Let's talk dirty. A few years ago, oddly enough, I needed the bathroom, and I found one, a public bathroom, and I went into the stall, and I prepared to do what I'd done most of my life: use the toilet, flush the toilet, forget about the toilet. And for some reason that day, instead, I asked myself a question, and it was, where does this stuff go? And with that question, I found myself plunged into the world of sanitation -- there's more coming -- (Laughter) — sanitation, toilets and poop, and I have yet to emerge. And that's because it's such an enraging, yet engaging place to be.
Mari kita bicara kotor. Beberapa tahun lalu, anehnya, saya ingin pergi ke kamar kecil, dan saya menemukan sebuah kamar kecil umum, masuk ke dalamnya dan bersiap melakukan apa yang telah saya lakukan selama hidup saya: menggunakannya, menyiram, lalu melupakannya. Namun karena alasan tertentu, saya malah bertanya pada diri sendiri, ke mana benda-benda ini pergi? Dari pertanyaan itu, akhirnya saya menerjunkan diri ke dalam dunia sanitasi -- masih ada lagi -- (Tawa) --- sanitasi, toilet, dan kotoran, dan saya belum muncul di sana. Itu karena tempat ini sangat menyebalkan namun juga menarik.
To go back to that toilet, it wasn't a particularly fancy toilet, it wasn't as nice as this one from the World Toilet Organization. That's the other WTO. (Laughter) But it had a lockable door, it had privacy, it had water, it had soap so I could wash my hands, and I did because I'm a woman, and we do that.
Kembali ke kamar kecil tadi, itu bukan kamar kecil yang keren, tidak sebagus toilet dari "Organisasi Toilet Dunia" (WTO) ini. Itu adalah WTO lain." (Tawa) Namun pintunya bisa dikunci, ada privasi, dan ada air, ada sabun sehingga saya dapat mencuci tangan, dan saya melakukannya karena saya perempuan, dan kami mencuci tangan.
(Laughter) (Applause)
(Tawa) (Tepuk tangan)
But that day, when I asked that question, I learned something, and that was that I'd grown up thinking that a toilet like that was my right, when in fact it's a privilege. 2.5 billion people worldwide have no adequate toilet. They don't have a bucket or a box. Forty percent of the world with no adequate toilet. And they have to do what this little boy is doing by the side of the Mumbai Airport expressway, which is called open defecation, or poo-pooing in the open. And he does that every day, and every day, probably, that guy in the picture walks on by, because he sees that little boy, but he doesn't see him.
Namun hari itu, ketika saya bertanya, saya belajar sesuatu, yaitu bahwa saya besar dengan anggapan bahwa toilet seperti itu adalah hak saya, ketika sebenarnya itu adalah sebuah hak istimewa. 2.5 milyar orang di seluruh dunia tidak memiliki toilet yang layak. Tidak ada ember maupun kotak.. 40% dari dunia tidak memiliki toilet yang layak. Dan mereka harus melakukan apa yang dilakukan anak laki-laki kecil di pinggir jalan tol Bandara Mumbai ini, yaitu buang air besar di tempat terbuka. Dan dia melakukannya setiap hari, dan setiap hari, mungkin saja, pria dalam gambar itu berjalan melintas, karena dia melihat anak laki-laki kecil itu, namun dia tidak melihatnya.
But he should, because the problem with all that poop lying around is that poop carries passengers. Fifty communicable diseases like to travel in human shit. All those things, the eggs, the cysts, the bacteria, the viruses, all those can travel in one gram of human feces. How? Well, that little boy will not have washed his hands. He's barefoot. He'll run back into his house, and he will contaminate his drinking water and his food and his environment with whatever diseases he may be carrying by fecal particles that are on his fingers and feet. In what I call the flushed-and-plumbed world that most of us in this room are lucky to live in, the most common symptoms associated with those diseases, diarrhea, is now a bit of a joke. It's the runs, the Hershey squirts, the squits. Where I come from, we call it Delhi belly, as a legacy of empire. But if you search for a stock photo of diarrhea in a leading photo image agency, this is the picture that you come up with. (Laughter) Still not sure about the bikini. And here's another image of diarrhea. This is Marie Saylee, nine months old. You can't see her, because she's buried under that green grass in a little village in Liberia, because she died in three days from diarrhea -- the Hershey squirts, the runs, a joke. And that's her dad. But she wasn't alone that day, because 4,000 other children died of diarrhea, and they do every day. Diarrhea is the second biggest killer of children worldwide, and you've probably been asked to care about things like HIV/AIDS or T.B. or measles, but diarrhea kills more children than all those three things put together. It's a very potent weapon of mass destruction. And the cost to the world is immense: 260 billion dollars lost every year on the losses to poor sanitation. These are cholera beds in Haiti. You'll have heard of cholera, but we don't hear about diarrhea. It gets a fraction of the attention and funding given to any of those other diseases.
