I'm going to speak today about the relationship between science and human values. Now, it's generally understood that questions of morality -- questions of good and evil and right and wrong -- are questions about which science officially has no opinion. It's thought that science can help us get what we value, but it can never tell us what we ought to value. And, consequently, most people -- I think most people probably here -- think that science will never answer the most important questions in human life: questions like, "What is worth living for?" "What is worth dying for?" "What constitutes a good life?"
Hari ini saya akan membahas tentang hubungan antara sains dan nilai kemanusiaan. Kini hal umum yang dipahami bahwa pertanyaan moralitas -- pertanyaan tentang ‘baik dan jahat’, ‘benar dan salah’ -- adalah pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh sains. Ada anggapan bahwa sains bisa membantu kita mendapatkan apa yang kita hargai, tetapi bukan apa yang seharusnya kita hargai. Lantas, kebanyakan orang di sini berpikir bahwa sains tak akan pernah menjawab pertanyaan terpenting dalam hidup manusia: seperti, “Kehidupan apa yang layak dijalani?” “Apa yang layak diperjuangkan?” “Apa yang menjadikan hidup indah?”
So, I'm going to argue that this is an illusion -- that the separation between science and human values is an illusion -- and actually quite a dangerous one at this point in human history. Now, it's often said that science cannot give us a foundation for morality and human values, because science deals with facts, and facts and values seem to belong to different spheres. It's often thought that there's no description of the way the world is that can tell us how the world ought to be. But I think this is quite clearly untrue. Values are a certain kind of fact. They are facts about the well-being of conscious creatures.
Jadi, saya berargumen bahwa ini adalah sebuah ilusi -- pemisahan antara sains dan nilai kemanusiaan adalah ilusi -- sebuah ilusi yang cukup berbahaya di dalam sejarah manusia. Sains sering dianggap tak bisa memberi kita landasan moralitas dan nilai kemanusiaan karena sains menguraikan fakta, sedangkan fakta dan nilai adalah dua dimensi yang berbeda. Sering dianggap bahwa tidak ada deskripsi tentang cara kerja dunia yang bisa memberi tahu kita bagaimana dunia seharusnya bekerja. Namun, saya kira ini jelas tidak benar. Nilai adalah suatu fakta jenis tertentu. Nilai adalah fakta tentang kesejahteraan makhluk hidup.
Why is it that we don't have ethical obligations toward rocks? Why don't we feel compassion for rocks? It's because we don't think rocks can suffer. And if we're more concerned about our fellow primates than we are about insects, as indeed we are, it's because we think they're exposed to a greater range of potential happiness and suffering. Now, the crucial thing to notice here is that this is a factual claim: This is something that we could be right or wrong about. And if we have misconstrued the relationship between biological complexity and the possibilities of experience well then we could be wrong about the inner lives of insects.
Mengapa kita tak punya kewajiban etis terhadap bebatuan? Mengapa kita tak berbelas kasih kepada bebatuan? Sebab bebatuan tak bisa menderita. Jika kita lebih peduli kepada sesama primata daripada serangga, yang mana memang benar, ini karena kita berpikir bahwa mereka lebih bisa merasakan kebahagiaan dan penderitaan. Hal yang penting untuk diperhatikan ini adalah sebuah klaim faktual: Kita bisa benar atau salah. Jika kita keliru tentang hubungan antara kompleksitas biologis dan kemungkinan perasaan, maka kita bisa salah tentang kehidupan serangga.
And there's no notion, no version of human morality and human values that I've ever come across that is not at some point reducible to a concern about conscious experience and its possible changes. Even if you get your values from religion, even if you think that good and evil ultimately relate to conditions after death -- either to an eternity of happiness with God or an eternity of suffering in hell -- you are still concerned about consciousness and its changes. And to say that such changes can persist after death is itself a factual claim, which, of course, may or may not be true.
Tidak ada ide, tidak ada versi moralitas manusia dan nilai kemanusiaan yang pernah saya temui yang pada akhirnya tidak bermuara pada kekhawatiran akan pengalaman kesadaran dan kemungkinan perubahannya. Meskipun jika Anda mendapatkan nilai-nilai dari agama, meskipun jika Anda pikir ‘baik dan jahat’ terhubung dengan kondisi sehabis kematian -- entah dengan kebahagiaan abadi bersama Tuhan atau siksaan abadi di neraka -- Anda masih mempertimbangkan kesadaran dan perubahannya. Pernyataan jika perubahan ini bisa melampaui kematian dengan sendirinya adalah klaim faktual, yang mana, tentu, bisa benar atau salah.
