The first question is this. Our country has two exploration programs. One is NASA, with a mission to explore the great beyond, to explore the heavens, which we all want to go to if we're lucky. And you can see we have Sputnik, and we have Saturn, and we have other manifestations of space exploration. Well, there's also another program, in another agency within our government, in ocean exploration. It's in NOAA, the National Oceanic and Atmospheric Administration. And my question is this: "why are we ignoring the oceans?" Here's the reason, or not the reason, but here's why I ask that question. If you compare NASA's annual budget to explore the heavens, that one-year budget would fund NOAA's budget to explore the oceans for 1,600 years. Why? Why are we looking up? Is it because it's heaven? And hell is down here? Is it a cultural issue? Why are people afraid of the ocean? Or do they just assume the ocean is just a dark, gloomy place that has nothing to offer?
Ini pertanyaan pertamanya. Negara kita memiliki dua program penjelajahan. Yang pertama, NASA dengan tugas menjelajah kemegahan di luar, menjelajah surga, di mana kita semua ingin ke sana jika beruntung. Seperti yang Anda lihat, kita memiliki Sputnik dan Saturn, dan juga bentuk lainnya dari penjelajahan luar angkasa. Lalu, ada juga program lainnya di badan lain dalam pemerintahan kita, penjelajahan samudera. NOAA, Badan Administrasi Samudera dan Atmosfer Nasional. Pertanyaan saya -- "Mengapa kita mengabaikan samudera?" Ini alasannya, mungkin juga bukan, tapi ini yang membuat saya bertanya. Jika kita bandingkan anggaran tahunan NASA untuk menjelajahi langit, anggaran dalam satu tahun itu bisa mendanai NOAA untuk menjelajahi samudera selama 1.600 tahun. Mengapa? Mengapa kita menuju ke atas? Apakah karena surga ada di sana? Dan di bawah sana hanya ada neraka? Apakah karena masalah budaya? Mengapa orang-orang takut dengan samudera? Atau mereka hanya menganggap samudera sebagai tempat yang gelap dan suram yang tidak menawarkan apapun?
I'm going to take you on a 16-minute trip on 72 percent of the planet, so buckle up. OK. And what we're going to do is we're going to immerse ourselves in my world. And what I'm going to try -- I hope I make the following points. I'm going to make it right now in case I forget. Everything I'm going to present to you was not in my textbooks when I went to school. And most of all, it was not even in my college textbooks. I'm a geophysicist, and all my Earth science books when I was a student -- I had to give the wrong answer to get an A. We used to ridicule continental drift. It was something we laughed at. We learned of Marshall Kay's geosynclinal cycle, which is a bunch of crap. In today's context, it was a bunch of crap, but it was the law of geology, vertical tectonics. All the things we're going to walk through in our explorations and discoveries of the oceans were mostly discoveries made by accident. Mostly discoveries made by accident. We were looking for something and found something else. And everything we're going to talk about represents a one tenth of one percent glimpse, because that's all we've seen.
Saya akan membawa Anda ke perjalanan 16 menit menuju 72 persen planet ini, bersiaplah. Yang akan kita lakukan menenggelamkan diri kita dalam dunia saya. Ini yang akan saya coba -- Saya harap saya dapat menyampaikan intinya. Saya akan melakukannya sekarang agar tidak lupa -- semua hal yang saya akan tunjukkan tidak ada di dalam buku pelajaran saat saya bersekolah. Sebagian besar, bahkan tidak ada dalam buku kuliah saya. Saya seorang geofisikawan dan semua buku ilmu bumi saat saya sekolah, saya harus memberikan jawaban yang salah untuk dapat A. Kami dulu suka mengolok-olok teori pergerakan benua. Kami menertawakannya. Kami belajar tentang siklus penurunan lempeng Marshall Key, omong kosong. Dalam konteks sekarang, itu omong kosong tapi saat itu memang hukum geologi, gerakan tektonik vertikal. Semua hal yang akan kita temui dalam penjelajahan dan penemuan di samudera sebagian besar ditemukan secara kebetulan. Sebagian besar penemuan adalah kebetulan. Kita mencari sesuatu dan menemukan sesuatu yang lain. Hal-hal yang akan saya bicarakan hanya sepersepuluh dari satu persen kilasannya, karena hanya itu yang dapat kita lihat.
I have a characterization. This is a characterization of what it would look like if you could remove the water. It gives you the false impression it's a map. It is not a map. In fact, I have another version at my office and I ask people, "Why are there mountains here, on this area here, but there are none over here?" And they go, "Well, gee, I don't know," saying, "Is it a fracture zone? Is it a hot spot?" No, no, that's the only place a ship's been. Most of the southern hemisphere is unexplored. We had more exploration ships down there during Captain Cook's time than now. It's amazing. All right. So we're going to immerse ourselves in the 72 percent of the planet because, you know, it's really naive to think that the Easter Bunny put all the resources on the continents.
