In 1994, the Violent Crime Control and Law Enforcement Act passed. You probably know it as the crime bill. It was a terrible law. It ushered in an era of mass incarceration that allowed mandatory minimums, three-strikes laws, the expansion of the death penalty -- it was terrible. But it passed with bipartisan support. GOP House Speaker Newt Gingrich, architect of the Republican Revolution, led the way -- signed into law by Democratic President, Bill Clinton.
Pada tahun 1994, Undang-Undang Pengendalian Kekerasan dan Penegakan Hukum disahkan. Anda mungkin menyebutnya RUU pidana. Itu adalah hukum yang buruk. Itu mengawali era penahanan masal yang memperkenankan kebijakan minimum, hukum <i>three-strikes</i>, perluasan hukuman mati -- itu mengerikan. Namun, itu berlalu dengan dukungan bipartisan. Wakil dari GOP, Newt Gingrich, perancang Revolusi Republikan, memimpin jalannya -- diresmikan sebagai hukum oleh Presiden Demokrat, Bill Clinton.
Also in 1994, I was a senior in high school when this bill got passed, and you were likely to find me on the streets protesting any number of causes ... including the crime bill. So that's what makes this picture all the more surprising. Newt was not on the top of my "Favorite Person in this Country" list. But this picture was taken in 2015. This was the start of a movement that would pass a bill called the First Step Act. The "New York Times" called it the most significant reform in criminal justice in a generation.
Di tahun 1994 pula, saya senior di SMA ketika RUU ini disahkan, dan Anda akan menemukan saya di jalanan memprotes segala perkara itu, termasuk RUU pidana. Jadi, itulah yang membuat foto ini lebih mengejutkan. Newt bukan orang terfavorit saya di negara ini. Tapi, foto ini diambil di tahun 2015. Ini adalah awal dari pergerakan yang akan mengesahkan RUU <i>First Step</i>. New York Times menyebutnya reformasi paling signifikan dalam peradilan pidana di generasi itu.
You know, 1994 Nisha -- on-the-streets activist -- might be disappointed in this photo -- some of you might be too. But standing here today I'm not. This is what I'm here to talk to you about today. This is radical common ground. And I'm not talking about the kind of common ground where -- you know, we can talk about how much we love springtime or "puppies are super cute." And it's not, you know, compromised common ground. This is common ground that's hard. It hurts. It's the type of common ground where you will be ridiculed and judged. But it's the type of common ground that can secure human freedom. It can save lives. And it's the type of common ground I was born to find. It's in my DNA.
Nisha di tahun 1994 -- aktivis jalanan -- mungkin akan kecewa dengan foto ini -- beberapa dari Anda mungkin juga. Tapi berdiri di sini, saya tidak kecewa. Saya di sini untuk membicarakan ini. Ini adalah titik temu radikal. Dan saya tak membicarakan jenis titik temu di mana kita bisa berbincang tentang enaknya musim semi atau kelucuan anak anjing. Dan itu bukanlah titik temu yang dikompromi. Ini adalah titik temu yang sulit. Itu menyakitkan. Titik temu ini akan membuat Anda diejek dan dikritik. Tapi, titik temu ini bisa melindungi kebebasan manusia. Ini bisa menyelamatkan nyawa. Saya lahir untuk menemukan titik temu jenis ini. Ini ada di dalam DNA saya.
My dad was born during the partition in India. After the Indian independence movement, the country was really divided between people who wanted to keep the country together and those who wanted different independent nations. And when the British left, they just decided to draw a line, the partition and make a new country. This started the largest forced mass migration in human history. Fifteen million people trapped on the wrong side of these new borders. Two million people dead during the partition.
Ayah saya lahir selama masa pemisahan di India. Setelah pergerakan kemerdekaan India, negara itu benar-benar terbagi antara mereka yang ingin negaranya tetap bersatu dan mereka yang ingin merdeka. Dan ketika Inggris angkat kaki, mereka memutuskan untuk berpisah dan membangun negara baru. Ini mengawali migrasi massa terbesar dalam sejarah manusia. 15 juta orang terjebak dalam sisi yang salah dari pemisah baru ini. Dua juta orang mati selama pemisahan ini.
