I'll never forget that day back in the spring of 2006. I was a surgical resident at The Johns Hopkins Hospital, taking emergency call. I got paged by the E.R. around 2 in the morning to come and see a woman with a diabetic ulcer on her foot. I can still remember sort of that smell of rotting flesh as I pulled the curtain back to see her. And everybody there agreed this woman was very sick and she needed to be in the hospital. That wasn't being asked. The question that was being asked of me was a different one, which was, did she also need an amputation?
Saya takkan pernah melupakan saat itu di musim semi tahun 2006. Waktu itu saya seorang dokter residen bedah di The Johns Hopkins Hospital, yang menerima panggilan darurat. Saya dipanggil oleh unit gawat darurat sekitar pukul 2 subuh untuk datang memeriksa seorang wanita dengan borok diabetes di kakinya. Saya masih ingat bau dari daging yang bernanah tersebut saat membuka tirai untuk melihatnya. Dan semua orang di sana tahu wanita ini sakit parah dan dia harus dirawat di rumah sakit. Namun bukan itu masalahnya. Pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah apa dia juga harus diamputasi?
Now, looking back on that night, I'd love so desperately to believe that I treated that woman on that night with the same empathy and compassion I'd shown the 27-year-old newlywed who came to the E.R. three nights earlier with lower back pain that turned out to be advanced pancreatic cancer. In her case, I knew there was nothing I could do that was actually going to save her life. The cancer was too advanced. But I was committed to making sure that I could do anything possible to make her stay more comfortable. I brought her a warm blanket and a cup of a coffee. I brought some for her parents. But more importantly, see, I passed no judgment on her, because obviously she had done nothing to bring this on herself. So why was it that, just a few nights later, as I stood in that same E.R. and determined that my diabetic patient did indeed need an amputation, why did I hold her in such bitter contempt?
Mengingat kembali malam itu, Saya sangat ingin meyakinkan diri sendiri bahwa saya sudah mengobati wanita itu malam itu juga dengan rasa empati dan simpati yang sama yang saya berikan kepada pengantin baru berusia 27 tahun yang datang ke ruang gawat darurat tiga malam sebelumnya dengan keluhan nyeri punggung yang ternyata adalah kanker pankreas stadium lanjut. Untuk kasus ini, saya tahu tidak ada yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan hidupnya. Kankernya terlalu parah. Namun saya berkomitmen akan melakukan apa saja untuk membuatnya merasa lebih nyaman. Saya membawakannya selimut hangat dan secangkir kopi. Saya bawakan juga untuk orang tuanya. Namun yang terpenting, saya tidak menghakimi dia, karena tentu saja hal ini tidak terjadi kepadanya karena dia menginginkannya. Tapi mengapa, beberapa malam kemudian, saat berdiri di ruang gawat darurat yang sama saya memutuskan bahwa pasien diabetes ini sungguh harus diamputasi, mengapa saya diam-diam mencibirnya?
You see, unlike the woman the night before, this woman had type 2 diabetes. She was fat. And we all know that's from eating too much and not exercising enough, right? I mean, how hard can it be? As I looked down at her in the bed, I thought to myself, if you just tried caring even a little bit, you wouldn't be in this situation at this moment with some doctor you've never met about to amputate your foot.
Sebenarnya, tidak seperti wanita di malam sebelumnya, wanita ini menderita diabetes tipe 2. Dia gemuk. Dan kita tahu hal ini disebabkan makan yang berlebihan dan kurang olahraga, bukan? Saya pikir, apa susahnya? Saat melihatnya terbaring di ranjang, saya berpikir, kalau saja Anda sedikit lebih peduli, Anda tidak akan berada di situasi seperti sekarang ini, bertemu dokter yang sebelumnya tidak dikenal yang akan mengamputasi kaki Anda.
Why did I feel justified in judging her? I'd like to say I don't know. But I actually do. You see, in the hubris of my youth, I thought I had her all figured out. She ate too much. She got unlucky. She got diabetes. Case closed.
Mengapa saya merasa berhak menghakiminya? Saya ingin bilang tidak tahu. Namun sebenarnya saya tahu. Saudara tahu, dalam kesombongan masa muda saya, Saya pikir seharusnya dia tahu. Kalau makan terlalu banyak, ketiban sial, Terkena diabetes. Selesai.
