Khan Academy is most known for its collection of videos, so before I go any further, let me show you a little bit of a montage.
Khan Academy paling terkenal karena koleksi videonya, jadi sebelum saya berbicara terlalu jauh, saya ingin menunjukkan sebuah montase.
(Video) Salman Khan: So the hypotenuse is now going to be five. This animal's fossils are only found in this area of South America -- a nice clean band here -- and this part of Africa. We can integrate over the surface, and the notation usually is a capital sigma. National Assembly: They create the Committee of Public Safety, which sounds like a very nice committee. Notice, this is an aldehyde, and it's an alcohol. Start differentiating into effector and memory cells. A galaxy. Hey! There's another galaxy. Oh, look! There's another galaxy. And for dollars, is their 30 million, plus the 20 million dollars from the American manufacturer. If this does not blow your mind, then you have no emotion.
(Video) Salman Khan: Jadi, panjang hipotenusanya adalah lima. Fosil hewan ini hanya ditemukan di Amerika Selatan bagian ini -- bagian berbentuk memanjang ini -- dan Afrika bagian ini. Kita dapat mengintegralkan permukaannya, dan notasi yang digunakan biasanya huruf sigma kapital. Majelis Nasional: Mereka membentuk Komite Keamanan Publik, yang kedengarannya sangat baik hati. Perhatikan, ini adalah aldehida, dan ini adalah alkohol. Mulailah membedakannya menjadi sel efektor dan memori. Sebuah galaksi. Hei, itu ada galaksi lain. Wah, lihat, ada galaksi lain lagi. Dan uangnya adalah 30 juta milik mereka, ditambah 20 juta dolar dari pengusaha pabrik Amerika. Bila ini tidak membuatmu terpukau, berarti kamu tidak punya perasaan.
(Laughter)
(Tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
(Live) SK: We now have on the order of 2,200 videos, covering everything from basic arithmetic, all the way to vector calculus, and some of the stuff that you saw up there. We have a million students a month using the site, watching on the order of 100 to 200,000 videos a day. But what we're going to talk about in this is how we're going to the next level. But before I do that, I want to talk a little bit about really just how I got started. And some of you all might know, about five years ago, I was an analyst at a hedge fund, and I was in Boston, and I was tutoring my cousins in New Orleans, remotely. And I started putting the first YouTube videos up, really just as a kind of nice-to-have, just kind of a supplement for my cousins, something that might give them a refresher or something.
SK: Kami kini mempunyai sekitar 2.200 video yang meliputi segala bidang, mulai dari aritmatika dasar sampai kalkulus vektor dan yang Anda baru saja lihat. Sejuta pelajar menggunakan situs kami tiap bulannya, menyaksikan sekitar 100 sampai 200 ribu video tiap hari. Tapi yang akan kita bicarakan kali ini adalah bagaimana kami akan menuju tingkat selanjutnya. Tapi sebelum saya melakukannya, saya ingin menceritakan sedikit awal mulanya saya melakukan semua ini. Sebagian dari Anda mungkin tahu, sekitar lima tahun yang lalu saya bekerja sebagai analis di perusahaan hedge fund. Saya tinggal di Boston, dan saya menjadi tutor sepupu saya di New Orleans secara jarak jauh. Saya mengunggah video-video pertama saya ke YouTube hanya sebagai fasilitas tambahan, sebagai suplemen bagi sepupu-sepupu saya -- sesuatu untuk menyegarkan ingatan mereka.
And as soon as I put those first YouTube videos up, something interesting happened. Actually, a bunch of interesting things happened. The first was the feedback from my cousins. They told me that they preferred me on YouTube than in person.
Dan begitu saya menayangkan video-video YouTube tersebut, sesuatu yang menarik terjadi -- sebenarnya, beberapa hal menarik terjadi. Pertama adalah umpan balik dari sepupu-sepupu saya. Mereka mengatakan bahwa mereka lebih menyukai saya di YouTube daripada bertemu langsung.
(Laughter)
(Tawa)
And once you get over the backhanded nature of that, there was actually something very profound there. They were saying that they preferred the automated version of their cousin to their cousin. At first it's very unintuitive, but when you think about it from their point of view, it makes a ton of sense. You have this situation where now they can pause and repeat their cousin, without feeling like they're wasting my time. If they have to review something that they should have learned a couple of weeks ago, or maybe a couple of years ago, they don't have to be embarrassed and ask their cousin. They can just watch those videos; if they're bored, they can go ahead. They can watch at their own time and pace. Probably the least-appreciated aspect of this is the notion that the very first time that you're trying to get your brain around a new concept, the very last thing you need is another human being saying, "Do you understand this?" And that's what was happening with the interaction with my cousins before, and now they can just do it in the intimacy of their own room.