Now, to speak about the conditions of well-being in this life, for human beings, we know that there is a continuum of such facts. We know that it's possible to live in a failed state, where everything that can go wrong does go wrong -- where mothers cannot feed their children, where strangers cannot find the basis for peaceful collaboration, where people are murdered indiscriminately. And we know that it's possible to move along this continuum towards something quite a bit more idyllic, to a place where a conference like this is even conceivable.
Terkaitan dengan syarat kesejahteraan untuk manusia dalam hidup ini, kita tahu bahwa ada kaitan untuk fakta-fakta ini. Kita tahu bahwa tinggal di negara gagal itu memungkinkan, tempat di mana banyak hal menjadi salah -- tempat ibu tak bisa memberi makan anaknya, tempat orang asing tak bisa berkolaborasi dengan damai, tempat orang dibunuh tanpa pandang bulu. Kita tahu betapa mungkinnya untuk bergerak di rangkaian ini menuju sesuatu yang lebih ideal, menuju tempat di mana konferensi seperti ini bisa diadakan.
And we know -- we know -- that there are right and wrong answers to how to move in this space. Would adding cholera to the water be a good idea? Probably not. Would it be a good idea for everyone to believe in the evil eye, so that when bad things happened to them they immediately blame their neighbors? Probably not. There are truths to be known about how human communities flourish, whether or not we understand these truths. And morality relates to these truths.
Kita tahu -- kita tahu -- bahwa ada jawaban benar dan salah untuk bergerak di ruang ini. Apakah menambahkan kolera ke air sebuah ide bagus? Mungkin tidak. Apakah bagus jika semua orang bersikap sinis, agar saat hal buruk terjadi, mereka langsung menyalahkan tetangga? Mungkin tidak. Ada kebenaran yang perlu diketahui tentang cara komunitas manusia berkembang, entah kita memahaminya atau tidak. Moralitas berhubungan dengan kebenaran ini.
So, in talking about values we are talking about facts. Now, of course our situation in the world can be understood at many levels -- from the level of the genome on up to the level of economic systems and political arrangements. But if we're going to talk about human well-being we are, of necessity, talking about the human brain. Because we know that our experience of the world and of ourselves within it is realized in the brain --
Jadi, membahas nilai-nilai, itu sama dengan membahas fakta. Tentu, situasi kita di dunia bisa dipahami dalam banyak level -- dari level genom hingga sistem ekonomi dan susunan politik. Jika membahas kesejahteraan manusia, kita sejatinya membahas otak manusia. Karena kita tahu bahwa semua pengalaman kita di dunia direalisasikan di dalam otak --
whatever happens after death. Even if the suicide bomber does get 72 virgins in the afterlife, in this life, his personality -- his rather unfortunate personality -- is the product of his brain. So the contributions of culture -- if culture changes us, as indeed it does, it changes us by changing our brains. And so therefore whatever cultural variation there is in how human beings flourish can, at least in principle, be understood in the context of a maturing science of the mind -- neuroscience, psychology, etc.
apapun yang terjadi setelah kematian. Bahkan jika si pelaku bom bunuh diri mendapatkan 72 perawan di akhirat, di kehidupan ini, kepribadiannya -- kepribadiannya yang malang -- adalah produk dari otaknya. Jadi, kontribusi dari budaya -- jika budaya mengubah kita, yang mana memang benar, budaya melakukannya dengan mengubah otak kita. Jadi, apa pun variasi budaya yang ada tentang cara manusia berkembang setidaknya pada prinsipnya, dapat dipahami dalam konteks pemikiran saintifik yang matang -- ilmu saraf, psikologi, dll.
So, what I'm arguing is that value's reduced to facts -- to facts about the conscious experience of conscious beings. And we can therefore visualize a space of possible changes in the experience of these beings. And I think of this as kind of a moral landscape, with peaks and valleys that correspond to differences in the well-being of conscious creatures, both personal and collective. And one thing to notice is that perhaps there are states of human well-being that we rarely access, that few people access. And these await our discovery. Perhaps some of these states can be appropriately called mystical or spiritual. Perhaps there are other states that we can't access because of how our minds are structured but other minds possibly could access them.
Jadi, argumen saya adalah nilai-nilai akan bermuara pada fakta -- fakta tentang pengalaman sadar milik makhluk sadar. Maka, kita bisa membayangkan sebuah ruang bagi perubahan yang bisa dialami oleh makhluk tersebut. Saya menyebutnya lanskap moral, dengan puncak dan lembah yang menggambarkan perbedaan kesejahteraan para makhluk sadar, baik pribadi maupun kolektif. Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya kondisi kesejahteraan manusia yang jarang kita akses, yang sedikit diakses. Kondisi ini menunggu ditemukan. Mungkin beberapa kondisi ini bisa disebut mistis atau spiritual. Mungkin ada kondisi lain yang tak bisa kita akses karena struktur pikiran kita, tetapi bisa diakses oleh entitas dengan pikiran lain.