Ironically, at that time in my life, I was also doing cancer research, immune-based therapies for melanoma, to be specific, and in that world I was actually taught to question everything, to challenge all assumptions and hold them to the highest possible scientific standards. Yet when it came to a disease like diabetes that kills Americans eight times more frequently than melanoma, I never once questioned the conventional wisdom. I actually just assumed the pathologic sequence of events was settled science.
Ironisnya, saat itu, saya juga sedang melakukan penelitian kanker, tepatnya mengenai terapi sistem imun untuk melanoma, dan saat itu sebenarnya saya diajarkan untuk menanyakan berbagai hal, untuk menantang semua asumsi yang ada dan setinggi mungkin mempertahankan asumsi tersebut sesuai standar-standar ilmiah. Namun saat menghadapi penyakit seperti diabetes yang membunuh warga Amerika delapan kali lebih sering dibandingkan melanoma, Satu kali pun saya tidak pernah mempertanyakan hal-hal yang dianggap lazim. Saya hanya mengasumsikan rangkaian patologis penyakit ini yang sudah ditetapkan secara ilmiah.
Three years later, I found out how wrong I was. But this time, I was the patient. Despite exercising three or four hours every single day, and following the food pyramid to the letter, I'd gained a lot of weight and developed something called metabolic syndrome. Some of you may have heard of this. I had become insulin-resistant.
Tiga tahun kemudian, saya sadar bahwa saya salah. Namun waktu itu, sayalah pasiennya. Meski berolah raga tiga atau empat jam setiap harinya, dan mengikuti piramida makanan sehat dengan tepat, berat badan saya meningkat dan kemudian mengalami sesuatu yang disebut sindrom metabolis. Mungkin Anda pernah mendengar hal ini. Saya jadi mengalami resistensi insulin.
You can think of insulin as this master hormone that controls what our body does with the foods we eat, whether we burn it or store it. This is called fuel partitioning in the lingo. Now failure to produce enough insulin is incompatible with life. And insulin resistance, as its name suggests, is when your cells get increasingly resistant to the effect of insulin trying to do its job. Once you're insulin-resistant, you're on your way to getting diabetes, which is what happens when your pancreas can't keep up with the resistance and make enough insulin. Now your blood sugar levels start to rise, and an entire cascade of pathologic events sort of spirals out of control that can lead to heart disease, cancer, even Alzheimer's disease, and amputations, just like that woman a few years earlier.
Anggaplah insulin sebagai hormon utama yang mengontrol apa yang tubuh lakukan dengan makanan yang kita makan, apakah akan dibakar ataupun disimpan. Istilah untuk hal ini disebut pembagian bahan bakar tubuh. Kegagalan menghasilkan insulin yang cukup akan berdampak fatal. Dan resistensi insulin, sebagaimana sebutannya, adalah kondisi saat sel-sel tubuh kerap menghalangi efek insulin untuk melakukan tugasnya. Menjadi seorang yang resisten terhadap insulin, berarti Anda akan menjadi penderita diabetes, Inilah yang terjadi saat pankreas tidak bisa mengatasi resistensi ini dan menghasilkan insulin yang cukup. Gula darah kemudian mulai meningkat, dan seluruh rangkaian peristiwa patologis seolah-olah berputar di luar kendali dan kemudian berubah menjadi penyakit jantung, kanker, bahkan Alzheimer, dan amputasi, seperti yang dialami wanita beberapa tahun lampau tadi.
With that scare, I got busy changing my diet radically, adding and subtracting things most of you would find almost assuredly shocking. I did this and lost 40 pounds, weirdly while exercising less. I, as you can see, I guess I'm not overweight anymore. More importantly, I don't have insulin resistance.
Dengan perasaan khawatir, saya mulai mengubah pola makan secara radikal, mulai menambah dan mengurangi hal-hal yang mungkin bagi Anda sangat mengejutkan. Saya melakukannya dan anehnya kehilangan hampir 20 kg dengan lebih sedikit berolahraga. Anda bisa lihat, saya tidak lagi kelebihan berat badan. Dan yang lebih penting, tidak lagi mengalami resistensi insulin.
