling menarik datang bukan dari sesi tanya jawabnya, tapi justru muncul waktu basa basi. Ketika peserta datang untuk diwawancara saya tawarkan satu set minuman, Coke, Diet Coke, Sprite -- semuanya ada tujuh macam
During the very first session, which was run in Russia, one of the participants made a comment that really caught me off guard. "Oh, but it doesn't matter. It's all just soda. That's just one choice." (Murmuring) I was so struck by this comment that from then on, I started to offer all the participants those seven sodas, and I asked them, "How many choices are these?" Again and again, they perceived these seven different sodas, not as seven choices, but as one choice: soda or no soda. When I put out juice and water in addition to these seven sodas, now they perceived it as only three choices -- juice, water and soda. Compare this to the die-hard devotion of many Americans, not just to a particular flavor of soda, but to a particular brand. You know, research shows repeatedly that we can't actually tell the difference between Coke and Pepsi. Of course, you and I know that Coke is the better choice.
Selama sesi pertama, yang dilakukan di Rusia salah satu peserta memberikan komentar yang benar-benar mengena. "Oh, yang mana sajalah. Semuanya soda. Cuma satu pilihan." (Berguman) Saya begitu terkesan dengan komentar itu hingga sejak itu saya mulai menawarkan hal yang sama ke semua peserta ketujuh macam soda itu. Saya bertanya, "Ada berapa macam minuman semuanya?" Berulang kali, mereka menganggap ketujuh macam soda ini, bukan sebagai tujuh pilihan, tapi satu: soda dan bukan soda. Ketika saya tambahkan jus dan air selain ketujuh soda itu, sekarang mereka menganggapnya sebagai tiga pilihan -- jus, air, dan soda. Bandingkan ini dengan Orang Amerika yang jadi penggemar setia, tidak hanya terhadap satu jenis soda, tapi terhadap satu merk. Penelitian bolak-balik sudah membuktikan bahwa kita tidak pernah bisa membedakan Coke dan Pepsi. Tapi kita semua tahu Coke pilihan yang lebih baik.
(Laughter)
(Suara tawa)
For modern Americans who are exposed to more options and more ads associated with options than anyone else in the world, choice is just as much about who they are as it is about what the product is. Combine this with the assumption that more choices are always better, and you have a group of people for whom every little difference matters and so every choice matters. But for Eastern Europeans, the sudden availability of all these consumer products on the marketplace was a deluge. They were flooded with choice before they could protest that they didn't know how to swim. When asked, "What words and images do you associate with choice?" Grzegorz from Warsaw said, "Ah, for me it is fear. There are some dilemmas you see. I am used to no choice." Bohdan from Kiev said, in response to how he felt about the new consumer marketplace, "It is too much. We do not need everything that is there." A sociologist from the Warsaw Survey Agency explained, "The older generation jumped from nothing to choice all around them. They were never given a chance to learn how to react." And Tomasz, a young Polish man said, "I don't need twenty kinds of chewing gum. I don't mean to say that I want no choice, but many of these choices are quite artificial."
Bagi orang Amerika modern yang punya lebih banyak pilihan dan iklan tentang pilihan dibanding orang lain di dunia ini, pilihan jadi cerminan kualitas diri selain kualitas produk itu sendiri. Ditambah asumsi bahwa makin banyak pilihan makin baik, lahirlah orang-orang yang sangat peduli pada perbedaan sekecil sekalipun alhasil, setiap macam pilihan jadi penting. Tapi buat orang-orang Eropa Timur, ketersediaan yang sekonyong-konyong dari begitu banyak pilihan produk di pasar, adalah berlebihan. Mereka dibanjiri pilihan sebelum sempat belajar berenang. Ketika ditanya, "Kata dan gambar apa bagi Anda yang melambangkan pilihan?" Grzegorz dari Warsaw bilang, "Ah, bagi saya, 'rasa takut'. Memang ini dilema. Saya terbiasa hidup tanpa pilihan." Bohdan dari Kiev menjawab, ketika ditanya perasaannya tentang beragam barang di pasar yang baru, "Kebanyakan. Kami tidak butuh semua yang ada di sana." Seorang sosiolog dari Agen survey Warsaw menjelaskan, "Generasi yang lebih tua loncat dari tanpa pilihan jadi banyak pilihan. Mereka tidak sempat belajar bagaimana menghadapi semuanya." Tomasz, pemuda dari Polandia berkata, "Saya tidak perlu 20 macam permen karet. Saya tidak bilang saya tidak mau ada pilihan, tapi kebanyakan pilihan yang ada itu pilihan yang semu."
