I think it was in my second grade that I was caught drawing the bust of a nude by Michelangelo. I was sent straight away to my school principal, and my school principal, a sweet nun, looked at my book with disgust, flipped through the pages, saw all the nudes -- you know, I'd been seeing my mother draw nudes and I'd copy her -- and the nun slapped me on my face and said, "Sweet Jesus, this kid has already begun."
Ketika saya duduk di kelas 2 SD, saya terpergok sedang menggambar patung telanjang karya Michelangelo. Saya langsung disuruh menghadap ke kepala sekolah, dan kepala sekolah saya, seorang biarawati yang baik hati, melihat buku saya dengan rasa muak, membolak-balikkan halaman buku saya, melihat semua gambar telanjang -- tahukah Anda, saya sering melihat ibu saya menggambar orang telanjang dan saya menirunya -- dan biarawati itu menampar wajah saya dan berkata, "Ya Tuhan, anak ini sudah mulai."
I had no clue what she was talking about, but it was convincing enough for me never to draw again until the ninth grade. Thanks to a really boring lecture, I started caricaturing my teachers in school. And, you know, I got a lot of popularity. I don't play sports. I'm really bad at sports. I don't have the fanciest gadgets at home. I'm not on top of the class. So for me, cartooning gave me a sense of identity. I got popular, but I was scared I'd get caught again. So what I did was I quickly put together a collage of all the teachers I had drawn, glorified my school principal, put him right on top, and gifted it to him. He had a good laugh at the other teachers and put it up on the notice board. (Laughter) This is a part of that. And I became a school hero. All my seniors knew me. I felt really special.
Saya tidak tahu apa yang beliau katakan, tapi itu cukup meyakinkan saya untuk tidak pernah menggambar lagi sampai kelas sembilan (3 SMP). Berkat kelas yang sangat membosankan, saya mulai membuat karikatur guru-guru saya di sekolah. Dan, tahukah Anda, saya menjadi populer. Saya tidak suka berolahraga. Saya sangat buruk dalam olahraga. Saya tidak memiliki alat elektronik paling mewah di rumah. Saya bukan siswa berprestasi di kelas. Jadi bagi saya, kartun memberikan saya suatu identitas. Saya menjadi populer, tapi saya takut akan tertangkap lagi. Jadi yang saya lakukan adalah mengumpulkan kolase dari semua guru yang telah saya gambar, memuja kepala sekolah saya, menempatkan dia di paling atas, dan menghadiahkan gambar itu kepadanya. Dia menertawakan guru-guru lain dan memasangnya di papan pengumuman. (Tertawa) Ini adalah bagian dari hal itu. Dan saya menjadi pahlawan sekolah. Semua senior mengenal saya. Saya merasa sangat istimewa.
I have to tell you a little bit about my family. That's my mother. I love her to bits. She's the one who taught me how to draw and, more importantly, how to love. She's a bit of a hippie. She said, "Don't say that," but I'm saying it anyway. The rest of my family are boring academics, busy collecting Ivy League decals for our classic Ambassador car. My father's a little different. My father believed in a holistic approach to living, and, you know, every time he taught us, he'd say, "I hate these books, because these books are hijacked by Industrial Revolution."
Saya harus menceritakan sedikit tentang keluarga saya. Ini adalah ibu saya. Saya sangat mencintainya. Beliaulah yang mengajar saya menggambar dan, yang lebih penting lagi, cara mencintai. Beliau agak hippie. Beliau berkata, "Jangan mengatakannya," tapi saya tetap mengatakannya. Anggota keluarga saya adalah para akademisi yang membosankan, sibuk mengumpulkan stiker Ivy League untuk mobil klasik Ambassador kami. Ayah saya sedikit berbeda. Ayah saya percaya pada kehidupan melalui pendekatan holistik dan, tahukah Anda, setiap kali dia mengajar kami, dia berkata, "Saya benci buku-buku ini, karena buku-buku ini dibajak oleh Revolusi Industri."
While he still held that worldview, I was 16, I got the best lawyer in town, my older brother Karthik, and I sat him down, and I said, "Pa, from today onwards I've decided I'm going to be disciplined, I'm going to be curious, I'm going to learn something new every day, I'm going to be very hard working, and I'm not going to depend on you emotionally or financially." And he was very impressed. He was all tearing up. Ready to hug me. And I said, "Hold that thought." I said, "Can I quit school then?"