But most important, I was left with these three burning questions that wouldn't go away: How did this happen to me if I was supposedly doing everything right? If the conventional wisdom about nutrition had failed me, was it possible it was failing someone else? And underlying these questions, I became almost maniacally obsessed in trying to understand the real relationship between obesity and insulin resistance.
Namun yang paling penting, kini saya memiliki tiga pertanyaan besar yang tidak bisa hilang dari pikiran saya: Bagaimana hal ini bisa terjadi pada saya padahal segalanya saya lakukan dengan benar? Bila hal-hal lazim mengenai gizi tidak lagi berlaku pada saya, apakah mungkin hal yang sama juga terjadi pada orang lain? Dan di balik pertanyaan ini, saya menjadi sangat terobsesi untuk memahami hubungan sebenarnya antara obesitas dan resistensi insulin.
Now, most researchers believe obesity is the cause of insulin resistance. Logically, then, if you want to treat insulin resistance, you get people to lose weight, right? You treat the obesity. But what if we have it backwards? What if obesity isn't the cause of insulin resistance at all? In fact, what if it's a symptom of a much deeper problem, the tip of a proverbial iceberg? I know it sounds crazy because we're obviously in the midst of an obesity epidemic, but hear me out. What if obesity is a coping mechanism for a far more sinister problem going on underneath the cell? I'm not suggesting that obesity is benign, but what I am suggesting is it may be the lesser of two metabolic evils.
Kebanyakan peneliti percaya bahwa obesitas adalah penyebab resistensi insulin. Secara logis, kalau begitu, jika ingin mengobati resistensi insulin, Anda akan menyuruh orang menurunkan berat badannya, bukan? Anda obati obesitasnya. Tapi bagaimana bila sebaliknya? Bagaimana jika obesitas sama sekali bukanlah penyebab resistensi insulin? Bahkan, bagaimana bila hal tersebut merupakan gejala dari masalah yang lebih pelik, seperti bagian atas gunung es yang terlihat di permukaan? Mungkin kedengarannya tidak mungkin karena kini kita sedang berada di tengah-tengah kondisi 'wabah' obesitas, namun dengar. Bagaimana jika obesitas hanyalah dampak mekanisme dari masalah yang lebih pelik yang sedang terjadi di balik sel? Saya tidak menganggap obesitas itu tidak berbahaya, tapi mungkin hal ini bukanlah masalah yang lebih serius dari kedua masalah metabolik tersebut.
You can think of insulin resistance as the reduced capacity of our cells to partition fuel, as I alluded to a moment ago, taking those calories that we take in and burning some appropriately and storing some appropriately. When we become insulin-resistant, the homeostasis in that balance deviates from this state. So now, when insulin says to a cell, I want you to burn more energy than the cell considers safe, the cell, in effect, says, "No thanks, I'd actually rather store this energy." And because fat cells are actually missing most of the complex cellular machinery found in other cells, it's probably the safest place to store it. So for many of us, about 75 million Americans, the appropriate response to insulin resistance may actually be to store it as fat, not the reverse, getting insulin resistance in response to getting fat.
Resistensi insulin bisa dianggap sebagai kapasitas yang dikurangi dari tubuh kita guna memroses pembagian bahan bakar tubuh, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, mengambil kalori dari asupan kita dan membakar sejumlah tertentu secara tepat dan menyimpan sebagian lagi. Saat mengalami resistensi insulin, homeostasis dalam proses yang seimbang tersebut menyimpang dari kondisi ini. Sehingga saat insulin mengatakan kepada sel, Bakarlah lebih banyak energi dari jumlah yang menurut sel dianggap aman, sel tadi akibatnya akan menjawab, "Tidak, energi ini disimpan saja." Dan karena sel lemak kehilangan banyak kinerja seluler kompleks yang ditemukan di sel lainnya, mungkin sebaiknya itulah tempat teraman untuk menyimpannya. Jadi bagi kita, sekitar 75 juta penduduk Amerika, respons yang tepat terhadap resistensi insulin mungkin adalah dengan menyimpannya sebagai lemak, bukan sebaliknya, mengalami resistensi insulin karena menjadi gemuk.