And my dad was the youngest baby in a Hindu family on the wrong side of the border. and like families all around the border on both sides, they went into hiding. And I was told when I was little about the story of my family in hiding, and one day when armed men came into the house that they were hiding in, searching for families, my dad started crying. And my grandma started shaking him. And my grandfather, in that moment, he made the choice that he'd sacrifice his son in order to save the family. But luckily, in that moment he stopped crying. My grandma, she shook him and he stopped crying and I'm here today because he stopped crying.
Dan ayah saya adalah bayi termuda dalam sebuah keluarga Hindu di sisi yang salah dari pemisah ini. Seperti keluarga lain dalam pemisah di kedua sisi, mereka bersembunyi. Dan ketika kecil, saya diceritakan tentang persembunyian keluarga saya, dan suatu hari, saat pria-pria bersenjata memasuki rumah persembunyian mereka, mencari keluarga-keluarga, ayah saya mulai menangis. Dan nenek saya mulai mengayunkannya. Dan kakek saya, pada saat itu, beliau memutuskan untuk mengorbankan anaknya agar keluarganya selamat. Untungnya, saat itu, beliau berhenti menangis. Nenek saya mengayunnya dan ayah berhenti menangis. Saya ada di sini sekarang karena beliau berhenti menangis.
But I'm also here today because of that Muslim family that took us in. They also were held at gunpoint and an armed man asked if they were hiding anyone, and they swore on the Quran that nobody was in that house. They chose in that moment when the entire country -- everybody in the region, you could hate people who had different politics than you, different religion, you could kill people. That was what was happening. but they swore on their Holy book, they chose the shared humanity over politics of that day, and we lived. And we survived.
Tapi, saya juga sekarang ada di sini karena keluarga muslim yang menampung kami. Mereka juga ditodong senjata, dan seorang pria bersenjata bertanya apakah mereka menyembunyikan orang, dan mereka bersumpah atas Al-Qur'an bahwa tidak ada siapa pun di dalam rumah. Mereka memilihnya pada saat seluruh negeri -- semua orang di wilayah itu, Anda bisa membenci orang dengan pandangan politik berbeda, agama yang berbeda, Anda bisa membunuh orang. Itulah yang terjadi. Tapi, mereka bersumpah atas Kitab Suci mereka, mereka memilih kemanusiaan daripada politik hari itu, dan kami hidup. Dan kami bertahan hidup.
And I start with this story because often people tell me that my mission for common ground is the weak position. But I ask how was that Muslims family's actions weak? Because of that, my dad did grow up healthy in India and he emigrated to this country, and I was born here in the late '70s, and like most first-generation kids I was born to build bridges.
Dan saya menceritakan ini karena orang sering bilang bahwa misi saya untuk titik temu adalah posisi yang lemah. Tapi, bagaimana bisa tindakan keluarga muslim itu disebut lemah? Karena tindakan mereka, ayah saya tumbuh sehat di India dan beliau beremigrasi ke Amerika, dan saya lahir di sini pada akhir tahun 70an, seperti kebanyakan anak generasi pertama, saya lahir untuk menjadi penghubung.
I was a bridge between the old country and the new. And just growing up, that's what I did. I was a brown girl in the Black and white South in Atlanta, Georgia. I was like, on one hand, the perfect Indian daughter -- straight As, captain of the debate team -- but on the other hand, I was also this radical feminist, punk-rock activist sneaking out of the house for concerts and, you know, getting arrested like, all the time for causes. I was a mix of a lot things. But they all live harmoniously in me. Building bridges was just natural, and I think all of us represent a mix of a bunch of things. I think we have that ability to find the common ground. But that's not how I was living my life ... at all.
Saya menghubungkan negara yang lama dengan yang baru. Itulah yang saya lakukan dari kecil. Saya berkulit cokelat di area Selatan orang kulit putih dan hitam di Atlanta, Georgia. Di satu sisi, saya gadis India yang sempurna mendapat nilai A, kapten tim debat, tapi di sisi lain, saya juga seorang feminis radikal, aktivis punk-rock yang menyelinap untuk menonton konser, dan sering tertangkap karena perkara. Saya campuran dari banyak hal. Tapi, semuanya hidup secara harmonis di dalam diri saya. Menjadi perantara terasa alamiah, saya pikir kita semua mewakili campuran dari banyak hal. Saya pikir kita punya kemampuan untuk menemukan titik temu. Tapi, itu bukan cara saya menjalani hidup, tidak sama sekali.
