I grew up in Europe, and World War II caught me when I was between seven and 10 years old. And I realized how few of the grown-ups that I knew were able to withstand the tragedies that the war visited on them -- how few of them could even resemble a normal, contented, satisfied, happy life once their job, their home, their security was destroyed by the war. So I became interested in understanding what contributed to a life that was worth living. And I tried, as a child, as a teenager, to read philosophy and to get involved in art and religion and many other ways that I could see as a possible answer to that question. And finally I ended up encountering psychology by chance.
Saya tumbuh besar di Eropa, dan Perang Dunia II memerangkap saya ketika saya berumur antara tujuh dan sepuluh tahun. Dan saya menyadari bahwa sedikit orang dewasa yang saya kenal yang bisa bertahan dari tragedi yang ditimbulkan oleh perang -- betapa sedikit dari mereka yang dapat memiliki kehidupan yang normal, menantang, memuaskan, kehidupan yang bahagia begitu pekerjaan mereka, rumah mereka, keamanan mereka dihancurkan oleh perang. Maka saya menjadi tertarik untuk memahami apa yang berkontribusi pada sebuah kehidupan yang layak dijalani. Dan saya mencoba, sebagai seorang anak, sebagai seorang remaja, untuk membaca filsafat dan terlibat dalam seni dan agama dan banyak cara lain yang saya kira dapat menjawab pertanyaan tersebut. Dan pada akhirnya saya bertemu dengan psikologi secara kebetulan.
I was at a ski resort in Switzerland without any money to actually enjoy myself, because the snow had melted and I didn't have money to go to a movie. But I found that on the -- I read in the newspapers that there was to be a presentation by someone in a place that I'd seen in the center of Zurich, and it was about flying saucers [that] he was going to talk. And I thought, well, since I can't go to the movies, at least I will go for free to listen to flying saucers. And the man who talked at that evening lecture was very interesting. Instead of talking about little green men, he talked about how the psyche of the Europeans had been traumatized by the war, and now they're projecting flying saucers into the sky. He talked about how the mandalas of ancient Hindu religion were kind of projected into the sky as an attempt to regain some sense of order after the chaos of war. And this seemed very interesting to me. And I started reading his books after that lecture. And that was Carl Jung, whose name or work I had no idea about.
Sebetulnya saya sedang berada di peristirahatan ski di Swiss tanpa uang sepeser pun untuk menikmati diri saya sendiri, karena salju telah meleleh dan pada waktu itu -- saya tidak memiliki uang untuk menonton film, tapi saya menemukan di -- saya membaca di koran bahwa akan ada presentasi oleh seseorang di suatu tempat yang akan saya kunjungi di pusat Zurich, dan yang ia akan berbicara mengenai piring terbang. Dan saya pikir, ya, karena saya tidak dapat pergi menonton film, setidaknya saya dapat mendengarkan mengenai piring terbang secara gratis. Dan pembicara pada siang itu sangat menarik. Dan -- sebetulnya, bukannya bicara mengenai manusia hijau kecil, ia berbicara mengenai psiko (jiwa) dari penduduk Eropa yang mengalami trauma karena perang dan sekarang mereka memproyeksikan piring terbang ke langit, seperti sebuah -- Ia bicara mengenai mandala pada agama Hindu kuno merupakan semacam proyeksi ke langit sebagai bagian untuk memperoleh rasa penataan kembali setelah kekacauan akibat perang. Dan hal ini sangat menarik bagi saya. Dan saya mulai membaca buku karya pembicara setelah presentasi tersebut. Dan orang tersebut adalah Carl Jung, yang nama atau pun karyanya tidak pernah saya ketahui sebelumnya.
Then I came to this country to study psychology and I started trying to understand the roots of happiness. This is a typical result that many people have presented, and there are many variations on it. But this, for instance, shows that about 30 percent of the people surveyed in the United States since 1956 say that their life is very happy. And that hasn't changed at all. Whereas the personal income, on a scale that has been held constant to accommodate for inflation, has more than doubled, almost tripled, in that period. But you find essentially the same results, namely, that after a certain basic point -- which corresponds more or less to just a few 1,000 dollars above the minimum poverty level -- increases in material well-being don't seem to affect how happy people are. In fact, you can find that the lack of basic resources, material resources, contributes to unhappiness, but the increase in material resources does not increase happiness.