This is a really subtle distinction, but the implication could be profound. Consider the following analogy: Think of the bruise you get on your shin when you inadvertently bang your leg into the coffee table. Sure, the bruise hurts like hell, and you almost certainly don't like the discolored look, but we all know the bruise per Se is not the problem. In fact, it's the opposite. It's a healthy response to the trauma, all of those immune cells rushing to the site of the injury to salvage cellular debris and prevent the spread of infection to elsewhere in the body. Now, imagine we thought bruises were the problem, and we evolved a giant medical establishment and a culture around treating bruises: masking creams, painkillers, you name it, all the while ignoring the fact that people are still banging their shins into coffee tables. How much better would we be if we treated the cause -- telling people to pay attention when they walk through the living room -- rather than the effect? Getting the cause and the effect right makes all the difference in the world. Getting it wrong, and the pharmaceutical industry can still do very well for its shareholders but nothing improves for the people with bruised shins. Cause and effect.
Ini merupakan perbedaan yang nyaris tidak terlihat, keterkaitannya bisa mengherankan. Perhatikan analogi ini: Bayangkan memar pada betis Anda karena kaki Anda tidak sengaja terantuk ke meja tamu. Pastinya memar tersebut terasa sangat sakit, dan pasti Anda juga tidak suka warna belangnya, namun kita semua tahu bahwa memar itu sendiri bukanlah masalahnya. Malah sebaliknya. Memar itu merupakan respons sehat dari trauma tersebut, semua sel imun bergerak menuju lokasi luka tadi untuk menyelamatkan bagian sel dan mencegah penyebaran infeksi ke bagian lain tubuh. Sekarang bayangkan, kita pikir masalahnya adalah luka memar tadi, dan kita mengembangkan perusahaan obat raksasa juga kebiasaan mengenai cara pengobatan memar: krim oles, analgesik, dan lainnya, sementara mengabaikan fakta bahwa orang-orang masih saja terantuk kakinya ke meja tamu. Bukankah lebih baik bila kita mengobati penyebabnya -- mengingatkan orang supaya berhati-hati saat berjalan di ruang tamu -- dan bukan mengobati akibatnya? Mampu membedakan penyebab dan akibat dengan tepat tentu akan membuat perbedaan. Melakukannya dengan salah, dan industri obat-obatan akan sangat menguntungkan pemiliknya namun tidak memberi perubahan berarti kepada mereka yang betisnya memar. Penyebab dan akibat.
So what I'm suggesting is maybe we have the cause and effect wrong on obesity and insulin resistance. Maybe we should be asking ourselves, is it possible that insulin resistance causes weight gain and the diseases associated with obesity, at least in most people? What if being obese is just a metabolic response to something much more threatening, an underlying epidemic, the one we ought to be worried about?
Yang ingin saya katakan adalah mungkin kita salah membedakan penyebab dan akibat dalam hal hubungan obesitas dan resistensi insulin. Mungkin kita harus bertanya pada diri sendiri, mungkinkah resistensi insulin menyebabkan kenaikan berat badan dan penyakit lainnya yang terkait dengan obesitas, setidaknya bagi kebanyakan orang? Bagaimana bila kondisi obesitas hanyalah merupakan respons metabolik akan sesuatu yang lebih berbahaya, suatu epidemi yang tersembunyi, yang seharusnya kita khawatirkan?
Let's look at some suggestive facts. We know that 30 million obese Americans in the United States don't have insulin resistance. And by the way, they don't appear to be at any greater risk of disease than lean people. Conversely, we know that six million lean people in the United States are insulin-resistant, and by the way, they appear to be at even greater risk for those metabolic diseases I mentioned a moment ago than their obese counterparts. Now I don't know why, but it might be because, in their case, their cells haven't actually figured out the right thing to do with that excess energy. So if you can be obese and not have insulin resistance, and you can be lean and have it, this suggests that obesity may just be a proxy for what's going on.
