I want to open by quoting Einstein's wonderful statement, just so people will feel at ease that the great scientist of the 20th century also agrees with us, and also calls us to this action. He said, "A human being is a part of the whole, called by us, the 'universe,' -- a part limited in time and space. He experiences himself, his thoughts and feelings, as something separated from the rest, a kind of optical delusion of his consciousness. This delusion is a kind of prison for us, restricting us to our personal desires and to affection for a few persons nearest to us. Our task must be to free ourselves from this prison by widening our circle of compassion, to embrace all living creatures and the whole of nature in its beauty."
Saya hendak membuka dengan mengutip perkataan indah dari Einstein, supaya orang-orang akan merasa tenang bahwa ilmuwan ternama dari abad ke-20 juga setuju dengan kita, dan juga memanggil kita untuk melakukan tindakan ini. Beliau berkata, "Seorang manusia merupakan bagian dari sesuatu, yang kita namakan, alam semesta, bagian yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Dia mengalaminya sendiri, pikiran dan perasaannya, sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain, pemisahan tersebut merupakan semacam tipu muslihat dari kesadarannya sendiri, Tipu muslihat ini merupakan bentuk dari penjara atas kita semua, membatasi keinginan pribadi kita dan rasa sayang yang hanya untuk beberapa orang terdekat kita. Tugas kita adalah untuk membebaskan diri kita sendiri dari penjara ini dengan cara memperluas lingkaran kepedulian kita, untuk merangkul semua makhluk hidup dan alam semesta dengan keindahannya."
This insight of Einstein's is uncannily close to that of Buddhist psychology, wherein compassion -- "karuna," it is called -- is defined as, "the sensitivity to another's suffering and the corresponding will to free the other from that suffering." It pairs closely with love, which is the will for the other to be happy, which requires, of course, that one feels some happiness oneself and wishes to share it. This is perfect in that it clearly opposes self-centeredness and selfishness to compassion, the concern for others, and, further, it indicates that those caught in the cycle of self-concern suffer helplessly, while the compassionate are more free and, implicitly, more happy.
Pengertian Einstein tersebut luar biasa mirip dengan psikologi ajaran Buddha, dimana belas kasih (kepedulian), juga biasa disebut karuna, diartikan sebagai, "Rasa peka terhadap penderitaan orang lain dan keinginan yang sesuai untuk membebaskan orang lain dari penderitaan tersebut." Hal ini juga dipasangkan dengan cinta. Yaitu keinginan agar orang lain bahagia. Yang tentu saja memerlukan seseorang untuk merasa bahagia akan dirinya sendiri dan punya keinginan untuk membaginya. Hal ini sempurna dalam arti bahwa dia menentang keinginan untuk mementingkan diri sendiri dan perasaan egois dibandingkan dengan rasa belas kasih, dan memperhatikan orang lain, dan juga, hal ini menandakan bahwa mereka yang terjerumus dalam siklus yang hanya memperhatikan diri sendiri akan menderita tidak berdaya, sedangkan rasa belas kasih lebih bebas dan secara implisit lebih bahagia.
The Dalai Lama often states that compassion is his best friend. It helps him when he is overwhelmed with grief and despair. Compassion helps him turn away from the feeling of his suffering as the most absolute, most terrible suffering anyone has ever had and broadens his awareness of the sufferings of others, even of the perpetrators of his misery and the whole mass of beings. In fact, suffering is so huge and enormous, his own becomes less and less monumental. And he begins to move beyond his self-concern into the broader concern for others. And this immediately cheers him up, as his courage is stimulated to rise to the occasion. Thus, he uses his own suffering as a doorway to widening his circle of compassion. He is a very good colleague of Einstein's, we must say.
Dalai Lama seringkali menyatakan bahwa rasa belas kasih adalah sahabatnya. Perasaan tersebut menolong saat beliau diliputi rasa sedih dan putus asa. Rasa belas kasih menolong beliau untuk pergi dari perasaan menderita yang paling mutlak, penderitaan yang paling parah yang orang dapat rasakan dan memperluas kesadaran beliau akan penderitaan orang lain, bahkan penderitaan atas si penyebab kesengsaraan beliau dan banyak orang lainnya. Kenyataannya, penderitaan itu sangat besar, sehingga lama kelamaan penderitaan beliau sendiri menjadi kurang penting. Lalu beliau mulai beranjak dari rasa memperhatikan diri sendiri untuk lebih memperhatikan orang lain. Hal ini dengan segara membuat beliau senang, sebab keberaniannya telah dibangkitkan untuk menghadapi tantangan tersebut. Dengan demikian, beliau menggunakan rasa penderitannya sendiri sebagai jalan untuk memperluas lingkaran kepeduliannya. Kita patut berkata bahwa beliau adalah rekan kerja Einstein yang sangat baik.
Now, I want to tell a story, which is a very famous story in the Indian and Buddhist tradition, of the great Saint Asanga who was a contemporary of Augustine in the West and was sort of like the Buddhist Augustine. And Asanga lived 800 years after the Buddha's time. And he was discontented with the state of people's practice of the Buddhist religion in India at that time.