Lalu saya datang ke negara ini untuk belajar psikologi dan mulai mencoba memahami akar kebahagiaan. Ini adalah hasil yang kebanyakan orang tunjukkan, dan ada banyak variasinya. Tapi ini, sebagai contoh, menunjukkan bahwa sekitar 30 persen orang yang disurvei di Amerika Serikat sejak 1956 mengatakan bahwa hidup mereka sangat bahagia. Dan itu tidak berubah sama sekali. Bahkan ketika pendapatan personal, dalam skala yang konstan untuk mengakomodasi inflasi, telah meningkat lebih dari dua kali lipat, hampir tiga kali, dalam periode tersebut. Tapi Anda menemukan hasil yang sama, sebutlah, setelah poin dasar tertentu di mana koresponden lebih atau kurang dari 1000 dolar di atas angka kemiskinan minimal, meningkat dalam hal kesejahteraan material sepertinya tidak berpengaruh pada kebahagiaan seseorang. Dan, kenyataannya, Anda dapat menemukan bahwa kurangnya sumber daya dasar, sumber daya material, berkontribusi pada ketidakbahagiaan, tapi peningkatan sumber daya material tidak meningkatkan kebahagiaan.
So my research has been focused more on -- after finding out these things that actually corresponded to my own experience, I tried to understand: where -- in everyday life, in our normal experience -- do we feel really happy? And to start those studies about 40 years ago, I began to look at creative people -- first artists and scientists, and so forth -- trying to understand what made them feel that it was worth essentially spending their life doing things for which many of them didn't expect either fame or fortune, but which made their life meaningful and worth doing.
Jadi penelitian saya berfokus lebih pada -- setelah menemukan bahwa hal ini sebetulnya berhubungan dengan pengalaman saya sendiri, saya mencoba untuk memahami sekarang, -- ketika dalam kehidupan sehari-hari, dalam pengalaman normal kita, -- apakah kita benar-benar merasa bahagia? Dan mulai untuk -- mempelajarinya sekitar 40 tahun yang lalu, saya mulai untuk meneliti orang-orang kreatif -- pertama astis dan ilmuwan dan sebagainya -- mencoba memahami apa yang membuat mereka merasa bahwa hal itu berharga untuk menghabiskan hidup mereka melakukan hal-hal yang bagi mereka tidak mengharapkan ketenaran maupun kekayaan, tapi yang membuat hidup mereka bermakna dan layak dijalani.
This was one of the leading composers of American music back in the '70s. And the interview was 40 pages long. But this little excerpt is a very good summary of what he was saying during the interview. And it describes how he feels when composing is going well. And he says by describing it as an ecstatic state.
Ini adalah salah satu komposer terkemuka dalam sejarah musik Amerika pada tahun 70-an. Dan wawancara dengannya sepanjang 40 halaman. Tapi kutipan kecil ini merupakan ringkasan yang sangat bagus yang ia katakan ketika wawancara. Dan hal ini menggambarkan bagaimana ia merasa ketika mengkomposeri dengan baik. Dan ia mengatakan dengan menggambarkannya sebagai sebuah keadaan ekstasik.
Now, "ecstasy" in Greek meant simply to stand to the side of something. And then it became essentially an analogy for a mental state where you feel that you are not doing your ordinary everyday routines. So ecstasy is essentially a stepping into an alternative reality. And it's interesting, if you think about it, how, when we think about the civilizations that we look up to as having been pinnacles of human achievement -- whether it's China, Greece, the Hindu civilization, or the Mayas, or Egyptians -- what we know about them is really about their ecstasies, not about their everyday life. We know the temples they built, where people could come to experience a different reality. We know about the circuses, the arenas, the theaters. These are the remains of civilizations and they are the places that people went to experience life in a more concentrated, more ordered form.
