Since 2015, an unprecedented movement has been sweeping courts around the world. Groups of young plaintiffs, some as young as 7, are suing their governments for their inaction on tackling climate change. For example, in the winter of 2018, 25 young Colombians, including Indigenous youths, sued their government for failing to reduce deforestation in the Amazon and falling short on climate promises. This suit, as well as others, argued that destructive environmental policies put the plaintiffs’ current and future lives at risk. Climate inaction violates their basic human rights— specifically the right to a healthy environment, health, food, and water.
Sejak 2015, gerakan yang belum pernah terjadi melanda pengadilan seluruh dunia. Kelompok penuntut muda, beberapa masih berusia 7 tahun, menuntut pemerintah mereka karena enggan menangani masalah perubahan iklim. Misalnya, pada musim dingin 2018, 25 pemuda Kolombia, termasuk pemuda-pemuda Adat, menuntut pemerintah mereka karena gagal mengurangi deforestasi di Amazon dan gagal berkomitmen dalam isu perubahan iklim. Gugatan ini, serta gugatan lainnya, berpendapat bahwa kebijakan yang merusak lingkungan menempatkan hidup para penggugat saat ini dan di masa depan dalam bahaya. Keengganan menangani isu iklim melanggar hak asasi manusia (HAM) - khususnya hak atas lingkungan, kesehatan, makanan, dan air yang sehat.
But what do human rights have to do with the environment? Do you have the right to breathe clean air? To live in a world with white rhinos, polar bears, and lemur leaf frogs? What about the right to mangroves and coral reefs?
Tapi apa hubungan HAM dengan lingkungan? Apakah Anda berhak untuk menghirup udara bersih? Untuk hidup di dunia dengan badak putih, beruang kutub, dan katak daun lemur? Bagaimana dengan hak atas hutan bakau dan terumbu karang?
The first international document to outline human rights was adopted by the newly-formed United Nations in 1948, against the backdrop of two world wars marked by countless atrocities and barbaric acts. This document, known as the Universal Declaration of Human Rights, or UDHR, describes the inherent freedoms that belong to all people, no matter who they are or where they live, and which can't be granted or revoked. It establishes rights like freedom of thought, political liberties like the right to a fair trial, and socioeconomic and cultural rights, like the right to adequate housing and healthcare. While the UDHR itself is non-binding, its formation gave people an internationally recognized set of ethics and standards, and laid the foundation for human rights law. And since 1948, these liberties have been woven into international treaties, constitutions, and laws, meaning that countries have opted to uphold and protect them. As a result, countless individual human rights struggles and movements have been granted legitimacy and a legal basis for pursuing justice.
Dokumen internasional pertama yang menguraikan HAM diadopsi oleh PBB yang baru berdiri pada 1948, berlatar dua perang dunia dengan kekejaman dan tindakan biadab yang tak terhitung jumlahnya. Dokumen ini, yang dikenal sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau DUHAM, menggambarkan kebebasan yang melekat dan dimiliki semua orang, tidak peduli siapa atau di mana mereka, dan tidak dapat diberikan atau dicabut. Ini menetapkan hak seperti kebebasan dalam berpikir, hak politik seperti hak atas pengadilan yang adil, dan hak-hak sosial ekonomi dan budaya, seperti hak atas perumahan dan akses kesehatan yang memadai. Meskipun DUHAM sendiri tidak mengikat, pembentukannya memberikan seperangkat etika dan standar yang diakui secara internasional, dan menjadi dasar bagi hukum hak asasi manusia. Dan sejak 1948, kebebasan ini terikat dalam berbagai perjanjian internasional, konstitusi, dan hukum, yang berarti berbagai negara memilih untuk menegakkan dan melindunginya. Hasilnya, berbagai perjuangan dan gerakan HAM yang tak terhitung jumlahnya telah mendapat keabsahan dan dasar hukum atas keadilan.
The UDHR makes no mention of nature, biodiversity, or climate. These rights, instead, first took hold at the national level. Many countries within the Global South, often influenced by Indigenous laws and worldviews, incorporated the right to a healthy environment into their constitutions and regional treaties. Soon, human rights advocates were calling on the rest of the world and the United Nations to recognize this right as well. Many argued that the very principles of the UDHR depend on access to healthy ecosystems. Each year, millions of people die from air and water pollution. Declining pollinator populations threaten basic food security. And the loss of coastal habitats has left millions exposed to greater risks from destructive floods and hurricanes.