Sekarang, saya ingin menyampaikan sebuah cerita, cerita yang sangat terkenal dalam tradisi India dan Buddha, mengenai orang suci yang terkemuka, Asanga yang hidup -- di jaman yang sama dengan Augustine di Barat dan bisa dianalogikan sebagai Augustine dari ajaran Buddha. Asanga hidup 800 tahun setelah Buddha. Dan ia tidak senang dengan penerapan orang-orang terhadap agama Buddha di India pada waktu itu.
And so he said, "I'm sick of all this. Nobody's really living the doctrine. They're talking about love and compassion and wisdom and enlightenment, but they are acting selfish and pathetic. So, Buddha's teaching has lost its momentum. I know the next Buddha will come a few thousand years from now, but exists currently in a certain heaven" -- that's Maitreya -- "so, I'm going to go on a retreat and I'm going to meditate and pray until the Buddha Maitreya reveals himself to me, and gives me a teaching or something to revive the practice of compassion in the world today."
Lalu dia berkita, "Saya muak dengan semua hal ini. Tidak seorangpun yang benar-benar menjalankan ajaran (Buddha). Mereka berbica tentang cinta dan rasa welas asih dan kebijaksanaan dan pencerahan, namun bereka bersikap egois dan menyedihkan. Sehingga ajaran Buddha telah kehilangan momentumnya. Saya tahu bahwa Buddha selanjutnya akan datang beberapa ribu tahun dari sekarang, tetapi sekarang ini berada di suatu surga, yakni Maitreya. Jadi, saya akan pergi mengasingkan diri, dan saya akan melakukan meditasi dan berdoa sampai Buddha Maitreya menunjukkan dirinya kepada saya, dan memberikan ajaran atau sesuatu hal untuk menghidupkan kembali penerapan rasa belas kasih di dunia sekarang ini."
So he went on this retreat. And he meditated for three years and he did not see the future Buddha Maitreya. And he left in disgust. And as he was leaving, he saw a man -- a funny little man sitting sort of part way down the mountain. And he had a lump of iron. And he was rubbing it with a cloth. And he became interested in that. He said, "Well what are you doing?" And the man said, "I'm making a needle." And he said, "That's ridiculous. You can't make a needle by rubbing a lump of iron with a cloth." And the man said, "Really?" And he showed him a dish full of needles. So he said, "Okay, I get the point." He went back to his cave. He meditated again.
Lalu ia pergi mengasingkan diri, dan bermeditasi selama tiga tahun dan ia tidak menemukan Buddha Maitreya. dan ia pergi dengan merasa muak. Dan ketika ia sedang beranjak pergi, ia melihat seorang pria -- pria yang kecil dan lucu -- duduk di tengah jalan menuju kaki gunung. Dan pria tersebut mempunyai sebongkah besi. Dan ia sedang menggosoknya dengan sehelai kain. Dan ia menjadi tertarik dengan hal tersebut. Ia berkata, "Apa yang sedang kamu lakukan?" Dan pria itu berkata, "Saya sedang membuat jarum." Dan ia berkata, "Konyol sekali. Kamu mana bisa membuat jarum dengan cara menggosok sebongkah besi dari kain." Dan pria tersebut berkata, "Apa betul?" Dan menunjukkan kepadanya satu piring penuh dengan jarum. Lalu ia berkata, "Oke, saya mengerti maksudnya." Ia pergi kembali ke gua dan bermeditasi lagi.
Another three years, no vision. He leaves again. This time, he comes down. And as he's leaving, he sees a bird making a nest on a cliff ledge. And where it's landing to bring the twigs to the cliff, its feathers brushes the rock -- and it had cut the rock six to eight inches in. There was a cleft in the rock by the brushing of the feathers of generations of the birds. So he said, "All right. I get the point." He went back.
Tiga tahun berlalu, tidak ada penglihatan. Ia pergi lagi. Kali ini, ia turun dari gunung. Dan selagi ia pergi, ia melihat seekor burung sedang membuat sarang di ujung jurang. Dan tempat dimana burung itu mendarat untuk membawa ranting - ranting ke jurang, bulunya menyebat batu, dan telah memotong batu tersebut, sedalam enam sampai delapan inci, terdapat celah pada batu tersebut hasil dari sabetan bulu beberapa generasi burung - burung tersebut. Lalu ia berkata, "Baiklah. Saya mengerti maksudnya." Ia pergi kembali.
Another three years. Again, no vision of Maitreya after nine years. And he again leaves, and this time: water dripping, making a giant bowl in the rock where it drips in a stream. And so, again, he goes back. And after 12 years there is still no vision. And he's freaked out. And he won't even look left or right to see any encouraging vision.
Tiga tahun berlalu. Lagi-lagi, tidak ada penglihatan akan Maitreya setelah sembilan tahun. Dan, ia pergi lagi, dan kali ini air menetes, sampai membentuk mangkuk di batu dimana air terus menerus menetes. Dan lagi-lagi, ia pergi kembali. Dan setelah 12 tahun masih tidak ada penglihatan. Dan ia menjadi gila. Dan ia bahkan tidak mau melihat ke kanan kirinya untuk melihat kejadian yang mendukungnya.