Saat dia masih memegang pandangan tersebut, saya berusia 16 tahun, saya mempunyai pengacara terbaik di kota saya, yaitu kakak saya Karthik, dan saya menyuruhnya untuk duduk dan berkata, "Ayah, dari sekarang sampai seterusnya saya telah memutuskan untuk menjadi disiplin, saya akan terus merasa ingin tahu, saya akan belajar sesuatu yang baru setiap hari, saya akan bekerja sangat keras, dan saya tidak akan bergantung padamu baik secara emosional maupun finansial." Dan dia sangat terkesan. Dia terharu. Siap untuk memeluk saya. Dan saya pun berkata, "Tahan pikiran itu." Saya berkata, "Bolehkah saya keluar dari sekolah?"
But, to cut a long story short, I quit school to pursue a career as a cartoonist. I must have done about 30,000 caricatures. I would do birthday parties, weddings, divorces, anything for anyone who wanted to use my services. But, most importantly, while I was traveling, I taught children cartooning, and in exchange, I learned how to be spontaneous. And mad and crazy and fun. When I started teaching them, I said let me start doing this professionally. When I was 18 I started my own school. However, an 18 year-old trying to start a school is not easy unless you have a big patron or a big supporter.
Tapi, singkat cerita, saya berhenti sekolah untuk mengejar karir sebagai seorang kartunis. Saya telah menciptakan sekitar 30.000 karikatur. Saya melakukannya untuk pesta ulang tahun, pernikahan, perceraian, apapun untuk siapapun yang ingin menggunakan jasa saya. Tapi, yang paling penting, saat saya sedang bepergian, saya mengajar anak-anak membuat kartun, dan sebagai imbalannya, saya belajar bagaimana menjadi orang yang spontan, gila, dan menyenangkan. Ketika saya mulai mengajar mereka, saya berpikir akan melakukannya secara profesional. Ketika saya berumur 18 tahun, saya mendirikan sekolah sendiri. Namun, bagi seseorang yang berumur 18 tahun yang merintis sebuah sekolah ini tidak mudah kecuali jika Anda memiliki langganan atau pendukung yang banyak.
So I was flipping through the pages of the Times of India when I saw that the Prime Minister of India was visiting my home town, Bangalore. And, you know, just like how every cartoonist knows Bush here, and if you had to meet Bush, it would be the funnest thing because his face was a cartoonist's delight. I had to meet my Prime Minister. I went to the place where his helicopter was about to land. I saw layers of security. I caricatured my way through three layers by just impressing the guards, but I got stuck. I got stuck at the third. And what happened was, to my luck, I saw a nuclear scientist at whose party I had done cartoons. I ran up to him, and said, "Hello, sir. How do you do?" He said, "What are you doing here, Raghava?" I said, "I'm here to meet the Prime Minister." He said, "Oh, so am I." I hopped into his car, and off we went through the remaining layers of security. (Applause) Thank you. I sat him down, I caricatured him, and since then I've caricatured hundreds of celebrities.
Ketika saya membolak-balikkan halaman Times of India, saya melihat Perdana Menteri India akan mengunjungi kota asal saya, Bangalore. Dan, tahukah Anda, sebagaimana setiap kartunis mengetahui Bush di sini, dan jika Anda harus bertemu Bush, itu akan menjadi hal yang sangat menyenangkan karena wajahnya adalah kegemaran para kartunis. Saya harus bertemu dengan Perdana Menteri saya. Saya pergi ke suatu tempat di mana helikopternya akan mendarat. Saya melihat berlapis-lapis pengamanan. Saya mencari cara untuk bisa melalui tiga lapisan tersebut dengan cara membuat para penjaga terkesan dengan karya saya, tapi saya terjebak. Saya terjebak di lapisan ketiga. Dan apa yang terjadi adalah, berkat keberuntungan saya, saya melihat seorang ilmuwan nuklir yang pernah saya buatkan kartunnya. Saya berlari ke arahnya, dan berkata, "Halo, Pak. Apa kabar?" Dia berkata, "Apa yang kamu lakukan di sini, Raghava?" Saya berkata, "Saya di sini untuk bertemu dengan Perdana Menteri." Dia berkata, "Oh, saya juga." Saya masuk ke dalam mobilnya, dan kami pergi melewati sisa lapisan pengamanan selanjutnya. (Tepuk tangan) Terima kasih. Saya menyuruhnya duduk, saya menggambar karikaturnya dan sejak itu saya sudah mengkarikaturkan ratusan selebriti.
