(Arabic) I seek refuge in Allah from cursed Satan. In the Name of Allah, the most Gracious, the most Merciful.
Aku berlindung pada Allah dari setan. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih.
(English) I was born in a middle class family. My father was five years old when he lost his father, but by the time I was born, he was already a businessman. But it didn't make a difference to him if his children were going to be a boy or a girl: they were going to go to school. So I guess I was the lucky one.
Saya lahir di keluarga menengah. Ayah saya berusia lima tahun ketika ayahnya meninggal, namun ketika saya lahir, beliau sudah menjadi pebisnis. Bagi beliau, tidak ada bedanya apakah anaknya laki-laki atau perempuan: semua harus sekolah. Saya sungguh beruntung.
My mother had 16 pregnancies. From 16 pregnancies, five of us are alive. You can imagine as a child what I went through. Day to day, I watched women being carried to a graveyard, or watched children going to a graveyard. At that time, when I finished my high school, I really wanted to be a doctor. I wanted to be a doctor to help women and children. So I completed my education, but I wanted to go to university. Unfortunately, in my country, there wasn't a dormitory for girls, so I was accepted in medical school, but I could not go there. So as a result, my father sent me to America.
Ibu saya pernah mengandung 16 kali. Dari 16 itu, 5 dari kami yang bertahan. Anda bisa bayangkan apa yang saya alami semasa saya kecil. Setiap hari, saya menyaksikan perempuan digotong ke kuburan, atau melihat anak-anak dikubur. Saat itu, ketika saya menyelesaikan SMA, saya sangat ingin menjadi dokter. Saya ingin menjadi dokter untuk membantu perempuan dan anak-anak. Saya selesaikan pendidikan saya, namun saya ingin kuliah. Sayangnya di negara saya tidak ada asrama perempuan, saya diterima di sekolah kedokteran, tapi tidak bisa pergi ke sana. Oleh karena itu, ayah mengirim saya ke Amerika.
I came to America. I completed my education. While I was completing my education, my country was invaded by Russia. And do you know that at the time I was completing my education, I didn't know what was going on with my family or with my country. There were months, years, I didn't know about it. My family was in a refugee camp. So as soon as I completed my education, I brought my family to America. I wanted them to be safe.
Saya tiba di Amerika. Saya selesaikan kuliah. Ketika saya menyelesaikan kuliah saya, negara saya diserang oleh Rusia. Dan tahukah Anda pada saat saya menyelesaikan kuliah, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga maupun negara saya. Berbulan-bulan, betahun-tahun, saya tidak tahu. Keluarga saya berada di kamp pengungsi. Maka begitu saya selesaikan kuliah, saya bawa keluarga saya ke Amerika. Saya ingin mereka selamat.
But where was my heart? My heart was in Afghanistan. Day after day, when I listened to the news, when I followed what was going on with my country, my heart was breaking up. I really wanted to go back to my country, but at the same time I knew I could not go there, because there was no place for me. I had a good job. I was a professor at a university. I earned good money. I had a good life. My family was here. I could live with them. But I wasn't happy. I wanted to go back home. So I went to the refugee camp. And when I went to the refugee camp in Pakistan, there were 7.5 million refugees. 7.5 million refugees. About 90 percent of them were women and children. Most of the men have been killed or they were in war. And you know, in the refugee camp, when I went day-to-day to do a survey, I found things you never could imagine. I saw a widow with five to eight children sitting there and weeping and not knowing what to do. I saw a young woman have no way to go anywhere, no education, no entertainment, no place to even live. I saw young men that had lost their father and their home, and they are supporting the family as a 10-to-12-year old boy -- being the head of the household, trying to protect their sister and their mother and their children.