And he comes to the town. He's a broken person. And there, in the town, he's approached by a dog who comes like this -- one of these terrible dogs you can see in some poor countries, even in America, I think, in some areas -- and he's looking just terrible. And he becomes interested in this dog because it's so pathetic, and it's trying to attract his attention. And he sits down looking at the dog. And the dog's whole hindquarters are a complete open sore. Some of it is like gangrenous, and there are maggots in the flesh. And it's terrible. He thinks, "What can I do to fix up this dog? Well, at least I can clean this wound and wash it."
Dan ia pergi ke kota. Ia seorang yang tidak beres. Dan di sana, di kota tersebut, ia dihampiri oleh seekor anjing yang datang seperti ini -- salah satu anjing terburuk yang bisa anda lihat di negara miskin, bahkan di Amerika, menurut saya, di beberapa daerah -- dan anjing itu sungguh terlihat buruk. Dan ia menjadi tertarik dengan anjing itu karena ia terlihat sangat menyedihkan, dan anjing itu mencoba untuk mencuri perhatiannya. Dan ia duduk melihat anjing tersebut. Dan seluruh bagian bokong anjing itu merupakan luka yang terbuka. Dan beberapa bagiannya seperti bernanah dan borok. Dan ada belatung di dagingnya. Dan ini sangat buruk. Dia berpikir, "Apa yang bisa saya lakukan untuk menyembuhkan anjing ini? Ya, setidaknya saya bisa membersihkan luka ini dan mencucinya."
So, he takes it to some water. He's about to clean, but then his awareness focuses on the maggots. And he sees the maggots, and the maggots are kind of looking a little cute. And they're maggoting happily in the dog's hindquarters there. "Well, if I clean the dog, I'll kill the maggots. So how can that be? That's it. I'm a useless person and there's no Buddha, no Maitreya, and everything is all hopeless. And now I'm going to kill the maggots?"
Kemudian dia membawa anjing itu ke tempat dimana ada air, ia baru mau mulai membersihkan lalu perhatiannya tertuju kepada belatung tersebut. Dan ia melihat belatung, dan belatung itu terlihat sedikit lucu. Dan mereka dengan gembiranya makan di bagian bokong anjing tersebut. "Begini, kalau saya membersihkan anjing itu, saya akan membunuh belatungnya. Jadi bagaimana bisa? Ya sudah. Saya orang yang tidak berguna dan tidak ada Buddha, tidak ada Maitreya, dan semua hal sepertinya tidak ada harapan. Dan sekarang saya akan membunuh belatung?"
So, he had a brilliant idea. And he took a shard of something, and cut a piece of flesh from his thigh, and he placed it on ground. He was not really thinking too carefully about the ASPCA. He was just immediately caught with the situation. So he thought, "I will take the maggots and put them on this piece of flesh, then clean the dog's wounds, and then I'll figure out what to do with the maggots."
Lalu, ia terpikir ide cemerlang. Dan ia mengambil pecahan suatu benda, dan memotong sebagian daging dari bagian pahanya sendiri, dan ia menaruhnya di tanah. Dia tidak terlalu berpikir terlalu serius tentang ASPCA (Organisasi Perlindungan Hewan) Dia hanya tiba-tiba terlarut dalam situasi itu. Jadi ia berpikir, "Saya akan mengambil belatung itu dan menaruh mereka di atas daging ini, lalu membersihkan luka anjing itu, dan lalu, kamu tahu, Saya akan mencari tahu apa yang harus dilakukan dengan belatung itu."
So he starts to do that. He can't grab the maggots. Apparently they wriggle around. They're kind of hard to grab, these maggots. So he says, "Well, I'll put my tongue on the dog's flesh. And then the maggots will jump on my warmer tongue" -- the dog is kind of used up -- "and then I'll spit them one by one down on the thing." So he goes down, and he's sticking his tongue out like this. And he had to close his eyes, it's so disgusting, and the smell and everything.
Jadi ia mulai untuk melakukan hal itu. Dia tidak bisa mengambil belatung tersebut. Ternyata mereka bergerak kesana kemari. Belatung-belatung tersebut jadi susah untuk ditangkap. Jadi ia berkata, "Yah, saya akan menaruh lidah saya pada luka anjing itu. Dan lalu belatung tersebut akan lompat ke lidah saya yang lebih hangat. Anjing itu sepertinya sedang dimanfaatkan. Dan lalu saya akan meludahkan mereka satu per satu ke daging tersebut." Jadi ia membungkuk, dan mejulurkan lidahnya seperti ini. Dan ia harus menutup matanya, sangat menjijikkan, dan baunya dan semuanya.
And then, suddenly, there's a pfft, a noise like that. He jumps back and there, of course, is the future Buddha Maitreya in a beautiful vision -- rainbow lights, golden, jeweled, a plasma body, an exquisite mystic vision -- that he sees. And he says, "Oh." He bows. But, being human, he's immediately thinking of his next complaint.