This is one I remember fondly. Salman Rushdie was pissed-off I think because I altered the map of New York, if you notice. (Laughter) Anyway, the next slide I'm about to show you -- (Laughter) Should I just turn that off? The next slide I'm about to show you, is a little more serious. I was hesitant to include this in my presentation because this cartoon was published soon after 9/11. What was, for me, a very naive observation, turned out to be a disaster. That evening, I came home to hundreds of hate mails, hundreds of people telling me how they could have lived another day without seeing this. I was also asked to leave the organization, a cartoonists' organization in America, that for me was my lifeline. That's when I realized, you know, cartoons are really powerful, art comes with responsibility.
Ini adalah karikatur yang sangat saya ingat. Sepertinya Salman Rushdie sangat marah karena saya mengubah peta New York, jika Anda perhatikan. (Tertawa) Tampilan berikutnya yang akan saya tunjukkan kepada Anda -- (Tertawa) Perlukah saya matikan saja itu? Tampilan berikutnya yang akan saya tunjukkan sedikit lebih serius. Saya ragu-ragu untuk memasukkan ini dalam presentasi saya karena kartun ini diterbitkan segera setelah Peristiwa 9/11. Apa yang, bagi saya, observasi yang sangat naif, ternyata menjadi bencana. Malam itu, saya pulang dan menemukan ratusan surat yang penuh kebencian, ratusan orang memberitahu saya bagaimana mereka bisa hidup satu hari lagi tanpa melihat itu. Saya juga diminta untuk meninggalkan organisasi, sebuah organisasi kartunis di Amerika, yang sangat penting bagi saya. Saat itulah saya menyadari, bahwa kartun sangatlah kuat, seni juga memiliki bertanggung jawab.
Anyway, what I did was I decided that I need to take a break. I quit my job at the papers, I closed my school, and I wrapped up my pencils and my brushes and inks, and I decided to go traveling. When I went traveling, I remember, I met this fabulous old man, who I met when I was caricaturing, who turned out to be an artist, in Italy. He invited me to his studio. He said, "Come and visit." When I went, I saw the ghastliest thing ever. I saw this dead, naked effigy of himself hanging from the ceiling. I said, "Oh, my God. What is that?" And I asked him, and he said, "Oh, that thing? In the night, I die. In the morning, I am born again." I thought he was koo koo, but something about that really stuck. I loved it. I thought there was something really beautiful about that. So I said, "I am dead, so I need to be born again."
Lalu saya memutuskan bahwa saya perlu istirahat. Saya meninggalkan pekerjaan saya di surat kabar, menutup sekolah saya, dan membungkus pensil, kuas, dan tinta saya. Dan saya memutuskan untuk bepergian. Ketika saya bepergian, saya ingat, saya bertemu orang tua yang luar biasa yang saya temui ketika saya sedang membuat karikatur, yang ternyata seorang seniman di Italia. Dia mengundang saya ke studionya. Dia berkata, "Datang dan berkunjunglah." Ketika saya ke sana, saya melihat hal yang paling mengerikan. Saya melihat patung dirinya, mati telanjang tergantung di langit-langit. Saya berkata, "Oh, Tuhan. Apa itu?" Dan saya bertanya kepadanya, dan dia berkata, "Oh, itu? Di malam hari, saya mati. Di pagi hari, saya terlahir kembali." Saya pikir dia sakit jiwa, tetapi sesuatu dari patung itu membuat saya terpikat. Saya menikmatinya. Saya pikir ada sesuatu yang sangat indah. Suatu saat saya berkata, "Saya mati, saya harus dilahirkan kembali."
So, I wanted to be a painter like him, except, I don't know how to paint. So, I tried going to the art store. You know, there are a hundred types of brushes. Forget it, they will confuse you even if you know how to draw. So I decided, I'm going to learn to paint by myself. I'm going to show you a very quick clip to show you how I painted and a little bit about my city, Bangalore. (Music) They had to be larger than life. Everything had to be larger. The next painting was even bigger. And even bigger. And for me it was, I had to dance while I painted. It was so exciting. Except, I even started painting dancers. Here for example is a Flamenco dancer, except there was one problem. I didn't know the dance form, so I started following them, and I made some money, sold my paintings and would rush off to France or Spain and work with them. That's Pepe Linares, the renowned Flamenco singer.