Saya memiliki gambarannya Ini gambaran Bumi jika kita memindahkan semua air laut. Hal ini memberikan kesan berbeda, sebuah peta. Ini bukan sebuah peta. Sebenarnya, saya memiliki versi yang lain di kantor saya saya bertanya kepada orang-orang, "Mengapa ada pegunungan di daerah ini? tapi tidak ada apapun di sekitar sini". Mereka menjawab, "Hm, saya tidak tahu, apakah karena zona patahan? Titik api?" Bukan, hanya itu tempat yang pernah dilewati kapal-kapal. Sebagian besar belahan bumi selatan belum tereksplorasi. Kita memiliki kapal penjelajah lebih banyak pada jaman Kapten Cook daripada sekarang. Luar biasa. Baiklah. Mari kita menenggelamkan diri ke dalam 72 persen dari planet ini, karena benar-benar naif untuk berpikir bahwa kelinci Paskah menyimpan semua kekayaannya di darat.
(Laughter)
(Suara tawa)
You know, it's just ludicrous. We are always, constantly playing the zero sum game. You know, we're going to do this, we're going to take it away from something else. I believe in just enriching the economy. And we're leaving so much on the table, 72 percent of the planet. And as I will point out later in the presentation, 50 percent of the United States of America lies beneath the sea. 50 percent of our country that we own, have all legal jurisdiction, have all rights to do whatever we want, lies beneath the sea and we have better maps of Mars than that 50 percent. Why? OK. Now, I began my explorations the hard way. Back then -- actually my first expedition was when I was 17 years old. It was 49 years ago. Do the math, I'm 66. And I went out to sea on a Scripps ship and we almost got sunk by a giant rogue wave, and I was too young to be -- you know, I thought it was great! I was a body surfer and I thought, "Wow, that was an incredible wave!" And we almost sank the ship, but I became enraptured with mounting expeditions. And over the last 49 years, I've done about 120, 121 -- I keep doing them -- expeditions.
Ini sungguh menggelikan. Kita selalu memainkan permainan menang dan kalah. Kita menang dan mengambil sesuatu dari kekalahan orang lain. Saya percaya usaha memperkaya perekonomian. Kita mengabaikan begitu saja 72 persen dari planet ini. Seperti yang akan saya tunjukkan dalam presentasi ini, 50 persen dari Amerika Serikat ada di bawah permukaan laut. 50 persen dari negara yang kita miliki, wilayah hukum kita yang sah, di mana kita dapat melakukan apapun yang kita inginkan, ada di bawah laut dan kita punya peta Mars yang lebih baik dibandingkan 50 persen wilayah itu. Mengapa? Saya mulai penjelajahan saya dengan cara yang keras. Saat itu -- sebenarnya penjelajahan pertama saya ketika saya berusia 17 tahun, 49 tahun yang lalu. Coba hitung. Umur saya 66 dan saya menggunakan kapal Scrippe dan kami hampir tenggelam karena ombak raksasa dan saya terlalu muda untuk -- saya merasa itu hebat! Saya seorang peselancar dan saya pikir, "Wow, itu ombak yang luar biasa!" Kami hampir tenggelam, tapi saya menjadi terpesona dengan penjelajahan ini. Selama 49 tahun terakhir saya telah melakukan 120, 121 -- masih terus saya lakukan -- penjelajahan itu.
But in the early days, the only way I could get to the bottom was to crawl into a submarine, a very small submarine, and go down to the bottom. I dove in a whole series of different deep diving submersibles. Alvin and Sea Cliff and Cyana, and all the major deep submersibles we have, which are about eight. In fact, on a good day, we might have four or five human beings at the average depth of the Earth -- maybe four or five human beings out of whatever billions we've got going. And so it's very difficult to get there, if you do it physically. But I was enraptured, and in my graduate years was the dawn of plate tectonics. And we realized that the greatest mountain range on Earth lies beneath the sea.
Di masa-masa awal, satu-satunya cara untuk pergi ke dasar laut adalah dengan menggunakan kapal selam yang sangat kecil dan pergi ke bawah. Saya menyelam dengan berbagai jenis kapal selam, Alvin dan Sea Cliff dan Cyana, dan semua kapal selam laut dalam utama yang kita miliki, ada 8. Sebenarnya, pada saat cuaca bagus, ada empat atau lima orang yang berada pada kedalaman rata-rata Bumi -- mungkin hanya empat atau lima dari sekian miliar orang. Sehingga sangat sulit untuk pergi ke sana secara langsung. Tapi saya terpesona, dan tahun kelulusan saya adalah saat ditemukannya lempeng tektonik. Dan kita menyadari rangkaian pegunungan terbesar di Bumi ada di bawah laut.