Kita lihat beberapa fakta pendukung. Kita tahu bahwa 30 juta penduduk Amerika yang mengalami obesitas di Amerika Serikat tidak mengalami resistensi insulin. Dan mereka sepertinya tidak memiliki risiko penyakit yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang langsing. Sebaliknya, kita tahu bahwa enam juta orang yang langsing di Amerika Serikat adalah pengidap resistensi insulin, dan mereka memiliki risiko yang bahkan lebih besar terhadap penyakit-penyakit metabolik yang saya sebutkan tadi dibandingkan dengan mereka yang obesitas. Jadi saya tidak tahu mengapa, namun hal ini mungkin dikarenakan, tergantung kasusnya, sel mereka belum mengetahui hal yang sebaiknya dilakukan dengan kelebihan energi tersebut. Jadi kalau Anda mengalami obesitas namun tidak mengalami resistensi insulin, dan Anda langsing namun mengalaminya, hal ini berarti obesitas mungkin hanyalah perantara dari masalah yang sebenarnya terjadi.
So what if we're fighting the wrong war, fighting obesity rather than insulin resistance? Even worse, what if blaming the obese means we're blaming the victims? What if some of our fundamental ideas about obesity are just wrong?
Jadi bagaimana jika kita berperang di medan yang salah, melawan obesitas dan bukan resistensi insulin? Atau lebih buruknya, bagaimana bila menyalahkan mereka yang obesitas berarti menyalahkan korban? Bagaimana bila sebagian dari pengetahuan mendasar kita seputar obesitas ternyata salah?
Personally, I can't afford the luxury of arrogance anymore, let alone the luxury of certainty. I have my own ideas about what could be at the heart of this, but I'm wide open to others. Now, my hypothesis, because everybody always asks me, is this. If you ask yourself, what's a cell trying to protect itself from when it becomes insulin resistant, the answer probably isn't too much food. It's more likely too much glucose: blood sugar. Now, we know that refined grains and starches elevate your blood sugar in the short run, and there's even reason to believe that sugar may lead to insulin resistance directly. So if you put these physiological processes to work, I'd hypothesize that it might be our increased intake of refined grains, sugars and starches that's driving this epidemic of obesity and diabetes, but through insulin resistance, you see, and not necessarily through just overeating and under-exercising.
Secara pribadi, saya tidak lagi bisa menyombongkan diri apalagi memberikan kepastian. Saya memiliki pemikiran tersendiri tentang inti permasalahan ini, namun tetap terbuka akan pendapat orang lain. Jadi, hipotesa saya, karena banyak yang sering bertanya pada saya, adalah: Jika Anda bertanya pada diri sendiri, sel tubuh berusaha melindungi diri dari apa sehingga menyebabkan resistensi insulin, jawabannya mungkin bukan karena asupan yang berlebih. Kemungkinan besar karena terlalu banyak glukosa: gula darah. Jadi, kita tahu bahwa beras/gandum dan tepung putih bisa meningkatkan gula darah dalam waktu singkat, dan bahkan ada alasan untuk percaya bahwa gula secara langsung bisa menyebabkan resistensi insulin. Jadi bila proses-proses fisiologis ini bekerja dengan benar, maka saya menyimpulkan bahwa mungkin asupan gandum/beras, gula, dan tepung putihlah yang memicu epidemi obesitas dan diabetes ini, namun lewat resistensi insulin, dan belum tentu akibat kelebihan makanan dan kekurangan olahraga saja.
When I lost my 40 pounds a few years ago, I did it simply by restricting those things, which admittedly suggests I have a bias based on my personal experience. But that doesn't mean my bias is wrong, and most important, all of this can be tested scientifically. But step one is accepting the possibility that our current beliefs about obesity, diabetes and insulin resistance could be wrong and therefore must be tested. I'm betting my career on this. Today, I devote all of my time to working on this problem, and I'll go wherever the science takes me. I've decided that what I can't and won't do anymore is pretend I have the answers when I don't. I've been humbled enough by all I don't know.