Jadi, saya ingin menjadi pelukis seperti dia, tetapi saya tidak tahu bagaimana cara melukis. Suatu hari, saya pergi ke toko seni. Seperti yang Anda ketahui, terdapat banyak sekali jenis kuas. Lupakan saja, kuas-kuas tersebut membingungkan Anda, bahkan jika Anda tahu cara menggambar. Saya pun memutuskan, saya akan belajar melukis sendiri. Saya akan menampilkan sebuah klip singkat tentang bagaimana saya melukis dan sedikit tentang kota saya, Bangalore. (Musik) Lukisan tersebut harus lebih besar dari biasanya. Semuanya harus lebih besar. Lukisan berikutnya bahkan lebih besar. Dan lebih besar lagi. Dan menurut saya, saya harus menari saat melukis. Ini sangat menyenangkan. Saya bahkan mulai melukis para penari. Sebagai contoh, ini adalah seorang penari Flamenco, tetapi ada satu masalah. Saya tidak tahu bentuk tariannya, jadi saya mulai mengikuti mereka, dan saya menghasilkan uang melalui penjualan lukisan-lukisan saya dan saya pergi ke Perancis atau Spanyol dan bekerja dengan mereka. Inilah Pepe Lina, seorang penyanyi Flamenco yang terkenal.
But I had one problem, my paintings never danced. As much energy as I put into them while making them, they never danced. So I decided -- I had this crazy epiphany at two in the morning. I called my friends, painted on their bodies, and had them dance in front of a painting. And, all of a sudden, my paintings came alive. And then I was fortunate enough to actually perform this in California with Velocity Circus. And I sat like you guys there in the audience. And I saw my work come alive. You know, normally you work in isolation, and you show at a gallery, but here, the work was coming alive, and it had some other artists working with me.
Tapi saya punya satu masalah, lukisan-lukisan saya tidak pernah menari. Sebanyak apapun energi yang saya keluarkan untuk membuatnya, lukisan-lukisan tersebut tidak pernah menari. Saya pun memutuskan -- suatu saat, saya punya ide gila pada jam dua pagi. Saya menghubungi teman-teman saya, melukis tubuh mereka, dan menyuruh mereka menari di depan lukisan saya. Dan, tiba-tiba, lukisan-lukisan saya menjadi hidup. Saya pun cukup beruntung untuk menggelar acara ini di California dengan Velocity Circus. Dan saya duduk seperti Anda di kursi penonton. Dan saya melihat karya saya menjadi hidup. Seperti yang Anda ketahui, biasanya Anda bekerja sendiri dan memamerkan karya Anda di sebuah galeri, tapi di sini, karya saya menjadi hidup, dan pertunjukan tersebut melibatkan beberapa seniman lain yang bekerja dengan saya.
The collaborative effort was fabulous. I said, I'm going to collaborate with anybody and everybody I meet. I started doing fashion. This is a fashion show we held in London. The best collaboration, of course, is with children. They are ruthless, they are honest, but they're full of energy and fun. This is a work, a library I designed for the Robin Hood Foundation. And I must say, I spent time in the Bronx working with these kids. And, in exchange for me working with them, they taught me how to be cool. I don't think I've succeeded, but they've taught me. They said, "Stop saying sorry. Say, my bad." (Laughter)
Upaya kolaborasi tersebut sangat menakjubkan. Saya berkata, saya akan berkolaborasi dengan siapa saja dan semua orang yang saya temui. Saya mulai bergelut di bidang mode. Ini adalah peragaan busana yang kami adakan di London. Kolaborasi terbaik, tentu saja, adalah dengan anak-anak. Mereka kejam, jujur, tapi penuh dengan energi dan kegembiraan. Ini adalah karya, sebuah perpustakaan yang saya rancang untuk Yayasan Robin Hood. Dan saya harus mengatakan, saya menghabiskan waktu di Bronx bekerja dengan anak-anak ini. Dan sebagai imbalannya, mereka telah mengajarkan saya bagaimana menjadi orang keren. Saya tidak berpikir saya sudah berhasil, tapi mereka telah mengajarkan saya. Mereka berkata, "Berhentilah berkata maaf. Katakan saja, itu salah saya . " (Tertawa)
Then I said, all this is good, but I want to paint like a real painter. American education is so expensive. I was in India, and I was walking down the streets, and I saw a billboard painter. And these guys paint humongous paintings, and they look really good. And I wondered how they did it from so close. So, one day I had the opportunity to meet one of these guys, and I said, "How do you paint like that? Who taught you?" And he said, "Oh, it's very easy. I can teach you, but we're leaving the city, because billboard painters are a dying, extinct bunch of artists, because digital printing has totally replaced them and hijacked them." I said, in exchange for education in how to paint, I will support them, and I started a company. And since then, I've been painting all over the place. This is a painting I did of my wife in my apartment. This is another painting. And, in fact, I started painting on anything, and started sending them around town.