In reality, many choices are between things that are not that much different. The value of choice depends on our ability to perceive differences between the options. Americans train their whole lives to play "spot the difference." They practice this from such an early age that they've come to believe that everyone must be born with this ability. In fact, though all humans share a basic need and desire for choice, we don't all see choice in the same places or to the same extent. When someone can't see how one choice is unlike another, or when there are too many choices to compare and contrast, the process of choosing can be confusing and frustrating. Instead of making better choices, we become overwhelmed by choice, sometimes even afraid of it. Choice no longer offers opportunities, but imposes constraints. It's not a marker of liberation, but of suffocation by meaningless minutiae. In other words, choice can develop into the very opposite of everything it represents in America when it is thrust upon those who are insufficiently prepared for it. But it is not only other people in other places that are feeling the pressure of ever-increasing choice. Americans themselves are discovering that unlimited choice seems more attractive in theory than in practice.
Memang kenyataannya pilihan sering muncul di antara hal-hal yang tidak jauh berbeda. Penting tidaknya pilihan tergantung kemampuan kita memaknai perbedaan di antara berbagai pilihan itu. Orang Amerika berlatih seumur hidup memainkan "cari perbedaannya." Mereka sudah terbiasa dengan ini sejak kecil sehingga mereka meyakini bahwa semua orang punya kemampuan ini. Sebetulnya, meski semua orang punya kebutuhan mendasar akan pilihan, bentuk pilihan dan makna pilihan tidak sama bagi semua orang. Ketika orang tidak mampu membedakan pilihan yang satu dengan pilihan yang lain, atau ketika terlalu banyak pilihan untuk dibedakan, proses pemilihan bisa jadi membingungkan dan menyebalkan. Bukannya jadi bisa memilih dengan baik, kita malah kewalahan dengan pilihan yang ada, kadang malah jadi takut akan adanya pilihan. Pilihan tidak lagi memberikan kesempatan, tapi malah mengekang. Pilihan bukan lagi lambang kebebasan, tapi lambang keterikatan dalam tetek bengek tanpa arti. Dengan kata lain, pilihan bisa memberikan dampak sebaliknya dari apa yang dimaksudkan oleh masyarakat Amerika ketika dijejalkan pada mereka yang belum siap menghadapinya. Tapi ini tidak hanya bagi orang lain di tempat lain perasaan tertekan yang muncul ketika dihadapkan pada begitu banyak pilihan. Orang Amerika sendiri mulai menyadari bahwa pilihan yang tanpa batas lebih indah dalam teori dari pada praktiknya.
We all have physical, mental and emotional (Laughter) limitations that make it impossible for us to process every single choice we encounter, even in the grocery store, let alone over the course of our entire lives. A number of my studies have shown that when you give people 10 or more options when they're making a choice, they make poorer decisions, whether it be health care, investment, other critical areas. Yet still, many of us believe that we should make all our own choices and seek out even more of them.
Kita semua punya keterbatasan fisik mental, dan emosional. yang tidak memungkinkan kita memproses tiap pilihan yang ditemui, bahkan di toko kelontong sekalipun, apalagi dalam perjalanan hidup. Beberapa penelitian saya menunjukkan ketika kita berikan 10 atau lebih pilihan pada seseorang ketika memilih, mereka sering salah pilih baik dalam hal kesehatan, investasi maupun bidang penting lainnya. Tapi tetap saja, banyak dari kita masih percaya bahwa kita harus memilih untuk diri sendiri dan menuntut lebih banyak lagi pilihan.