Dan ketika Anda sudah tidak merasa terlalu tersinggung, sebenarnya ada kenyataan yang terlihat jelas di situ. Mereka mengatakan bahwa mereka lebih menyukai versi terotomatisasi dari sepupu mereka daripada sepupu mereka yang sungguhan. Awalnya memang terasa janggal, tapi ketika kita memikirkannya dari sudut pandang mereka, sebenarnya ini sangat masuk akal. Keadaannya adalah mereka dapat memberhentikan sebentar dan mengulang penjelasan sepupu mereka, tanpa mereka merasa membuang-buang waktu saya. Jika mereka harus mengulas kembali sesuatu yang harusnya sudah mereka pahami beberapa minggu sebelumnya, atau bahkan beberapa tahun sebelumnya, mereka tidak harus malu-malu bertanya pada sepupu mereka. Mereka cukup menyaksikan video-video itu. Dan bila merasa bosan, mereka dapat mempercepatnya. Mereka dapat menyaksikannya kapanpun mereka mau, secepat apapun mereka mau. Dan mungkin aspek yang paling tidak disadari adalah kenyataan bahwa pada saat pertama kali, benar-benar pertama kali, Anda berusaha memahami suatu konsep baru, hal yang paling tidak Anda inginkan adalah mendengar manusia lain berkata, "Kamu sudah mengerti ini?" Dan itulah yang terjadi setiap interaksi dengan para sepupu saya sebelumnya. Dan sekarang mereka dapat melakukannya dengan nyaman di kamar mereka sendiri.
The other thing that happened is -- I put them on YouTube just -- I saw no reason to make it private, so I let other people watch it, and then people started stumbling on it, and I started getting some comments and some letters and all sorts of feedback from random people around the world. These are just a few. This is actually from one of the original calculus videos. Someone wrote it on YouTube, it was a YouTube comment: "First time I smiled doing a derivative."
Hal lain yang terjadi adalah -- Saya menayangkannya di YouTube hanya -- Saya tidak menemukan alasan untuk menyembunyikannya, jadi saya biarkan orang lain menyaksikannya. Dan orang-orang mulai menemukannya secara tidak sengaja. Dan saya mulai mendapat komentar-komentar dan surat, dan berbagai macam umpan balik dari orang-orang asing di seluruh dunia. Dan ini hanya sebagian kecil di antaranya. Ini komentar untuk salah satu video kalkulus yang awal. Dan ada yang menulis di YouTube -- sebuah komentar di YouTube: "Baru pertama kali saya tersenyum saat mengerjakan soal turunan."
(Laughter)
(Tawa)
Let's pause here. This person did a derivative, and then they smiled.
Dan mari berhenti sejenak. Orang ini mengerjakan soal turunan lalu tersenyum.
(Laughter)
Dan balasan terhadap komentar tadi -- ini di galur diskusi yang sama,
In response to that same comment -- this is on the thread, you can go on YouTube and look at the comments -- someone else wrote: "Same thing here. I actually got a natural high and a good mood for the entire day, since I remember seeing all of this matrix text in class, and here I'm all like, 'I know kung fu.'"
Anda dapat membuka YouTube dan melihat komentar-komentar ini -- orang lain mengatakan: "Sama dong. Saya benar-benar merasa gembira dan suasana hati saya riang sepanjang hari. Saya ingat melihat semua buku tentang matriks ini di kelas, dan sekarang saya merasa, 'Saya bisa kung fu.'"
(Laughter)
(Tawa)
We get a lot of feedback along those lines. This clearly was helping people. But then, as the viewership kept growing and kept growing, I started getting letters from people, and it was starting to become clear that it was more than just a nice-to-have. This is just an excerpt from one of those letters: "My 12 year-old son has autism, and has had a terrible time with math. We have tried everything, viewed everything, bought everything. We stumbled on your video on decimals, and it got through. Then we went on to the dreaded fractions. Again, he got it. We could not believe it. He is so excited." And so you can imagine, here I was, an analyst at a hedge fund -- it was very strange for me to do something of social value.
Dan kami mendapat banyak umpan balik seperti ini. Ternyata ini benar-benar membantu banyak orang. Tapi kemudian, seiring bertambahnya jumlah pemirsa kami, saya mulai mendapat banyak surat, dan mulai tampak jelas Bahwa ini lebih dari sekadar fasilitas tambahan. Ini satu cuplikan dari salah satu surat yang saya terima. "Putra saya yang berusia 12 tahun mengidap autisme dan mengalami kesulitan besar dengan matematika. Kami telah mencoba segalanya, menyaksikan segalanya, membeli segalanya. Kami menemukan video Anda tentang bilangan desimal dan ternyata dia jadi mengerti. Lalu kami mencoba video tentang bilangan pecahan yang menakutkan itu. Lagi-lagi dia paham. Kami hampir tidak percaya. Dia begitu bersemangat." Dan Anda bisa bayangkan, saat itu saya adalah analis di hedge fund. Rasanya aneh sekali bagi saya untuk melakukan tindakan yang bernilai sosial.
(Laughter)
(Tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
But I was excited, so I kept going. And then a few other things started to dawn on me; that not only would it help my cousins right now, or these people who were sending letters, but that this content will never grow old, that it could help their kids or their grandkids. If Isaac Newton had done YouTube videos on calculus, I wouldn't have to.
Tapi saya sangat bersemangat, jadi saya teruskan. Kemudian beberapa hal lain mulai tampak jelas bagi saya. Bahwa bukan saja sepupu saya yang terbantu, atau para pengirim surat tadi, tapi konten ini tidak akan pernah kadaluwarsa, dan dapat membantu anak-anak mereka atau cucu-cucu mereka. Bila Isaac Newton membuat video YouTube tentang kalkulus, saya tidak perlu lagi melakukannya.