Namun di mana hati saya? Hati saya ada di Afghanistan. Setiap hari, ketika mendengarkan berita, ketika mengikuti apa yang terjadi dengan negara saya, hati saya hancur. Saya sangat ingin kembali ke sana, namun saat bersamaan saya tahu saya tidak bisa, karena tidak ada tempat bagi saya. Saya punya pekerjaan bagus. Saya profesor di sebuah universitas. Penghasilan saya bagus. Hidup saya nyaman. Keluarga saya di sini. Saya bisa tinggal bersama mereka. Namun saya tidak bahagia. Saya ingin pulang. Maka saya pergi ke kamp pengungsi. Ketika saya pergi ke kamp pengungsian di Pakistan, ada 7,5 juta pengungsi. 7,5 juta pengungsi. Sekitar 90 persennya adalah perempuan dan anak-anak. Kebanyakan laki-laki sudah terbunuh atau ada dalam perang. Dan Anda tahu, di kamp pengungsian, saat saya melakukan survei setiap hari, saya menemukan hal yang Anda tidak bisa bayangkan. Saya melihat janda dengan lima sampai delapan anak duduk di sana dan meratap dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya melihat seorang wanita muda tidak bisa kemana-mana, tidak punya pendidikan, hiburan, bahkan tempat untuk tinggal. Saya melihat anak laki-laki yang kehilangan ayah dan rumahnya, dan mereka menanggung keluarga dalam usia 10 atau 12 tahun -- menjadi kepala keluarga, melindungi kakak dan ibu dan saudaranya.
So it was a very devastating situation. My heart was beating for my people, and I didn't know what to do. At that moment, we talk about momentum. At that moment, I felt, what can I do for these people? How could I help these people? I am one individual. What can I do for them?
Sungguh situasi yang menyedihkan. Jantung saya berdegup untuk mereka, tapi saya tidak tahu harus bagaimana. Saat itu, kita bicara tentang momentum. Saat itu, saya pikir, apa yang bisa saya lakukan untuk mereka? Bagaimana saya bisa membantu mereka? Saya hanya sendiri. Apa yang bisa saya lakukan?
But at that moment, I knew that education changed my life. It transformed me. It gave me status. It gave me confidence. It gave me a career. It helped me to support my family, to bring my family to another country, to be safe. And I knew that at that moment that what I should give to my people is education and health, and that's what I went after.
Namun saat itu saya tahu bahwa pendidikan mengubah hidup saya. Pendidikan mengubah saya, memberi saya status. Memberi saya rasa percaya diri dan karir. Membantu saya menunjang keluarga, membawa keluarga saya ke negara lain, agar mereka selamat. Dan saya tahu saat itu bahwa saya harus memberikan pendidikan dan kesehatan bagi bangsa saya, dan itulah yang saya ingin capai.
But do you think it was easy? No, because at that time, education was banned for girls, completely. And also, by Russia invading Afghanistan, people were not trusting anyone. It was very hard to come and say, "I want to do this." Who am I? Somebody who comes from the United States. Somebody who got educated here. Did they trust me? Of course not.
Tapi apakah itu mudah? Tidak, karena saat itu, pendidikan dilarang untuk perempuan, sepenuhnya. Selain itu, ketika Rusia menyerang Afghanistan, masyarakat hilang kepercayaan satu sama lain. Sangat susah untuk bicara, "Saya ingin melakukan ini." Siapa saya? Seseorang dari Amerika Serikat. Yang mengenyam pendidikan di sana. Apa mereka percaya saya? Tentu tidak.
So I really needed to build the trust in this community. How am I going to do that? I went and surveyed and looked and looked. I asked. Finally, I found one man. He was 80 years old. He was a mullah. I went to his tent in the camp, and I asked him, "I want to make you a teacher." And he looked at me, and he said, "Crazy woman, crazy woman, how do you think I can be a teacher?" And I told him, "I will make you a teacher." Finally, he accepted my offer, and once I started a class in his compound, the word spread all over. In a matter of one year, we had 25 schools set up, 15,000 children going to school, and it was amazing.
Jadi saya betul-betul perlu membangun kepercayaan di komunitas ini. Bagaimana caranya? Saya pergi dan meninjau sekeliling. Saya bertanya. Akhirnya saya menemukan seorang pria. Ia berusia 80 tahun. Ia seorang mullah (tokoh agama Islam). Saya pergi ke tendanya di kamp dan saya berkata, "Saya ingin menjadikan Anda guru." Dan ia melihat saya, dan berkata, "Wanita gila, bagaimana kamu pikir saya bisa jadi guru?" Dan saya bilang, "Saya akan jadikan Anda guru." Akhirnya ia menerima tawaran saya, begitu saya memulai kelas di tendanya, kabarnya menyebar kemana-mana. Dalam setahun, kami mendirikan 25 sekolah, 15.000 anak bersekolah, sungguh luar biasa.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you. Thank you.