The mid-ocean ridge runs around like the seam on a baseball. This is on a Mercator projection. But if you were to put it on an equal area projection, you'd see that the mid-ocean ridge covers 23 percent of the Earth's total surface area. Almost a quarter of our planet is a single mountain range and we didn't enter it until after Neil Armstrong and Buzz Aldrin went to the moon. So we went to the moon, played golf up there, before we went to the largest feature on our own planet. And our interest in this mountain range, as Earth scientists in those days, was not only because of its tremendous size, dominating the planet, but the role it plays in the genesis of the Earth's outer skin. Because it's along the axis of the mid-ocean ridge where the great crustal plates are separating. And like a living organism, you tear it open, it bleeds its molten blood, rises up to heal that wound from the asthenosphere, hardens, forms new tissue and moves laterally.
Pegunungan di tengah laut terbentang seperti jahitan pada bola bisbol. Ini proyeksi Mercator. Jika kita meletakkannya pada proyeksi Bumi yang sebenarnya Anda akan melihat bahwa pegunungan di dasar laut meliputi 23 persen dari seluruh luas permukaan Bumi. Hampir seperempat dari planet kita adalah rangkaian pegunungan tunggal dan kita baru mendatanginya setelah Neil Armstrong dan Buzz Aldrin pergi ke bulan. Kita pergi ke bulan, bermain golf di sana sebelum kita pergi menuju benda terbesar di planet kita sendiri. Ketertarikan kami pada rangkaian pegunungan ini, sebagai ilmuwan bumi bukan hanya karena besarnya yang mendominasi planet ini, tapi perannya dalam pembentukan kerak Bumi bagian luar. Karena di sepanjang pusat rangkaian pegunungan bawah laut inilah lempengan kerak Bumi yang besar saling terpisah. Seperti makhluk hidup, jika Anda membelahnya cairan darah akan keluar ke atas untuk menyembuhkan luka itu dari astenosfer, mengeras, membentuk jaringan baru, dan bergerak mendatar.
But no one had actually gone down into the actual site of the boundary of creation as we call it -- into the Rift Valley -- until a group of seven of us crawled in our little submarines in the summer of 1973, 1974 and were the first human beings to enter the Great Rift Valley. We went down into the Rift Valley. This is all accurate except for one thing -- it's pitch black. It's absolutely pitch black, because photons cannot reach the average depth of the ocean, which is 12,000 feet. In the Rift Valley, it's 9,000 feet. Most of our planet does not feel the warmth of the sun. Most of our planet is in eternal darkness. And for that reason, you do not have photosynthesis in the deep sea. And with the absence of photosynthesis you have no plant life, and as a result, you have very little animal life living in this underworld. Or so we thought. And so in our initial explorations, we were totally focused on exploring the boundary of creation, looking at the volcanic features running along that entire 42,000 miles. Running along this entire 42,000 miles are tens of thousands of active volcanoes. Tens of thousands of active volcanoes. There are more active volcanoes beneath the sea than on land by two orders of magnitude. So, it's a phenomenally active region, it's not just a dark, boring place. It's a very alive place. And it's then being ripped open.
Tapi tidak ada orang yang pernah sampai ke tempat yang kami sebut 'batas ciptaan' -- menuju ke lembah Rift -- sampai kami bertujuh masuk ke dalam kapal selam kecil kami di musim panas 1973/1974 manusia pertama yang memasuki lembah Rift besar. Kami turun menuju lembah Rift, persis seperti ini kecuali satu hal -- semuanya gelap. Benar-benar gelap di sana karena foton tidak dapat mencapai kedalaman rata-rata samudera sekitar 12.000 kaki. Kedalaman lembah Rift sekitar 9.000 kaki. Sebagian besar planet kita tidak merasakan kehangatan matahari. Sebagian besar dari planet kita ada dalam kegelapan abadi. Karena itu tidak ada peristiwa fotosintesis di dasar laut. Karena tidak ada fotosintesis tidak ada tumbuhan yang hidup, dan akibatnya, hanya ada sedikit hewan yang berkembang di dunia bawah laut. Itu yang kami perkirakan. Sehingga dalam penjelajahan awal kami kami benar-benar fokus untuk menjelajahi batas ciptaan. melihat aktivitas gunung api yang terbentang sejauh 42.000 mil. Di bentangan sejauh 42.000 mil ini terdapat puluhan ribu gunung berapi aktif. Puluhan ribu. Ada lebih banyak gunung api di bawah laut dibandingkan di darat. 100 kali lipat lebih banyak. Jadi daerah ini luar biasa aktif, bukan hanya tempat gelap membosankan tapi tempat yang sangat hidup. Lalu lempeng ini terbelah.
