So we all have our own biases. For example, some of us tend to think that it's very difficult to transform failing government systems. When we think of government systems, we tend to think that they're archaic, set in their ways, and perhaps, the leadership is just too bureaucratic to be able to change things. Well, today, I want to challenge that theory. I want to tell you a story of a very large government system that has not only put itself on the path of reform but has also shown fairly spectacular results in less than three years.
Kita semua punya bias masing-masing. Contohnya, beberapa dari kita cenderung untuk berpikir bahwa sangat sulit untuk mengubah sistem pemerintahan yang gagal. Ketika memikirkan tentang sistem pemerintahan, kita cenderung berpikir mereka kolot, terpaku dengan cara mereka, dan mungkin, pemimpin mereka terlalu birokratik dan tidak mampu mengubah sesuatu. Hari ini, saya ingin menantang teori ini. Saya ingin bercerita tentang sebuah sistem pemerintahan yang sangat besar, yang tidak hanya menempatkan dirinya pada jalur perubahan namun juga telah menunjukkan hasil yang cukup spektakuler dalam waktu kurang dari tiga tahun.
This is what a classroom in a public school in India looks like. There are 1 million such schools in India. And even for me, who's lived in India all her life, walking into one of these schools is fairly heartbreaking. By the time kids are 11, 50 percent of them have fallen so far behind in their education that they have no hope to recover. 11-year-olds cannot do simple addition, they cannot construct a grammatically correct sentence. These are things that you and I would expect an 8-year-old to be able to do. By the time kids are 13 or 14, they tend to drop out of schools. In India, public schools not only offer free education -- they offer free textbooks, free workbooks, free meals, sometimes even cash scholarships. And yet, 40 percent of the parents today are choosing to pull their children out of public schools and pay out of their pockets to put them in private schools. As a comparison, in a far richer country, the US, that number is only 10 percent. That's a huge statement on how broken the Indian public education system is.
Ini adalah sebuah ruang kelas di sekolah negeri di India. Ada 1 juta sekolah seperti ini di India. Dan bahkan bagi saya, yang tinggal di India selama hidup saya, memasuki salah satu sekolah ini cukup memilukan hati. Pada usia 11 tahun, 50 persen anak-anak India sudah ketinggalan jauh pendidikannya, sehingga mereka tidak punya harapan untuk mengejarnya kembali. Anak usia 11 tahun tidak dapat melakukan penjumlahan sederhana, mereka tidak bisa membuat sebuah kalimat dengan tata bahasa yang benar. Inil adalah sesuatu yang Anda dan saya harapkan dari anak 8 tahun untuk mereka kuasai. Pada usia 13 atau 14 tahun, banyak anak-anak India yang putus sekolah. Di India, sekolah negeri tidak hanya menawarkan pendidikan gratis -- mereka juga menawarkan buku pelajaran, buku catatan, dan makanan gratis, kadang bahkan beasiswa tunai. Tapi tetap saja, 40 persen dari orangtua memilih untuk menarik anak mereka dari sekolah negeri dan membiayai sendiri pendidikan anak mereka di sekolah swasta. Untuk perbandingan, di sebuah negara yang jauh lebih kaya, Amerika Serikat, hanya 10 persen yang memilih sekolah swasta. Itu adalah satu pernyataan besar yang menunjukkan betapa rusaknya sistem pendidikan di sekolah negeri di India.
So it was with that background that I got a call in the summer of 2013 from an absolutely brilliant lady called Surina Rajan. She was, at that time, the head of the Department of School Education in a state called Haryana in India. So she said to us, "Look, I've been heading this department for the last two years. I've tried a number of things, and nothing seems to work. Can you possibly help?"
Jadi itulah latar belakangnya saya mendapatkan panggilan di musim panas 2013 dari seorang wanita yang sangat cerdas bernama Surina Rajan. Ketika itu, dia adalah pimpinan Departemen Pendidikan Sekolah di negara bagian Haryana di India. Dia berkata pada kami, "Saya sudah memimpin departemen ini selama dua tahun terakhir. Saya sudah mencoba bermacam cara dan sepertinya tidak ada yang berhasil. Mungkinkah kamu dapat membantu?"