Dan lalu, tiba - tiba, ada pfft, suara seperti itu. Ia terloncat dan di situ, tentu saja, Buddha Maitreya dari masa yang akan datang. Dalam penglihatan yang indah seperti sinar pelangi, emas, berkilau, tubuh yang tembus pandang, seperti penglihatan mistik yang sangat indah, ia melihat. Dan ia berkata, "Oh." Ia membungkuk. Tapi, sebagai manusia, ia tiba-tiba teringat akan keluhan selanjutnya.
So as he comes up from his first bow he says, "My Lord, I'm so happy to see you, but where have you been for 12 years? What is this?"
Jadi sambil ia bangun dari bungkukan pertamanya ia berkata, "Ya Tuhan, saya sangat senang melihat anda, tapi ke mana saja anda selama 12 tahun ini? Apa ini?"
And Maitreya says, "I was with you. Who do you think was making needles and making nests and dripping on rocks for you, mister dense?" (Laughter) "Looking for the Buddha in person," he said. And he said, "You didn't have, until this moment, real compassion. And, until you have real compassion, you cannot recognize love." "Maitreya" means love, "the loving one," in Sanskrit.
Dan Maitreya berkata, "Saya bersama dengan kamu. Kamu pikir siapa yang membuat jarum dan membuat sarang dan meneteskan air di atas batu untuk kamu, tuan bodoh?" (Tawa) "Melihat Buddha dengan mata kepala sendiri." ia berkata. Dan ia berkata, "Kamu tidak mempunyai, sampai saat ini, perasaan belas kasih yang nyata. Dan, sampai kamu memiliki rasa belas kasih yang nyata, kamu tidak bisa menyadari cinta." Maitreya artinya cinta, Dia yang mencintai, anda tahu, dalam bahasa Sansekerta.
And so he looked very dubious, Asanga did. And he said, "If you don't believe me, just take me with you." And so he took the Maitreya -- it shrunk into a globe, a ball -- took him on his shoulder. And he ran into town in the marketplace, and he said, "Rejoice! Rejoice! The future Buddha has come ahead of all predictions. Here he is." And then pretty soon they started throwing rocks and stones at him -- it wasn't Chautauqua, it was some other town -- because they saw a demented looking, scrawny looking yogi man, like some kind of hippie, with a bleeding leg and a rotten dog on his shoulder, shouting that the future Buddha had come.
Dan Asanga jadi kelihatan sangat ragu-ragu. Dan ia berkata, "Jika kamu tidak percaya saya, bawa saja saya dengan kamu." Dan ia membawa Maitreya -- ia mengecil menjadi sebuah bola -- membawa ia pada pundaknya. Dan ia lari menuju kota ke daerah pasar, dan ia berkata, "Bergembiralah. Bergembiralah. Buddha masa depan telah datang lebih dulu dari segala prediksi. Ini dia." Dan tak lama kemudian mereka mulai melempar kerikil dan batu kepada ia -- Itu bukan di Chautauqua. Tapi itu di kota lain -- karena mereka melihat orang yogi kurus dan seperti sakit jiwa, seperti hippi, dengan kaki yang berdarah dan anjing yang membusuk di pundaknya, berteriak bahwa Buddha masa depan telah datang.
So, naturally, they chased him out of town. But on the edge of town, one elderly lady, a charwoman in the charnel ground, saw a jeweled foot on a jeweled lotus on his shoulder and then the dog, but she saw the jewel foot of the Maitreya, and she offered a flower. So that encouraged him, and he went with Maitreya.
Jadi, sewajarnya, mereka mengusir dia pergi ke luar kota. Namun di pinggir kota, seseorang wanita tua, wanita yang terlihat kusam di tanah kuburan, melihat kaki yang berkilau di atas teratai yang berkilau di atas pundaknya dan lalu anjing tersebut, namun wanita itu melihat kaki Maitreya yang berkilau, dan ia menawarkan setangkai bunga. Jadi hal itu mendorong dia, dan ia pergi dengan Maitreya.
Maitreya then took him to a certain heaven, which is the typical way a Buddhist myth unfolds. And Maitreya then kept him in heaven for five years, dictating to him five complicated tomes of the methodology of how you cultivate compassion.
Maitreya lalu membawanya ke suatu surga, sebagaimana jalan cerita mitos agama Buddha pada umumnya. Dan Maitreya lalu menyimpan dia di surga selama lima tahun, mendiktenya lima jilid buku tebal dan rumit tentang metode bagaimana seseorang mengembangkan rasa belas kasih.
And then I thought I would share with you what that method is, or one of them. A famous one, it's called the "Sevenfold Causal Method of Developing Compassion." And it begins first by one meditating and visualizing that all beings are with one -- even animals too, but everyone is in human form. The animals are in one of their human lives. The humans are human. And then, among them, you think of your friends and loved ones, the circle at the table. And you think of your enemies, and you think of the neutral ones. And then you try to say, "Well, the loved ones I love. But, you know, after all, they're nice to me. I had fights with them. Sometimes they were unfriendly. I got mad. Brothers can fight. Parents and children can fight. So, in a way, I like them so much because they're nice to me. While the neutral ones I don't know. They could all be just fine. And then the enemies I don't like because they're mean to me. But they are nice to somebody. I could be them."