Namun seharusnya dia melihat, karena kotoran yang berserakan itu membawa penumpang-penumpang. 50 penyakit menular cenderung berpindah melalui kotoran manusia. Semua hal, telur-telur, kista-kista, bakteri-bakteri, virus-virus, semua dapat berpindah dalan 1 gram kotoran manusia. Lalu? Nah, anak laki-laki kecil itu tidak akan mencuci tangannya. Dia bertelanjang kaki. Dia akan berlari pulang ke rumahnya, dan dia akan mencemari air minum, makanan dan lingkungannya dengan segala penyakit yang mungkin saja dibawanya melalui partikel kotoran yang ada di jari-jari tangan dan di kedua kakinya. Dalam apa yang saya sebut dengan dunia siram-dan-pipa di mana kebanyakan dari kita di ruangan ini cukup beruntung bisa berada di dalamnya, gejala-gejala umum yang berhubungan dengan penyakit-penyakit itu, seperti diare, nampak seperti lelucon. Itulah diare. Di tempat asal saya, ini disebut "perut" Delhi, sebuah peninggalan dari kerajaan. Namun jika Anda mencari foto tentang diare di agen foto terkemuka, inilah foto yang akan Anda dapatkan. (Tawa) Saya masih tidak yakin tentang bikini itu. Dan inilah gambar tentang diare yang lain. Inilah Marie Saylee, bayi berusia 9 bulan. Anda tidak dapat melihatnya karena dia telah dimakamkan di bawah rerumputan hijau di sebuah desa kecil di Liberia karena dia meninggal tiga tahun yang lalu karena diare -- diare itu, lelucon itu. Dan itulah ayahnya. Namun dia tidak sendirian hari itu karena 4.000 anak lainnya meninggal karena diare setiap harinya. Diare adalah pembunuh anak-anak terbesar kedua di dunia, dan anda mungkin diajak untuk memperhatikan hal-hal seperti HIV/AIDS, TBC, atau campak, namun diare membunuh lebih banyak anak-anak dibandingkan gabungan dari ketiga penyakit itu. Diare adalah senjata pemusnah massal yang sangat ampuh. Dan kerugian karena diare di seluruh dunia sangat besar: 260 milyar dolar setiap tahunnya karena sanitasi yang buruk. Inilah bangsal penyakit kolera di Haiti. Anda pasti pernah mendengar tentang kolera, namun tidak pernah mendengar tentang diare. Diare memperoleh dana dan perhatian yang lebih sedikit dibandingkan penyakit-penyakit lainnya.
But we know how to fix this. We know, because in the mid-19th century, wonderful Victorian engineers installed systems of sewers and wastewater treatment and the flush toilet, and disease dropped dramatically. Child mortality dropped by the most it had ever dropped in history. The flush toilet was voted the best medical advance of the last 200 years by the readers of the British Medical Journal, and they were choosing over the Pill, anesthesia, and surgery. It's a wonderful waste disposal device.
Namun kita tahu cara memperbaikinya. Kita tahu, karena di pertengahan abad ke-19 para insinyur Victoria yang luar biasa memasang sistem selokan dan pengolahan air limbah dengan toilet siram, dan penyakit ini berkurang drastis. Terjadi penurunan kematian anak yang terbesar dalam sejarah. Toilet siram dipilih sebagai kemajuan kedokteran terhebat dalam 200 tahun terakhir oleh para pembaca Jurnal Kedokteran Inggris, mengalahkan pil obat, obat bius, dan operasi. Ini adalah alat pembuangan yang mengagumkan.
But I think that it's so good — it doesn't smell, we can put it in our house, we can lock it behind a door — and I think we've locked it out of conversation too. We don't have a neutral word for it. Poop's not particularly adequate. Shit offends people. Feces is too medical.