Lalu saya berkata, semuanya bagus, tetapi saya ingin melukis seperti pelukis sebenarnya. Pendidikan di Amerika sangatlah mahal. Saya berada di India, dan sedang berjalan menyusuri jalan-jalan, dan saya melihat seorang pelukis papan iklan. Dan orang-orang ini melukis gambar yang sangat besar, dan lukisan tersebut terlihat sangat bagus. Dan saya bertanya-tanya bagaimana mereka melakukannya dari begitu dekat. Jadi, suatu hari saya punya kesempatan untuk bertemu salah satunya, dan saya berkata, "Bagaimana kamu bisa melukis seperti itu? Siapa yang mengajariimu?" Dan dia berkata, "Oh, itu sangat mudah saya bisa mengajarimu tapi kami akan segera meninggalkan kota ini, karena pelukis papan iklan telah sekarat, sekelompok seniman yang akan punah, karena telah digantikan dan dibajak oleh cetak digital." Saya berkata, sebagai imbalan terhadap kursus melukis, saya akan mendukung mereka, dan saya pun memulai sebuah perusahaan. Dan sejak itu, saya sudah melukis di berbagai tempat. Ini adalah lukisan istri saya yang terdapat di apartemen saya. Ini adalah lukisan lain. Dan, pada kenyataannya, saya mulai melukis di atas apapun dan mulai mengirim lukisan-lukisan tersebut ke seluruh kota.
Since I mentioned my wife, the most important collaboration has been with her, Netra. Netra and I met when she was 18. I must have been 19 and a half then, and it was love at first sight. I lived in India. She lived in America. She'd come every two months to visit me, and then I said I'm the man, I'm the man, and I have to reciprocate. I have to travel seven oceans, and I have to come and see you. I did that twice, and I went broke. So then I said, "Nets, what do I do?" She said, "Why don't you send me your paintings? My dad knows a bunch of rich guys. We'll try and con them into buying it, and then..." But it turned out, after I sent the works to her, that her dad's friends, like most of you, are geeks. I'm joking. (Laughter) No, they were really big geeks, and they didn't know much about art. So Netra was stuck with 30 paintings of mine.
Karena saya telah menyebutkan istri saya, kolaborasi yang paling penting yang saya lakukan adalah dengan dia, Netra. Netra dan saya bertemu ketika dia berumur 18 tahun. Saya saat itu sudah berumur 19 setengah tahun, dan pertemuan kami adalah cinta pada pandangan pertama. Saya tinggal di India. Dia tinggal di Amerika. Dia akan datang setiap dua bulan untuk mengunjungi saya dan kemudian saya berkata kepadanya, saya seorang laki-laki, saya laki-laki, dan saya harus mengunjungimu. Saya harus melewati tujuh samudera, dan saya harus datang menemuimu. Saya melakukannya dua kali, dan saya menjadi bangkrut. Jadi kemudian saya berkata, "Nets, apa yang harus saya lakukan?" Dia berkata, "Bagaimana kalau kamu mengirimkan saya lukisan-lukisanmu? Ayah saya tahu beberapa orang kaya. Kami akan mencoba membujuk mereka untuk membeli lukisanmu, dan kemudian ..." Tapi ternyata, setelah saya kirimkan karya saya padanya, ternyata teman ayahnya, seperti sebagian besar dari Anda, adalah orang yang aneh. Saya hanya bercanda. (Tertawa) Tidak, mereka benar-benar orang yang aneh, dan mereka tidak tahu banyak tentang seni. Jadi Netra hanya dapat menjual 30 lukisan saya.