(Laughter)
(Tawa)
Assuming he was good. We don't know.
Tentunya bila hasilnya bagus. Kita tidak tahu.
(Laughter)
(Tawa)
The other thing that happened -- and even at this point, I said, "OK, maybe it's a good supplement. It's good for motivated students. It's good for maybe home-schoolers." But I didn't think it would somehow penetrate the classroom. Then I started getting letters from teachers, and the teachers would write, saying, "We've used your videos to flip the classroom. You've given the lectures, so now what we do --" And this could happen in every classroom in America tomorrow -- "what I do is I assign the lectures for homework, and what used to be homework, I now have the students doing in the classroom."
Hal lainnya yang terjadi -- dan saat itu pun saya masih berpikir, "Oke, mungkin ini suplemen yang bagus. Ini bagus untuk pelajar yang bermotivasi tinggi. Bagus juga untuk mereka yang home-schooling." Tetapi saya tidak berpikir ini dapat menembus sampai ke ruang kelas. Tetapi kemudian saya mulai mendapat surat dari para guru. Dan para guru itu menulis, "Kami menggunakan video Anda untuk membalik ruang kelas. Anda sudah menyampaikan materi, jadi sekarang yang kami lakukan..." dan ini dapat terjadi besok di semua ruang kelas di Amerika, " ... yang saya lakukan adalah menjadikan video Anda pekerjaan rumah. Dan yang tadinya soal untuk pekerjaan rumah, sekarang dikerjakan oleh murid saya di kelas."
And I want to pause here --
Dan saya jngin berhenti sejenak untuk --
(Applause)
(Tepuk tangan)
I want to pause here, because there's a couple of interesting things. One, when those teachers are doing that, there's the obvious benefit -- the benefit that now their students can enjoy the videos in the way that my cousins did, they can pause, repeat at their own pace, at their own time. But the more interesting thing -- and this is the unintuitive thing when you talk about technology in the classroom -- by removing the one-size-fits-all lecture from the classroom, and letting students have a self-paced lecture at home, then when you go to the classroom, letting them do work, having the teacher walk around, having the peers actually be able to interact with each other, these teachers have used technology to humanize the classroom. They took a fundamentally dehumanizing experience -- 30 kids with their fingers on their lips, not allowed to interact with each other. A teacher, no matter how good, has to give this one-size-fits-all lecture to 30 students -- blank faces, slightly antagonistic -- and now it's a human experience, now they're actually interacting with each other.
Saya ingin berhenti sejenak, karena ada beberapa hal menarik di sini. Pertama, saat para guru melakukan itu, ada manfaat yang jelas -- yaitu bahwa kini para murid mereka dapat menikmati video-video itu seperti yang dilakukan sepupu saya. Mereka dapat mem-pause, mengulang sesuka mereka, kapanpun mereka mau. tapi yang lebih menarik adalah -- dan ini hal yang tidak intuitif saat membicarakan teknologi di ruang kelas -- dengan menghilangkan pengajaran yang menyamaratakan semua siswa di kelas dan membiarkan para siswa belajar di rumah mengikuti kecepatannya sendiri, dan ketika di kelas, membiarkan mereka mengerjakan soal, sementara guru berkeliling, dan mengizinkan sesama siswa berinteraksi satu sama lain, para guru ini telah memanfaatkan teknologi untuk memanusiakan ruang kelas. Mereka mengambil sebuah pengalaman yang secara fundamental tidak manusiawi -- 30 anak dengan jari di bibir, tidak diizinkan berinteraksi satu sama lain. Seorang guru, sebagus apapun dia, harus memberikan pengajaran yang sama rata ke 30 siswa -- wajah-wajah hampa, agak bermusuhan -- dan sekarang semua itu menjadi pengalaman yang manusiawi. Sekarang mereka dapat benar-benar saling berinteraksi.
So once the Khan Academy -- I quit my job, and we turned into a real organization -- we're a not-for-profit -- the question is, how do we take this to the next level? How do we take what those teachers were doing to its natural conclusion? And so, what I'm showing over here, these are actual exercises that I started writing for my cousins. The ones I started were much more primitive. This is a more competent version of it. But the paradigm here is, we'll generate as many questions as you need, until you get that concept, until you get 10 in a row. And the Khan Academy videos are there. You get hints, the actual steps for that problem, if you don't know how to do it. The paradigm here seems like a very simple thing: 10 in a row, you move on. But it's fundamentally different than what's happening in classrooms right now.