Terima kasih. Terima kasih.
But of course, we're doing all our work, we were giving teacher training. We were training women's rights, human rights, democracy, rule of law. We were giving all kinds of training. And one day, I tell you, one day I was in the office in Peshawar, Pakistan. All of a sudden, I saw my staff running to rooms and locking the doors and telling me, "Run away, hide!" And you know, as a leader, what do you do? You're scared. You know it's dangerous. You know your life is on the line. But as a leader, you have to hold it together. You have to hold it together and show strength. So I said, "What's going on?" And these people were pouring into my office. So I invited them to the office. They came, and there were nine of them -- nine Taliban. They were the ugliest looking men you can ever see.
Tentu saja, kami mengerjakan semua, memberi pelatihan pada para guru. Kami mengajarkan hak-hak wanita, HAM, demokrasi, dan aturan hukum. Kami memberi berbagai macam pelatihan. Suatu hari saya berada di kantor di Peshawar, Pakistan. Tiba-tiba staf saya berlarian masuk dan mengunci semua pintu dan berkata, "Cepat lari, sembunyi!" Anda tahu, sebagai pemimpin, apa yang Anda lakukan? Anda takut. Anda tahu itu berbahaya. Anda tahu nyawa lah taruhannya. Namun sebagai pemimpin, Anda harus bisa tenang. Anda harus tenang dan harus kuat. Maka saya bertanya, "Ada apa?" Lalu beberapa orang berhambur masuk ke dalam kantor saya. Maka saya persilakan mereka masuk. Mereka datang, ada 9 orang -- 9 orang Taliban. Mereka pria terjelek yang pernah ada.
(Laughter)
(Tertawa)
Very mean-looking people, black clothes, black turban, and they pour into my office. And I invited them to have a seat and have tea. They said no. They are not going to drink tea. And of course, with the tone of voice they were using, it was very scary, but I was really shaking up. But also I was strong, holding myself up. And, of course, by that time, you know how I dress -- I dress from head to toe in a black hijab. The only thing you could see, my eyes. They asked me, "What are you doing? Don't you know that school is banned for girls? What are you doing here?" And you know, I just looked at them, and I said, "What school? Where is the school?"
Mereka terlihat beringas, baju dan turban hitam-hitam, dan mereka berhambur masuk ke kantor saya. Saya mempersilakan mereka duduk dan menyuguhi mereka teh. Mereka menolak. Mereka tidak mau minum teh. Dan tentu saja, mendengar nada bicara yang mereka gunakan, rasanya sangat menakutkan dan rasanya saya menggigil ketakutan. Namun saya juga kuat dan berusaha tenang. Pada saat itu, Anda tahu bagaimana saya berpakaian Saya memakai hijab dari ujung rambut sampai kaki. Yang bisa Anda lihat hanya mata saya. Mereka bertanya, "Apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu tahu sekolah itu dilarang untuk anak perempuan? Apa yang kamu lakukan di sini?" Dan saya hanya menatap mereka, dan bilang, "Sekolah apa? Di mana ada sekolah?"
(Laughter)
(Tertawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
And they look at my face, and they said, "You are teaching girls here." I said, "This is a house of somebody. We have some students coming, and they are all learning Koran, Holy Book. And you know, Koran says that if you learn the Holy Book, the woman, they can be a good wife, and they can obey their husband."
Lalu mereka menatap muka saya dan berkata, "Kamu mengajar anak perempuan di sini." Saya bilang, "Ini rumah seseorang. Murid-murid datang dan mereka semua mempelajari Al Qur'an, Kitab Suci. Kamu tahu kan, di Al Qur'an disebutkan jika kamu mempelajarinya, perempuan bisa jadi istri yang baik dan mereka bisa mematuhi suami."
(Laughter)
(Tertawa)
And I tell you one thing: that's the way you work with those people, and you know --
Betul-betul begitulah caranya menghadapi orang-orang seperti itu --
(Laughter)
(Tertawa)
So by that time, they started speaking Pashto. They talked to each other, and they said, "Let's go, leave her alone, she's OK." And you know, this time, I offered them tea again, and they took a sip and they left. By that time, my staff poured into my office. They were scared to death. They didn't know why they didn't kill me. They didn't know why they didn't take me away. But everybody was happy to see me. Very happy, and I was happy to be alive, of course.