I moved to the Bay Area in 2001, and this was kind of a turning point for me; it was the start of the second Iraq War. And I was organizing with a bunch of activists -- of course -- and we were thinking that probably we needed to expand our circle a little bit, that we weren't going to successfully stop the war if, you know -- just amongst us. So we decided we'd build bridges, expand our circle, and so the great, anarchist versus communist soccer tournament of 2001 was born.
Saya pindah ke Wilayah Teluk di tahun 2001, ini menjadi sejenis titik balik untuk saya; itu adalah awal dari perang Iraq kedua. Dan saya mengorganisir bersama segerombolan aktivis, tentu saja -- dan kami berpikir mungkin kami butuh memperluas lingkaran kami sedikit, bahwa kami tidak akan sukses menghentikan perang jika hanya di antara kami. Kami memutuskan untuk menjalin hubungan, memperluas lingkaran kami, maka turnamen besar sepak bola antara anarkis melawan komunis muncul pada tahun 2001.
(Laughter)
(Tawa)
That's it. That's how large my circle was allowed to expand. Building bridges with liberal Democrats? Oh, no way, that was a bridge too far. Local electeds? That was a bridge too far. And that was in 2001. And I think you'll agree with me now. In 2020 it's gotten even worse -- that division, that tribalism. We won't sit down at dinner with people who voted differently than us. We, like, see a mean tweet from our best friend -- a tweet that, like, doesn't fit with our worldview, and all of a sudden they're canceled. The purity politics of the moment gone.
Itu saja. Hanya sebesar itu perluasan lingkaran saya. Menjalin hubungan dengan Partai Demokrat yang liberal? Oh, tak mungkin, itu terlalu jauh. Para lokal yang terpilih? Itu terlalu jauh. Dan itu terjadi pada 2001. Dan Anda mungkin setuju bahwa itu bertambah parah di tahun 2020, pembagian itu, tribalisme itu. Kita tidak mau makan malam dengan mereka yang memilih suara berbeda. Kita melihat <i>tweet</i> jahat dari sahabat kita, <i>tweet</i> yang tidak sesuai dengan pandangan kita, dan tiba-tiba kita membuang mereka. Kemurnian politik hilang.
I sometimes wake up -- I don't know what we're going to do. And people ask me "how do we do that?" But I know about common ground. I feel like we can build those bridges. But it's not easy.
Terkadang, saya bangun tidur dan tidak tahu ingin melakukan apa. Orang-orang bertanya, "Bagaimana kita melakukannya?" Tapi, saya tahu tentang titik temu. Saya merasa kita bisa membangun hubungan itu. Tapi, itu tidak mudah.
I have a concept that I go back to, and it's a concept that should be familiar to everybody since the beginning of human history. It's the idea of the commons. This shared place in the center of town -- town square, the quad -- but it's the place where you come together, your community, and you can listen to people on soapboxes with different ideas, and you can be very different, but you come together because you know together we're stronger than being apart.
Ada sebuah konsep yang saya jadikan acuan, dan itu seharusnya konsep yang lazim untuk semua orang sejak awal sejarah manusia, yaitu gagasan mengenai kesamaan. Tempat bersama ini di pusat kota -- alun-alun kota, tapi ini adalah tempat di mana Anda datang sebagai suatu komunitas dan Anda bisa mendengar orang berceramah tentang ide yang berbeda, dan Anda bisa jadi sangat berbeda, tapi Anda datang karena kita lebih kuat bersama-sama.
And today when I think of the commons, I extend it to the resources we all share -- collectively owned, like the air we breathe. I think of schools, parks. I think of the intelligence we share. We can share in libraries or the internet. And I think the internet's important. In this digital age, that shared humanity, that access to be together in the commons, is at our fingertips. But we're not using it that way. We're not coming together.