Saat kehilangan hampir 20 kg beberapa tahun yang lalu, saya berhasil melakukannya dengan membatasi hal-hal tersebut, sehingga saya mengakui telah berprasangka berdasarkan pengalaman pribadi saya. Namun bukan berarti prasangka saya salah, dan yang terpenting, semua ini bisa diuji secara ilmiah. Namun langkah pertama adalah menerima kemungkinan bahwa keyakinan kita saat ini mengenai obesitas, diabetes dan resistensi insulin mungkin saja salah dan karena itu harus diuji. Saya mempertaruhkan karir saya dalam hal ini. Saat ini, saya mengabdikan seluruh waktu untuk memecahkan masalah ini, dan saya akan selalu bergerak sesuai perkembangan ilmu pengetahuan. Saya memutuskan bahwa apa yang tidak dapat dan tidak akan saya lakukan lagi adalah berpura-pura mengetahui jawabannya padahal tidak. Saya sungguh-sungguh merendahkan hati akan segala hal yang tidak saya ketahui.
For the past year, I've been fortunate enough to work on this problem with the most amazing team of diabetes and obesity researchers in the country, and the best part is, just like Abraham Lincoln surrounded himself with a team of rivals, we've done the same thing. We've recruited a team of scientific rivals, the best and brightest who all have different hypotheses for what's at the heart of this epidemic. Some think it's too many calories consumed. Others think it's too much dietary fat. Others think it's too many refined grains and starches. But this team of multi-disciplinary, highly skeptical and exceedingly talented researchers do agree on two things. First, this problem is just simply too important to continue ignoring because we think we know the answer. And two, if we're willing to be wrong, if we're willing to challenge the conventional wisdom with the best experiments science can offer, we can solve this problem.
Di tahun-tahun lampau, saya beruntung bisa terlibat memecahkan masalah ini dengan tim luar biasa yang terdiri dari peneliti diabetes dan obesitas di negeri ini, dan hal terbaik adalah, seperti Abraham Lincoln yang berada dekat dengan para pesaingnya, kami pun melakukan hal serupa. Kami merekrut sebuah tim pesaing ilmiah, yang terbaik, tercerdas, dan memiliki hipotesa yang berbeda-beda mengenai inti masalah epidemi ini. Menurut yang satu, akibat terlalu banyaknya konsumsi kalori. Yang lain berpikir karena terlalu banyak lemak makanan. Sebagian lagi berpendapat karena terlalu banyak gandum/beras dan tepung putih. Namun tim yang terdiri dari para peneliti dari berbagai disiplin ilmu, sangat skeptis dan teramat berbakat ini sepakat akan dua hal. Pertama, masalah ini terlalu penting untuk terus menerus diabaikan karena kita pikir kita tahu jawabannya. Dan kedua, kalau kita tidak takut salah, kalau kita bersedia menentang hal-hal yang dianggap lazim dengan uji coba ilmiah terbaik yang bisa diberikan, kita bisa memecahkan masalah ini.
I know it's tempting to want an answer right now, some form of action or policy, some dietary prescription -- eat this, not that — but if we want to get it right, we're going to have to do much more rigorous science before we can write that prescription.
Saya tahu pastilah kita sangat ingin mendapatkan jawaban sekarang, beberapa bentuk tindakan atau kebijakan, resep/anjuran diet -- makan ini, jangan makan itu -- namun jika kita ingin melakukannya dengan benar, kita harus melakukan penelitian ilmiah yang lebih menyeluruh sebelum menuliskan resep yang dibutuhkan.
Briefly, to address this, our research program is focused around three meta-themes, or questions. First, how do the various foods we consume impact our metabolism, hormones and enzymes, and through what nuanced molecular mechanisms? Second, based on these insights, can people make the necessary changes in their diets in a way that's safe and practical to implement? And finally, once we identify what safe and practical changes people can make to their diet, how can we move their behavior in that direction so that it becomes more the default rather than the exception? Just because you know what to do doesn't mean you're always going to do it. Sometimes we have to put cues around people to make it easier, and believe it or not, that can be studied scientifically.