This brings me to the third, and perhaps most problematic, assumption: "You must never say no to choice." To examine this, let's go back to the U.S. and then hop across the pond to France. Right outside Chicago, a young couple, Susan and Daniel Mitchell, were about to have their first baby. They'd already picked out a name for her, Barbara, after her grandmother. One night, when Susan was seven months pregnant, she started to experience contractions and was rushed to the emergency room. The baby was delivered through a C-section, but Barbara suffered cerebral anoxia, a loss of oxygen to the brain. Unable to breathe on her own, she was put on a ventilator. Two days later, the doctors gave the Mitchells a choice: They could either remove Barbara off the life support, in which case she would die within a matter of hours, or they could keep her on life support, in which case she might still die within a matter of days. If she survived, she would remain in a permanent vegetative state, never able to walk, talk or interact with others. What do they do? What do any parent do?
Ini membawa kita pada asumsi ke tiga, dan mungkin asumsi paling bermasalah: "Anda tidak boleh menolak memilih." Untuk meneliti ini, mari kita kembali ke Amerika dan loncat melewati samudra ke Prancis. Di pinggiran Chicago, pasangan muda, Susan dan Daniel Mitchell sedang menunggu kelahiran bayi pertama mereka. Mereka bahkan sudah menyiapkan nama, Barbara, seperti nama neneknya. Suatu malam, ketika usia kandungan Susan 7 bulan, dia merasakan kontraksi dan segera dilarikan ke rumah sakit. Bayinya dilahirkan lewat operasi Caesar, tapi Barbara mengalami cerebral anoxia, kekurangan oksigen pada otak. Karena tidak bisa bernapas sendiri, dia dimasukkan ke ventilator. Dua hari kemudian, dokter memberikan keluarga Mitchell sebuah pilihan. Mereka bisa melepaskan Barbara dari mesin penunjang hidup, yang akan berakibat meninggalnya Barbara dalam hitungan jam, atau mereka bisa membiarkan hidupnya ditunjang mesin, yang pada akhirnya dia mungkin akan meninggal juga tapi dalam hitungan hari. Kalau pun selamat, dia menjadi lumpuh permanen secara keseluruhan, tidak bisa berjalan, berbicara atau berinteraksi dengan orang. Apa yang harus mereka pilih? Apa yang semua orang tua akan pilih?
In a study I conducted with Simona Botti and Kristina Orfali, American and French parents were interviewed. They had all suffered the same tragedy. In all cases, the life support was removed, and the infants had died. But there was a big difference. In France, the doctors decided whether and when the life support would be removed, while in the United States, the final decision rested with the parents. We wondered: does this have an effect on how the parents cope with the loss of their loved one? We found that it did. Even up to a year later, American parents were more likely to express negative emotions, as compared to their French counterparts. French parents were more likely to say things like, "Noah was here for so little time, but he taught us so much. He gave us a new perspective on life."
Dalam penelitian yang saya lakukan dengan Simona Botti dan Kristina Orfali, pasangan orang tua Amerika dan Prancis yang diwawancarai. Semuanya pernah mengalami tragedi yang sama. Dalam semua kasus, mesin penunjang hidupnya dilepaskan, dan bayinya meninggal. Tapi ada perbedaan mencolok. Di Prancis, para dokter yang memutuskan mengapa dan kapan mesin penunjang hidup dicabut, sementara di Amerika, keputusan akhir ada pada orang tuanya. Kami ingin tahu: apakah hal ini berpengaruh terhadap cara para orang tua itu menghadapi hilangnya orang yang mereka cintai? Kami temukan, ternyata ada. Bahkan setelah setahun kemudian, Orang tua Amerika masih memancarkan emosi yang negatif, dibandingkan dengan para orang tua Prancis. Orang tua Prancis kebanyakan mengatakan hal seperti "Kehadiran Noah begitu singkat, tapi dia mengajarkan kami begitu banyak hal. Dia memberikan padangan baru terhadap hidup."