Dan kini, saat saya memikirkan kesamaan, saya memperluasnya pada sumber daya yang kita pakai -- milik bersama, seperti udara yang kita hirup. Saya memikirkan sekolah, taman. Saya memikirkan kepintaran yang kita punya. Kita bisa membaginya di perpustakaan atau internet. Saya kira internet itu penting. Pada era digital ini, kemanusiaan itu, akses untuk bersama dalam kesamaan, ada pada ujung jari kita. Tapi, pemakaian kita berbeda. Kita tidak bergabung menjadi satu.
To choose that path towards the commons and to be with each other, you also have to choose love. That's a hard thing. But I know you can't go to the town square filled with hate for the town. You can't lead a people you don't love. You can't lead a country you don't love. And -- I don't think you can change the world and say, "I'm only changing it for the people like me, my own circle of friends, not for the people I hate, not for them." It doesn't work. It's a terrible strategy, it doesn't work, but that's what we keep doing. I see it every single day. These silos are just getting stronger.
Untuk memilih jalan menuju kesamaan dan menjadi bersama, Anda juga harus memilih cinta. Itu hal yang sulit. Tapi saya tahu Anda tak pergi ke alun-alun kota dengan kebencian untuk kota Anda. Anda tak bisa memimpin orang-orang yang tidak Anda cintai. Anda tak bisa memimpin negara yang tidak Anda cintai. Dan -- saya kira Anda tak bisa mengubah dunia dengan bilang, "Saya akan mengubahnya untuk teman-teman saya saja, bukan untuk orang yang saya benci." Itu tidak berhasil. Itu strategi yang buruk, itu tak berhasil, tapi itu yang terus kita lakukan. Saya melihatnya setiap hari. Pembatas ini semakin menguat saja.
And you know, your corner of the internet, like Instagram or Twitter, we're just in an echo chamber talking to each other. So I can be really comfortable in my Berkeley Democratic Socialist commons and talk to all of you. And my dad can be in his bootstrappy immigrant Republican commons, and I can watch MSNBC and he can watch Fox News and we will not know the same things. We won't have the same -- I mean, we won't live in the same world. We may never know each other or be with each other again. And I don't want to keep going down that path. And I know we can get back to a better path. I know we can find our way to the commons, and I know that because I had a first, like, front-row, firsthand look at the ability to do it and do it on a large scale.
Dan tempat Anda di internet, seperti Instagram atau Twitter, kita hanya berbicara dalam ruang gema. Saya bisa benar-benar nyaman dalam lingkaran Sosialis Demokratik Berkeley dan bicara dengan kalian. dan ayah saya bisa berada di lingkaran imigran partai Republiknya, dan saya bisa menonton MSNBC, dan beliau menonton Fox News, dan kita tidak akan mengetahui hal yang sama. Kita tidak akan memiliki -- kita tidak akan tinggal di dunia yang sama. Kita mungkin takkan tahu satu sama lain atau bersama lagi. Dan saya tak mau menuruni jalur itu. Saya tahu kita bisa kembali ke jalan yang lebih baik. Kita bisa menemukan jalan menuju kesamaan, dan saya tahu karena saya telah melihat secara langsung dan jelas kemampuannya dalam skala besar. Saya ingin kembali ke UU <i>First Step</i> tadi
And so I want to get you back to the First Step Act and the criminal justice reform. I interviewed for a job with Van Jones about seven years ago. And he's been a mentor and my boss, and he's actually an inspiration behind a lot of this in the speech. And he told me that we were going to pass bipartisan criminal justice reform, and I laughed because I thought that was an oxymoron. I was in the streets -- go figure -- at the Republican National Convention in 2000 in Philadelphia, and we were protesting the criminal justice system. And there were no Republicans on the streets with me at that protest. I remembered the crime bill; I lived through the tough-on-crime era; I didn't see it. But he saw it and he walked me through it. He saw me and people like him on the Left, who it's always been and issue of dignity and justice, that this system has been racist since the start and discriminating against poor people and people of color and it's an issue of justice and dignity.