Now, let me be clear about what I'm not saying. I'm not saying that science is guaranteed to map this space, or that we will have scientific answers to every conceivable moral question. I don't think, for instance, that you will one day consult a supercomputer to learn whether you should have a second child, or whether we should bomb Iran's nuclear facilities, or whether you can deduct the full cost of TED as a business expense. (Laughter) But if questions affect human well-being then they do have answers, whether or not we can find them. And just admitting this -- just admitting that there are right and wrong answers to the question of how humans flourish -- will change the way we talk about morality, and will change our expectations of human cooperation in the future.
Saya harus memperjelas maksud saya. Saya tak mengatakan bahwa sains dijamin akan memetakan ruang ini, atau kita akan memiliki jawaban ilmiah untuk setiap pertanyaan moral yang ada. Saya tak berpikir bahwa suatu hari nanti Anda akan berkonsultasi kepada komputer super tentang kelahiran anak kedua, atau tentang rencana pengeboman fasilitas nuklir Iran, atau tentang perhitungan biaya TED sebagai pengeluaran bisnis. (Tawa) Jika pertanyaan memengaruhi kesejahteraan manusia, maka ada jawabannya, entah bisa ditemukan atau tidak. Dengan mengakui ini -- mengakui bahwa ada jawaban benar dan salah tentang cara manusia berkembang -- akan mengubah cara kita membahas moralitas, dan mengubah ekspektasi kita akan kooperasi manusia di masa depan.
For instance, there are 21 states in our country where corporal punishment in the classroom is legal, where it is legal for a teacher to beat a child with a wooden board, hard, and raising large bruises and blisters and even breaking the skin. And hundreds of thousands of children, incidentally, are subjected to this every year. The locations of these enlightened districts, I think, will fail to surprise you. We're not talking about Connecticut.
Contohnya, ada 21 negara bagian di AS yang melegalkan hukuman fisik di dalam kelas, yang mengizinkan guru untuk memukul anak dengan tongkat kayu dan membuat kulit mereka memar, lecet, dan rusak. Ratusan ribu anak-anak, kebetulan, mengalami ini tiap tahunnya. Lokasi distrik “tercerahkan” ini tak akan mengagetkan Anda. Kita tak membicarakan Connecticut.
And the rationale for this behavior is explicitly religious. The creator of the universe himself has told us not to spare the rod, lest we spoil the child -- this is in Proverbs 13 and 20, and I believe, 23. But we can ask the obvious question: Is it a good idea, generally speaking, to subject children to pain and violence and public humiliation as a way of encouraging healthy emotional development and good behavior? (Laughter) Is there any doubt that this question has an answer, and that it matters?
Secara eksplisit, alasan di balik perilaku ini sangatlah religius. Sang pencipta alam semesta berkata untuk tidak menyimpan tongkat kayu agar anak-anak tidak dimanja -- ini ada di Kitab Amsal 13 dan 20, dan saya kira 23. Namun, kita bisa bertanya: Secara umum, apakah ini sebuah ide bagus untuk memberikan anak-anak rasa sakit, kekejaman dan penghinaan publik sebagai cara mendorong perkembangan emosi yang sehat dan perilaku baik? (Tawa) Apakah ada keraguan bahwa pertanyaan ini punya jawaban yang penting?
Now, many of you might worry that the notion of well-being is truly undefined, and seemingly perpetually open to be re-construed. And so, how therefore can there be an objective notion of well-being? Well, consider by analogy, the concept of physical health. The concept of physical health is undefined. As we just heard from Michael Specter, it has changed over the years. When this statue was carved the average life expectancy was probably 30. It's now around 80 in the developed world. There may come a time when we meddle with our genomes in such a way that not being able to run a marathon at age 200 will be considered a profound disability. People will send you donations when you're in that condition. (Laughter)
Kebanyakan dari Anda mungkin khawatir bahwa konsep kesejahteraan itu sangat abu-abu, dan tampaknya bisa selalu ditafsirkan ulang dengan berbeda. Jadi, bagaimana mungkin bisa ada sebuah konsep objektif tentang kesejahteraan? Bayangkan dengan analogi, konsep kesehatan fisik. Konsep kesehatan fisik tidak punya arti jelas. Seperti kata Michael Specter, konsep ini telah berubah. Ketika patung ini diukir, usia harapan hidup rata-rata mungkin adalah 30 tahun. Kini sekitar usia 80 di negara maju. Mungkin akan tiba waktu saat kita mengotak-atik genom hingga ketidakmampuan untuk berlari maraton pada usia 200 akan dianggap sebagai sebuah cacat parah. Orang-orang mengirimkan donasi untuk Anda di kondisi itu. (Tawa)
Notice that the fact that the concept of health is open, genuinely open for revision, does not make it vacuous. The distinction between a healthy person and a dead one is about as clear and consequential as any we make in science. Another thing to notice is there may be many peaks on the moral landscape: There may be equivalent ways to thrive; there may be equivalent ways to organize a human society so as to maximize human flourishing.