Ekstasi dalam bahasa Yunani berarti berdiri di samping sesuatu. Dan hal tersebut secara esensial menjadi analogi untuk sebuah keadaan mental di mana Anda merasa bahwa Anda tidak melakukan rutinitas harian. Jadi ekstasi secara esensial adalah melangkah ke sebuah realitas alternatif. Dan hal tersebut menarik, jika Anda memikirkannya, bagaimana, ketika kita memikirkan tentang peradaban manusia yang kita anggap telah mencapai puncak kejayaan manusia -- apakah itu peradaban Cina, Yunani, Hindu. atau Maya, atau Mesir -- apa yang kita tahu mengenai mereka adalah mengenai ekstasi mereka, bukan mengenai rutinitas harian mereka. Kita tahu kuil-kuil yang mereka buat -- di mana orang dapat datang untuk merasakan realitas yang berbeda. Kita tahu mengenai sirkus, arenanya, teaternya -- hal-hal tersebut merupakan peninggalan peradaban dan merupakan tempat di mana orang pergi untuk merasakan hidup dalam bentuk yang lebih terkonentrasi, lebih teratur.
Now, this man doesn't need to go to a place like this, which is also -- this place, this arena, which is built like a Greek amphitheatre, is a place for ecstasy also. We are participating in a reality that is different from that of the everyday life that we're used to. But this man doesn't need to go there. He needs just a piece of paper where he can put down little marks, and as he does that, he can imagine sounds that had not existed before in that particular combination. So once he gets to that point of beginning to create, like Jennifer did in her improvisation, a new reality -- that is, a moment of ecstasy -- he enters that different reality. Now he says also that this is so intense an experience that it feels almost as if he didn't exist. And that sounds like a kind of a romantic exaggeration. But actually, our nervous system is incapable of processing more than about 110 bits of information per second. And in order to hear me and understand what I'm saying, you need to process about 60 bits per second. That's why you can't hear more than two people. You can't understand more than two people talking to you.
Sekarang, orang ini tidak perlu pergi ke tempat seperti ini, di mana juga -- tempat ini, arena ini, yang dibangun seperti amfiteater Yunani, adalah tempat untuk ekstasi juga. Kita berpartisipasi dalam sebuah realita yang berbeda dari rutinitas harian kita. Tapi orang ini tidak perlu pergi ke sana. Ia hanya perlu selembar kertas di mana ia dapat membubuhkan sedikit tanda, dan ketika ia melakukannya, ia dapat membayangkan suara yang belum ada sebelumnya dalam kombinasi tertentu. Jadi ketika ia menemukan poin tersebut di mana ia mulai membuat seperti yang Jennifer lakukan dalam improvisasinya sebuah realita baru -- itu adalah momen ekstasi -- Dia memasuki realitas yang berbeda. Sekarang ia juga mengatakan bahwa hal ini sangat intens bahwa terasa seperti ia tidak ada. Dan suara seperti sebuah pernyataan berlebihan yang romantis. Tapi sebenarnya, sistem saraf kita tidak dapat memproses lebih dari 110 bit informasi per detik. Dan untuk mendengar dan mengerti yang saya katakan, Anda butuh untuk memproses sekitar 60 bit per detik. Itulah mengapa Anda tidak dapat mendengar lebih dari dua orang. Anda tidak dapat mengerti lebih dari dua orang yang berbicara kepada Anda.
Well, when you are really involved in this completely engaging process of creating something new, as this man is, he doesn't have enough attention left over to monitor how his body feels, or his problems at home. He can't feel even that he's hungry or tired. His body disappears, his identity disappears from his consciousness, because he doesn't have enough attention, like none of us do, to really do well something that requires a lot of concentration, and at the same time to feel that he exists. So existence is temporarily suspended. And he says that his hand seems to be moving by itself. Now, I could look at my hand for two weeks, and I wouldn't feel any awe or wonder, because I can't compose. (Laughter)
Ketika Anda sudah benar-benar terlibat dalam proses yang mengikat total ini dari membuat sesuatu yang baru, seperti pria ini, ia tidak punya perhatian tersisa yang cukup untuk memonitor bagaimana tubuhnya merasa, atau masalahnya di rumah. Ia tidak dapat merasa bahkan ketika ia lapar atau lelah. Tubuhnya melebur, identitasnya menghilang dari kesadarannya, karena ia tidak memiliki cukup perhatian, seperti kita, untuk benar-benar melakukan sesuatu yang membutuhkan konsentrasi dan pada saat ang sama untuk merasakan bahwa dia ada. Jadi eksistensinya sementara tertunda. Dan ia mengatakan bahwa tangannya seperti bergerak dengan sendirinya. Sekarang, saya dapat melihat tangan saya selama dua minggu, dan saya tidak dapat merasakan kekaguman, karena saya tidak dapat mengkomposeri. (Tertawa)
So what it's telling you here is that obviously this automatic, spontaneous process that he's describing can only happen to someone who is very well trained and who has developed technique. And it has become a kind of a truism in the study of creativity that you can't be creating anything with less than 10 years of technical-knowledge immersion in a particular field. Whether it's mathematics or music, it takes that long to be able to begin to change something in a way that it's better than what was there before. Now, when that happens, he says the music just flows out. And because all of these people I started interviewing -- this was an interview which is over 30 years old -- so many of the people described this as a spontaneous flow that I called this type of experience the "flow experience." And it happens in different realms.