So what we did was we rented a little van and we drove all over the east coast trying to sell it. She contacted anyone and everyone who was willing to buy my work. She made enough money, she sold off the whole collection and made enough money to move me for four years with lawyers, a company, everything, and she became my manager. That's us in New York. Notice one thing, we're equal here. Something happened along the line. (Laughter)
Jadi yang kami lakukan adalah menyewa sebuah mobil van kecil dan kami menelusuri pantai timur untuk menjualnya. Dia menghubungi siapa pun dan setiap orang yang bersedia untuk membeli karya saya. Dia menghasilkan uang yang cukup, berhasil menjual seluruh koleksi lukisannya dan mendapatkan uang yang cukup untuk hidup saya di Amerika selama empat tahun termasuk pengacara, perusahaan, semuanya, dan dia menjadi manajer saya. Inilah kami berdua di New York. Perhatikan satu hal, kami setara di sini. Sesuatu terjadi di sini. (Tertawa)
But this brought me -- with Netra managing my career -- it brought me a lot of success. I was really happy. I thought of myself as a bit of a rockstar. I loved the attention. This is all the press we got, and we said, it's time to celebrate. And I said that the best way to celebrate is to marry Netra. I said, "Let's get married." And I said, "Not just married. Let's invite everyone who's helped us, all the people who bought our work." And you won't believe it, we put together a list of 7,000 people, who had made a difference -- a ridiculous list, but I was determined to bring them to India, so -- a lot of them were in India. 150 artists volunteered to help me with my wedding. We had fashion designers, installation artists, models, we had makeup artists, jewelry designers, all kinds of people working with me to make my wedding an art installation. And I had a special installation in tribute to my in-laws. I had the vegetable carvers work on that for me.
Tapi hal itu yang membawa saya -- dengan Netra yang mengelola karir saya -- hal itu yang membawa banyak keberhasilan. Saya sangat senang. Saya menganggap diri saya seperti bintang rock. Saya suka menjadi pusat perhatian. Ini semua perhatian media yang kami dapat, dan kami berpikir, ini saat yang tepat untuk merayakannya. Dan saya berpikir, cara terbaik untuk merayakannya adalah dengan menikahi Netra. Saya berkata, "Mari kita menikah." Dan saya berkata, "Tidak hanya menikah. Mari kita undang semua orang yang telah membantu kami, semua orang yang telah membeli karya kami." Dan Anda tidak akan percaya, kami menyusun undangan untuk 7.000 orang yang telah membawa perubahan -- daftar yang konyol, tapi saya bertekad untuk membawa mereka ke India, jadi -- kebanyakan dari mereka sebenarnya berada di India. Sebanyak 150 seniman membantu merancang pernikahan saya secara sukarela. Kami memiliki beberapa perancang busana, seniman instalasi, model, kami memiliki penata rias artis, desainer perhiasan, berbagai macam orang yang bekerja dengan saya untuk membuat pernikahan saya seperti sebuah instalasi seni. Dan saya memiliki instalasi khusus sebagai tanda hormat saya kepada kedua mertua saya. Saya menyuruh beberapa pemahat sayuran untuk membuat instalasi tersebut.
But all this excitement led to the press writing about us. We were in the papers, we're still in the news three years later, but, unfortunately, something tragic happened right after. My mother fell very ill. I love my mother and I was told all of a sudden that she was going to die. And they said you have to say bye to her, you have to do what you have to do. And I was devastated. I had shows booked up for another year. I was on a high. And I couldn't. I could not.
Tapi kegembiraan tersebut memicu pers untuk menulis tentang kami. Pernikahan kami diliput di surat-surat kabar. Bahkan kami masih menjadi berita tiga tahun kemudian, tapi sayangnya, sesuatu yang tragis terjadi setelah itu. Ibu saya jatuh sakit. Saya sangat mencintai ibu saya dan saya tiba-tiba diberitahu bahwa beliau akan segera meninggal. Dan mereka berkata, kamu harus mengucapkan selamat tinggal kepadanya, kamu harus melakukan apa yang harus kamu lakukan. Dan saya sangat terpukul. Agenda saya sudah penuh untuk tahun depan. Semangat saya sedang pada puncaknya. Dan saya tidak bisa. Saya tidak bisa.
My life was not exuberant. I could not live this larger than life person. I started exploring the darker abscesses of the human mind. Of course, my work turned ugly, but another thing happened. I lost all my audiences. The Bollywood stars who I would party with and buy my work disappeared. The collectors, the friends, the press, everyone said, "Nice, but thank you." "No thank you," was more like it. But I wanted people to actually feel my work from their gut, because I was painting it from my gut. If they wanted beauty, I said, this is the beauty I'm willing to give you. It's politicized. Of course, none of them liked it.