Dan lalu saya berpikir untuk membagi dengan anda metode tersebut, atau salah satu dari metode itu. Yang paling terkenal, dinamakan "Tujuh rangkap metode sebab-akibat untuk mengembangkan rasa belas kasih" Dan ini dimulai dengan seseorang bermeditasi dan membayangkan bahwa semua makhluk hidup adalah dengan satu, sama lain -- bahkan hewan juga -- tetapi semua orang adalah dalam wujud manusia. Hewan-hewan sedang berada di salah satu dari hidup manusia mereka. Manusia adalah manusia. Dan lalu, di antara mereka, anda pikir tentang sahabat dan orang yang disayangi, lingkaran di meja. Dan anda pikir tentang musuh anda, dan anda pikir tentang mereka yang netral. Dan lalu anda coba untuk berkata, "Ya, orang yang disayangi saya sayang. Tapi, kamu tahu, bagaimanapun, mereka baik pada saya. Saya pernah bertengkar dengan mereka. Kadang-kadang mereka tidak ramah. Saya menjadi marah. Saudara pernah bertengkar. Orang tua dan anak-anak bisa bertengkar. Jadi, seakan-akan, saya sangat suka mereka karena mereka baik pada saya. Sedangkan mereka yang netral, saya tidak tahu. Mereka bisa jadi baik-baik saja. Dan lalu musuh-musuh yang saya tidak suka karena mereka jahat pada saya. Tapi mereka baik pada seseorang. Dan saya bisa jadi mereka."
And then the Buddhists, of course, think that, because we've all had infinite previous lives, we've all been each other's relatives, actually. Therefore all of you, in the Buddhist view, in some previous life, although you don't remember it and neither do I, have been my mother -- for which I do apologize for the trouble I caused you. And also, actually, I've been your mother. I've been female, and I've been every single one of yours' mother in a previous life, the way the Buddhists reflect. So, my mother in this life is really great. But all of you in a way are part of the eternal mother. You gave me that expression; "the eternal mama," you said. That's wonderful. So, that's the way the Buddhists do it. A theist Christian can think that all beings, even my enemies, are God's children. So, in that sense, we're related.
Dan lalu penganut ajaran Buddha, tentu saja, berpikir, karena kita semua pernah memiliki kehidupan yang lalu, mereka berpikir bahwa kita semua pernah menjadi kerabat satu sama lain, sebenarnya, dan semua orang, sehingga kalian semua, dalam pandangan ajaran Buddha di suatu kehidupan yang sebelumnya, walaupun anda tidak ingat dan saya juga tidak, pernah menjadi ibu saya, dimana saya minta maaf akan kesulitan yang saya sebabkan. Dan juga, sebenarnya, saya pernah menjadi ibu anda. Saya pernah jadi wanita, dan saya pernah menjadi ibu dari setiap kalian pada kehidupan yang lampau, cara penganut ajaran Buddha merefleksi. Jadi, ibu saya di kehidupan ini sangat hebat. Namun kalian semua bisa dibilang adalah bagian dari ibu yang kekal. Anda memberikan ekspresi seperti, ibu yang kekal, kata anda. Ini menakjubkan. Jadi, itu adalah cara yang dilakukan oleh penganut ajaran Buddha. Seorang beragama, orang Kristen, bisa berpikir bahwa semua orang, bahkan musuh saya, adalah anak Tuhan. Jadi, dengan demikian, kita semua memiliki hubungan.
So, they first create this foundation of equality. So, we sort of reduce a little of the clinging to the ones we love -- just in the meditation -- and we open our mind to those we don't know. And we definitely reduce the hostility and the "I don't want to be compassionate to them" to the ones we think of as the bad guys, the ones we hate and we don't like. And we don't hate anyone, therefore. So we equalize. That's very important.
Jadi, mereka pertama-tama menciptakan dasar kesamaan. Jadi, kita seperti mengurangi sedikit keeratan dengan orang yang kita sayangi -- hanya di dalam meditasi -- dan kita membuka pikiran kepada mereka yang kita tidak kenal Dan kita tentu mengurangi kebencian dan pemikiran "saya tidak mau peduli dengan mereka" kepada mereka yang kita pikir merupakan orang jahat, mereka yang kita benci dan yang kita tidak suka. Dan sehingga kita tidak benci siapapun. Jadi kita menyeimbangkan. Hal itu sangat penting.
And then the next thing we do is what is called "mother recognition." And that is, we think of every being as familiar, as family. We expand. We take the feeling about remembering a mama, and we defuse that to all beings in this meditation. And we see the mother in every being. We see that look that the mother has on her face, looking at this child that is a miracle that she has produced from her own body, being a mammal, where she has true compassion, truly is the other, and identifies completely. Often the life of that other will be more important to her than her own life. And that's why it's the most powerful form of altruism. The mother is the model of all altruism for human beings, in spiritual traditions. And so, we reflect until we can sort of see that motherly expression in all beings.