Jadi apa yang dikatakan di sini kepada Anda, adalah bahwa jelas sekali proses otomatis, spontan yang ia jelaskan hanya dapat terjadi pada seseorang yang sangat-sangat terlatih dan yang sudah mengembangkan teknik. Dan bahwa hal tersebut menjadi semacam kebenaran dalam studi kreativitas bahwa Anda tidak dapat membuat apa pun tanpa setidaknya 10 tahun pengetahuan teknis mendalam dalam bidang tertentu. Apakah itu matematika atau musik -- perlu sebegitu lama untuk dapat memulai mengubah sesuatu dalam sebuah cara yang lebih baik daripada apa yang sudah ada sebelumnya. Ketika itu terjadi, ia mengatakan bahwa musik keluar begitu saja. Dan karena semua orang yang saya wawancara -- ini adalah sebuah wawancara yang lebih dari 30 tahun usianya -- banyak di antara mereka mendeskripsikannya sebagai sebuah aliran spontan yang saya sebut sebagai tipe "pengalaman flow (mengalir)." Dan itu terjadi dalam realitas yang berbeda.
For instance, a poet describes it in this form. This is by a student of mine who interviewed some of the leading writers and poets in the United States. And it describes the same effortless, spontaneous feeling that you get when you enter into this ecstatic state. This poet describes it as opening a door that floats in the sky -- a very similar description to what Albert Einstein gave as to how he imagined the forces of relativity, when he was struggling with trying to understand how it worked. But it happens in other activities. For instance, this is another student of mine, Susan Jackson from Australia, who did work with some of the leading athletes in the world. And you see here in this description of an Olympic skater, the same essential description of the phenomenology of the inner state of the person. You don't think; it goes automatically, if you merge yourself with the music, and so forth.
Sebagai contoh, sebuah puisi yang dideskriprikan dalam formulir ini. Ini adalah wawancara mahasiswa saya yang mewawanara beberapa penulis dan penyair terkemuka di Amerika Serikat. Dan ini menggambarkan non-usaha, perasaan spontan yang sama yang Anda dapatkan ketika Anda masuk dalam keadaan ekstasik ini. Puisi ini menggambarkan membuka sebuah pintu yang melayang di langit -- sangat mirip dengan deskripsi yang Albert Einstein berikan sebagai bagaimana ia membayangkan kekuatan relativitas, ketika ia berkutat dengan usaha untuk memahami bagaimana hal tersebut bekerja. Tapi hal tersebut terjadi di aktivitas yang lain. Sebagai contoh, ini dari mahasiswa saya yang lain, Susan Jackson dari Australia, yang bekerja dengan beberapa atlet top dunia. Dan yang Anda lihat di sini adalah deskripsi dari peseluncur Olimpiade, deskripsi yang sama dari fenomenologi dari keadaan dalam seseorang. Anda tidak dapat berpikir bahwa itu berlangsung otomatis jika Anda meleburkan diri Anda dengan musik, dan sejenisya.
It happens also, actually, in the most recent book I wrote, called "Good Business," where I interviewed some of the CEOs who had been nominated by their peers as being both very successful and very ethical, very socially responsible. You see that these people define success as something that helps others and at the same time makes you feel happy as you are working at it. And like all of these successful and responsible CEOs say, you can't have just one of these things be successful if you want a meaningful and successful job. Anita Roddick is another one of these CEOs we interviewed. She is the founder of Body Shop, the natural cosmetics king. It's kind of a passion that comes from doing the best and having flow while you're working.