dan reformasi peradilan pidana. Saya melakukan wawancara kerja dengan Van Jones sekitar tujuh tahun lalu. Dan beliau adalah mentor serta bos saya, dan beliau sebenarnya adalah inspirasi di balik pidato ini. Beliau bilang bahwa kami akan mengesahkan reformasi peradilan pidana bipartisan, dan saya tertawa karena saya pikir itu oksimoron. Saya ada di jalanan -- mengejutkan -- pada Konvensi Nasional Partai Republik di tahun 2000 di Philadelphia, dan kami memprotes sistem peradilan pidana. Tidak ada anggota partai Republik di jalanan itu. Saya ingat RUU pidana; saya melalui masa yang kejam pada kriminal; saya tidak menyadarinya. Tapi, beliau sadar dan membantu saya melaluinya. Beliau melihat saya dan orang seperti dirinya di sayap Kiri yang selalu menjadi isu keadilan dan martabat, sistem ini sudah rasis dari awal dan mendiskriminasi orang miskin dan orang kulit berwarna; itu adalah isu keadilan dan martabat.
So there we were. But he also saw something different from our colleagues on the Right. The fiscal Conservatives, they had an economic incentive to do it: they saw a system that cost the taxpayers a whole lot of money and was getting terrible results and it wasn't making the communities any safer. The Libertarian Right, who believe in less government, saw an expansion of government control, an expansion of the police state, mass incarceration is like, antithetical to who they are. And the religious Right: second chances -- redemption. These are values that they hold dear, and the criminal justice system can't see those anywhere.
Maka, di sanalah kami. Namun, beliau melihat perbedaan dari kolega kami di sayap Kanan. Konservatif fiskal, mereka punya insentif ekonomi untuk melakukannya: mereka melihat sistem yang merugikan pembayar pajak dan mendapatkan hasil yang buruk dan itu tak membuat komunitas lebih aman. Hak Libertarian yang meyakini sedikit pemerintahan melihat perluasan kontrol pemerintah, perluasan negara polisi, penahanan masal itu antitesis dari jati diri mereka. Dan hak agama: kesempatan kedua -- penebusan. Ini adalah nilai-nilai yang mereka pegang, dan sistem peradilan pidana tak bisa melihat itu di mana-mana.
And so there was common ground to be had. And that's what we set out to do. And under the leadership of the formerly incarcerated folks who have been leading this forever, we built this bipartisan coalition to pass criminal justice reform. Eighty-seven senators voted in favor of the First Step Act, and yeah, President Trump signed it.
Maka, ada titik temu yang harus dibuat. Dan itulah yang ingin kami lakukan. Dan di bawah pimpinan mantan narapidana yang telah menuntun ini sejak lama, kami mendirikan koalisi bipartisan untuk mengesahkan reformasi peradilan pidana. 87 senator mendukung UU <i>First Step</i>, dan ya, Presiden Trump menandatanganinya.
And because we were able to do that, because we were able to look at that shared humanity, get over our distaste for working across the aisle, 20,000 people have been impacted in just the last year, 7,000 home who would not have been home, 17,000 years of human freedom restored just in the last year.
Dan karena kami mampu melakukannya, karena kami mampu melihat kemanusiaan itu, menghilangkan perbedaan, bekerja dengan yang berseberangan, 20,000 orang terkena pengaruhnya hanya dalam setahun terakhir, 7,000 orang pulang untuk pertama kalinya, 17,000 tahun kebebasan manusia pulih dalam hanya setahun terakhir.
(Applause and cheers)
(Tepuk tangan) (Sorakan)
And Republicans and Democrats in this election cycle, almost all of them running, are running on platforms of criminal justice reform. They are trying to bring this bigger, stronger, bolder and more reforms everywhere they are. That was impossible during the tough-on-crime era. But I also look at this. These are the people coming home. In my office, we get a video like this almost every day. Thousands of people coming home.
Dan partai republik serta demokrat, dalam siklus pemilihan ini, hampir semuanya mengurus platform reformasi peradilan pidana. Mereka mencoba untuk membawa reformasi yang lebih kuat dan besar, di mana pun mereka. Itu mustahil selama masa yang kejam pada kriminal. Tapi, saya juga melihat ini. Ini adalah orang-orang yang pulang. Di kantor saya, kami mendapat video seperti ini hampir setiap hari. Ribuan orang pulang ke rumahnya.