Saya rasa alat ini luar biasa -- bahkan tidak berbau, sehingga kita dapat menaruhnya di rumah, menguncinya di belakang pintu -- dan saya rasa kita tidak membicarakannya lagi. Saya tidak tahu kata yang tepat. "Kotoran" tidak benar-benar cocok. "Tahi" akan membuat orang marah. "Feses" terlalu medis.
Because I can't explain otherwise, when I look at the figures, what's going on. We know how to solve diarrhea and sanitation, but if you look at the budgets of countries, developing and developed, you'll think there's something wrong with the math, because you'll expect absurdities like Pakistan spending 47 times more on its military than it does on water and sanitation, even though 150,000 children die of diarrhea in Pakistan every year. But then you look at that already minuscule water and sanitation budget, and 75 to 90 percent of it will go on clean water supply, which is great; we all need water. No one's going to refuse clean water. But the humble latrine, or flush toilet, reduces disease by twice as much as just putting in clean water. Think about it. That little boy who's running back into his house, he may have a nice, clean fresh water supply, but he's got dirty hands that he's going to contaminate his water supply with.
Karena jika tidak saya tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi saat saya melihat gambar itu. Kita tahu cara mengatasi diare dan sanitasi, namun jika Anda melihat anggaran dari negara maju dan negara berkembang, Anda akan merasa ada yang salah dengan perhitungannya, karena Anda akan menemukan keanehan seperti Pakistan menghabiskan uang 47 kali lebih banyak untuk militer dibandingkan untuk air bersih dan sanitasi, walaupun setiap tahunnya 150.000 anak-anak meninggal dunia di Pakistan karena diare. Kemudian Anda melihat pada anggaran air bersih dan sanitasi yang sangat kecil itu, itupun 75 hingga 90 persen akan dipakai untuk pasokan air bersih, yang memang layak, kita perlu air bersih. Tidak akan ada yang menolak air bersih. Namun toilet yang layak atau toilet siram itu, mengurangi penyakit dua kali lebih banyak dibandingkan memasukkan air bersih. Bayangkan. Anak kecil yang berlari pulang ke rumahnya tadi, mungkin memiliki pasokan air bersih yang baik, namun dia akan minum air itu dengan tangannya yang kotor.
And I think that the real waste of human waste is that we are wasting it as a resource and as an incredible trigger for development, because these are a few things that toilets and poop itself can do for us. So a toilet can put a girl back in school. Twenty-five percent of girls in India drop out of school because they have no adequate sanitation. They've been used to sitting through lessons for years and years holding it in. We've all done that, but they do it every day, and when they hit puberty and they start menstruating, it just gets too much. And I understand that. Who can blame them? So if you met an educationalist and said, "I can improve education attendance rates by 25 percent with just one simple thing," you'd make a lot of friends in education.
Dan saya rasa pemborosan sesungguhnya dari kotoran manusia adalah kita tidak menggunakannya sebagai sumber daya dan sebagai pemicu kemajuan yang luar biasa karena ada beberapa hal yang dapat dilakukan kotoran dan toilet untuk kita. Toilet dapat membuat anak-anak perempuan kembali bersekolah. 25 persen anak perempuan di India putus sekolah karena tidak memiliki sanitasi yang baik. Mereka sudah terbiasa duduk selama pelajaran sambil menahan buang air selama bertahun-tahun. Kita semua melakukannya, namun mereka melakukanya setiap hari, dan saat mereka mencapai usia akil balik dan mendapat haid, mereka tidak dapat menahannya lagi. Saya paham akan hal itu. Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Jadi jika Anda bertemu seorang pengajar dan berkata, "Saya dapat meningkatkan kehadiran siswa sebesar 25 persen hanya dengan satu hal sederhana," Anda akan mendapat banyak teman pengajar.
That's not the only thing it can do for you. Poop can cook your dinner. It's got nutrients in it. We ingest nutrients. We excrete nutrients as well. We don't keep them all. In Rwanda, they are now getting 75 percent of their cooking fuel in their prison system from the contents of prisoners' bowels. So these are a bunch of inmates in a prison in Butare. They're genocidal inmates, most of them, and they're stirring the contents of their own latrines, because if you put poop in a sealed environment, in a tank, pretty much like a stomach, then, pretty much like a stomach, it gives off gas, and you can cook with it. And you might think it's just good karma to see these guys stirring shit, but it's also good economic sense, because they're saving a million dollars a year. They're cutting down on deforestation, and they've found a fuel supply that is inexhaustible, infinite and free at the point of production.