Hidup saya tidak lagi bersemangat. Saya tidak bisa hidup seperti biasanya. Saya mulai menjelajahi abses yang lebih gelap dari pikiran manusia. Tentunya, karya saya menjadi jelek, tetapi hal lain terjadi. Saya kehilangan semua penggemar saya. Para bintang Bollywood yang sering berpesta bersama saya dan membeli karya saya, telah menghilang. Para kolektor, teman-teman, pers, semua orang berkata, "Bagus, tapi terima kasih." "Tidak, terima kasih," adalah kalimat yang lebih tepat. Tapi saya menginginkan orang-orang untuk merasakan karya saya lebih dalam, karena saya melukisnya dari hati saya yang paling dalam. Jika mereka menginginkan sesuatu yang cantik, saya menjawab, inilah kecantikan yang dapat saya berikan. Ini semua dipolitisasi. Tentu saja, tak satupun dari mereka menyukainya.
My works also turned autobiographical. At this point, something else happened. A very, very dear friend of mine came out of the closet, and in India at that time, it was illegal to be gay, and it's disgusting to see how people respond to a gay person. I was very upset. I remember the time when my mother used to dress me up as a little girl -- that's me there -- because she wanted a girl, and she has only boys. (Laughter) Anyway, I don't know what my friends are going to say after this talk. It's a secret.
Karya-karya saya juga berubah menjadi autobiografi. Pada saat itu, hal lain terjadi. Teman baik saya membuat sebuah pengakuan dan di India pada saat itu, homoseksual masih dianggap ilegal. dan sangat menjijikkan bagaimana orang menanggapi para homoseksual. Saya sangat kesal. Saya ingat ketika dulu ibu saya sering memakaikan saya baju perempuan -- itu saya -- karena beliau menginginkan anak perempuan, dan beliau hanya memiliki anak laki-laki. (Tertawa) Yah, saya tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh teman-teman saya setelah perbincangan ini. Ini rahasia.
So, after this, my works turned a little violent. I talked about this masculinity that one need not perform. And I talked about the weakness of male sexuality. This time, not only did my collectors disappear, the political activists decided to ban me and to threaten me and to forbid me from showing. It turned nasty, and I'm a bit of a chicken. I can't deal with any threat. This was a big threat.
Jadi, setelah ini, karya-karya saya berubah menjadi sedikit kasar. Saya berbicara tentang hal-hal maskulin yang tidak perlu dilakukan. Dan saya berbicara tentang kelemahan seksualitas seorang pria. Kali ini, kolektor-kolektor saya bukan hanya menghilang, aktivis-aktivis politik memutuskan untuk melarang saya dan mengancam saya dan melarang saya untuk muncul. Semuanya terkesan buruk dan saya agak sedikit penakut. Saya tidak bisa menghadapi ancaman apapun. Ini adalah ancaman yang besar.
So, I decided it was time to end and go back home. This time I said let's try something different. I need to be reborn again. And I thought the best way, as most of you know who have children, the best way to have a new lease on life, is to have a child. I decided to have a child, and before I did that, I quickly studied what can go wrong. How can a family get dysfunctional? And Rudra was born. That's my little son.
Jadi saya memutuskan inilah saatnya untuk mengakhiri karir saya di sini dan kembali. Kali ini saya berpikir untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Saya harus terlahir kembali. Dan saya pikir, cara terbaik, seperti yang Anda tahu, adalah memiliki anak, cara terbaik untuk memiliki kesempatan untuk hidup adalah memiliki anak. Saya memutuskan untuk memiliki anak Dan sebelum saya melakukan itu, saya segera mempelajari kekeliruan apa yang dapat terjadi. Bagaimana suatu keluarga menjadi tidak berfungsi? Dan Rudra pun terlahir. Itu adalah anak laki-laki saya.
And two magical things happened after he was born. My mother miraculously recovered after a serious operation, and this man was elected president of this country. You know I sat at home and I watched. I teared up and I said that's where I want to be. So Netra and I wound up our life, closed up everything we had, and we decided to move to New York. And this was just eight months ago.
Dan dua hal ajaib terjadi setelah dia lahir. Yang mengejutkan, ibu saya sembuh setelah operasi yang cukup serius, dan pria ini terpilih menjadi presiden negara ini. Tahukah Anda, saya duduk di rumah dan menyaksikan peristiwa itu. Saya menangis dan saya berkata bahwa di sanalah saya ingin tinggal. Kemudian, Netra dan saya memutuskan untuk pergi dari India, menutup semua yang kami miliki, dan kami memutuskan untuk pindah ke New York. Dan ini terjadi 8 bulan yang lalu.