But we were dealing with a particular scientific issue back then. We couldn't understand why you had a mountain under tension. In plate tectonic theory, we knew that if you had plates collide, it made sense: they would crush into one another, you would thicken the crust, you'd uplift it. That's why you get, you know, you get seashells up on Mount Everest. It's not a flood, it was pushed up there. We understood mountains under compression, but we could not understand why we had a mountain under tension. It should not be. Until one of my colleagues said, "It looks to me like a thermal blister, and the mid-ocean ridge must be a cooling curve." We said, "Let's go find out." We punched a bunch of heat probes. Everything made sense, except, at the axis, there was missing heat. It was missing heat. It was hot. It wasn't hot enough. So, we came up with multiple hypotheses: there's little green people down there taking it; there's all sorts of things going on. But the only logical [explanation] was that there were hot springs. So, there must be underwater hot springs.
Kami berhadapan dengan isu ilmiah tertentu saat itu. Kami tidak dapat mengerti mengapa gunung mengalami tegangan. Dalam teori lempeng tektonik, kita tahu bahwa jika dua lempeng bertabrakan, ini masuk akal, lempeng itu akan saling berhimpitan, lalu menebalkan kerak bumi dan mengangkatnya. Itu sebabnya kita bisa menemukan kerang di Gunung Everest. Bukan karena banjir, gunung itu terangkat. Kita mengerti bahwa pegunungan mengalami tekanan tapi tidak mengerti mengapa gunung bisa mengalami tegangan. Tidak seharusnya seperti itu. Sampai rekan kerja saya berkata "Ini nampak seperti luka karena panas, dan pegunungan di dasar laut ini kurva pendinginannya". Kami berkata, "Ayo kita cari tahu." Kami menyelidiki panas ini. Semuanya masuk akal, kecuali pada sumbu di mana ada panas yang hilang. Tempat ini panas. Tapi tidak cukup panas. Jadi kami membuat beberapa hipotesis, ada makhluk luar angkasa di bawah sana yang membuatnya. Ada banyak hal yang lainnya. Tapi penjelasan yang masuk akal hanya adanya sumber air panas. Ada sumber air panas di bawah laut.
We mounted an expedition to look for the missing heat. And so we went along this mountain range, in an area along Galapagos Rift, and did we find the missing heat. It was amazing. These giant chimneys, huge giant chimneys. We went up to them with our submersible. We wanted to get a temperature probe, we stuck it in there, looked at it -- it pegged off scale. The pilot made this great observation: "That's hot."
Kami mengadakan ekspedisi untuk mencari panas yang hilang. Kami menelusuri rangkaian pegunungan ini di daerah sekitar Galapagos Rift, dan kami menemukan panas yang hilang. Luar biasa. Ada cerobong raksasa yang besar. Kami mendatanginya dengan kapal selam kami. Kami ingin menyelidiki kondisi suhunya, kami berhenti di sana, melihatnya -- dan suhunya lebih dari skala termometer kami. Sang pilot membuat pengamatan yang hebat: "Ini panas."
(Laughter)
(Suara tawa)
And then we realized our probe was made out of the same stuff -- it could have melted. But it turns out the exiting temperature was 650 degrees F, hot enough to melt lead. This is what a real one looks like, on the Juan de Fuca Ridge. What you're looking at is an incredible pipe organ of chemicals coming out of the ocean. Everything you see in this picture is commercial grade: copper, lead, silver, zinc and gold. So the Easter Bunny has put things in the ocean floor, and you have massive heavy metal deposits that we're making in this mountain range. We're making huge discoveries of large commercial-grade ore along this mountain range, but it was dwarfed by what we discovered. We discovered a profusion of life, in a world that it should not exist [in]. Giant tube worms, 10 feet tall. I remember having to use vodka -- my own vodka -- to pickle it because we don't carry formaldehyde. We went and found these incredible clam beds sitting on the barren rock. Large clams, and when we opened them, they didn't look like a clam. And when we cut them open, they didn't have the anatomy of a clam. No mouth, no gut, no digestive system. Their bodies had been totally taken over by another organism, a bacterium, that had figured out how to replicate photosynthesis in the dark, through a process we now call chemosynthesis. None of it in our textbooks. None of this in our textbooks. We did not know about this life system. We were not predicting it. We stumbled on it, looking for some missing heat.