Lalu mereka mulai berbicara dalam bahasa Pashto. Mereka berbicara satu sama lain, lalu berkata, "Ayo pergi. Tinggalkan dia, tak apa-apa." Kali ini saya tawarkan teh lagi dan mereka minum lalu tertawa. Setelah mereka pergi, staf saya berhamburan ke kantor. Mereka ketakutan setengah mati. Mereka tidak tahu kenapa Taliban tidak membunuh saya. Atau kenapa saya tidak ditahan. Namun semua senang melihat saya. Dan saya sangat senang karena masih hidup tentunya.
(Laughter)
(Tertawa)
Of course, I was happy to be alive. But also, as we continuously gave training during the fall of the Taliban -- of course during the Taliban there is another story. We went underground and we provided education for 80 schoolgirls, 3,000 students underground, and continuously we trained.
Tentu, saya bersyukur masih hidup. Seiring dengan jatuhnya Taliban, kami tetap mengajar -- tentunya selama era Taliban ceritanya berbeda. Kami mengajar di bawah tanah dan mengajar 80 anak perempuan, lalu berkembang jadi 3,000, dan kami terus mengajar.
With the fall of the Taliban, we went into the country, and we opened school after school. We opened women's learning center. We continuously opened clinics. We worked with mothers and children. We had reproductive health training. We had all kinds of training that you can imagine. I was very happy. I was delighted with the outcome of my work. And one day, with four trainers and one bodyguard, I was going up north of Kabul, and all of a sudden, again, I was stopped in the middle of the road by 19 young men. Rifles on their shoulders, they blocked the road. And I told my driver, "What's going on?" And the driver said, "I don't know." He asked them. They said, "We have nothing to do with you." They called my name. They said, "We want her." My bodyguard got out, said, "I can answer you. What do you want?" They said, "Nothing." They called my name. And by that time, the women are yelling and screaming inside the car. I am very shaken up, and I told myself, this is it. This time, we all are going to be killed. There is no doubt in my mind. But still, the moment comes, and you take strength from whatever you believe and whatever you do. It's in your heart. You believe in your worth, and you can walk on it.
Ketika Taliban jatuh, kami pergi ke pedesaan, kami buka sekolah-sekolah. Kami dirikan pusat pendidikan perempuan. Kami terus membuka klinik. Kami bekerja sama dengan ibu dan anak. Kami ajarkan kesehatan reproduktif. Kami berikan segala pelatihan yang bisa Anda bayangkan. Saya sangat senang dan puas dengan hasil kerja saya. Suatu hari, dengan empat pengajar dan satu pengawal, Saya pergi ke utara Kabul dan tiba-tiba, lagi-lagi saya dihentikan di tengah jalan oleh 19 pemuda. Senapan di pundaknya, mereka memblokade jalan. Saya tanya ke pengemudinya, "Ada apa?" Dan ia bilang, "Saya tidak tahu." Mereka bilang, "Kami tidak ada urusan denganmu." Mereka memanggil nama saya. Mereka bilang, "Kami mau dia." Pengawal saya keluar dan bilang, "Apa yang kalian mau?" "Tidak ada." Mereka memanggil nama saya. Waktu itu semua perempuan berteriak di dalam mobil. Saya menggigil ketakutan, saya pikir inilah akhir hidup saya. Kali ini kami semua akan dibunuh. Tidak ada keraguan di benak saya. Momen itu datang dan Anda harus tetap kuat pada apapun yang Anda percaya dan Anda lakukan. Itu ada di dalam hati Anda. Percaya pada diri Anda dan Anda bisa melaluinya.
So I just hold myself on the side of the car. My leg was shaking, and I got outside. And I asked them, "What can I do for you?" You know what they said to me? They said, "We know who you are. We know where you are going. Every day you go up north here and there. You train women, you teach them and also you give them an opportunity to have a job. You build their skills. How about us?"