DUHAM tidak menyebutkan alam, keanekaragaman hayati, atau iklim. Hak-hak ini, sebaliknya, pertama kali berlaku di tingkat nasional. Banyak negara di Selatan Dunia, sering dipengaruhi oleh hukum Adat dan pandangan dunia, menyertakan hak atas lingkungan yang sehat ke dalam konstitusi dan perjanjian regional mereka. Tak lama, para pendukung HAM menyerukan kepada dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk juga mengakui hak ini. Banyak yang berpendapat bahwa prinsip-prinsip DUHAM bergantung pada akses ekosistem yang sehat. Setiap tahun, jutaan orang meninggal karena polusi udara dan air. Penurunan populasi penyerbuk mengancam ketahanan pangan dasar. Dan hilangnya habitat pesisir membuat jutaan orang terpapar risiko besar dari banjir dan angin topan yang merusak.
Protecting this right is more urgent now than ever before. Climate change is causing more frequent heatwaves, longer droughts, and more destructive wildfires. Without rapid and significant change, the planet is at risk of mass extinction, which could wipe out a quarter of the world’s biodiversity by 2100. Such losses to natural ecosystems would likely have disastrous knockoff effects, further threatening food supplies, destroying livelihoods, and leaving humanity more vulnerable to disease.
Kini, melindungi hak ini lebih mendesak dibanding sebelumnya. Perubahan iklim menyebabkan seringnya gelombang panas, kekeringan panjang, dan kebakaran hutan yang destruktif. Tanpa perubahan cepat dan signifikan, planet ini terancam kepunahan massal, yang dapat memusnahkan seperempat keanekaragaman hayati dunia pada 2100. Kerugian ekosistem alami semacam ini mungkin punya efek tiruan berbahaya, yang semakin mengancam pasokan makanan, menghancurkan mata pencaharian, dan membuat umat manusia lebih rentan terhadap penyakit.
Thankfully, momentum is building. Today, over 150 countries and jurisdictions have enshrined the right to a healthy environment into national legislation. On April 5th, 2018, the Colombian Supreme Court ruled in favor of the young plaintiffs, finding that the government was legally obliged to reduce deforestation and greenhouse gas emissions in order to protect the rights of present and future generations. This case and similar historic wins by young people in the courts of the Netherlands, Germany, and the US has inspired others to take up the cause. As of the summer of 2023, a wave of more than 2,000 human rights-based environmental cases have been filed across the globe. And this number is likely to grow. In 2022, an overwhelming majority of UN General Assembly states came together to keep human rights aligned to a changing world by recognizing the right to a clean, healthy, and sustainable environment.
Untungnya, ada momentum yang berkembang. Saat ini, lebih dari 150 negara dan yurisdiksi mengukuhkan hak atas lingkungan sehat ke dalam perundangan nasional. Pada 5 April 2018, Mahkamah Agung Kolombia mengabulkan gugatan para penggugat muda, menyimpulkan bahwa pemerintah secara hukum wajib mengurangi deforestasi dan emisi gas rumah kaca untuk melindungi hak-hak generasi sekarang dan mendatang. Kasus ini dan kemenangan bersejarah serupa dari para pemuda di pengadilan Belanda, Jerman, dan AS telah mengilhami masyarakat untuk melakukan hal serupa. Pada musim panas 2023, lebih dari 2.000 kasus lingkungan berbasis hak asasi manusia telah diajukan di penjuru dunia. Dan jumlah ini kemungkinan akan bertambah. Pada 2022, mayoritas negara Majelis Umum PBB berkumpul untuk memastikan bahwa HAM selaras dengan dunia yang terus berubah dengan mengakui hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan.
It will take unprecedented global cooperation to reduce greenhouse gas emissions, stop deforestation, and keep our waterways clean. These court cases are a powerful first step to hold governments accountable and to give future generations a better chance to breathe clean air, and live in a world with white rhinos, polar bears, and coral reefs for years to come.
Butuh kerja sama global yang tak pernah terjadi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, menghentikan deforestasi, dan menjaga saluran air tetap bersih. Kasus ini adalah langkah perdana untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah dan untuk memberi kesempatan pada generasi mendatang atas udara bersih, dan dunia dengan badak putih, beruang kutub, dan terumbu karang di masa depan.