Lalu kami menyadari alat penjelajah kami terbuat dari benda yang sama -- Benda ini dapat mencair. Ternyata suhu yang teramati sekitar 650 derajat Fahrenheit, cukup panas untuk melelehkan timbal. Ini penampakan sebenarnya dari celah Juan de Fuca. Apa yang Anda lihat adalah orgel tiup yang luar biasa mengeluarkan bahan kimia dari samudera. Semua yang Anda lihat di sini adalah benda berharga -- tembaga, timbal, perak, seng, dan emas. Jadi Kelinci Paskah memang menyimpannya di dasar laut, dan ada endapan logam berat yang sangat besar yang kami temukan di rangkaian pegunungan ini. Kami menemukan banyak sekali bijih logam berharga di rangkaian pegunungan ini, tapi ini kecil dibandingkan apa yang kami temukan. Kami menemukan kehidupan yang melimpah di dunia di mana tidak seharusnya ada kehidupan. Cacing pipa raksasa, 10 kaki. Saya ingat saya harus menggunakan vodka -- vodka saya sendiri -- untuk mengawetkannya karena kami tidak membawa formalin. Kami juga menemukan cangkang kerang yang luar biasa ini pada sebuah batuan tandus -- cangkang yang besar, saat kami membukanya benda ini tidak tampak seperti cangkang. Saat kami membedahnya benda ini tidak punya anatomi sebuah cangkang Tanpa mulut, tanpa usus, tanpa sistem pencernaan. Tubuhnya benar-benar telah diambil alih oleh makhluk lain, bakteri, yang telah menemukan cara untuk meniru proses fotosintesis di dalam gelap melalui proses yang sekarang kita sebut kemosintesis. Tidak ada di dalam buku pelajaran kita. Tidak satu pun. Kita tidak tahu tentang sistem kehidupan ini. Kami tidak memperkirakannya. Kami tidak sengaja menemukannya saat mencari panas yang hilang.
So, we wanted to accelerate this process. We wanted to get away from this silly trip, up and down on a submarine: average depth of the ocean, 12,000 feet; two and half hours to get to work in the morning; two and half hours to get to home. Five hour commute to work. Three hours of bottom time, average distance traveled -- one mile.
Lalu kami ingin mempercepat proses ini. Kami ingin berhenti keluar masuk dasar laut dalam kapal selam ini. Kedalaman rata-rata samudera adalah 12.000 kaki, dua setengah jam untuk pergi kerja di pagi hari. Dua setengah jam untuk perjalanan pulang. Lima jam waktu pulang-pergi untuk bekerja. Tiga jam di bawah, rata-rata jarak yang ditempuh -- satu mil.
(Laughter)
(Suara tawa)
On a 42,000 mile mountain range. Great job security, but not the way to go. So, I began designing a new technology of telepresence, using robotic systems to replicate myself, so I wouldn't have to cycle my vehicle system. We began to introduce that in our explorations, and we continued to make phenomenal discoveries with our new robotic technologies. Again, looking for something else, moving from one part of the mid-ocean ridge to another. The scientists were off watch and they came across incredible life forms. They came across new creatures they had not seen before. But more importantly, they discovered edifices down there that they did not understand. That did not make sense. They were not above a magma chamber. They shouldn't be there. And we called it Lost City.
Ada 42.000 mil rangkaian pegunungan. Pekerjaan Anda aman, tapi bukan cara terbaik. Jadi saya mulai merancang teknologi baru menggunakan sistem robot untuk menggantikan diri saya, jadi saya tidak harus mengendarai kapal selam keluar-masuk dasar laut. Kami mulai menggunakannya dalam penjelajahan ini dan kami terus membuat penemuan luar biasa dengan teknologi robot baru kami. Kembali, mencari sesuatu yang lain berpindah dari celah samudera yang satu ke yang lain. Para ilmuwan mulai mengamati dan menemukan bentuk kehidupan yang luar biasa. Mereka menemukan makhluk baru yang belum pernah mereka lihat. Namun yang paling penting mereka menemukan bangunan di bawah sana yang tidak dapat mereka mengerti. Yang tidak masuk akal. Bangunan ini tidak berada di atas kantung magma. Tidak seharusnya ada di sana. Kami menyebutnya kota yang hilang.