Let me describe Haryana a little bit to you. Haryana is a state which has 30 million people. It has 15,000 public schools and 2 million plus children in those public schools. So basically, with that phone call, I promised to help a state and system which was as large as that of Peru or Canada transform itself. As I started this project, I was very painfully aware of two things. One, that I had never done anything like this before. And two, many others had, perhaps without too much success. As my colleagues and I looked across the country and across the world, we couldn't find another example that we could just pick up and replicate in Haryana. We knew that we had to craft our own journey.
Mari saya gambarkan sedikit tentang Haryana untuk Anda. Haryana adalah sebuah negara bagian dengan 30 juta penduduk. Negara bagian ini mempunyai 15.000 sekolah negeri dengan lebih dari 2 juta siswa. Jadi pada dasarnya, melalui telepon, saya berjanji untuk membantu sebuah negara dan sistem seukuran Peru atau Kanada untuk mengubah dirinya sendiri. Ketika saya memulai proyek ini, saya sangat menyadari dua hal. Satu, saya tidak pernah melakukan sesuatu seperti ini sebelumnya. Dan dua, banyak yang sudah mencoba, tapi mungkin tidak terlalu berhasil. Ketika rekan kerja saya dan saya melihat di seluruh negeri dan seluruh dunia, kami tidak bisa menemukan contoh lain yang dapat kami contoh dan tiru di Haryana. Kami tahu bahwa kami harus merancang perjalanan kami sendiri.
But anyway, we jumped right in and as we jumped in, all sorts of ideas started flying at us. People said, "Let's change the way we recruit teachers, let's hire new principals and train them and send them on international learning tours, let's put technology inside classrooms." By the end of week one, we had 50 ideas on the table, all amazing, all sounded right. There was no way we were going to be able to implement 50 things.
Namun demikian, kami segera memulai dan seketika itu, berbagai ide bermunculan. Ada yang bilang, "Mari kita ubah cara kita merekrut para guru, mari pekerjakan kepala sekolah baru dan latih mereka dan kirim mereka ke seminar pendidikan internasional, mari bawa teknologi ke dalam kelas." Pada akhir minggu pertama, kami punya 50 ide, semuanya luar biasa, semuanya terdengar benar. Tapi tidak mungkin bagi kami untuk dapat menerapkan 50 ide itu.
So I said, "Hang on, stop. Let's first at least decide what is it we're trying to achieve." So with a lot of push and pull and debate, Haryana set itself a goal which said: by 2020, we want 80 percent of our children to be at grade-level knowledge. Now the specifics of the goal don't matter here, but what matters is how specific the goal is. Because it really allowed us to take all those ideas which were being thrown at us and say which ones we were going to implement. Does this idea support this goal? If yes, let's keep it. But if it doesn't or we're not sure, then let's put it aside. As simple as it sounds, having a very specific goal right up front has really allowed us to be very sharp and focused in our transformation journey. And looking back over the last two and a half years, that has been a huge positive for us.
Jadi saya katakan, "Tunggu sebentar, stop. Mari setidaknya kita tentukan apa sebenarnya yang ingin kita capai." Jadi dengan banyak tarik-menarik dan perdebatan, Haryana menentukan target untuk: pada tahun 2020, kami ingin 80 persen anak-anak kami memiliki pengetahuan sesuai standar. Detail dari tujuan itu tidak begitu penting disini, yang penting adalah seberapa spesifik tujuannya. Karena itu akan memungkinkan kami untuk menelaah semua ide yang kami punya dan memutuskan mana yang akan diimplementasikan. Apakah ide ini mendukung tujuannya? Jika ya, mari kita simpan. Tapi jika tidak atau kami tidak yakin, maka mari kita sisihkan. Meski terdengar sederhana, memiliki tujuan yang jelas di depan sangat memungkinkan kami untuk bisa tajam dan fokus dalam perjalanan transformasi ini. Dan melihat kembali dua setengah tahun terakhir, hal ini sangat positif bagi kami.
So we had the goal, and now we needed to figure out what are the issues, what is broken. Before we went into schools, a lot of people told us that education quality is poor because either the teachers are lazy, they don't come into schools, or they're incapable, they actually don't know how to teach. Well, when we went inside schools, we found something completely different. On most days, most teachers were actually inside schools. And when you spoke with them, you realized they were perfectly capable of teaching elementary classes. But they were not teaching. I went to a school where the teachers were getting the construction of a classroom and a toilet supervised. I went to another school where two of the teachers had gone to a nearby bank branch to deposit scholarship money into kids' accounts. At lunchtime, most teachers were spending all of their time getting the midday meal cooking, supervised and served to the students.