Maka saya berusaha tenang di dalam mobil. Kaki saya bergetar dan saya keluar. Saya bilang, "Ada yang bisa saya bantu?" Anda tahu apa yang mereka bilang? Mereka bilang, "Kami tahu siapa kamu. Kemana kamu pergi. Setiap hari kamu pergi ke utara sini lalu ke sana. Kamu mengajar perempuan, mendidik mereka dan memberikan mereka kesempatan bekerja. Kamu bangun keterampilan mereka. Bagaimana dengan kami?"
(Laughter)
(Tertawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
"And you know, how about us? What are we going to do?" I looked at them, and I said, "I don't know."
"Lalu bagaimana dengan kami? Apa yang musti kami lakukan?" Saya tatap mereka dan katakan, "Saya tidak tahu."
(Laughter)
(Tertawa)
They said, "It's OK. The only thing we can do, what we know, from the time we're born, we just hold the gun and kill. That's all we know." And you know what that means. It's a trap to me, of course. So I walk out of there. They said, "We'll let you go, go." And so I walked into the car, I sit in the car, and I told the driver, "Turn around and go back to the office." At that time, we only were supporting girls. We only had money for women to train them, to send them to school, and nothing else.
Mereka bilang, "Tidak apa. Satu-satunya yang kami tahu dan bisa lakukan sejak kami lahir, hanya memegang pistol dan membunuh. Cuma itu yang kami tahu." Dan Anda tahu apa artinya itu. Itu jebakan untuk saya tentunya. Maka saya meninggalkan mereka. Mereka bilang, "Kamu boleh pergi." Lalu saya masuk ke mobil, duduk di sana, dan saya bilang ke pengemudinya, "Putar balik dan kembali ke kantor." Waktu itu kami hanya mengajar perempuan. Kami hanya punya cukup dana untuk melatih perempuan, menyekolahkan mereka, itu saja.
By the time I came to the office, of course my trainers were gone. They ran away home. Nobody stayed there. My bodyguard was the only one there, and my voice was completely gone. I was shaken up, and I sat on my table, and I said, "What am I going to do?" How am I going to solve this problem? Because we had training going on up north already. Hundreds of women were there coming to get training.
Ketika saya sampai di kantor, semua pengajar saya pulang. Mereka melarikan diri ke rumah. Tidak ada yang tinggal. Hanya pengawal saya yang masih di sana dan suara saya hilang. Saya gemetar dan duduk di meja, saya bilang, "Apa yang akan aku lakukan?" Bagaimana menyelesaikan masalah ini? Pelatihan kami sudah menyebar ke utara. Ratusan perempuan pergi ke sana untuk mendapat pelatihan.
So I was sitting there, all of a sudden, at this moment, talking about momentum, we are, at that moment, one of my wonderful donors called me about a report. And she asked me, "Sakena?" And I answered her. She said, "It's not you. What's wrong with you?" I said, "Nothing." I tried to cover. No matter what I tried to do, she didn't believe me, and she asked me again. "OK, tell me what's going on?" I told her the whole story. At that time, she said, "OK, you go next time, and you will help them. You will help them." And when, two days later, I went the same route, and do you know, they were not in here, they were a little back further, the same young men, standing up there and holding the rifle and pointing to us to stop the car. So we stopped the car. I got out. I said, "OK, let's go with me." And they said, "Yes." I said, "On one condition, that whatever I say, you accept it." And they said, yes, they do. So I took them to the mosque, and to make a long story short, I told them I'd give them teachers. Today, they are the best trainers. They learn English, they learn how to be teachers, they learn computers, and they are my guides. Every area that is unknown to us in the mountain areas, they go with me. They are ahead, and we go. And they protect us. And --
Lalu tiba-tiba, pada saat itu, berbicara tentang momentum, saat itu, salah satu donor saya menelepon menanyakan tentang sebuah laporan. Dan dia bertanya, "Sakena?" Dia bilang, "Kamu terdengar aneh. Ada apa?" Saya bilang, "Tidak apa-apa." Saya coba menutupi. Namun apapun yang saya lakukan, dia tidak percaya, dan dia bertanya lagi. "Oke. Katakan apa yang terjadi?" Saya ceritakan semuanya. Dia bilang, "Lain kali, kamu akan bantu mereka. Bantu mereka." Ketika saya melewati rute yang sama dua hari kemudian, mereka tidak di tempat yang sama, tapi agak jauh ke belakang sedikit, para pemuda yang sama, berdiri dan memegang senapan dan mengarahkannya pada kami agar kami berhenti. Kami hentikan mobil. Saya keluar dan bilang, "Oke. Ayo ikut sama saya." Mereka bilang, "Ya." Saya bilang, "Tapi satu syarat. Kamu ikuti apapun yang saya bilang." Dan mereka setuju. Lalu saya bawa mereka ke masjid, singkatnya, saya janji akan memberikan mereka guru. Sekarang, mereka sudah jadi pengajar handal. Mereka belajar bahasa Inggris, bagaimana menjadi guru yang baik, belajar komputer, dan mereka jadi pemandu saya. Mereka memandu kami di tempat-tempat asing di pegunungan. Mereka memimpin jalan kami. Dan mereka melindungi kami. Dan --
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
That tells you that education transforms people. When you educate people, they are going to be different, and today all over, we need to work for gender equality. We cannot only train women but forget about the men, because the men are the real people who are giving women the hardest time.