Jadi begitu Khan Academy -- Saya berhenti kerja dan kami menjadi organisasi sungguhan -- kami organisasi nirlaba -- pertanyaannya adalah, bagaimana kami akan membawa ini ke tingkat selanjutnya? Bagaimana kami mengambil apa yang dilakukan para guru itu dan menyempurnakannya? Jadi yang saya tunjukkan pada Anda di sini, ini adalah soal latihan yang saya tulis untuk sepupu saya. Soal-soal ini awalnya jauh lebih primitif. Ini sudah versi yang lebih kompeten. Tapi paradigmanya, kami akan membuat soal sebanyak yang Anda butuhkan, sampai Anda memahami konsep itu, sampai Anda menjawab benar 10 soal berturut-turut. Dan video Khan Academy ada di situ. Anda mendapat petunjuk, langkah-langkah pengerjaan, jika Anda tidak tahu caranya. Paradigmanya di sini sangat sederhana: 10 jawaban benar berturut-turut, Anda boleh maju. Tapi secara fundamental ini sangat berbeda dengan yang saat ini terjadi di ruang kelas. Di ruang kelas tradisional,
In a traditional classroom, you have homework, lecture, homework, lecture, and then you have a snapshot exam. And that exam, whether you get a 70 percent, an 80 percent, a 90 percent or a 95 percent, the class moves on to the next topic. And even that 95 percent student -- what was the five percent they didn't know? Maybe they didn't know what happens when you raise something to the zeroth power. Then you build on that in the next concept. That's analogous to -- imagine learning to ride a bicycle. Maybe I give you a lecture ahead of time, and I give you a bicycle for two weeks, then I come back after two weeks, and say, "Well, let's see. You're having trouble taking left turns. You can't quite stop. You're an 80 percent bicyclist." So I put a big "C" stamp on your forehead --
Anda mendapat pekerjaan rumah, pekerjaan rumah, materi, pekerjaan rumah, materi, lalu ada ulangan. Dan ulangan itu, baik Anda mendapat nilai 70 persen, 80 persen, 90 persen, atau 95 persen, kelas sudah mulai membahas topik berikutnya. Dan bahkan siswa yang mendapat nilai 95, lima persen yang mana yang mereka belum pahami? Mungkin mereka belum tahu apa yang terjadi bila suatu bilangan dipangkat nol. Padahal konsep selanjutnya bergantung pada konsep itu. Itu ibaratnya Anda sedang belajar mengendarai sepeda, dan mungkin sebelumnya saya sampaikan teorinya dulu, kemudian saya beri Anda sepedanya selama dua minggu. Lalu saya kembali setelah dua minggu, dan berkata, "Coba kita lihat. Anda kesulitan membelok ke kiri. Anda tidak bisa berhenti. Anda sudah 80 persen bisa mengendarai sepeda." Jadi saya menstempel huruf C besar di dahi Anda
(Laughter)
lalu berkata, "Sekarang coba sepeda roda satu ini."
and then I say, "Here's a unicycle."
(Laughter)
Walaupun kedengarannya konyol,
But as ridiculous as that sounds, that's exactly what's happening in our classrooms right now. And the idea is you fast forward and good students start failing algebra all of the sudden, and start failing calculus all of the sudden, despite being smart, despite having good teachers, and it's usually because they have these Swiss cheese gaps that kept building throughout their foundation. So our model is: learn math the way you'd learn anything, like riding a bicycle. Stay on that bicycle. Fall off that bicycle. Do it as long as necessary, until you have mastery. The traditional model, it penalizes you for experimentation and failure, but it does not expect mastery. We encourage you to experiment. We encourage you to fail. But we do expect mastery.
memang itu yang terjadi di ruang kelas kita saat ini. Dan gagasannya adalah Anda maju terlalu cepat dan siswa yang pintar tiba-tiba gagal di pelajaran aljabar dan pelajaran kalkulus walaupun mereka cerdas, dan gurunya juga bagus. Ini biasanya karena pemahaman mereka berlubang-lubang dan lubangnya terus bertambah sepanjang belajar. Jadi model kami adalah agar Anda belajar matematika seperti belajar hal-hal lain, seperti Anda belajar mengendarai sepeda. Duduk di sepeda itu. Jatuh dari sepeda. Lakukan terus sampai akhirnya Anda bisa. Model yang tradisional menghukum Anda bila Anda bereksperimen dan bila Anda gagal, tapi tidak mengharapkan Anda menguasai materinya. Kami justru mendorong Anda bereksperimen. Kami mendorong Anda gagal. Tapi kami mengharapkan Anda menguasai.
This is just another one of the modules. This is trigonometry. This is shifting and reflecting functions. And they all fit together. We have about 90 of these right now. You can go to the site right now, it's all free, not trying to sell anything. But the general idea is that they all fit into this knowledge map. That top node right there, that's literally single-digit addition, it's like one plus one is equal to two. The paradigm is, once you get 10 in a row on that, it keeps forwarding you to more and more advanced modules.
Ini satu lagi modul yang tersedia. Ini tentang trigonometri. Ini adalah pergeseran dan refleksi fungsi. Dan semuanya saling berhubungan. Kami punya sekitar 90 video seperti ini sekarang. Dan Anda dapat mengunjungi situsnya sekarang. Semuanya gratis. Saya tidak sedang berjualan. Tapi gagasan umumnya adalah semuanya mempunyai tempat di peta pengetahuan ini. Persimpangan di atas itu adalah penjumlahan satu digit. Seperti satu ditambah satu sama dengan dua. Dan paradigmanya adalah, ketika Anda memecahkan 10 soal berturut-turut, secara otomatis Anda akan maju ke modul yang lebih sulit. Jadi bila posisi Anda makin ke bawah di peta ini,
Further down the knowledge map, we're getting into more advanced arithmetic. Further down, you start getting into pre-algebra and early algebra. Further down, you start getting into algebra one, algebra two, a little bit of precalculus. And the idea is, from this we can actually teach everything -- well, everything that can be taught in this type of a framework. So you can imagine -- and this is what we are working on -- from this knowledge map, you have logic, you have computer programming, you have grammar, you have genetics, all based off of that core of, if you know this and that, now you're ready for this next concept. Now that can work well for an individual learner, and I encourage you to do it with your kids, but I also encourage everyone in the audience to do it yourself. It'll change what happens at the dinner table.