Jadi kami memiliki sebuah tujuan, dan sekarang kami perlu mencari tahu apa masalahnya, apa yang rusak. Sebelum kami pergi ke sekolah-sekolah, banyak orang memberitahu kami bahwa kualitas pendidikan buruk karena guru-gurunya malas, mereka tidak datang ke sekolah, atau mereka tidak mampu mengajar, tidak tahu cara mengajar. Ketika kami datang ke sekolah, kami menemukan sesuatu yang sangat berbeda. Seringkali, hampir semua guru ada di sekolah. Dan ketika kami berbicara dengan mereka, kami menyadari mereka sangat mampu untuk mengajar di tingkat SD. Tapi mereka tidak mengajar. Saya datang di sebuah sekolah dimana para gurunya mengawasi pembangunan sebuah ruang kelas dan sebuah toilet. Saya pergi ke sekolah lainnya dimana dua dari guru-gurunya pergi ke sebuah bank sekitar untuk menyetorkan uang beasiswa ke rekening anak-anak. Pada waktu makan siang, kebanyakan guru menghabiskan semua waktu mereka mengawasi proses memasak makan siang dan penyajiannya kepada para siswa.
So we asked the teachers, "What's going on, why are you not teaching?" And they said, "This is what's expected of us. When a supervisor comes to visit us, these are exactly the things that he checks. Has the toilet been made, has the meal been served. When my principal goes to a meeting at headquarters, these are exactly the things which are discussed."
Jadi kami bertanya pada guru-guru itu, "Apa yang terjadi, kenapa Anda tidak mengajar?" Dan mereka berkata, "Inilah yang diharapkan dari kami. Ketika seorang pengawas datang mengunjungi kami, hal-hal yang seperti inilah yang ia periksa. Apa toilet sudah dibangun, apa makanan sudah disajikan. Ketika kepala sekolah saya pergi untuk rapat di kantor pusat, hal-hal seperti inilah yang dibahas."
You see, what had happened was, over the last two decades, India had been fighting the challenge of access, having enough schools, and enrollment, bringing children into the schools. So the government launched a whole host of programs to address these challenges, and the teachers became the implicit executors of these programs. Not explicitly, but implicitly. And now, what was actually needed was not to actually train teachers further or to monitor their attendance but to tell them that what is most important is for them to go back inside classrooms and teach. They needed to be monitored and measured and awarded on the quality of teaching and not on all sorts of other things.
Jadi, Anda lihat, yang terjadi selama dua dekade terakir adalah, India menghadapi tantangan untuk mendapatkan akses, memiliki sekolah yang cukup, pendaftaran siswa, membawa anak-anak ke sekolah. Jadi pemerintah meluncurkan sejumlah program untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan para guru menjadi pelaksana implisit dari semua program ini. Tidak secara tersurat, tapi tersirat. Dan sekarang, apa yang sebenarnya dibutuhkan bukan untuk meningkatkan pelatihan guru atau memastikan kehadiran mereka tapi untuk memberitahu mereka bahwa yang paling penting adalah agar mereka kembali ke dalam kelas dan mengajar. Mereka perlu diawasi dan dinilai dan dihargai berdasarkan pada kualitas mengajar mereka dan bukan berdasarkan hal lainnya.
So as we went through the education system, as we delved into it deeper, we found a few such core root causes which were determining, which were shaping how people behaved in the system. And we realized that unless we change those specific things, we could do a number of other things. We could train, we could put technology into schools, but the system wouldn't change. And addressing these non-obvious core issues became a key part of the program.
Jadi saat kami menelusuri sistem pendidikan itu, dan menelitinya lebih dalam lagi, kami menemukan beberapa akar persoalan utama yang menentukan dan membentuk tingkah laku orang-orang dalam sistem tersebut. Dan kami menyadari bahwa kecuali kami mengubah hal tersebut, kami dapat melakukan banyak hal lain. Kami bisa melatih, membawa teknologi ke sekolah, tapi sistem itu tidak akan berubah. Dan menjawab permasalahan inti yang tak begitu terlihat ini, menjadi kunci dari (keberhasilan) program ini.
So, we had the goal and we had the issues, and now we needed to figure out what the solutions were. We obviously did not want to recreate the wheel, so we said, "Let's look around and see what we can find." And we found these beautiful, small pilot experiments all over the country and all over the world. Small things being done by NGOs, being done by foundations. But what was also interesting was that none of them actually scaled. All of them were limited to 50, 100 or 500 schools. And here, we were looking for a solution for 15,000 schools.