I moved back to New York, my work has changed. Everything about my work has become more whimsical. This one is called "What the Fuck Was I Thinking?" It talks about mental incest. You know, I may appear to be a very nice, clean, sweet boy. But I'm not. I'm capable of thinking anything. But I'm very civil in my action, I assure you. (Laughter) These are just different cartoons.
Saya telah pindah ke New York, karya saya telah berubah. Karya-karya saya telah menjadi lebih aneh. Yang satu ini berjudul, "Apa yang Saya Pikirkan?" Karya ini menceritakan tentang inses mental. Saya mungkin tampak seperti lelaki yang baik, rapi, dan ramah. Tapi sebenarnya saya tidak seperti itu. Saya mampu berpikir tentang apa saja. Tapi saya sangat sopan dalam bertindak, saya jamin. (Tertawa) Ini adalah beberapa kartun yang berbeda-beda.
And, before I go, I want to tell you a little story. I was talking to mother and father this morning, and my dad said, "I know you have so much you want to say, but you have to talk about your work with children." So I said, okay.
Dan sebelum saya sudahi perbincangan ini, saya ingin menceritakan tentang kisah singkat. Saya berbicara dengan ibu dan ayah saya pagi ini, dan ayah saya berkata, "Saya tahu, banyak hal yang ingin kamu katakan, tapi kamu harus berbicara tentang pekerjaanmu dengan anak-anak." Saya pun berkata, baiklah.
I work with children all over the world, and that's an entirely different talk, but I want to leave you with one story that really, really inspired me. I met Belinda when she was 16. I was 17. I was in Australia, and Belinda had cancer, and I was told she's not going to live very long. They, in fact, told me three weeks. I walk into her room, and there was a shy girl, and she was bald, and she was trying to hide her baldness. I whipped out my pen, and I started drawing on her head and I drew a crown for her. And then, we started talking, and we spent a lovely time -- I told her how I ended up in Australia, how I backpacked and who I conned, and how I got a ticket, and all the stories. And I drew it out for her. And then I left. Belinda died and within a few days of her death, they published a book for her, and she used my cartoon on the cover. And she wrote a little note, she said, "Hey Rags, thank you for the magic carpet ride around the world."
Saya bekerja dengan anak-anak di seluruh dunia, dan ini benar-benar topik yang berbeda, tapi saya ingin meninggalkan Anda dengan satu kisah yang sangat, sangat menginspirasi saya. Saya bertemu Belinda pada saat dia berumur 16 tahun. Saya berumur 17 tahun. Saya sedang di Australia, dan Belinda menderita sakit kanker, dan saya diberi tahu bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi. Mereka, sebetulnya, memberitahu saya hanya 3 minggu saja. Saya menjenguknya di kamarnya, dan saya melihat seorang gadis pemalu, kepalanya gundul, dan dia berusaha untuk menyembunyikan kepalanya itu. Saya mengambil pulpen dan mulai menggambar di atas kepalanya dan saya menggambarkan mahkota untuknya. Kemudian, kami mulai berbicara dan menghabiskan waktu bersama -- saya menceritakan kepadanya bagaimana saya bisa sampai ke Australia, bagaimana saya melakukan backpacking, siapa yang saya tipu, dan bagaimana saya mendapatkan tiket, dan cerita-cerita lainnya. Saya mengilustrasikan cerita-cerita tersebut dalam bentuk kartun untuknya. Dan saya pun pergi. Belinda wafat dan dalam waktu beberapa hari setelah kematiannya, mereka menerbitkan sebuah buku untuknya dan dia menggunakan kartun saya di sampul bukunya. Dan dia meninggalkan sebuah catatan kecil, dia berkata, "Halo Rags, terimakasih atas perjalanan keliling dunia dengan karpet ajaib."
For me, my art is my magic carpet ride. I hope you will join me in this magic carpet ride, and touch children and be honest. Thank you so much. (Applause)
Bagi saya, seni karya yang saya ciptakan adalah suatu perjalanan dengan karpet ajaib. Saya harap anda akan bergabung dengan saya dalam perjalanan dengan karpet ajaib ini dan menyentuh anak-anak dan bersikap jujur. Terima kasih banyak. (Tepuk tangan)