Bukan hanya itu saja yang dapat diberikan oleh kotoran. Kotoran dapat memasak makan malam Anda. Kotoran mengandung nutrisi. Kita menyerap dan juga mengeluarkan nutrisi. Kita tidak menyimpan semua nutrisi itu. Di Rwanda, kini 75 persen bahan bakar untuk memasak di penjara mereka berasal dari kotoran para tahanan. Inilah sekelompok tahanan di sebuah penjara di Butare. Kebanyakan adalah pelaku pembantaian etnis, dan mereka mengaduk isi kamar kecil mereka sendiri karena jika Anda menaruh kotoran di lingkungan tertutup, di dalam tangki, itu hampir sama seperti perut, dan sama seperti perut, kotoran itu menghasilkan gas dan Anda dapat memasak dengan gas itu. Mungkin Anda hanya merasa ini adalah karma baik saat melihat orang-orang ini mengaduk kotoran, namun hal ini juga bagus secara ekonomi karena mereka menghemat satu juta dolar setiap tahunnya. Mereka mengurangi penggundulan hutan dan mereka mendapat sumber bahan bakar yang tidak akan habis, tidak terbatas, dan gratis langsung dari sumbernya.
It's not just in the poor world that poop can save lives. Here's a woman who's about to get a dose of the brown stuff in those syringes, which is what you think it is, except not quite, because it's actually donated. There is now a new career path called stool donor. It's like the new sperm donor. Because she has been suffering from a superbug called C. diff, and it's resistant to antibiotics in many cases. She's been suffering for years. She gets a dose of healthy human feces, and the cure rate for this procedure is 94 percent. It's astonishing, but hardly anyone is still doing it. Maybe it's the ick factor. That's okay, because there's a team of research scientists in Canada who have now created a stool sample, a fake stool sample which is called RePOOPulate.
Kotoran dapat menyelamatkan jiwa manusia tidak hanya di negara miskin. Wanita di sini akan menerima benda coklat di dalam suntikan itu, benda yang Anda pikirkan, namun tidak sama persis, karena benda itu disumbangkan. Kini ada jenjang karir baru bernama pendonor kotoran, yang seperti donor sperma versi baru. Karena wanita itu mengidap penyakit akibat kuman super bernama C. diff yang dalam banyak kasus kebal terhadap antibiotik. Dia sudah mengidap penyakit itu selama bertahun-tahun. Dia disuntik dengan kotoran manusia sehat dan laju kesembuhan dari praktek ini adalah 94 persen. Ini luar biasa, namun hampir tidak ada yang melakukannya saat ini. Mungkin karena jijik. Tidak apa-apa, karena ada sekelompok ilmuwan peneliti di Kanada yang kini menciptakan contoh kotoran palsu yand disebut "RePOOPulate."
So you'd be thinking by now, okay, the solution's simple, we give everyone a toilet. And this is where it gets really interesting, because it's not that simple, because we are not simple. So the really interesting, exciting work -- this is the engaging bit -- in sanitation is that we need to understand human psychology. We need to understand software as well as just giving someone hardware. They've found in many developing countries that governments have gone in and given out free latrines and gone back a few years later and found that they've got lots of new goat sheds or temples or spare rooms with their owners happily walking past them and going over to the open defecating ground.
Jadi mungkin kini Anda berpikir, jalan keluarnya mudah, mari kita berikan toilet kepada semua orang. Dan di sinilah hal ini menjadi menarik karena ternyata tidak semudah itu, kita tidak sesederhana itu. Jadi pekerjaan yang paling menarik -- dan ini bagian menariknya -- dalam sanitasi adalah kita harus memahami psikologi manusia. Kita harus memahami piranti lunak dan juga memberikan piranti keras kepada mereka. Mereka menemukan bahwa di banyak negara berkembang, pemerintah telah memberikan toilet gratis dan beberapa tahun kemudian saat mereka melihat kembali, mereka menemukan banyak tempat penyimpanan makanan kambing, kuil, atau gudang di mana pemiliknya berjalan melintas begitu saja menuju ke tempat buang air besar terbuka.