Dan hal selanjutnya yang kita lakukan ialah apa yang kita sebut pengakuan ibu. Yaitu, kita berpikir bahwa setiap makhluk hidup kita kenal, sebagai keluarga. Kita berkembang. Kita menggunakan perasaan saat mengingat seorang ibu, dan menyebarkan perasaan itu kepada seluruh makhluk hidup saat meditasi ini. Dan kita melihat sosok ibu pada setiap makhluk hidup. Kita melihat tatapan yang dimiliki ibu pada wajahnya, tatapan kepada seorang anak ini merupakan mukjizat yang ia telah lahirkan dari badannya sendiri, sebagai mamalia, dimana ia memiliki rasa belas kasih yang benar-benar sejati dan mengenalinya dengan sempurna. Seringkali hidup dari anak itu lebih penting baginya dibanding hidupnya sendiri. Dan itulah sebabnya hal ini merupakan bentuk altruisme yang paling kuat Ibu adalah model daripada segala altruisme untuk manusia, dalam tradisi spiritual. Dan jadi, kita merefleksi sampai kita bisa melihat ekspresi keibuan itu di semua makhluk hidup.
People laugh at me because, you know, I used to say that I used to meditate on mama Cheney as my mom, when, of course, I was annoyed with him about all of his evil doings in Iraq. I used to meditate on George Bush. He's quite a cute mom in a female form. He has his little ears and he smiles and he rocks you in his arms. And you think of him as nursing you. And then Saddam Hussein's serious mustache is a problem, but you think of him as a mom.
Orang-orang menertawakan saya karena, kamu tahu, saya dulu berkata bahwa Saya pernah bermeditasi tentang ibu Cheney sebagai ibu saya, disaat, tentu saja, saya jengkel dengannya tentang segala hal jahatnya di Irak. Saya pernah bermeditasi tentang George Bush. Dia terlihat lumayan seperti ibu yang lucu dalam wujud wanita. Mempunyai dua telinga yang mungil dan ia tertawa dan ia membuai anda di pelukan tangannya. Dan anda pikir tentang dia sedang merawat anda. Dan lalu kumis Saddam Hussein yang terlihat serius merupakan masalah. Namun anda pikir dia sebagai seorang ibu.
And this is the way you do it. You take any being who looks weird to you, and you see how they could be familiar to you. And you do that for a while, until you really feel that. You can feel the familiarity of all beings. Nobody seems alien. They're not "other." You reduce the feeling of otherness about beings. Then you move from there to remembering the kindness of mothers in general, if you can remember the kindness of your own mother, if you can remember the kindness of your spouse, or, if you are a mother yourself, how you were with your children. And you begin to get very sentimental; you cultivate sentimentality intensely. You will even weep, perhaps, with gratitude and kindness. And then you connect that with your feeling that everyone has that motherly possibility. Every being, even the most mean looking ones, can be motherly.
Dan ini merupakan cara anda bisa melakukannya. Anda ambil siapapun yang kelihatan aneh bagi anda, dan anda lihat bagaimana anda bisa menjadi akrab dengannya. Dan anda lakukan hal itu sementara sampai anda merasakan hal tersebut. Anda bisa merasakan keakraban atas seluruh makhluk hidup. Tak seorangpun yang seperti makhluk asing. Mereka bukan "orang lain." Anda mengurangi rasa asing tentang makhluk hidup. Lalu dari sana anda berlanjut untuk mengingat kebaikan ibu pada umumnya, jika anda bisa mengingat kebaikan ibu anda sendiri, jika anda bisa mengingat kebaikan pasangan anda, atau, jika anda seorang ibu, sebagaimana anda dengan anak-anak anda. Dan anda menjadi penuh perasaan, anda mengembangkan perasaan sentimentil dengan sungguh-sungguh Anda bahkan akan menangis, barangkali, dengan perasaan bersyukur dan kebaikan. Dan lalu anda menghubungkan hal itu dengan perasaan anda bahwa semua orang memiliki kemungkinan keibuan tersebut, Setiap makhluk, bahkan yang kelihatan paling kejam, bisa menjadi keibuan.
And then, third, you step from there to what is called "a feeling of gratitude." You want to repay that kindness that all beings have shown to you. And then the fourth step, you go to what is called "lovely love." In each one of these you can take some weeks, or months, or days depending on how you do it, or you can do them in a run, this meditation. And then you think of how lovely beings are when they are happy, when they are satisfied. And every being looks beautiful when they are internally feeling a happiness. Their face doesn't look like this. When they're angry, they look ugly, every being, but when they're happy they look beautiful. And so you see beings in their potential happiness. And you feel a love toward them and you want them to be happy, even the enemy.
Dan lalu, ketiga, anda beranjak dari sana kepada apa yang disebut perasaan bersyukur. Anda mau membalas atas kebaikan yang ditunjukkan oleh semua orang. Dan lalu langkah keempat, anda maju ke yang dinamakan cinta yang menyenangkan. Dalam setiap langkah-langkah ini anda bisa menghabiskan beberapa minggu, atau bulan, atau hari tergantung bagaimana anda melakukannya, atau anda bisa melakukannya sekaligus, meditasi ini. Dan lalu anda berpikir betapa indahnya manusia saat mereka bahagia, saat mereka merasa puas. Dan setiap orang kelihatan indah saat mereka merasakan dari dalam perasaan bahagia. Wajah mereka tidak kelihatan seperti ini. Saat mereka marah, mereka tampak jelek, setiap orang, namun saat mereka bahagia mereka tampak cantik. Dan jadi anda melihat manusia dalam potensi kebahagiaan. Dan anda merasakan perasaan sayang kepada mereka dimana anda ingin mereka untuk bahagia, bahkan musuh anda.