American parents were more likely to say things like, "What if? What if?" Another parent complained, "I feel as if they purposefully tortured me. How did they get me to do that?" And another parent said, "I feel as if I've played a role in an execution." But when the American parents were asked if they would rather have had the doctors make the decision, they all said, "No." They could not imagine turning that choice over to another, even though having made that choice made them feel trapped, guilty, angry. In a number of cases they were even clinically depressed. These parents could not contemplate giving up the choice, because to do so would have gone contrary to everything they had been taught and everything they had come to believe about the power and purpose of choice.
Para orang tua Amerika akan mengatakan hal seperti, "Andaikan... andai saja..." Ada juga yang mengeluh, "Saya merasa kami sengaja disiksa. Bagaimana bisa mereka minta kami melakukan itu?" Pasangan lain menuturkan, "Saya merasa ikut mengeksekusi." Tapi ketika para orang tua Amerika ditanya apakah sebaiknya dokter saja yang memutuskan, semuanya bilang, "Tidak." Mereka tidak bisa membayangkan menyerahkan keputusan itu ke orang lain, meskipun dihadapkan dengan pilihan seperti itu membuat mereka merasa dijebak, bersalah, marah. Dalam banyak kasus mereka bahkan mengalami depresi. Para orang tua ini tidak bisa menerima kalau harus menolak pilihan itu, karena penolakan itu bertolak belakang dengan semua yang diajarkan pada mereka dan semua yang mereka yakini tentang kekuasaan dan makna sebuah pilihan.
In her essay, "The White Album," Joan Didion writes, "We tell ourselves stories in order to live. We interpret what we see, select the most workable of the multiple choices. We live entirely by the imposition of a narrative line upon disparate images, by the idea with which we have learned to freeze the shifting phantasmagoria, which is our actual experience." The story Americans tell, the story upon which the American dream depends, is the story of limitless choice. This narrative promises so much: freedom, happiness, success. It lays the world at your feet and says, "You can have anything, everything." It's a great story, and it's understandable why they would be reluctant to revise it. But when you take a close look, you start to see the holes, and you start to see that the story can be told in many other ways.
Dalam esainya, "The White Album." Joan Didion menuliskan, "Kita mengarang cerita untuk diri kita sendiri untuk tetap hidup. Kita menginterpretasi apa yang kita lihat memilih yang paling layak dari pilihan-pilihan yang ada. Kita hidup sepenuhnya karena tuntutan sebuah jalan cerita yang penuh warna, dengan sebuah ajaran yang kita pakai untuk mengabadikan rangkaian adegan yang merupakan pengalaman kita yang sesungguhnya." Cerita yang dikarang orang Amerika cerita yang menjadi dasar mimpi orang Amerika adalah cerita tentang pilihan tanpa batas. Jalan cerita ini menjanjikan begitu banyak: kebebasan, kebahagiaan, kesuksesan. Menghamparkan dunia di bawah kaki kita dan berkata, "Kita bisa miliki apa saja, segalanya." Cerita yang bagus, sangat bisa dimengerti mengapa tidak ada yang mau merevisinya. Tapi kalau dicermati lebih dekat, jalan ceritanya tidak sempurna, dan kita mulai menyadari bahwa ceritanya bisa diceritakan dengan banyak cara.
Americans have so often tried to disseminate their ideas of choice, believing that they will be, or ought to be, welcomed with open hearts and minds. But the history books and the daily news tell us it doesn't always work out that way. The phantasmagoria, the actual experience that we try to understand and organize through narrative, varies from place to place. No single narrative serves the needs of everyone everywhere. Moreover, Americans themselves could benefit from incorporating new perspectives into their own narrative, which has been driving their choices for so long.
Orang Amerika sering kali berusaha menyebarluaskan ide mereka tentang pilihan, merasa mereka sepantasnya atau seharusnya disambut dengan tangan dan pikiran terbuka. Tapi sejarah dan berita sehari-hari menunjukkan hal itu tidak selalu benar. Rangkaian adegan pengalaman sesungguhnya yang coba kita pahami dan susun menjadi sebuah cerita, berbeda di satu tempat ke tempat yang lain. Tidak ada cerita tunggal yang bisa memenuhi kebutuhan semua orang di semua tempat. Apalagi, orang Amerika sendiri bisa jadi lebih baik kalau mereka menyertakan pandangan-pandangan baru ke jalan cerita mereka, yang sudah mendikte pilihan mereka begitu lama.