And Lost City was characterized by these incredible limestone formations and upside down pools. Look at that. How do you do that? That's water upside down. We went in underneath and tapped it, and we found that it had the pH of Drano. The pH of 11, and yet it had chemosynthetic bacteria living in it and at this extreme environment. And the hydrothermal vents were in an acidic environment. All the way at the other end, in an alkaline environment, at a pH of 11, life existed. So life was much more creative than we had ever thought. Again, discovered by accident. Just two years ago working off Santorini, where people are sunning themselves on the beach, unbeknownst to them in the caldera nearby, we found phenomenal hydrothermal vent systems and more life systems. This was two miles from where people go to sunbathe, and they were oblivious to the existence of this system. Again, you know, we stop at the water's edge.
Kota yang hilang ini ditandai dengan formasi batu gamping yang luar biasa ini dan kolam terbalik. Lihatlah itu. Bagaimana mungkin? Ada air yang terbalik. Kami menuju ke bawahnya dan mengambilnya, dan ternyata pHnya sama dengan Drano. pHnya 11, tapi tetap ada bakteri kemosintesis yang hidup di dalamnya ini lingkungan yang ekstrim. Dan ventilasi hidrotermalnya berada di lingkungan asam. hingga ke lingkungan alkali. pada pH 11, ternyata ada kehidupan. Jadi kehidupan jauh lebih kreatif daripada yang kita duga. Lagi, penemuan tidak sengaja. Dua tahun lalu di lepas pantai Santorini, di mana orang-orang berjemur di pantai. Mereka tidak tahu jika ada kaldera di dekatnya kami menemukan sistem ventilasi hidrotermal yang luar biasa dan juga sistem kehidupan lain. Tempat ini berjarak dua mil dari tempat orang-orang berjemur, dan mereka tidak menyadari keberadaan sistem ini. Lagi, kami berhenti pada pinggir laut.
Recently, diving off -- in the Gulf of Mexico, finding pools of water, this time not upside down, right side up. Bingo. You'd think you're in air, until a fish swims by. You're looking at brine pools formed by salt diapirs. Near that was methane. I've never seen volcanoes of methane. Instead of belching out lava, they were belching out big, big bubbles of methane. And they were creating these volcanoes, and there were flows, not of lava, but of the mud coming out of the Earth but driven by -- I've never seen this before.
Baru-baru ini, saat menyelam di Teluk Mexico, kami menemukan kolam air kali ini tidak terbalik, tapi menghadap ke kanan. Anda akan berpikir sedang berada di udara sampai melihat ikan yang lewat. Ini kolam air garam dari batuan garam. Di dekatnya terdapat metana. Saya belum pernah melihat gunung api dari metana. Gunung ini tidak mengeluarkan lava, mereka mengeluarkan gelembung-gelembung besar metana. Dan menciptakan gunung api ini dan ada aliran, bukan lava, tapi lumpur yang terdorong dari dalam Bumi -- Saya belum pernah melihat hal ini sebelumnya.
Moving on, there's more than just natural history beneath the sea -- human history. Our discoveries of the Titanic. The realization that the deep sea is the largest museum on Earth. It contains more history than all of the museums on land combined. And yet we're only now penetrating it. Finding the state of preservation. We found the Bismarck in 16,000 feet. We then found the Yorktown. People always ask, "Did you find the right ship?" It said Yorktown on the stern.
Mari kita lanjutkan, tidak hanya sejarah alam yang ada di bawah laut. Sejarah manusia. Penemuan Titanic. Membangkitkan kesadaran bahwa laut dalam adalah museum terbesar di Bumi. Menyimpan sejarah lebih banyak daripada gabungan seluruh museum di darat. Namun baru sekarang kita memasukinya. Mencari tingkat kelestariannya. Kami menemukan Bismarck di kedalaman 16.000 kaki. Lalu menemukan Yorktown. Orang selalu bertanya, "Apakah Anda menemukan kapal yang benar?" DI buritannya ada tulisan Yorktown.
(Laughter)
(Suara tawa)
More recently, finding ancient history. How many ancient mariners have had a bad day? The number's a million. We've been discovering these along ancient trade routes, where they're not supposed to be. This shipwreck sank 100 years before the birth of Christ. This one sank carrying a prefabricated, Home Depot Roman temple. And then here's one that sank at the time of Homer, at 750 B.C. More recently, into the Black Sea, where we're exploring. Because there's no oxygen there, it's the largest reservoir of hydrogen sulfide on Earth. Shipwrecks are perfectly preserved. All their organics are perfectly preserved. We begin to excavate them. We expect to start hauling out the bodies in perfect condition with their DNA. Look at the state of preservation -- still the ad mark of a carpenter. Look at the state of those artifacts. You still see the beeswax dripping. When they dropped, they sealed it. This ship sank 1,500 years ago.