Jadi, kami mempunyai tujuan dan kami mengetahui masalahnya, dan sekarang kami perlu untuk mencari tahu apa solusinya. Tentu saja kami tidak ingin mengulangi roda (kesalahan) itu, jadi kami katakan, "Mari kita lihat sekeliling dan lihat apa yang kita temukan." Dan kami menemukan beberapa eksperimen percontohan kecil yang bekerja di seluruh India dan di seluruh dunia. Hal-hal kecil yang dilakukan LSM dan yayasan, Tapi yang juga menarik adalah, tak satu pun yang dilakukan dalam skala (besar). Semuanya terbatas pada 50, 100 atau 500 sekolah. Dan kami mencari sebuah solusi untuk 15.000 sekolah.
So we looked into why, if these things actually work, why don't they actually scale? What happens is that when a typical NGO comes in, they not only bring in their expertise but they also bring in additional resources. So they might bring in money, they might bring in people, they might bring in technology. And in the 50 or 100 schools that they actually operate in, those additional resources actually create a difference. But now imagine that the head of this NGO goes to the head of the School Education Department and says, "Hey, now let's do this for 15,000 schools." Where is that guy or girl going to find the money to actually scale this up to 15,000 schools? He doesn't have the additional money, he doesn't have the resources. And hence, innovations don't scale. So right at the beginning of the project, what we said was, "Whatever we have to do has to be scalable, it has to work in all 15,000 schools." And hence, it has to work within the existing budgets and resources that the state actually has. Much easier said than done. (Laughter)
Jadi kami mencari tahu kenapa, kalau metode ini memang berhasil, kenapa mereka tidak dapat diperbesar? Yang terjadi adalah ketika sebuah LSM masuk, mereka tidak hanya membawa keahlian mereka tapi mereka juga membawa sumber daya tambahan. Mungkin mereka membawa uang, mungkin tenaga ahli/pengajar, mungkin teknologi. Dan dalam 50 atau 100 sekolah dimana mereka beroperasi, sumber daya tambahan itu sungguh membuat perubahan. Tapi bayangkan, jika pimpinan LSM ini pergi menemui kepala Departemen Pendidikan Sekolah dan berkata, "Sekarang mari kita lakukan hal ini untuk 15.000 sekolah." Dari mana mereka akan bisa mendapatkan dana untuk menerapkan metode ini di 15.000 sekolah? Dia tidak punya uang sebesar itu, ataupun sumber daya sebanyak itu. Dan itulah mengapa inovasi tidak dapat diperbesar. Jadi, sejak permulaan proyek, yang kami katakan adalah, "Apapun yang kita lakukan harus dapat diperbesar, cara itu harus berhasil di keseluruhan 15.000 sekolah." Jadi, cara itu harus bisa berhasil dengan dana yang tesedia dan sumber daya yang dimiliki oleh negara bagian ini. Jauh lebih mudah bicara daripada praktik. (Tertawa)
I think this was definitely the point in time when my team hated me. We spent a lot of long hours in office, in cafés, sometimes even in bars, scratching out heads and saying, "Where are the solutions, how are we going to solve this problem?"
Saya rasa ini adalah satu titik ketika tim saya membenci saya. Kami menghabiskan banyak waktu di kantor, kafe, kadang bahkan di bar, menggaruk kepala dan berkata, "Dimana solusinya, bagaimana kita akan memecahkan masalah ini?"
In the end, I think we did find solutions to many of the issues. I'll give you an example. In the context of effective learning, one of the things people talk about is hands-on learning. Children shouldn't memorize things from books, they should do activities, and that's a more effective way to learn. Which basically means giving students things like beads, learning rods, abacuses. But we did not have the budgets to give that to 15,000 schools, 2 million children. We needed another solution. We couldn't think of anything. One day, one of our team members went to a school and saw a teacher pick up sticks and stones from the garden outside and take them into the classroom and give them to the students. That was a huge eureka moment for us. So what happens now in the textbooks in Haryana is that after every concept, we have a little box which are instructions for the teachers which say, "To teach this concept, here's an activity that you can do. And by the way, in order to actually do this activity, here are things that you can use from your immediate environment, whether it be the garden outside or the classroom inside, which can be used as learning aids for kids." And we see teachers all over Haryana using lots of innovative things to be able to teach students. So in this way, whatever we designed, we were actually able to implement it across all 15,000 schools from day one.