Robert Frost once said that, "It is poetry that is lost in translation." This suggests that whatever is beautiful and moving, whatever gives us a new way to see, cannot be communicated to those who speak a different language. But Joseph Brodsky said that, "It is poetry that is gained in translation," suggesting that translation can be a creative, transformative act. When it comes to choice, we have far more to gain than to lose by engaging in the many translations of the narratives. Instead of replacing one story with another, we can learn from and revel in the many versions that exist and the many that have yet to be written. No matter where we're from and what your narrative is, we all have a responsibility to open ourselves up to a wider array of what choice can do, and what it can represent. And this does not lead to a paralyzing moral relativism. Rather, it teaches us when and how to act. It brings us that much closer to realizing the full potential of choice, to inspiring the hope and achieving the freedom that choice promises but doesn't always deliver. If we learn to speak to one another, albeit through translation, then we can begin to see choice in all its strangeness, complexity and compelling beauty.
Robert Frost pernah bilang, "Yang hilang dalam penerjemahan adalah sastra." Ini artinya apapun yang indah dan mengharukan, apapun yang memberikan pandangan baru, tidak bisa dikomunikasikan kepada mereka yang berbicara dalam bahasa yang berbeda. Sebaliknya, Joseph Brodsky berkata, "Yang didapat dari penerjemahan adalah sastranya." Arinya penerjemahan bisa ditempuh dengan cara yang kreatif dan transformatif. Berbicara tentang pilihan, lebih banyak yang bisa didapat ketimbang yang bisa hilang kalau kita aktif menerjemahkan berbagai cerita. Alih-alih mengganti satu cerita dengan yang lain, kita bisa belajar dari dan bermain dengan semua versi yang ada dan yang belum ditulis sekalipun. Tidak peduli dari mana kita berasal dan apa jalan cerita kita, semuanya punya tanggung jawab untuk membuka diri dan menerima berbagai akibat yang timbul dari pilihan dan apa maknanya. Ini tidak akan jadi relativisme moral yang mandul. Tapi, akan mengajarkan kita kapan dan bagaimana bertindak. Yang akan membuat kita makin menyadari potensi sesungguhnya dari sebuah pilihan, menumbuhkan harapan dan melahirkan kebebasan seperti yang kerap dijanjikan pilihan meski tidak selalu ditepati. Kalau kita belajar berbicara satu dengan yang lain, meski lewat penerjemahan, maka kita akan bisa melihat pilihan dengan segala keanehannya, kerumitannya, dan keindahannya
Thank you.
Terima kasih
(Applause)
(Tepuk tangan)
Bruno Giussani: Thank you. Sheena, there is a detail about your biography that we have not written in the program book. But by now it's evident to everyone in this room. You're blind. And I guess one of the questions on everybody's mind is: How does that influence your study of choosing because that's an activity that for most people is associated with visual inputs like aesthetics and color and so on?
Bruno Giussani : Terima kasih Sheena, ada satu hal dalam biografi Anda yang luput dicantumkan dalam buku program kami. Tapi sekarang sudah jelas buat semua yang ada di sini. Anda tuna netra. Saya kira yang paling banyak ingin diketahui orang adalah: Apakah hal itu berpengaruh dalam penelitian Anda tentang pilihan, karena biasanya itu kegiatan yang membutuhkan masukan-masukan visual seperti estetika dan warna dan lain lain ?