Hal tersebut juga terjadi, sebetulnya, dalam hampir semua buku yang saya tulis akhir-akhir ini, yang berjudul "Good Business," ketika saya mewawancarai beberapa CEO yang dinominasikan oleh kolega mereka sebagai sangat sukses dan etis, sangat bertanggung jawab secara sosial. Anda melihat bahwa orang-orang ini mendefinisikan sukses sebagai sesuatu yang membantu orang lain dan dalam waktu yang bersamaan membuat Anda merasa gembira ketika Anda mengerjakannya. Dan seperti semua CEO yang sukses dan bertanggung jawab katakan, Anda tidak dapat memiliki hanya sati dari dua hal tersebut untuk menjadi sukses. Jika Anda menginginkan pekerjaan yang bermakna dan sukses -- Anita Roddick adalah salah satu dari CEO yang saya wawancara. Ia adalah pendiri Body Shop, kosmetik, semacam raja kosmetik natural. Adalah sebuah hasrat yang timbul dari melakukan yang terbaik dan memiliki flow ketika Anda bekerja.
This is an interesting little quote from Masaru Ibuka, who was at that time starting out Sony without any money, without a product -- they didn't have a product, they didn't have anything, but they had an idea. And the idea he had was to establish a place of work where engineers can feel the joy of technological innovation, be aware of their mission to society and work to their heart's content. I couldn't improve on this as a good example of how flow enters the workplace.
Ini adalah kutipan menarik dari Masaru Ibuka, yang pada waktu itu, memulai Sony tanpa uang sepeser pun, tanpa produk apa pun -- mereka bahkan tidak punya produk, mereka tidak punya apa pun, tapi mereka punya sebuah ide. Dan idenya adalah untuk mendirikan sebuah tempat kerja di mana teknisi dapat merasakan kegembiraan dari inovasi teknologi, menjadi sadar akan misi mereka kepada masyarakat dan bekerja sesuai dengan keinginan hati mereka. Saya tidak dapat tidak mengatakan bahwa ini adalah sebuah contoh yang baik mengenai bagaimana flow memasuki area kerja.
Now, when we do studies -- we have, with other colleagues around the world, done over 8,000 interviews of people -- from Dominican monks, to blind nuns, to Himalayan climbers, to Navajo shepherds -- who enjoy their work. And regardless of the culture, regardless of education or whatever, there are these seven conditions that seem to be there when a person is in flow. There's this focus that, once it becomes intense, leads to a sense of ecstasy, a sense of clarity: you know exactly what you want to do from one moment to the other; you get immediate feedback. You know that what you need to do is possible to do, even though difficult, and sense of time disappears, you forget yourself, you feel part of something larger. And once the conditions are present, what you are doing becomes worth doing for its own sake.
Sekarang, ketika kita melakukan studi, kita sudah, dengan kolega lain di seluruh dunia, melakukan lebih dari 8000 wawancara -- dari pertapa Dominika, sampai suster tunanetra, sampai pendaki Himalaya, sampai gembala Navajo -- yang menikmati pekerjaan mereka. Dan tanpa memandang budaya, tanpa memandang tingkat pendidikan atau apa pun, ada tujuh kondisi yang tampatknya ada ketika seseorang dalam keadaan flow. Bahwa ada fokus yang sekali waktu menjadi intens, menggiring ke perasaan ekstasi, perasaan akan kejelasan, Anda tahu persis apa yang Anda mau lakukan dari satu momen ke momen yang lain, Anda mendapat umpan balik langsung. Anda tahu bahwa apa yang Anda lakukan mungkin untuk dilakukan, walaupun sulit, dan perasaan akan waktu menghilang, Anda melupakan diri Anda sendiri, Anda merasa menjadi suatu bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan ketika kondisi-kondisi tersebut muncul, apa yang Anda lakukan menjadi bermakna untuk dilakukan karena hal itu sendiri.