Perhatikan bahwa konsep “kesehatan” yang sangat terbuka untuk revisi tidak menjadikannya hampa. Perbedaan antara seseorang yang sehat dan seseorang yang wafat itu sama jelasnya dengan perbedaan yang kita buat di sains. Hal penting lain yaitu banyaknya puncak di lanskap moral: Mungkin ada banyak cara ekuivalen untuk berkembang; mungkin ada cara lain untuk mengatur masyarakat agar manusia dapat berkembang secara optimal.
Now, why wouldn't this undermine an objective morality? Well think of how we talk about food: I would never be tempted to argue to you that there must be one right food to eat. There is clearly a range of materials that constitute healthy food. But there's nevertheless a clear distinction between food and poison. The fact that there are many right answers to the question, "What is food?" does not tempt us to say that there are no truths to be known about human nutrition. Many people worry that a universal morality would require moral precepts that admit of no exceptions.
Mengapa ini tidak membahayakan moralitas objektif? Bayangkan tentang cara kita membahas makanan: Saya tak akan tergoda untuk berdebat dengan Anda bahwa hanya ada satu makanan sehat. Jelas ada banyak bahan yang merupakan makanan sehat. Namun, ada perbedaan jelas antara makanan dan racun. Fakta bahwa ada banyak jawaban benar pada pertanyaan, “Apa itu makanan?” tidak membuat kita menyatakan tidak ada kebenaran untuk diketahui tentang nutrisi manusia. Kebanyakan orang khawatir bahwa moralitas universal akan memerlukan pedoman moral tanpa pengecualian.
So, for instance, if it's really wrong to lie, it must always be wrong to lie, and if you can find an exception, well then there's no such thing as moral truth. Why would we think this? Consider, by analogy, the game of chess. Now, if you're going to play good chess, a principle like, "Don't lose your Queen," is very good to follow. But it clearly admits some exceptions. There are moments when losing your Queen is a brilliant thing to do. There are moments when it is the only good thing you can do. And yet, chess is a domain of perfect objectivity. The fact that there are exceptions here does not change that at all.
Jadi, jika berbohong sangatlah salah, maka berbohong itu selalu salah, dan jika Anda bisa menemukan pengecualian, maka tidak ada kebenaran moral. Mengapa kita berpikir begitu? Bayangkan, dengan analogi, permainan catur. Jika Anda ingin bermain catur dengan baik, prinsip seperti, “Jangan kehilangan Ratu,” sangat bagus untuk diikuti. Namun, tentu ada beberapa pengecualian. Ada saat ketika kehilangan Ratu adalah langkah yang cemerlang. Ada saat ketika itu adalah satu-satunya hal baik untuk dilakukan. Namun, catur adalah domain objektivitas sempurna. Fakta bahwa adanya pengecualian di sini tidak mengubahnya sama sekali.
Now, this brings us to the sorts of moves that people are apt to make in the moral sphere. Consider the great problem of women's bodies: What to do about them? Well this is one thing you can do about them: You can cover them up. Now, it is the position, generally speaking, of our intellectual community that while we may not like this, we might think of this as "wrong" in Boston or Palo Alto, who are we to say that the proud denizens of an ancient culture are wrong to force their wives and daughters to live in cloth bags? And who are we to say, even, that they're wrong to beat them with lengths of steel cable, or throw battery acid in their faces if they decline the privilege of being smothered in this way?
Ini membawa kita ke gerak-gerik yang sering diambil orang-orang di dalam bidang moral. Pikirkan sebuah masalah besar, yaitu tubuh wanita: Apa yang harus dilakukan? Inilah satu hal yang bisa Anda lakukan: Anda bisa menutupi mereka. Secara umum, posisi komunitas intelektual kita adalah meskipun kita tidak menyukai ini, kita mungkin menganggapnya “salah” di Boston atau Palo Alto, tapi siapakah kita untuk berkata bahwa tindakan para warga budaya kuno yang memaksa istri dan anak perempuan mereka untuk tinggal di dalam karung kain itu salah? Siapakah kita untuk berkata bahwa mereka salah untuk memukuli mereka dengan kabel baja, atau melempar asam baterai ke wajah mereka jika menolak keistimewaan untuk ditutupi seperti ini?
Well, who are we not to say this? Who are we to pretend that we know so little about human well-being that we have to be non-judgmental about a practice like this? I'm not talking about voluntary wearing of a veil -- women should be able to wear whatever they want, as far as I'm concerned. But what does voluntary mean in a community where, when a girl gets raped, her father's first impulse, rather often, is to murder her out of shame?