Baru-baru ini, kami menemukan sejarah kuno. Berapa banyak pelaut purba yang mengalami nasib buruk? Jutaan. Kami menemukan ini di sepanjang rute perdagangan purba di mana mereka tidak seharusnya ada di sana. Kapal ini tenggelam 100 tahun sebelum kelahiran Yesus. Kapal ini tenggelam saat membawa bagian dari kuil Romawi. Lalu kapal ini tenggelam pada jaman Homer di 750 S.M. Baru-baru ini, kami menjelajah Laut Hitam. Karena di sana tidak ada oksigen, inilah waduk terbesar dari asam sulfida di Bumi. Rongsokan kapal terawetkan dengan sempurna. Semua bahan organiknya terawetkan dengan sempurna. Kami mulai mengeluarkannya. Kami berharap bisa mulai mengeluarkan tubuh dalam kondisi sempurna dengan DNA mereka. Lihatlah tingkat pengawetannya. Masih ada gambar iklan tukang kayu. Lihatlah keadaan ukiran-ukiran itu. Anda masih dapat melihat lilin lebah yang jatuh, yang tersegel saat jatuh. Kapal ini tenggelam 1.500 tahun yang lalu.
Fortunately, we've been able to convince Congress. We begin to go on the Hill and lobby. And we stole recently a ship from the United States Navy. The Okeanos Explorer on its mission. Its mission is as good as you could get. Its mission is to go where no one has gone before on planet Earth. And I was looking at it yesterday, it's up in Seattle. OK.
Untungnya, kami dapat meyakinkan Kongres. Kami mendatangi Hill dan melobi. Baru-baru ini kami mencuri kapal milik Angkatan Laut AS. Okeanos Explorer yang sekarang dalam misinya. Misinya sangat baik. Menuju tempat di Bumi yang belum pernah didatangi orang sebelumnya. Saya mengunjunginya kemarin, di Seattle.
(Applause)
(Tepuk tangan)
It comes online this summer, and it begins its journey of exploration. But we have no idea what we're going find when we go out there with our technology. But certainly, it's going to be going to the unknown America. This is that part of the United States that lies beneath the sea. We own all of that blue and yet, like I say, particularly the western territorial trust, we don't have maps of them. We don't have maps of them. We have maps of Venus, but not of the western territorial trust. The way we're going to run this -- we have no idea what we're going to discover. We have no idea what we're going to discover. We're going to discover an ancient shipwreck, a Phoenician off Brazil, or a new rock formation, a new life. So, we're going to run it like an emergency hospital.
Musim panas ini mulai online, dan mulai penjelajahannya. Kami tidak tahu apa yang akan kami temukan saat menjelajah dengan teknologi kami. Tapi yang pasti akan menemukan Amerika yang baru. Ini bagian dari Amerika Serikat yang ada di bawah laut. Kita memiliki seluruh laut biru itu, tapi seperti saya katakan, terutama di bagian barat, kita tidak memiliki petanya. Kita tidak memiliki petanya. Kita memiliki peta Venus tapi tidak memiliki peta daerah Barat. Kami tidak tahu apa yang akan kami temukan saat melakukan ini. Kami tidak tahu apa yang akan kami temukan Kami mungkin akan menemukan rongsokan kapal kuno, peradaban kuno di lepas pantai Brazil, atau susunan batu yang baru, kehidupan baru. Kami akan mengelolanya seperti ruang gawat darurat.
We're going to connect our command center, via a high-bandwidth satellite link to a building we're building at the University of Rhode Island, called the Interspace Center. And within that, we're going to run it just like you run a nuclear submarine, blue-gold team, switching them off and on, running 24 hours a day. A discovery is made, that discovery is instantly seen in the command center a second later. But then it's connected through Internet too -- the new Internet highway that makes Internet one look like a dirt road on the information highway -- with 10 gigabits of bandwidth. We'll go into areas we have no knowledge of. It's a big blank sheet on our planet. We'll map it within hours, have the maps disseminated out to the major universities. It turns out that 90 percent of all the oceanographic intellect in this country are at 12 universities. They're all on I-2. We can then build a command center. This is a remote center at the University of Washington. She's talking to the pilot. She's 5,000 miles away, but she's assumed command.