Pada akhirnya, saya pikir kami dapat menemukan solusi untuk banyak masalah. Saya akan memberikan Anda sebuah contoh. Dalam konteks pembelajaran efektif, salah satu cara yang didiskusikan adalah belajar praktik. Anak-anak harusnya tidak menghapal dari buku. mereka harus beraktivitas, yang merupakan cara lebih efektif untuk belajar. Yang intinya berarti memberi siswa benda seperti manik-manik, alat bantu belajar, sempoa. Tapi kami tidak mempunyai dana untuk menyediakannya untuk 15.000 sekolah, 2 juta anak. Kami perlu solusi lain. Kami tidak dapat menemukan solusinya. Satu hari, seorang anggota tim kami pergi ke sebuah sekolah dan melihat seorang guru mengambil ranting dan batu dari taman dan membawanya ke dalam kelas dan memberikannya pada para siswa. Itu adalah momen pencerahan kami. Jadi sekarang, dalam buku pelajaran di Haryana, untuk setiap konsep, kami punya satu kotak kecil yang berisi instruksi untuk guru yang mengatakan, "Untuk mengajarkan konsep ini, inilah aktivitas yang dapat Anda lakukan. Dan omong-omong, untuk dapat melakukan aktivitas ini, berikut benda-benda yang dapat Anda dapatkan di sekitar Anda, baik dari taman luar atau di dalam kelas, yang bisa digunakan sebagai alat bantu belajar bagi anak-anak." Dan kami melihat semua guru di Haryana menggunakan banyak benda inovatif untuk dapat mengajar para siswa. Jadi dengan cara ini, apapun yang kami rancang, kami benar-benar bisa melaksanakannya pada keseluruhan 15.000 sekolah dari hari pertama.
Now, this brings me to my last point. How do you implement something across 15,000 schools and 100,000 teachers? The department used to have a process which is very interesting. I like to call it "The Chain of Hope." They would write a letter from the headquarters and send it to the next level, which was the district offices. They would hope that in each of these district offices, an officer would get the letter, would open it, read it and then forward it to the next level, which was the block offices. And then you would hope that at the block office, somebody else got the letter, opened it, read it and forwarded it eventually to the 15,000 principals. And then one would hope that the principals got the letter, received it, understood it and started implementing it. It was a little bit ridiculous. Now, we knew technology was the answer, but we also knew that most of these schools don't have a computer or email. However, what the teachers do have are smartphones. They're constantly on SMS, on Facebook and on WhatsApp.
Ini membawa saya ke poin terakhir. Bagaimana kami bisa mengimplementasikan sesuatu pada 15.000 sekolah dan 100.000 guru? Departemen ini biasanya punya sebuah proses yang sangat menarik. Saya menyebutnya "Rantai Harapan." Mereka menulis sebuah surat dari kantor pusat dan mengirimkannya ke tingkat selanjutnya, yaitu kantor wilayah. Mereka berharap bahwa pada setiap kantor wilayah, seorang petugas akan menerima suratnya, membukanya, membacanya dan kemudian mengirimkan suratnya pada level selanjutnya, yaitu kantor RW. Dan kemudian kita berharap di kantor RW itu seseorang akan mendapatkan surat itu, membukanya, membacanya, dan melanjutkannya sehingga sampai ke 15.000 kepala sekolah. Dan kita kemudian berharap para kepala sekolah itu menerima surat itu, memahami isinya, dan mulai melakukannya. Agak konyol. Kami tahu teknologi bisa menyampaikan pesan ini dengan lebih baik, tapi kami juga tahu kebanyakan sekolah tidak punya komputer atau email. Namun, para gurunya punya ponsel pintar. Mereka aktif menggunakan SMS, Facebook dan WhatsApp.
So what now happens in Haryana is, all principals and teachers are divided into hundreds of WhatsApp groups and anytime something needs to be communicated, it's just posted across all WhatsApp groups. It spreads like wildfire. You can immediately check who has received it, who has read it. Teachers can ask clarification questions instantaneously. And what's interesting is, it's not just the headquarters who are answering these questions. Another teacher from a completely different part of the state will stand up and answer the question. Everybody's acting as everybody's peer group, and things are getting implemented. So today, when you go to a school in Haryana, things look different. The teachers are back inside classrooms, they're teaching. Often with innovative techniques. When a supervisor comes to visit the classroom, he or she not only checks the construction of the toilet but also what is the quality of teaching. Once a quarter, all students across the state are assessed on their learning outcomes and schools which are doing well are rewarded. And schools which are not doing so well find themselves having difficult conversations. Of course, they also get additional support to be able to do better in the future. In the context of education, it's very difficult to see results quickly.