Siapakah kita untuk tidak mengatakan ini? Siapakah kita untuk berpura-pura bahwa kita tahu sangat sedikit tentang kesejahteraan manusia hingga kita tak boleh menghakimi praktik seperti ini? Saya tak berbicara tentang pemakaian kerudung secara sukarela -- perempuan bebas memakai apa pun yang ia mau, setahu saya. Namun, apakah arti “sukarela” di komunitas di mana ketika seorang wanita diperkosa, reaksi pertama si ayah umumnya seringnya adalah untuk membunuh si putri karena rasa malu?
Just let that fact detonate in your brain for a minute: Your daughter gets raped, and what you want to do is kill her. What are the chances that represents a peak of human flourishing?
Sejenak, izinkan fakta itu meledak di otak Anda: Anak perempuan Anda diperkosa, dan yang ingin Anda lakukan adalah membunuhnya. Apa kemungkinan hal tersebut mewakili puncak perkembangan manusia?
Now, to say this is not to say that we have got the perfect solution in our own society. For instance, this is what it's like to go to a newsstand almost anywhere in the civilized world. Now, granted, for many men it may require a degree in philosophy to see something wrong with these images. (Laughter) But if we are in a reflective mood, we can ask, "Is this the perfect expression of psychological balance with respect to variables like youth and beauty and women's bodies?" I mean, is this the optimal environment in which to raise our children? Probably not. OK, so perhaps there's some place on the spectrum between these two extremes that represents a place of better balance. (Applause) Perhaps there are many such places --
Dengan ini, saya tidak mengatakan bahwa kita punya solusi sempurna di masyarakat kita. Contohnya, inilah rasanya menghampiri kios koran hampir di mana pun di dunia beradab. Untuk banyak pria, mungkin diperlukan sarjana filosofi untuk melihat kesalahan gambar ini. (Tawa) Namun, jika kita dalam suasana reflektif, kita bisa bertanya, “Apakah ini ekspresi sempurna dari keseimbangan psikologis dari variabel seperti kaum muda, kecantikan, dan tubuh wanita?” Apakah ini lingkungan yang optimal untuk membesarkan anak-anak kita? Mungkin tidak. Mungkin ada sebuah titik di spektrum di antara kedua ekstrem ini yang mewakili tempat yang lebih seimbang. (Tepuk tangan) Mungkin ada banyak tempat seperti ini --
again, given other changes in human culture there may be many peaks on the moral landscape. But the thing to notice is that there will be many more ways not to be on a peak. Now the irony, from my perspective, is that the only people who seem to generally agree with me and who think that there are right and wrong answers to moral questions are religious demagogues of one form or another.
lagi, adanya perubahan lain dalam budaya manusia membawa banyak puncak di lanskap moral. Namun, perlu diperhatikan bahwa ada banyak sekali cara untuk tidak berada di puncak. Ironisnya, dari perspektif saya, yaitu orang-orang yang umumnya setuju dengan saya berpikir bahwa ada jawaban benar dan salah kepada pertanyaan moral adalah penggerak religius dalam satu bentuk atau lainnya.
And of course they think they have right answers to moral questions because they got these answers from a voice in a whirlwind, not because they made an intelligent analysis of the causes and condition of human and animal well-being. In fact, the endurance of religion as a lens through which most people view moral questions has separated most moral talk from real questions of human and animal suffering. This is why we spend our time talking about things like gay marriage and not about genocide or nuclear proliferation or poverty or any other hugely consequential issue. But the demagogues are right about one thing: We need a universal conception of human values.
Tentu, mereka kira mereka punya jawaban benar karena mereka mendapatkannya dari sebuah suara dalam angin puyuh, bukan karena mereka telah menganalisis faktor di balik kesejahteraan manusia dan hewan. Faktanya, bertahannya agama sebagai cara orang memandang pertanyaan moral telah memisahkan kebanyakan perbincangan moral dari pertanyaan yang nyata tentang penderitaan manusia dan hewan. Inilah mengapa kita menghabiskan waktu untuk membahas perkawinan gay dan tidak membahas genosida atau pengembangan nuklir atau kemiskinan atau isu berdampak besar lainnya. Namun, para penggerak itu benar tentang satu hal: Kita butuh sebuah konsepsi universal akan nilai-nilai manusiawi.
Now, what stands in the way of this? Well, one thing to notice is that we do something different when talking about morality -- especially secular, academic, scientist types. When talking about morality we value differences of opinion in a way that we don't in any other area of our lives. So, for instance the Dalai Lama gets up every morning meditating on compassion, and he thinks that helping other human beings is an integral component of human happiness. On the other hand, we have someone like Ted Bundy; Ted Bundy was very fond of abducting and raping and torturing and killing young women.