Anda akan memasuki aritmatika yang lebih lanjut. Semakin ke bawah, Anda mulai memasuki pra-aljabar dan aljabar dasar. Semakin ke bawah lagi, ada Aljabar I, Aljabar II, sedikit pra-kalkulus. Dan gagasannya, dari sini kami dapat mengajarkan apa saja -- yah, apa saja yang dapat diajarkan dengan kerangka seperti ini. Jadi Anda dapat bayangkan -- dan ini yang sedang kami kerjakan -- dari peta pengetahuan ini ada logika, ada pemrograman komputer, ada tata bahasa, ada genetika, semuanya berbasiskan konsep dasar di mana bila Anda sudah paham ini dan itu, berarti Anda sudah siap mempelajari konsep baru ini. Ini dapat bekerja dengan baik untuk pelajar tunggal, dan saya menganjurkan, satu, Anda melakukannya dengan anak-anak Anda, tapi saya juga menganjurkan semua penonton di sini untuk mencobanya sendiri. Itu akan mengubah obrolan di meja makan.
But what we want to do is use the natural conclusion of the flipping of the classroom that those early teachers had emailed me about. And so what I'm showing you here, this is data from a pilot in the Los Altos school district, where they took two fifth-grade classes and two seventh-grade classes, and completely gutted their old math curriculum. These kids aren't using textbooks, or getting one-size-fits-all lectures. They're doing Khan Academy, that software, for roughly half of their math class. I want to be clear: we don't view this as a complete math education. What it does is -- this is what's happening in Los Altos -- it frees up time -- it's the blocking and tackling, making sure you know how to move through a system of equations, and it frees up time for the simulations, for the games, for the mechanics, for the robot-building, for the estimating how high that hill is based on its shadow.
Tapi yang ingin kami lakukan adalah mengembangkan konsep pembalikan ruang kelas seperti yang telah di-email para guru tadi. Jadi yang saya tunjukkan pada Anda di sini, ini adalah data dari proyek percontohan di distrik sekolah Los Altos, di mana mereka memilih dua kelas di kelas lima dan dua di kelas tujuh dan merombak total kurikulum matematikanya. Anak-anak ini tidak lagi menggunakan buku teks, tidak lagi mendapatkan pengajaran yang sama rata. Mereka menggunakan Khan Academy, mereka mengerjakan soal di perangkat lunak itu selama sekitar setengah waktu pelajaran matematika mereka. Dan saya ingin memperjelas, kami tidak menganggap ini pendidikan matematika yang lengkap. Kegunaannya adalah -- dan ini yang terjadi di Los Altos -- ini menghemat waktu. Ini adalah pekerjaan kasarnya, memastikan Anda tahu cara melewati suatu sistem persamaan, sehingga menyisakan waktu untuk simulasi, untuk permainan, untuk mekanika, untuk membangun robot, untuk memperkirakan tinggi bukit dari bayangannya.
And so the paradigm is the teacher walks in every day, every kid works at their own pace -- this is actually a live dashboard from the Los Altos school district -- and they look at this dashboard. Every row is a student. Every column is one of those concepts. Green means the student's already proficient. Blue means they're working on it -- no need to worry. Red means they're stuck. And what the teacher does is literally just say, "Let me intervene on the red kids." Or even better, "Let me get one of the green kids, who are already proficient in that concept, to be the first line of attack, and actually tutor their peer."
Jadi, paradigmanya adalah sang guru masuk tiap hari, tiap anak belajar dengan kecepatannya sendiri -- ini adalah dasbor yang menayangkan langsung dari distrik Los Altos -- dan mereka melihat dasbor ini. Tiap baris mewakili satu siswa. Tiap kolom mewakili satu konsep. Hijau berarti siswa tersebut sudah paham. Biru berarti mereka masih berusaha -- tak perlu khawatir. Merah berarti mereka mentok. Dan gurunya tinggal berkata, "Biar saya bantu anak yang masih merah itu." Atau lebih bagus lagi, "Coba saya minta salah satu anak yang sudah hijau yang sudah memahami konsep itu untuk maju lebih dulu dan menjadi tutor untuk teman mereka."
(Applause)
(Tepuk tangan)
Now, I come from a very data-centric reality, so we don't want that teacher to even go and intervene and have to ask the kid awkward questions: "What don't you understand? What do you understand?" and all the rest. So our paradigm is to arm teachers with as much data as possible -- data that, in any other field, is expected, in finance, marketing, manufacturing -- so the teachers can diagnose what's wrong with the students so they can make their interaction as productive as possible. Now teachers know exactly what the students have been up to, how long they've spent each day, what videos they've watched, when did they pause the videos, what did they stop watching, what exercises are they using, what have they focused on? The outer circle shows what exercises they were focused on. The inner circle shows the videos they're focused on. The data gets pretty granular, so you can see the exact problems the student got right or wrong. Red is wrong, blue is right. The leftmost question is the first one the student attempted. They watched the video over there. And you can see, eventually they were able to get 10 in a row. It's almost like you can see them learning over those last 10 problems. They also got faster -- the height is how long it took them.