So the idea is to manipulate human emotion. It's been done for decades. The soap companies did it in the early 20th century. They tried selling soap as healthy. No one bought it. They tried selling it as sexy. Everyone bought it. In India now there's a campaign which persuades young brides not to marry into families that don't have a toilet. It's called "No Loo, No I Do." (Laughter) And in case you think that poster's just propaganda, here's Priyanka, 23 years old. I met her last October in India, and she grew up in a conservative environment. She grew up in a rural village in a poor area of India, and she was engaged at 14, and then at 21 or so, she moved into her in-law's house. And she was horrified to get there and find that they didn't have a toilet. She'd grown up with a latrine. It was no big deal, but it was a latrine. And the first night she was there, she was told that at 4 o'clock in the morning -- her mother-in-law got her up, told her to go outside and go and do it in the dark in the open. And she was scared. She was scared of drunks hanging around. She was scared of snakes. She was scared of rape. After three days, she did an unthinkable thing. She left. And if you know anything about rural India, you'll know that's an unspeakably courageous thing to do. But not just that. She got her toilet, and now she goes around all the other villages in India persuading other women to do the same thing. It's what I call social contagion, and it's really powerful and really exciting.
Jadi gagasannya adalah mengubah emosi manusia. Hal ini sudah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun. Perusahaan sabun berhasil melakukannya di awal abad ke-20. Mereka mencoba menjual sabun sebagai produk kesehatan. Tidak ada yang membelinya. Saat mereka menjualnya sebagai produk seksi, semua orang membelinya. Kini di India ada kampanye yang mengajak calon pengantin wanita muda untuk tidak menikah dengan keluarga yang rumahnya tidak memiliki toilet. Kampanye ini disebut, "Tidak ada toilet, tidak ada pernikahan." (Tawa) Dan jika Anda berpikir ini hanyalah propaganda, inilah Priyanka, wanita 23 tahun. Saya bertemu dengannya di India Oktober lalu dan dia hidup di lingkungan yang konservatif. Dia dibesarkan di pedesaan di daerah miskin India, dan dia bertunangan pada usia 14 tahun, lalu pada sekitar usia 21 tahun, dia pindah ke rumah mertuanya. Dan dia terkejut karena tahu bahwa rumah mertuanya tidak memiliki toilet. Dia dibesarkan dengan toilet. Itu bukan masalah besar, namun itu adalah toilet. Dan di malam pertama dia tinggal di sana, pada jam 4 pagi -- ibu mertuanya membangunkannya, menyuruhnya keluar dan buang air besar di tempat terbuka. Dan dia merasa takut, takut akan orang mabuk yang berkeliaran, takut akan ular, takut akan perkosaan. Setelah tiga hari, dia melakukan hal yang tidak terbayangkan. Dia pergi. Dan jika Anda tahu kondisi pedesaan India, Anda akan tahu bahwa itu memerlukan keberanian yang sangat besar. Namun tidak hanya itu. Dia mengambil toiletnya dan kini dia berkeliling ke semua desa lain di India dan mengajak wanita lainnya untuk melakukan hal yang sama. Itulah yang saya sebut "wabah sosial," dan hal itu sangat manjur dan menarik.
Another version of this, another village in India near where Priyanka lives is this village, called Lakara, and about a year ago, it had no toilets whatsoever. Kids were dying of diarrhea and cholera. Some visitors came, using various behavioral change tricks like putting out a plate of food and a plate of shit and watching the flies go one to the other. Somehow, people who'd been thinking that what they were doing was not disgusting at all suddenly thought, "Oops." Not only that, but they were ingesting their neighbors' shit. That's what really made them change their behavior. So this woman, this boy's mother installed this latrine in a few hours. Her entire life, she'd been using the banana field behind, but she installed the latrine in a few hours. It cost nothing. It's going to save that boy's life.