Lalu, apa yang menghambat ini? Satu hal untuk diperhatikan adalah kita melenceng saat membahas moralitas -- terutama tipe-tipe ilmuwan, sekular, dan akademik. Ketika membahas moralitas, kita menghargai perbedaan pendapat dengan cara yang tak kita jumpai di bidang lainnya. Contohnya, Dalai Lama bangun tiap pagi dan bermeditasi tentang belas kasihan, dan ia berpikir bahwa membantu orang lain adalah komponen integral dari kebahagiaan manusia. Di sisi lain, ada Ted Bundy; ia sangat senang menculik, memerkosa, menyiksa, dan membunuh wanita muda.
So, we appear to have a genuine difference of opinion about how to profitably use one's time. (Laughter) Most Western intellectuals look at this situation and say, "Well, there's nothing for the Dalai Lama to be really right about -- really right about -- or for Ted Bundy to be really wrong about that admits of a real argument that potentially falls within the purview of science. He likes chocolate, he likes vanilla. There's nothing that one should be able to say to the other that should persuade the other." Notice that we don't do this in science.
Jadi, jelas terlihat ada perbedaan pendapat tentang cara memanfaatkan waktu. (Tawa) Kebanyakan kaum intelek Barat melihat situasi ini dan berkata, “Tidak ada yang menjadikan Dalai Lama benar atau Ted Bundy salah yang merupakan sebuah argumen nyata yang termasuk dalam kapasitas sains. Ia menyukai coklat, ia menyukai vanila. Tidak ada yang bisa dikatakan olehnya untuk membujuk pihak yang lain.” Perhatikan, kita tidak melakukan ini di sains.
On the left you have Edward Witten. He's a string theorist. If you ask the smartest physicists around who is the smartest physicist around, in my experience half of them will say Ed Witten. The other half will tell you they don't like the question. (Laughter) So, what would happen if I showed up at a physics conference and said,"String theory is bogus. It doesn't resonate with me. It's not how I chose to view the universe at a small scale. I'm not a fan." (Laughter) Well, nothing would happen because I'm not a physicist; I don't understand string theory. I'm the Ted Bundy of string theory. (Laughter) I wouldn't want to belong to any string theory club that would have me as a member.
Di sisi kiri, ada Edward Witten. Ia adalah ahli teori <i>string</i>. Jika Anda menanyakan fisikawan terpintar tentang siapakah fisikawan terpintar, saya kira setengahnya akan menjawab Ed Witten. Setengah lainnya akan berkata mereka tak menyukai pertanyaannya. (Tawa) Apa yang akan terjadi jika saya datang ke konferensi fisika dan berkata, “Teori <i>string</i> itu palsu. Teorinya tidak cocok dengan saya. Itu bukan cara saya memandang alam semesta dalam skala kecil. Saya tak menyukainya.” (Tawa) Tak akan terjadi apa pun karena saya bukan fisikawan; saya tidak memahami teori <i>string</i>. Saya adalah Ted Bundy-nya teori <i>string</i>. (Tawa) Saya tak ingin bergabung klub teori <i>string</i> dengan saya sebagai anggotanya.
But this is just the point. Whenever we are talking about facts certain opinions must be excluded. That is what it is to have a domain of expertise. That is what it is for knowledge to count. How have we convinced ourselves that in the moral sphere there is no such thing as moral expertise, or moral talent, or moral genius even? How have we convinced ourselves that every opinion has to count? How have we convinced ourselves that every culture has a point of view on these subjects worth considering? Does the Taliban have a point of view on physics that is worth considering? No. (Laughter) How is their ignorance any less obvious on the subject of human well-being? (Applause)
Namun, inilah poinnya. Ketika kita membahas fakta, beberapa pendapat harus disingkirkan. Itulah arti dari memiliki domain keahlian. Itu sebuah keharusan agar ilmu tetap memiliki bobot. Bagaimana kita bisa meyakinkan diri bahwa dalam lingkup moral tidak ada keahlian moral, bakat moral, atau bahkan kejeniusan moral? Bagaimana kita bisa meyakinkan diri bahwa tiap pendapat harus diperhatikan? Bagaimana bisa meyakinkan diri bahwa tiap budaya memiliki sudut pandang yang layak dipertimbangkan mengenai subjek ini? Apakah Taliban punya sudut pandang akan fisika yang layak dipertimbangkan? Tidak. (Tawa) Bagaimana ketidaktahuan mereka akan masalah kesejahteraan manusia? (Tepuk tangan)
So, this, I think, is what the world needs now. It needs people like ourselves to admit that there are right and wrong answers to questions of human flourishing, and morality relates to that domain of facts. It is possible for individuals, and even for whole cultures, to care about the wrong things, which is to say that it's possible for them to have beliefs and desires that reliably lead to needless human suffering. Just admitting this will transform our discourse about morality. We live in a world in which the boundaries between nations mean less and less, and they will one day mean nothing.