And when people tell me that common ground is the weak position or that my love for the people or my belief in our shared humanity is naive, or that if I work with folks across the aisle that I'm somehow getting taken advantage of, I just look at this: I look at the people. I say, "Say that to this -- to the folks coming home." Say that to those 2.2 million people that are still behind bars. So now our challenge is to make this possible across a whole bunch of other issues too: human rights, immigration -- all sorts of things -- health care, mental health. I think there's common ground to be had. But it's not easy.
Saat orang bilang bahwa titik temu adalah posisi yang lemah, bahwa cinta saya pada orang, atau kepercayaan saya pada kemanusiaan itu naif, atau jika saya bekerja dengan orang yang berseberangan, entah bagaimana saya dimanfaatkan, lihat ini saja. Saya melihat orang-orang. Saya bilang, "Katakan itu pada pada mereka yang pulang." Katakan itu pada 2,2 juta orang yang masih menetap di balik jeruji besi. Maka, tantangan kita sekarang adalah untuk membawanya ke sejumlah isu lain juga: HAM, imigrasi -- kesehatan, kesehatan mental. Saya kira ada titik temu yang bisa ditemukan. Tapi, itu tidak mudah.
If you want change in a large scale, you need large movements, and that means our circles have to be bigger. And it's not easy being a Lefty working across the aisle; I certainly get my fair share of hate mail, but I think that that's exactly the radical approach we need right now.
Jika Anda ingin perubahan dalam skala besar, Anda butuh pergerakan besar, artinya lingkaran sosial kita harus lebih besar. Sulit menjadi orang Kiri yang bekerja dengan orang Kanan, saya tentu mendapat surat kebencian, tapi saya pikir itulah pendekatan radikal yang kita butuhkan sekarang.
And so this is Jenny Kim. She is someone who is dead serious about second-chance hiring. She wants to make sure that formerly incarcerated folks have a pathway to jobs and that businesses make it an amazing place for folks to work. She's also the deputy general counsel at Koch Industries. K-O-C-H, Koch. She is an amazing organizer, and I'm proud to work with her on this issue.
Ini adalah Jenny Kim. Beliau adalah orang yang serius mengenai kesempatan kedua dalam perekrutan. Beliau ingin memastikan bahwa para mantan tahanan dapat bekerja dan bahwa bisnis menjadi tempat yang luar biasa untuk orang bekerja. Beliau juga wakil penasihat umum di Koch Industries. K-O-C-H, Koch. Beliau adalah pengurus yang luar biasa, dan saya bangga bisa bekerja dengannya dalam isu ini.
And an issue I care deeply about, probably a lot of you do too -- climate, which seems divisive, seems like there's no common ground to be had there. I think there is. Trump's own Department of Defense this year released a report saying that all future wars were going to be wars about resources, wars about climate. And so yeah, I want to find partnership with the military. And I used to be the national director -- the national organizer for the War Resisters League, the oldest pacifist organization in the country. But if there's common ground to be had there, yeah, I'll partner with them.
Dan isu yang sangat saya pedulikan juga, mungkin kalian juga -- iklim, yang terkesan memecah, sepertinya tak ada titik temu di sana. Saya kira ada. Departemen Pertahanan Trump tahun ini merilis laporan bahwa perang di masa depan adalah perang akan sumber daya, perang mengenai iklim. Maka, saya ingin bermitra dengan militer. Dan saya pernah menjadi direktur nasional; pengurus nasional untuk Liga Penentang Perang, organisasi damai tertua di negara ini. Jika ada titik temu yang bisa ditemukan, ya, saya akan bermitra dengan mereka.
It's not easy. The approach means we need to find love. We need to get back to that shared humanity and that commons. But I know this love, it doesn't just get us through Thanksgiving dinner. It's the kind of love that secures freedom, changes the world. But to do that, I have to step into my courage, and I want all of you to step into your courage. Just like that Muslim family stepped into their courage for my Hindu family all those years ago. I think we can do it. But it's a little bit uncomfortable.