Versi lain dari cerita ini terjadi di desa lainnya di India dekat dengan tempat tinggal Priyanka. Sekitar satu tahun yang lalu, di desa bernama Laraka ini tidak ada toilet sama sekali. Anak-anak sekarat karena diare dan kolera. Lalu beberapa pengunjung datang dan dengan menggunakan tipuan perubahan perilaku seperti menaruh sepiring makanan dan sepiring kotoran lalu melihat banyak lalat terbang dari satu piring ke piring yang lain. Entah bagaimana, orang-orang yang selama ini merasa bahwa yang mereka lakukan tidaklah menjijikkan tiba-tiba berpikir, "Ups." Bukan hanya itu, mereka juga memakan kotoran tetangga mereka. Hal itu benar-benar mengubah perilaku mereka. Jadi wanita ini, ibu dari anak ini memasang toilet ini dalam beberapa jam. Selama hidupnya, dia menggunakan daun pisang, namun dia memasang toilet ini hanya dalam beberapa jam. Biayanya gratis, namun akan menyelamatkan nyawa anak itu.
So when I get despondent about the state of sanitation, even though these are pretty exciting times because we've got the Bill and Melinda Gates Foundation reinventing the toilet, which is great, we've got Matt Damon going on bathroom strike, which is great for humanity, very bad for his colon. But there are things to worry about. It's the most off-track Millennium Development Goal. It's about 50 or so years off track. We're not going to meet targets, providing people with sanitation at this rate. So when I get sad about sanitation, I think of Japan, because Japan 70 years ago was a nation of people who used pit latrines and wiped with sticks, and now it's a nation of what are called Woshurettos, washlet toilets. They have in-built bidet nozzles for a lovely, hands-free cleaning experience, and they have various other features like a heated seat and an automatic lid-raising device which is known as the "marriage-saver." (Laughter)
Jadi saat saya merasa putus asa akan keadaan sanitasi ini, walaupun ada saa-saat yang cukup menarik karena Yayasan Bill dan Melinda Gates menciptakan kembali toilet, lalu ada Matt Damon yang melakukan pemogokan kamar mandi, yang luar biasa bagi kemanusiaan, namun buruk bagi usus besarnya. Namun ada hal yang harus dikhawatirkan. Inilah Tujuan Pembangunan Milenium yang paling tidak tercapai, sekitar 50 tahun terlambat dari sasaran, Kita tidak akan mencapai sasaran, untuk menyediakan sanitasi bagi semua orang jika terus seperti ini. Jadi saat saya merasa sedih akan sanitasi, saya berpikir tentang Jepang, karena 70 tahun yang lalu, Jepang dipenuhi orang yang menggunakan lubang untuk toilet dan tongkat untuk membersihkan, dan kini negara itu menjadi apa yang disebut Woshurettos, "washlet toilet." Mereka memiliki semprotan untuk memberi pengalaman membersihkan tanpa bantuan tangan, dan ada berbagai keistimewaan lainnya seperti toilet dengan pemanas dan mesin pembuka tutup toilet otomatis yang juga dikenal dengan "penyelamat pernikahan." (Tawa)
But most importantly, what they have done in Japan, which I find so inspirational, is they've brought the toilet out from behind the locked door. They've made it conversational. People go out and upgrade their toilet. They talk about it. They've sanitized it. I hope that we can do that. It's not a difficult thing to do. All we really need to do is look at this issue as the urgent, shameful issue that it is. And don't think that it's just in the poor world that things are wrong. Our sewers are crumbling. Things are going wrong here too. The solution to all of this is pretty easy. I'm going to make your lives easy this afternoon and just ask you to do one thing, and that's to go out, protest, speak about the unspeakable, and talk shit.
Namun yang paling penting, apa yang telah mereka lakukan di Jepang, yang saya rasa sangat inspiratif, adalah membawa toilet dari balik ruangan terkunci keluar. Mereka membuat orang-orang membicarakan toilet. Orang-orang pergi dan memperbaiki toiletnya. Mereka membicarakan dan membersihkannya. Saya harap kita dapat melakukannya. Hal itu tidak sulit. Yang benar-benar harus kita lakukan adalah melihat masalah ini sebagai masalah yang memalukan dan penting. Dan jangan berpikir bahwa masalah hanya terjadi di negara miskin. Selokan kita runtuh. Masalah juga muncul di sini. Jalan keluar dari semua hal ini cukup mudah. Sore ini saya akan membuat hidup Anda lebih mudah dan saya hanya meminta Anda melakukan satu hal, yaitu keluar, protes, dan berbicara tentang hal yang tidak dapat dibicarakan dan bicara "kotoran."
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)