Latar belakang saya sangat data-sentris, jadi kami tidak ingin guru itu untuk mencoba membantu dan terpaksa menanyakan pertanyaan kurang mengenakkan: "Oh, bagian mana yang kamu belum mengerti?" atau "Apa yang sudah kamu pahami?" dan semacamnya. Jadi paradigma kami adalah untuk mempersenjatai para guru dengan sebanyak mungkin data -- data yang, sebenarnya, di hampir semua bidang lain, memang sudah seharusnya ada, bila Anda orang keuangan atau pemasaran atau manufaktur. Sehingga, para guru dapat mendiagnosis masalah para siswanya dan membuat interaksi mereka seproduktif mungkin. Jadi sekarang para guru tahu persis yang dilakukan siswanya, berapa lama mereka belajar tiap hari, video mana yang telah mereka saksikan, kapan mereka mem-pause, video mana yang dimatikan sebelum selesai ditonton, soal latihan mana yang mereka gunakan, di bagian mana mereka paling fokus? Lingkaran luar menunjukkan latihan mana yang mereka sedang fokuskan. Lingkaran dalam menunjukkan video yang sedang mereka fokuskan. Dan datanya menjadi granular jadi Anda dapat melihat secara persis tiap soal yang dijawab dengan benar maupun salah. Merah berarti salah, biru berarti benar. Soal paling kiri adalah soal pertama yang dicoba oleh siswa. Mereka menonton video di situ. Dan Anda bisa lihat, akhirnya, mereka dapat memecahkan 10 soal berturut-turut. Anda seakan dapat melihat mereka belajar pada 10 soal terakhir itu. Mereka juga bertambah cepat. Tinggi grafiknya adalah lamanya mereka mengerjakan.
When you talk about self-paced learning, it makes sense for everyone -- in education-speak, "differentiated learning" -- but it's kind of crazy, what happens when you see it in a classroom. Because every time we've done this, in every classroom we've done, over and over again, if you go five days into it, there's a group of kids who've raced ahead and a group who are a little bit slower. In a traditional model, in a snapshot assessment, you say, "These are the gifted kids, these are the slow kids. Maybe they should be tracked differently. Maybe we should put them in different classes." But when you let students work at their own pace -- we see it over and over again -- you see students who took a little bit extra time on one concept or the other, but once they get through that concept, they just race ahead. And so the same kids that you thought were slow six weeks ago, you now would think are gifted. And we're seeing it over and over again. It makes you really wonder how much all of the labels maybe a lot of us have benefited from were really just due to a coincidence of time.
Jadi ketika kita berbicara tentang belajar dengan kecepatan sendiri, memang masuk akal bagi semua orang -- dalam bahasa ilmu pendidikan, pembelajaran terdiferensiasi -- tapi sangat mengagumkan saat Anda melihatnya benar-benar dilakukan di kelas. Karena tiap kali kami melakukan ini, di tiap kelas yang kami coba, tiap kali, setelah berjalan selama lima hari, selalu ada sekelompok anak yang sudah jauh di depan dan ada sekelompok anak yang agak lebih lambat. Dan di model tradisional, bila Anda melakukan penilaian, Anda akan berkata, "Ini anak-anak berbakat, ini anak-anak yang lambat. Mungkin mereka harus dipantau secara berbeda. Mungkin sebaiknya mereka ditempatkan di kelas berbeda." Tapi ketika Anda membiarkan tiap anak belajar dengan kecepatannya sendiri -- dan kami melihatnya berkali-kali -- Anda akan melihat siswa yang menghabiskan waktu ekstra pada satu atau lain konsep, tapi begitu mereka memahami konsep itu, mereka tiba-tiba maju dengan pesat. Sehingga anak-anak yang Anda pikir lambat enam minggu yang lalu, kini mereka menjadi tampak berbakat. Dan kami telah melihatnya berulang-ulang kali. Dan ini membuat Anda berpikir, berapa kali cap atau label yang mungkin telah menguntungkan banyak dari kita sebenarnya hanya kita dapat karena faktor kebetulan.
Now as valuable as something like this is in a district like Los Altos, our goal is to use technology to humanize, not just in Los Altos, but on a global scale, what's happening in education. And that brings up an interesting point. A lot of the effort in humanizing the classroom is focused on student-to-teacher ratios. In our mind, the relevant metric is: student-to-valuable-human-time- with-the-teacher ratio. So in a traditional model, most of the teacher's time is spent doing lectures and grading and whatnot. Maybe five percent of their time is sitting next to students and working with them. Now, 100 percent of their time is. So once again, using technology, not just flipping the classroom, you're humanizing the classroom, I'd argue, by a factor of five or 10.