Singkat kata, demi tujuan ini, program riset kami berfokus pada tiga meta-tema, atau pertanyaan. Pertama, bagaimana dampak variasi makanan yang dikonsumsi terhadap metabolisme, hormon dan enzim kita, dan lewat mekanisme molekuler yang bagaimana? Kedua, berdasarkan pendapat ini, dapatkah orang membuat perubahan yang diperlukan pada diet mereka dengan cara yang aman dan praktis untuk diterapkan? Dan akhirnya, begitu kami bisa menentukan perubahan yang aman dan praktis yang bisa dilakukan orang terhadap pola dietnya, bagaimana kami bisa mengubah kebiasaan mereka ke arah sana sehingga hal tersebut bisa tetap melekat dan bukan hanya sekadar menerima saja? Hanya karena Anda tahu apa yang harus dilakukan bukan berarti Anda akan selalu melakukannya. Terkadang kita harus memberi isyarat kepada orang-orang agar lebih mudah, dan percaya atau tidak, hal tersebut bisa dipelajari secara ilmiah.
I don't know how this journey is going to end, but this much seems clear to me, at least: We can't keep blaming our overweight and diabetic patients like I did. Most of them actually want to do the right thing, but they have to know what that is, and it's got to work. I dream of a day when our patients can shed their excess pounds and cure themselves of insulin resistance, because as medical professionals, we've shed our excess mental baggage and cured ourselves of new idea resistance sufficiently to go back to our original ideals: open minds, the courage to throw out yesterday's ideas when they don't appear to be working, and the understanding that scientific truth isn't final, but constantly evolving. Staying true to that path will be better for our patients and better for science. If obesity is nothing more than a proxy for metabolic illness, what good does it do us to punish those with the proxy?
Saya tidak tahu bagaimana akhir dari perjalanan ini, namun sejauh ini, setidaknya jelas bagi saya bahwa: Kita tidak bisa terus menerus menyalahkan pasien yang menderita kelebihan berat badan dan mengidap diabetes seperti yang sebelumnya saya lakukan. Kebanyakan mereka sebenarnya ingin melakukan hal yang benar, namun harus terlebih dahulu hal yang benar tersebut, dan itu pasti berhasil. Impian saya suatu hari pasien-pasien kita bisa mengurangi kelebihan berat badan mereka dan sembuh dari resistensi insulin, karena sebagai ahli medis, kita sudah terlebih dahulu membuang emosi negatif dan sudah sembuh dari penolakan terhadap pemikiran baru sehingga bisa kembali ke kondisi kita yang seharusnya: berpikiran terbuka, berani membuang pemikiran-pemikiran lama jika hal tersebut ternyata tidak berguna, dan memahami bahwa kebenaran ilmiah belum berakhir, namun terus menerus berkembang. Tetap berada di jalur tersebut akan lebih baik bagi pasien kita dan akan lebih baik untuk ilmu pengetahuan. Jika obesitas tidak lebih dari sekadar perantara penyakit metabolik, apa untungnya bagi kita menghukum mereka yang menderita akibat perantara tersebut?
Sometimes I think back to that night in the E.R. seven years ago. I wish I could speak with that woman again. I'd like to tell her how sorry I am. I'd say, as a doctor, I delivered the best clinical care I could, but as a human being, I let you down. You didn't need my judgment and my contempt. You needed my empathy and compassion, and above all else, you needed a doctor who was willing to consider maybe you didn't let the system down. Maybe the system, of which I was a part, was letting you down. If you're watching this now, I hope you can forgive me.
Terkadang saya membayangkan kembali keadaan malam itu di ruang gawat darurat tujuh tahun yang lalu. Saya harap saya bisa berbicara dengan wanita itu lagi. Saya ingin menyatakan permintaan maaf saya padanya. Saya ingin mengatakan, sebagai dokter, saya telah memberikan perawatan medis terbaik yang bisa saya lakukan, namun sebagai manusia, saya sudah mengecewakan Anda. Anda tidak membutuhkan penghakiman dan cibiran dari saya. Yang Anda butuhkan adalah empati dan simpati saya, dan di luar itu semua, Anda membutuhkan seorang dokter yang bersedia memberikan pendapat bahwa mungkin Anda bukan melanggar sistem. Mungkin sistem tersebutlah, yang saya terlibat di dalamnya, yang mengecewakan Anda. Bila Anda menonton video ini sekarang, Saya harap Anda bisa memaafkan saya.
(Applause)
(Aplaus)