Jadi, saya kira inilah yang dibutuhkan dunia saat ini. Dunia butuh orang-orang seperti kita untuk mengakui bahwa ada jawaban yang benar dan salah atas pertanyaan perkembangan manusia, dan moralitas terhubung dengan domain fakta tersebut. Memungkinkan untuk individu, dan bahkan untuk seisi budaya, untuk memedulikan hal-hal yang salah, yang mana memungkinkan mereka untuk memiliki kepercayaan dan hasrat yang berujung kepada penderitaan manusia yang cuma-cuma. Mengakui ini akan mengubah percakapan kita tentang moralitas. Kita tinggal di dunia tempat batasan antara bangsa-bangsa menjadi semakin tak berarti, dan suatu hari tak akan berarti apa-apa.
We live in a world filled with destructive technology, and this technology cannot be uninvented; it will always be easier to break things than to fix them. It seems to me, therefore, patently obvious that we can no more respect and tolerate vast differences in notions of human well-being than we can respect or tolerate vast differences in the notions about how disease spreads, or in the safety standards of buildings and airplanes. We simply must converge on the answers we give to the most important questions in human life. And to do that, we have to admit that these questions have answers. Thank you very much. (Applause)
Kita tinggal di dunia dengan teknologi yang merusak, dan teknologi ini tak bisa dilenyapkan; akan selalu lebih mudah untuk menghancurkan sesuatu daripada memperbaikinya. Maka, saya kira sangat jelas bahwa kita tak bisa lagi menghargai dan menoleransi perbedaan besar dalam konsep kesejahteraan manusia; layaknya kita tak menoleransi perbedaan besar dalam konsep penyebaran penyakit, atau dalam standar keamanan bangunan dan pesawat terbang. Kita harus bersatu dalam jawaban kita akan pertanyaan terpenting dalam hidup. Untuk melakukan itu, kita harus mengakui bahwa pertanyaan ini memiliki jawaban. Terima kasih banyak. (Tepuk tangan)
Chris Anderson: So, some combustible material there. Whether in this audience or people elsewhere in the world, hearing some of this, may well be doing the screaming-with-rage thing, after as well, some of them.
Chris Anderson: Jadi, materinya sensitif juga, ya. Entah di audiens ini atau orang di mana pun di dunia, setelah mendengar ini mungkin akan merasakan kemarahan besar.
Language seems to be really important here. When you're talking about the veil, you're talking about women dressed in cloth bags. I've lived in the Muslim world, spoken with a lot of Muslim women. And some of them would say something else. They would say, "No, you know, this is a celebration of female specialness, it helps build that and it's a result of the fact that" -- and this is arguably a sophisticated psychological view -- "that male lust is not to be trusted." I mean, can you engage in a conversation with that kind of woman without seeming kind of cultural imperialist?
Bahasa sepertinya sangat penting di sini. Ketika membahas kerudung, Anda membicarakan tentang wanita yang berpakaian karung kain. Saya telah tinggal di dunia Muslim, berbicara dengan banyak wanita Muslim. Beberapa dari mereka berkata lain, seperti, “Tidak, ini adalah selebrasi tentang keistimewaan wanita, ini membantu membangunnya dan adalah sebuah hasil dari pandangan -- ini bisa dibilang pandangan psikologis rumit -- bahwa nafsu pria tak bisa dipercaya.” Bisakah Anda berbincang dengan wanita ini tanpa terlihat seperti seorang penjajah budaya?
Sam Harris: Yeah, well I think I tried to broach this in a sentence, watching the clock ticking, but the question is: What is voluntary in a context where men have certain expectations, and you're guaranteed to be treated in a certain way if you don't veil yourself? And so, if anyone in this room wanted to wear a veil, or a very funny hat, or tattoo their face -- I think we should be free to voluntarily do whatever we want, but we have to be honest about the constraints that these women are placed under. And so I think we shouldn't be so eager to always take their word for it, especially when it's 120 degrees out and you're wearing a full burqa.
Sam Harris: Ya, saya akan membahas ini dengan singkat, melihat jam yang berdetak, tapi pertanyaannya adalah: Apakah arti “sukarela” dalam konteks di mana pria punya ekspektasi, dan Anda dijamin akan diperlakukan dengan cara tertentu jika Anda tak mengerudungi diri? Jadi, jika siapa pun di ruangan ini ingin memakai sebuah kerudung, atau sebuah topi lucu, atau menato wajah mereka -- saya kira mereka bebas untuk melakukannya secara sukarela, tapi kita harus terbuka tentang desakan yang ditimpakan pada wanita ini. Jadi, saya kira kita tak harus selalu menerima jawaban mereka, terutama ketika suhu di luar 49°C dan Anda memakai burkak penuh.