Nah, ini semua memang sangat berguna di distrik seperti Los Altos, tapi tujuan kami adalah menggunakan teknologi untuk memanusiakan, tidak hanya di Los Altos, tapi pada skala global, jalannya pendidikan. Dan sebenarnya, ini membawa suatu pemikiran menarik. Banyak usaha untuk memanusiakan ruang kelas difokuskan pada rasio jumlah murid dan guru. Dalam pikiran kami, ukuran yang relevan adalah rasio jumlah murid dan waktu yang bermanfaat dengan guru. Jadi di model tradisional, waktu guru habis untuk mengajar dan memberi nilai dan sebagainya. Mungkin hanya lima persen waktu mereka digunakan untuk duduk bersama muridnya dan membantunya belajar. Sekarang waktu untuk itu 100 persen. Jadi sekali lagi, menggunakan teknologi, Anda bukan hanya membalik ruang kelas, tapi juga memanusiakan ruang kelas, menurut saya kira-kira lima atau sepuluh kali lipat.
As valuable as that is in Los Altos, imagine what it does to the adult learner, who's embarrassed to go back and learn stuff they should have known before going back to college. Imagine what it does to a street kid in Calcutta, who has to help his family during the day, and that's the reason he or she can't go to school. Now they can spend two hours a day and remediate, or get up to speed and not feel embarrassed about what they do or don't know. Now imagine what happens where -- we talked about the peers teaching each other inside of a classroom. But this is all one system. There's no reason why you can't have that peer-to-peer tutoring beyond that one classroom. Imagine what happens if that student in Calcutta all of the sudden can tutor your son, or your son can tutor that kid in Calcutta. And I think what you'll see emerging is this notion of a global one-world classroom. And that's essentially what we're trying to build.
Dan memang ini sangat berharga di Los Altos, tapi bayangkan bagaimana bermanfaatnya ini bagi pelajar dewasa yang malu untuk belajar kembali hal-hal yang seharusnya sudah mereka pahami, sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi. Bayangkan manfaatnya untuk anak jalanan di Calcutta yang harus membantu keluarganya di siang hari, sehingga tidak dapat pergi sekolah. Sekarang mereka dapat menggunakan dua jam tiap hari untuk mengejar ketinggalan dan tidak merasa malu tentang apa yang mereka sudah atau belum pahami. Sekarang bayangkan bila -- kita sudah membahas para siswa yang mengajari siswa lain di dalam kelas. Tapi semua ini satu sistem. Tidak ada alasan mengapa Anda tidak dapat menerapkan sistem tutorial antar siswa melewati batas ruang kelas itu. Bayangkan apa jadinya bila pelajar di Calcutta tadi tiba-tiba dapat menjadi tutor untuk anak Anda, atau anak Anda dapat mentutor anak Calcutta itu? Dan saya pikir yang akan mulai timbul adalah gagasan tentang satu kelas global. Dan itulah pada dasarnya yang sedang kami bangun.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Bill Gates: I'll ask about two or three questions.
Salman Khan: Oh, OK.
(Applause continues)
(Applause ends)
Bill Gates: Saya sudah melihat beberapa hal yang Anda lakukan di sistem ini
BG: I've seen some things you're doing in the system, that have to do with motivation and feedback -- energy points, merit badges. Tell me what you're thinking there.
yang berhubungan dengan motivasi dan umpan balik -- poin energi, medali penghargaan. Apa yang sedang Anda pikirkan?
SK: Oh yeah. No, we have an awesome team working on it. I have to be clear, it's not just me anymore. I'm still doing all the videos, but we have a rock-star team doing the software. We've put a bunch of game mechanics in there, where you get badges, we're going to start having leader boards by area, you get points. It's actually been pretty interesting. Just the wording of the badging, or how many points you get for doing something, we see on a system-wide basis, like tens of thousands of fifth-graders or sixth-graders going one direction or another, depending what badge you give them.
SK: Oh iya. Tidak, kami punya tim yang hebat mengerjakan itu semua. Dan saya perlu tekankan, ini bukan lagi hasil kerja saya sendiri. Saya memang masih membuat semua videonya, tapi kami punya tim jagoan yang mengerjakan perangkat lunaknya. Ya, kami memang menaruh seperangkat mekanisme game di situ di mana Anda bisa mendapat medali, kami akan memasang daftar nilai tertinggi pada tiap wilayah, dan Anda bisa mendapat poin. Cukup menarik sebenarnya. Dengan mengubah nama medalinya atau jumlah poin yang Anda dapat untuk suatu tindakan, kami melihat pada skala sistem, puluhan ribu siswa kelas lima dan enam bergerak ke satu atau lain arah, bergantung pada medali yang Anda berikan.
(Laughter)
(Tawa)
BG: And the collaboration you're doing with Los Altos, how did that come about?
BG: Dan kolaborasi Anda dengan Los Altos, bagaimana sejarahnya?
SK: Los Altos, it was kind of crazy. Once again, I didn't expect it to be used in classrooms. Someone from their board came and said, "What would you do if you had carte Blanche in a classroom?" I said, "Well, every student would work at their own pace, on something like this, we'd give a dashboard." They said, "This is kind of radical. We have to think about it." Me and the rest of the team were like, "They're never going to want to do this." But literally the next day they were like, "Can you start in two weeks?"