Itu tidak mudah. Pendekatan ini berarti kita perlu menemukan cinta. Kita perlu kembali pada kemanusiaan dan kesamaan. Tapi, saya tahu cinta ini tak hanya membawa kita melewati makan malam <i>Thanksgiving</i>. Ini cinta yang melindungi kebebasan, mengubah dunia. Tapi, untuk melakukan itu, saya harus melangkah menuju keberanian, saya ingin Anda untuk melangkah menuju keberanian. Seperti keluarga Muslim itu melangkah menuju keberanian untuk keluarga Hindu saya dulu. Saya pikir kita bisa. Tapi, itu sedikit tidak nyaman.
If you are who I know you to be -- you know, someone who cares about change and progress and wants to see something change in the world -- you probably want to know how but you're also a little bit uncomfortable about me standing up here and celebrating these pictures with Newt and Koch, talking about partnerships with the military. I want you to feel those feelings. I feel them too. I don't enter into these partnerships lightly at all. My entire trajectory of who I am has made me think that it's not even possible, but I know it is. That feeling, that discomfort, that's preceded every major breakthrough in human history ever. That's that feeling that comes before a moonshot.
Jika Anda adalah orang yang saya tahu, seseorang yang peduli dengan perubahan dan kemajuan dan ingin melihat perubahan di dunia ini -- Anda mungkin ingin tahu caranya, tapi Anda juga sedikit tidak nyaman dengan saya berdiri di sini dan merayakan foto-foto dengan Newt dan Koch, bicara tentang permitraan dengan militer. Saya ingin Anda merasakan perasaan itu. Saya juga merasakannya. Saya tidak ikut dalam persekutuan ini dengan hati yang ringan. Seluruh lintasan saya membuat saya berpikir bahwa itu tidak mungkin, tapi saya tahu itu mungkin. Perasaan itu, ketidaknyamanan itu, itu melebihi tiap terobosan besar dalam sejarah manusia. Itu perasaan yang muncul sebelum meluncur ke bulan.
And so I want to make you even a little more uncomfortable. I want you think about an issue that you care deeply about -- something that you want to see changed on a national or global scale. Think big. What would resolution look like? On a large scale, what would it look like to solve that problem? Can you get there with just your circle of friends? I know you can't. The anarchist-communist soccer tournament isn't going to help bring about that change.
Dan saya ingin membuat Anda lebih tidak nyaman lagi. Saya ingin Anda memikirkan suatu isu yang sangat Anda pedulikan, sesuatu yang ingin Anda ubah dalam skala nasional dan global. Berpikir besarlah. Resolusi akan terlihat seperti apa? Pada skala besar, bagaimana cara mengatasi masalah itu? Bisakah Anda menyelesaikannya hanya dengan lingkaran pertemanan Anda? Saya tahu Anda tidak bisa. Turnamen sepak bola anarkis-komunis tidak akan membantu membawa perubahan. Saya ingin Anda berpikir tentang bagaimana kita dapat memperluas lingkaran kita.
So I want to think about how we can expand our circle a little more. Where is there common ground to be found? Can you think of any unlikely allies? Strange partners? Further than that, who's in your way? Who's stopping you from finding that common ground, and is there room for them in that circle? I think there is. I think we have to be able to find it at this scale. And it means that we're going to have to step into that courage and include people, hold our vision so strong, know that justice and freedom is so important that we're able to include more people, love the people who might not love us back.
Di mana titik temu yang bisa ditemukan? Apa Anda terpikir sekutu yang tak terduga? Pasangan asing? Lebih jauh dari itu, siapa yang menghalangi Anda? Siapa yang menghentikan Anda dari menemukan titik temu itu? Apakah ada ruang untuk mereka di dalam lingkaran itu? Saya kira ada. Saya pikir kita harus bisa menemukannya pada skala ini. Dan itu artinya, kita harus melangkah menuju keberanian itu dan melibatkan orang, mempertahankan visi dengan kuat, mengetahui bahwa keadilan dan kebebasan sangat penting, hingga kita dapat melibatkan lebih banyak orang, mencintai orang-orang yang mungkin tidak mencintai kita.
And so I want to ask you: who's your Newt? Who's your Koch? Who's the military in your story? And I want you to find -- choose that common ground.
Maka, saya ingin bertanya: siapa Newt Anda? Siapa Koch Anda? Siapa tentara militer di kisah Anda? Dan saya ingin Anda menemukan -- memilih titik temu itu.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause and cheers)
(Tepuk tangan) (Sorakan)