Sheena Iyengar: Well, it's funny that you should ask that because one of the things that's interesting about being blind is you actually get a different vantage point when you observe the way sighted people make choices. And as you just mentioned, there's lots of choices out there that are very visual these days. Yeah, I -- as you would expect -- get pretty frustrated by choices like what nail polish to put on because I have to rely on what other people suggest. And I can't decide. And so one time I was in a beauty salon, and I was trying to decide between two very light shades of pink. And one was called "Ballet Slippers." And the other one was called "Adorable." (Laughter) And so I asked these two ladies, and the one lady told me, "Well, you should definitely wear 'Ballet Slippers.'" "Well, what does it look like?" "Well, it's a very elegant shade of pink." "Okay, great." The other lady tells me to wear "Adorable." "What does it look like?" "It's a glamorous shade of pink." And so I asked them, "Well, how do I tell them apart? What's different about them?" And they said, "Well, one is elegant, the other one's glamorous." Okay, we got that. And the only thing they had consensus on: well, if I could see them, I would clearly be able to tell them apart.
Sheena Lyengar: Kebetulan ini ditanyakan, karena salah satu hal yang menarik sebagai tuna netra adalah saya jadi punya sudut pandang yang unik ketika sedang meneliti orang dengan mata normal sedang memilih. Seperti Anda katakan, ada banyak sekali pilihan yang biasanya visual. Ya, saya -- seperti dugaan Anda -- kadang agak bingung dengan pilihan seperti pewarna kuku apa sebaiknya yang dipakai, karena saya jadi tergantung saran orang lain. Saya tidak bisa memutuskan. Contoh, pernah satu kali ketika saya di salon, dan saya harus memilih antara dua jenis warna merah jambu. Yang satu disebut "Ballet slippers" Yang lain disebut "Adorable". (Suara tawa) Jadi saya tanya pada dua orang wanita ini. Yang satu bilang, "Sebaiknya pakai yang 'ballet slippers'". "Memang seperti apa rupanya?" "Itu jenis merah jambu yang sangat anggun." "Baiklah, keren." Wanita satunya menyarankan saya pakai "Adorable". "Memangnya seperti apa rupanya?" "Itu jenis merah jambu yang glamor." Jadi saya tanya pada keduanya, "Lalu bagaimana membedakannya ? Apa bedanya?" Mereka menjawab, "Yang satu anggun yang satu glamor." Baik, apa lagi? Dua-duanya setuju: kalau saya bisa melihatnya, saya pasti tahu bedanya.
(Laughter)
(Suara tawa)
And what I wondered was whether they were being affected by the name or the content of the color, so I decided to do a little experiment. So I brought these two bottles of nail polish into the laboratory, and I stripped the labels off. And I brought women into the laboratory, and I asked them, "Which one would you pick?" 50 percent of the women accused me of playing a trick, of putting the same color nail polish in both those bottles. (Laughter) (Applause) At which point you start to wonder who the trick's really played on. Now, of the women that could tell them apart, when the labels were off, they picked "Adorable," and when the labels were on, they picked "Ballet Slippers." So as far as I can tell, a rose by any other name probably does look different and maybe even smells different.
Saya jadi penasaran, mereka terpengaruh namanya atau sungguh-sungguh karena warnanya. Jadi saya lakukan satu percobaan kecil. Saya bawa kedua botol pewarna kuku itu ke laboratorium, saya sobek labelnya. Saya datangkan beberapa wanita ke laboratorium, dan saya tanya."Yang mana yang cocok dengan saya?" Separuh dari wanita itu menuduh saya menjebak mereka, dengan memperlihatkan pewarna kuku yang warnanya sama tapi dengan botol yang berbeda. (Suara tawa) (Tepuk tangan) Sampai di situ saya jadi bingung siapa yang menjebak siapa ini. Wanita-wanita yang merasa bisa membedakan keduanya, memilih "Adorable" ketika labelnya tidak ada, dan ketika labelnya dipasang lagi mereka memilih "Ballet slippers." Jadi tampaknya mawar kalau diberi nama lain mungkin akan kelihatan berbeda bahkan mungkin baunya jadi beda juga.
BG: Thank you. Sheena Iyengar. Thank you Sheena.
BG: Terima kasih. Sheena Lyengar. Terima kasih, Sheena
(Applause)
(Tepuk tangan)