SK: Los Altos, cukup gila juga. Sekali lagi, saya tidak menduga ini akan digunakan di ruang kelas. Seseorang dari dewan sekolah datang dan berkata, "Apa yang akan Anda lakukan bila dapat melakukan apapun di sebuah kelas?" Dan saya jawab, "Yah, kalau bagi saya, setiap siswa akan belajar dengan kecepatannya sendiri menggunakan alat ini dan kami akan memberikan dasbor ini." Dan mereka berkata, "Wah, ini radikal. Kami harus memikirkannya." Dan saya dan anggota tim yang lain berpikir, "Mereka takkan pernah mau melakukan ini." Tapi besoknya mereka bertanya, "Bisakah kalian mulai dalam dua minggu?"
(Laughter)
(Tawa)
BG: So fifth-grade math is where that's going on right now?
BG: Jadi semua ini sedang terjadi untuk pelajaran matematika kelas lima?
SK: It's two fifth-grade classes and two seventh-grade classes. They're doing it at the district level. I think what they're excited about is they can follow these kids, not only in school; on Christmas, we saw some of the kids were doing it. We can track everything, track them as they go through the entire district. Through the summers, as they go from one teacher to the next, you have this continuity of data that even at the district level, they can see.
SK: Dua kelas di kelas lima dan dua di kelas tujuh. Dan mereka melakukannya di level distrik. Menurut saya yang menarik mereka adalah sekarang mereka dapat memantau anak-anak ini. Tidak hanya di sekolah. Di hari Natal pun, kami melihat ada beberapa anak mengerjakan soal. Dan kami dapat memantau segalanya. Jadi mereka dapat memantau sementara sistem ini sedang diterapkan di seluruh distrik. Sepanjang musim panas, sambil mereka memberikan sistem ini pada para guru, kita mendapat aliran data secara berkelanjutan yang bahkan dapat dilihat di level distrik.
BG: So some of those views we saw were for the teacher to go in and track actually what's going on with those kids. So you're getting feedback on those teacher views to see what they think they need?
BG: Jadi sebagian tampilan tadi adalah untuk para guru memantau langsung apa yang terjadi dengan anak-anak itu. Jadi Anda mendapat umpan balik tentang tampilan untuk guru itu untuk mengetahui tanggapan mereka?
SK: Oh yeah. Most of those were specs by the teachers. We made some of those for students so they could see their data, but we have a very tight design loop with the teachers themselves. And they're saying, "Hey, this is nice, but --" Like that focus graph, a lot of the teachers said, "I have a feeling a lot of the kids are jumping around and not focusing on one topic." So we made that focus diagram. So it's all been teacher-driven. It's been pretty crazy.
SK: Oh iya. Kebanyakan dari tampilan itu spesifikasinya dibuat oleh para guru. Kami juga membuat beberapa untuk para siswa agar mereka dapat melihat data mereka, tapi kami mempunyai siklus perancangan yang kuat dengan para guru. Dan mereka sering berkata, "Hei, ini bagus, tapi ..." Seperti grafik fokus itu, banyak guru yang mengatakan, "Saya merasa banyak siswa yang melompat-lompat dan tidak fokus di satu topik." Jadi kami membuat diagram fokus. Jadi semua ini diarahkan oleh para guru.
BG: Is this ready for prime time? Do you think a lot of classes next school year should try this thing out?
Memang gila-gilaan. BG: Apa ini sudah siap untuk diluncurkan? Apakah menurut Anda sebanyak mungkin kelas di tahun ajaran berikutnya harus mencoba ini?
SK: Yeah, it's ready. We've got a million people on the site already, so we can handle a few more.
SK: Ya, ini sudah siap. Sudah ada jutaan orang di situs ini, jadi kami dapat menangani lebih lagi.
(Laughter)
(Tawa)
No, no reason why it really can't happen in every classroom in America tomorrow.
Tidak, tidak ada alasan mengapa ini tidak dapat dilakukan di semua kelas di Amerika besok.
BG: And the vision of the tutoring thing. The idea there is, if I'm confused about a topic, somehow right in the user interface, I'd find people who are volunteering, maybe see their reputation, and I could schedule and connect up with those people?
BG: Dan visi Anda tentang sistem tutor tadi. Gagasannya adalah, bila saya bingung mempelajari suatu topik, di antarmuka perangkat lunaknya saya dapat menemukan para sukarelawan, mungkin melihat reputasinya juga, dan saya dapat mengatur jadwal untuk berhubungan dengan orang-orang itu?
SK: Absolutely. And this is something I recommend everyone in this audience do. Those dashboards the teachers have, you can go log in right now and you can essentially become a coach for your kids, your nephews, your cousins, or maybe some kids at the Boys and Girls Club. And yeah, you can start becoming a mentor, a tutor, really immediately. But yeah, it's all there.
SK: Betul sekali. Dan ini sesuatu yang saya anjurkan untuk dilakukan oleh semua penonton di sini. Dasbor yang digunakan para guru, Anda dapat log in sekarang dan menjadi semacam pelatih untuk anak Anda, atau keponakan, atau sepupu, atau mungkin anak-anak di Klub Anak-Anak. Dan ya, Anda dapat menjadi mentor, atau tutor, dengan segera. Semuanya ada di situ.
BG: Well, it's amazing. I think you just got a glimpse of the future of education.
BG: Yah, ini luar biasa. Menurut saya Anda telah menemukan sekilas masa depan pendidikan.
BG: Thank you. SK: Thank you.
Terima kasih. (SK: Terima kasih.)
(Applause)
(Tepuk tangan)