Itu bukti pendidikan mengubah seseorang. Jika Anda didik seseorang, ia akan berubah, dan kini, kita perlu memperjuangkan kesetaraan gender. Kita tidak bisa hanya mendidik perempuan tapi lupa dengan para pemuda, karena laki-laki lah yang biasanya membuat jalan perempuan sulit.
(Laughter)
(Tertawa)
So we started training men because the men should know the potential of women, know how much these potential men has, and how much these women can do the same job they are doing. So we are continuously giving training to men, and I really believe strongly. I live in a country that was a beautiful country. I just want to share this with you. It was a beautiful country, beautiful, peaceful country. We were going everywhere. Women were getting education: lawyer, engineer, teacher, and we were going from house to house. We never locked our doors. But you know what happened to my country. Today, people cannot walk out of their door without security issues. But we want the same Afghanistan we had before. And I want to tell you the other side. Today, the women of Afghanistan are working very, very hard. They are earning degrees. They are training to be lawyers. They are training to be doctors, back again. They are training to be teachers, and they are running businesses. So it is so wonderful to see people like that reach their complete potential, and all of this is going to happen.
Lalu kami mulai mengajar laki-laki karena mereka harus tahu potensi perempuan, potensi yang mereka sendiri punya, dan betapa perempuan pun bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Kami terus memberi pendidikan bagi para laki-laki dan saya sangat yakin tentang hal ini. Saya hidup di negara yang dulunya sungguh indah. Saya hanya ingin berbagi. Negara saya sungguh elok, negara yang elok dan damai. Kami punya segalanya. Para perempuannya berpendidikan: pengacara, insinyur, guru, dan kami pergi dari rumah ke rumah. Kami tidak pernah mengunci pintu kami. Namun Anda tahu apa yang terjadi dengan negara saya. Sekarang orang takut keluar karena masalah keamanan. Namun kami ingin Afghanistan kami yang dulu. Dan saya ingin menceritakan sisi lainnya. Kini, perempuan di Afghanistan bekerja sangat keras. Mereka kuliah. Belajar tentang hukum. Mereka belajar jadi dokter. Mereka belajar jadi guru dan mereka memulai bisnis. Sungguh menakjubkan menyaksikan mereka meraih potensi maksimal mereka, dan semua ini akhirnya terwujud.
I want to share this with you, because of love, because of compassion, and because of trust and honesty. If you have these few things with you, you will accomplish. We have one poet, Mawlānā Rūmī. He said that by having compassion and having love, you can conquer the world. And I tell you, we could. And if we could do it in Afghanistan, I am sure 100 percent that everyone can do it in any part of the world.
Saya ingin berbagi dengan Anda, karena cinta, kasih sayang, dan rasa percaya serta kejujuran. Jika Anda punya semua hal ini, Anda akan sukses. Kami punya seorang penyair, Maulana Rumi. Menurutnya, dengan kasih sayang dan cintalah kita bisa menaklukkan dunia. Dan kita bisa. Bila kita bisa melakukannya di Afghanistan, saya yakin 100 persen siapapun bisa melakukannya di belahan dunia manapun.
Thank you very, very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you. Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)