Kami akan terhubung ke pusat komando melalui satelit berkecepatan tinggi ke gedung yang kami bangun di Universitas Rhode Island yang disebut Interspace Center. Kami akan mengelolanya seperti Anda mengelola kapal selam nuklir tim biru dan emas, menyalakan dan mematikannya, bekerja 24 jam per hari. Saat mereka menemukan sesuatu, penemuan itu langsung terlihat di pusat komando dalam satu detik. Lalu ini juga terhubung ke internet -- jalur internet baru super cepat yang membuat internet saat ini terlihat seperti jalan berlumpur di jalur cepat informasi ini -- dengan kecepatan 10 Gigabit. Kami akan menuju ke daerah yang tidak kami ketahui. Ada bagian besar yang kosong dari planet kita. Kami akan memetakannya dalam hitungan jam lalu menyebarkannya ke universitas-universitas besar. Ternyata 90 persen dari ahli oseanografi di negara ini ada di 12 universitas. Mereka semuanya mendukung. Lalu kami dapat membangun pusat komando. Ini pusat kendali jarak jauh di Universitas Washington. Dia sedang berbicara dengan pilotnya. Dia mengendalikannya dari jarak 5.000 mil.
But the beauty of this, too, is we can then disseminate it to children. We can disseminate. They can follow this expedition. I've started a program -- where are you Jim? Jim Young who helped me start a program called the Jason Project. More recently, we've started a program with the Boys and Girls Clubs of America, so that we can use exploration, and the excitement of live exploration, to motivate them and excite them and then give them what they're already ready for. I would not let an adult drive my robot. You don't have enough gaming experience. But I will let a kid with no license take over control of my vehicle system.
Hal indah yang lain adalah kami juga dapat menyebarkannya kepada anak-anak. Kami menyebarluaskannya. Mereka dapat mengikuti penjelajahan ini. Saya telah memulai program -- Anda di mana Jim? Jim Young yang membantu untuk memulai program ini yang disebut Proyek Jason. Baru-baru ini kami juga memulai program bersama perkumpulan pemuda pemudi Amerika jadi kami dapat menggunakan penjelajahan ini dan kesenangan dari eksplorasi langsung ini untuk mendorong dan menghibur mereka lalu memberikan apa yang telah siap mereka terima. Saya tidak akan membiarkan orang dewasa mengendalikan robot saya. Anda tidak punya cukup pengalaman bermain game. Tapi saya akan membiarkan anak yang tanpa surat ijin ini mengendalikan kendaraan saya.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Because we want to create -- we want to create the classroom of tomorrow. We have stiff competition and we need to motivate and it's all being done. You win or lose an engineer or a scientist by eighth grade. The game is not over -- it's over by the eighth grade, it's not beginning. We need to be not only proud of our universities. We need to be proud of our middle schools. And when we have the best middle schools in the world, we'll have the best kids pumped out of that system, let me tell you. Because this is what we want. This is what we want. This is a young lady, not watching a football game, not watching a basketball game. Watching exploration live from thousands of miles away, and it's just dawning on her what she's seeing. And when you get a jaw drop, you can inform. You can put so much information into that mind, it's in full [receiving] mode.
Karena kami ingin menciptakan. Kami ingin menciptakan ruang kelas masa depan. Kami menghadapi kompetisi ketat dan kami harus mendorongnya dan ini telah kami lakukan Anda menang atau kalah, sarjana teknik atau ilmuwan, saat kelas 8. Permainan belum berakhir. Selesai saat kelas 8 -- bukan permulaan. Kita bukan hanya harus bangga pada universitas kita. Kita harus bangga pada sekolah menengah kita. Saat kita memiliki sekolah menengah terbaik di dunia, Kita akan memiliki anak-anak terbaik yang keluar Karena ini yang kita inginkan. Ini yang kita inginkan. Ini seorang gadis muda, bukan menonton pertandingan sepakbola bukan pertandingan bola basket. Menonton eksplorasi secara langsung dari tempat sejauh ribuan mil dan ini baru permulaan dari apa yang dia lihat Dan saat dia terpesona Anda dapat mengajarinya. Anda dapat menaruh banyak sekali informasi dalam pikiran itu. Pikiran itu siap menerima.
(Applause)
(Tepuk tangan)
This, I hope, will be a future engineer or a future scientist in the battle for truth. And my final question, my final question -- why are we not looking at moving out onto the sea? Why do we have programs to build habitation on Mars, and we have programs to look at colonizing the moon, but we do not have a program looking at how we colonize our own planet? And the technology is at hand.
Saya berharap, dia akan menjadi sarjana teknik masa depan atau ilmuwan masa depan dalam perjuangan untuk kebenaran. Dan pertanyaan terakhir saya -- mengapa kita tidak berpikir untuk pindah ke laut? Mengapa kita punya program untuk membangun pemukiman di Mars, kita punya program untuk tinggal di Bulan, tapi kita tidak punya program untuk membangun tempat tinggal di planet kita sendiri? Dan kita memiliki teknologi untuk itu.
Thank you very much.
Terima kasih banyak.
(Applause)
(Tepuk tangan)