Jadi yang terjadi di Haryana sekarang adalah, seluruh kepala sekolah dan guru dikelompokkan dalam ratusan grup Whatsapp dan setiap saat kami perlu menyampaikan sesuatu, akan kami kirimkan ke semua grup WhatsApp tersebut. Pesannya menyebar seperti kebakaran hutan. Anda bisa segera memeriksa siapa yang telah menerima pesan itu, siapa yang telah membacanya. Para guru dapat mengklarifikasi dan dan bertanya sesegera mungkin. Dan yang menarik adalah, tidak hanya kantor pusat yang menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Seorang guru dari wilayah lain akan angkat bicara dan menjawab pertanyaannya. Setiap orang bersikap seperti anggota satu kelompok dan segalanya (segera) dikerjakan. Jadi, kalau Anda mengunjungi sebuah sekolah di Haryana hari ini, banyak hal terlihat berbeda. Para guru kembali di dalam kelas, mereka mengajar. Seringkali dengan teknik yang inovatif. Ketika pengawas datang mengunjungi ruang kelas, Ia tidak hanya memeriksa pembangunan toilet, tapi juga kualitas pengajaran. Setiap 3 bulan, seluruh siswa di negara bagian ini dievaluasi akan hasil belajar mereka dan sekolah yang bekerja dengan baik diberi penghargaan. Dan sekolah yang kurang baik harus menjawab banyak pertanyaan. Tentu, mereka juga mendapatkan dukungan tambahan untuk dapat mengajar lebih baik di masa depan. Dalam konteks pendidikan, sangat sulit untuk melihat hasil dengan cepat.
When people talk about systemic, large-scale change, they talk about periods of 7 years and 10 years. But not in Haryana. In the last one year, there have been three independent studies, all measuring student learning outcomes, which indicate that something fundamental, something unique is happening in Haryana. Learning levels of children have stopped declining, and they have started going up. Haryana is one of the few states in the country which is showing an improvement, and certainly the one that is showing the fastest rate of improvement. These are still early signs, there's a long way to go, but this gives us a lot of hope for the future. I recently went to a school, and as I was leaving, I ran into a lady, her name was Parvati, she was the mother of a child, and she was smiling. And I said, "Why are you smiling, what's going on?" And she said, "I don't know what's going on, but what I do know is that my children are learning, they're having fun, and for the time being, I'll stop my search for a private school to send them to."
Ketika orang berbicara tentang perubahan sistemik dan berskala besar, yang mereka maksud adalah dalam periode 7 sampai 10 tahun. Tapi tidak di Haryana. Dalam 1 tahun terakhir, sudah ada 3 studi independen, semua menilai hasil belajar siswa yang mengindikasikan sesuatu yang mendasar, sesuatu yang unik sedang terjadi di Haryana. Tingkat pendidikan anak berhenti mengalami penurunan, dan mulai meningkat. Haryana adalah satu dari beberapa negara bagian di India yang menunjukkan perbaikan, dan bahkan salah satu yang paling cepat berkembang. Ini semua masih tanda-tanda awal, perjalanan kami masih panjang, tapi ini memberi kami banyak harapan untuk masa depan. Baru-baru ini saya berkunjung ke sekolah. dan ketika beranjak pergi saya bertemu seorang wanita, namanya Parvati, Ia adalah seorang ibu, dan ia sedang tersenyum. Dan saya bertanya, "Kenapa Anda tersenyum, ada apa?" Dan ia berkata, "Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi yang saya tahu anak-anak saya sedang belajar, mereka bersenang-senang, dan untuk saat ini, saya akan berhenti mencari sekolah swasta untuk anak-anak saya."
So I go back to where I started: Can government systems transform? I certainly believe so. I think if you give them the right levers, they can move mountains.
Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal saya: Bisakah sistem pemerintah berubah? Saya sangat yakin bisa. Menurut saya, kalau Anda memberi mereka tuas yang tepat, mereka bisa memindahkan gunung.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)