CA: A lot of people want to believe in this concept of moral progress. But can you reconcile that? I think I understood you to say that you could reconcile that with a world that doesn't become one dimensional, where we all have to think the same. Paint your picture of what rolling the clock 50 years forward, 100 years forward, how you would like to think of the world, balancing moral progress with richness.
CA: Banyak orang ingin memercayai konsep kemajuan moral. Bisakah Anda menerimanya? Saya paham ketika Anda berkata bahwa Anda bisa menerimanya dengan dunia yang tak satu dimensi, di mana kita harus berpikir dengan sama. Bayangkan, 50 tahun ke depan, 100 tahun ke depan, bagaimana Anda ingin membayangkan dunia dengan menyeimbangkan kemajuan moral bersama keberagaman. SH: Setelah Anda mengakui
SH: Well, I think once you admit that we are on the path toward understanding our minds at the level of the brain in some important detail, then you have to admit that we are going to understand all of the positive and negative qualities of ourselves in much greater detail. So, we're going to understand positive social emotion like empathy and compassion, and we're going to understand the factors that encourage it -- whether they're genetic, whether they're how people talk to one another, whether they're economic systems, and insofar as we begin to shine light on that we are inevitably going to converge on that fact space.
bahwa kita di jalur yang sama menuju pemahaman pikiran pada level otak secara mendetail, maka Anda harus mengakui bahwa kita akan memahami seluruh kualitas positif dan negatif akan diri kita dalam detail besar. Jadi, kita akan memahami emosi sosial positif seperti empati dan kasih sayang, dan kita akan memahami faktor-faktornya -- entah genetik, entah cara manusia berbicara satu sama lain, entah sistem ekonomi, dan sejauh kita mulai memahaminya, kita pasti akan menutup celah fakta tersebut. Jadi, tak semua akan diperebutkan.
So, everything is not going to be up for grabs. It's not going to be like veiling my daughter from birth is just as good as teaching her to be confident and well-educated in the context of men who do desire women. I mean I don't think we need an NSF grant to know that compulsory veiling is a bad idea -- but at a certain point we're going to be able to scan the brains of everyone involved and actually interrogate them. Do people love their daughters just as much in these systems? And I think there are clearly right answers to that.
Itu tak akan seperti, mengerudungi putri saya dari lahir itu sama bagusnya dengan mengajarinya untuk menjadi percaya diri dan terdidik dalam konteks pria yang menginginkan wanita. Saya kira kita tak perlu izin dari pemerintah untuk tahu bahwa pengerudungan wajib adalah ide buruk -- tapi di suatu saat, kita akan bisa memindai otak semua orang yang terlibat dan menginterogasi mereka. Apakah rasa cinta mereka terhadap anak perempuannya sama besarnya dalam sistem-sistem ini? Saya kira jelas ada jawaban untuk itu.
CA: And if the results come out that actually they do, are you prepared to shift your instinctive current judgment on some of these issues?
CA: Jika hasil berkata bahwa rasa cinta mereka sama besar, apakah Anda siap untuk mengubah pandangan Anda mengenai isu-isu ini?
SH: Well yeah, modulo one obvious fact, that you can love someone in the context of a truly delusional belief system. So, you can say like, "Because I knew my gay son was going to go to hell if he found a boyfriend, I chopped his head off. And that was the most compassionate thing I could do." If you get all those parts aligned, yes I think you could probably be feeling the emotion of love. But again, then we have to talk about well-being in a larger context. It's all of us in this together, not one man feeling ecstasy and then blowing himself up on a bus.
SH: Iya, tersisa satu fakta jelas, bahwa Anda bisa mencintai seseorang dalam konteks sebuah sistem kepercayaan khayalan. Jadi, Anda berkata, “Karena saya tahu putra gay saya akan masuk neraka jika menemukan pacar, maka saya memenggal dia dan itu bentuk kasih sayang saya.” Jika Anda memahami ini, maka saya kira, ya, Anda bisa merasakan cinta. Namun, lagi, kita harus membahas kesejahteraan dalam konteks luas. Kita semua terlibat bersama-sama, bukan satu pria bahagia yang meledakkan dirinya di dalam bus.
CA: Sam, this is a conversation I would actually love to continue for hours. We don't have that, but maybe another time. Thank you for coming to TED.
CA: Sam, ini adalah perbincangan yang ingin saya lanjutkan berjam-jam. Kita tak bisa, mungkin di lain waktu. Terima kasih telah hadir di TED.
SH: Really an honor. Thank you. (Applause)
SH: Sebuah kehormatan. (Tepuk tangan)