We think Jesus is being unrealistic when he says, "Love thine enemy." He does say that, and we think he's being unrealistic and sort of spiritual and highfalutin. "Nice for him to say it, but I can't do that." But, actually, that's practical. If you love your enemy that means you want your enemy to be happy. If your enemy was really happy, why would they bother to be your enemy? How boring to run around chasing you. They would be relaxing somewhere having a good time. So it makes sense to want your enemy to be happy, because they'll stop being your enemy because that's too much trouble.
Dan, sebenarnya, sangat logis untuk mengingini -- kita pikir Yesus tidak realistis saat Ia berkata kasihilah musuhmu. Ia berkata demikian, dan kita berpikir Ia tidak realistis dan seperti terlalu rohani dan muluk-muluk dan ,"Bagus Dia berkata demikian, namun saya tidak bisa melakukannya." Tapi, sebenarnya, hal ini praktis. Jika anda mengasihi musuhmu, itu berarti anda ingin musuh bahagia. Jika musuh anda benar-benar bahagia, kenapa mereka peduli untuk menjadi musuhmu? Sangatlah membosankan untuk berlari dan mengejar anda. Mereka lebih baik bersantai di suatu tempat dan menikmati waktu yang ada. Jadi masuk akal untuk mengingini musuhmu bahagia karena mereka akan berhenti menjadi musuhmu karena terlalu merepotkan.
But anyway, that's the "lovely love. " And then finally, the fifth step is compassion, "universal compassion." And that is where you then look at the reality of all the beings you can think of. And you look at them, and you see how they are. And you realize how unhappy they are actually, mostly, most of the time. You see that furrowed brow in people. And then you realize they don't even have compassion on themselves. They're driven by this duty and this obligation. "I have to get that. I need more. I'm not worthy. And I should do something." And they're rushing around all stressed out. And they think of it as somehow macho, hard discipline on themselves. But actually they are cruel to themselves. And, of course, they are cruel and ruthless toward others. And they, then, never get any positive feedback. And the more they succeed and the more power they have, the more unhappy they are. And this is where you feel real compassion for them.
Tapi bagaimanapun juga, itulah rasa sayang yang menyenangkan. Dan akhirnya, langkah kelima adalah belas kasih, rasa kepedulian yang universal. Dan ini adalah dimana anda melihat kenyataan dari segala manusia yang terpikir oleh anda. Dan anda melihat mereka, dan anda melihat bagaimana mereka. Dan anda sadar betapa tidak bahagianya mereka, kebanyakan, sebagian besar waktu. Anda melihat cekungan alis mata pada orang-orang. Dan lalu anda sadar mereka bahkan tidak memiliki belas kasih pada diri mereka sendiri. Mereka digerakkan oleh tugas dan kewajiban ini. "Saya harus mendapatkannya. Saya butuh lebih. Saya tidak berharga. Dan saya harus melakukan sesuatu." Dan mereka sibuk sana sini menjadi stress. Dan mereka pikir entah bagaimana hal ini jantan, disiplin keras terhadap dirinya sendiri. Namun sebenarnya mereka kejam terhadap dirinya sendiri. Dan, tentu saja, mereka kejam dan tidak mengenal belas kasihan terhadap orang lain. Dan mereka, lalu, tidak pernah mendapat saran yang baik. Dan makin sukses mereka, dan makin tinggi kuasa yang mereka miliki, semakin mereka tidak bahagia. Dan inilah dimana anda merasakan rasa welas asih yang benar-benar kepada mereka.
And you then feel you must act. And the choice of the action, of course, hopefully will be more practical than poor Asanga, who was fixing the maggots on the dog because he had that motivation, and whoever was in front of him, he wanted to help. But, of course, that is impractical. He should have founded the ASPCA in the town and gotten some scientific help for dogs and maggots. And I'm sure he did that later. (Laughter) But that just indicates the state of mind, you know.
Dan anda lalu merasa anda harus melakukan sesuatu. Dan ini adalah motivasi -- Dan tindakan yang dipilih, tentu saja, semoga akan menjadi lebih praktis daripada Asanga kasihan yang memperbaiki belatung pada anjing, karena ia memiliki motivasi itu, dan siapapun yang ada di depannya, ia mau menolong. Tapi, tentu saja, hal ini tidak praktis. Ia seharusnya mendirikan Organisasi Perlindungan Hewan di kota itu. dan mendapat bantuan ilmiah untuk anjing dan belatung. Dan saya yakin ia melakukannya setelah itu. Tapi hal itu hanya menyatakan apa yang ada di dalam pikiran, kamu tahu.
And so the next step -- the sixth step beyond "universal compassion" -- is this thing where you're linked with the needs of others in a true way, and you have compassion for yourself also, and it isn't sentimental only. You might be in fear of something. Some bad guy is making himself more and more unhappy being more and more mean to other people and getting punished in the future for it in various ways. And in Buddhism, they catch it in the future life. Of course in theistic religion they're punished by God or whatever. And materialism, they think they get out of it just by not existing, by dying, but they don't. And so they get reborn as whatever, you know.
Dan jadi langkah selanjutnya -- langkah keenam yang melebihi belas kasih universal -- yang merupakan hal ini dimana anda terhubung dengan kebutuhan orang lain dengan cara yang benar, dan anda memiliki belas kasih kepada anda sendiri juga, dan anda tidak -- ini bukan semata-mata sentimentil. Anda bisa jadi takut akan suatu hal. Orang jahat sedang membuat dirinya lebih dan lebih tidak bahagia menjadi lebih dan lebih jahat kepada orang lain dan mendapatkan hukuman di masa mendatang untuk hal itu dalam berbagai cara. Dan dalam ajaran Buddha, mereka mendapatkannya di kehidupan yang mendatang. Tentu saja di agama yang ber-Tuhan, mereka dihukum oleh Tuhan atau lainnya. Dan dalam materialisme, mereka pikir mereka lari dari hal itu dengan menghilang, dengan kematian, tapi mereka tidak. Dan mereka lahir kembali, menjadi apapun, kamu tahu.
Never mind. I won't get into that. But the next step is called "universal responsibility." And that is very important -- the Charter of Compassion must lead us to develop through true compassion, what is called "universal responsibility." In the great teaching of his Holiness the Dalai Lama that he always teaches everywhere, he says that that is the common religion of humanity: kindness. But "kindness" means "universal responsibility." And that means whatever happens to other beings is happening to us: we are responsible for that, and we should take it and do whatever we can at whatever little level and small level that we can do it. We absolutely must do that. There is no way not to do it.
Sudahlah. Saya tidak akan berlanjut ke hal tersebut. Tapi langkah selanjutnya dinamakan tanggung jawab universal. Dan hal itu sangat penting -- Piagam Kepedulian harus memimpin kita untuk berkembang melalui belas kasih yang sebenarnya, apa yang dinamakan tanggung jawab universal. Dan itu berarti ajaran agung dari yang mulia, Dalai Lama, yang ia selalu ajarkan dimanapun, dan ia berkata itu adalah agama umum bagi umat manusia, kebaikan, Tapi kebaikan berarti tanggung jawab universal. Dan itu berarti apapun yang terjadi terhadap orang lain terjadi pada kita, dimana kita bertanggung jawab untuk hal itu, dan kita harus mengemban tanggung jawab tersebut dan melakukan apapun yang kita bisa pada tingkat sekecil apapun dan sekecil apapun yang kita bisa. Kita benar-benar harus melakukannya. Tidak ada jalan lain untuk tidak melakukannya.
And then, finally, that leads to a new orientation in life where we live equally for ourselves and for others and we are joyful and happy. One thing we mustn't think is that compassion makes you miserable. Compassion makes you happy. The first person who is happy when you get great compassion is yourself, even if you haven't done anything yet for anybody else. Although, the change in your mind already does something for other beings: they can sense this new quality in yourself, and it helps them already, and gives them an example.
Dan lalu, akhirnya, hal itu mengarah kepada arahan baru dalam hidup dimana kita hidup seimbang untuk diri kita dan orang lain, dan kita sadar bahwa kebahagiaan untuk kita sendiri -- dan kita bersukacita dan bergembira. Satu hal yang kita tidak boleh pikirkan ialah belas kasih membuat anda merasa menyedihkan. Belas kasih membuat anda bahagia. Orang pertama yang bahagia, saat anda mendapat belas kasih yang hebat, adalah diri anda sendiri, bahkan jika anda belum berbuat suatu hal untuk orang lain. Meskipun perubahan di pikiran anda sudah melakukan sesuatu untuk orang lain. Mereka dapat merasakan kualitas yang baru ini di diri anda, dan ini sudah menolong mereka, dan memberikan mereka teladan.
And that uncompassionate clock has just showed me that it's all over.
Dan jam yang tidak berbelas-kasihan telah menunjukkan bahwa waktu saya telah habis.
So, practice compassion, read the charter, disseminate it and develop it within yourself. Don't just think, "Well, I'm compassionate," or "I'm not compassionate," and sort of think you're stuck there. You can develop this. You can diminish the non-compassion, the cruelty, the callousness, the neglect of others, and take universal responsibility for them. And then, not only will God smile and the eternal mama will smile, but Karen Armstrong will smile.
Jadi, terapkan belas kasih, baca piagam tersebut, sebarkan hal itu dan kembangkanlah hal ini dalam diri anda sendiri. Jangan hanya berpikir, oh ya, saya berbelas kasih, atau saya tidak berbelas kasih, dan pikiran semacam itu, anda terhambat di sana. Anda bisa mengembangkan hal ini. Anda bisa menghilangkan ketidak-pedulian, kekejaman, tidak berperasaan, kelalaian akan orang lain. Ambil tanggung jawab universal atas mereka, dan lalu, tidak hanya Tuhan akan tersenyum dan ibu yang kekal akan tersenyum, tapi Karen Armstrong juga akan tersenyum.
Thank you very much. (Applause)
Terima kasih banyak.