In our studies, we represent the everyday life of people in this simple scheme. And we can measure this very precisely, actually, because we give people electronic pagers that go off 10 times a day, and whenever they go off you say what you're doing, how you feel, where you are, what you're thinking about. And two things that we measure is the amount of challenge people experience at that moment and the amount of skill that they feel they have at that moment. So for each person we can establish an average, which is the center of the diagram. That would be your mean level of challenge and skill, which will be different from that of anybody else. But you have a kind of a set point there, which would be in the middle.
Dalam studi kami, kami merepresentasikan rutinitas harian orang dalam skema yang sederhana. Dan kami dapat mengukurnya dengan sangat tepat, sebetulnya, karena kami memberikan pajer elektronik yang menyala 10 kali sehari, dan ketika pajer menyala Anda mengatakan apa yang Anda lakukan, bagaimana perasaan Anda, di mana Anda, apa yang Anda pikirkan. Dan dua hal yang kami ukur adalah jumlah tantangan yang dirasakan pada saat tersebut dan jumlah kemampuan yang mereka rasakan pada saat itu. Jadi untuk setiap orang kita dapat melihat sebuah rata-rata, yang merupakan pusat diagram. Yang merupakan level rerata dari tantangan dan kemampuan, yang akan berbeda dari orang lain. Tapi Anda dapat semacam keadaan di mana ada di tengah.
If we know what that set point is, we can predict fairly accurately when you will be in flow, and it will be when your challenges are higher than average and skills are higher than average. And you may be doing things very differently from other people, but for everyone that flow channel, that area there, will be when you are doing what you really like to do -- play the piano, be with your best friend, perhaps work, if work is what provides flow for you. And then the other areas become less and less positive.
Jika kita tahu apa keadaan tersebut, kita dapat memprediksikan dengan cukup akurat kapan Anda dapat merasakan flow dan itu adalah ketika tantangan Anda lebih tinggi dari rata-rata dan kemampuan juga lebih tinggi dari rata-rata. Dan Anda dapat melakukan hal yang sangat berbeda dari orang lain, tapi untuk setiap orang, keadaan flow, area itu, akan terasa ketika Anda melakukan apa yang benar-benar Anda suka untuk lakukan -- memankan piano, mungkin, bersama dengan teman baik, mungkin bekerja, jika kerja menyediakan flow untuk Anda. Dan kemudian area lain menjadi kurang dan kurang positif.
Arousal is still good because you are over-challenged there. Your skills are not quite as high as they should be, but you can move into flow fairly easily by just developing a little more skill. So, arousal is the area where most people learn from, because that's where they're pushed beyond their comfort zone and to enter that -- going back to flow -- then they develop higher skills. Control is also a good place to be, because there you feel comfortable, but not very excited. It's not very challenging any more. And if you want to enter flow from control, you have to increase the challenges. So those two are ideal and complementary areas from which flow is easy to go into.
Penimbulan (arousal) masih bagus karena Anda ditantang secara lebih di sana. Kemampuan Anda tidak terlalu tinggi seperti seharusnya, tapi Anda dapat berpindah ke flow dengan sangat mudah dengan hanya mengembangkan sedikit kemampuan. Jadi, penimbulan adalah area di mana banyak orang belajar darinya, karena itu adalah di mana mereka dipaksa untuk lebih dari area nyaman mereka. dan akan menggiring memasuki -- kembali ke flow -- kemudian mereka mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi. Kontrol juga tempat yang bagus, karena ketika Anda merasa nyaman, tapi tidak terlalu tertarik. Tidak terlalu menantang lagi. Dan ketika Anda ingin memasuki flow dari kontrol, Anda harus meningkatkan tantangan. Jadi dua hal tersebut adalah area ideal dan saling melengkapi di mana dengan mudah dapat masuk ke keadaan flow.
The other combinations of challenge and skill become progressively less optimal. Relaxation is fine -- you still feel OK. Boredom begins to be very aversive and apathy becomes very negative: you don't feel that you're doing anything, you don't use your skills, there's no challenge. Unfortunately, a lot of people's experience is in apathy. The largest single contributor to that experience is watching television; the next one is being in the bathroom, sitting. Even though sometimes watching television about seven to eight percent of the time is in flow, but that's when you choose a program you really want to watch and you get feedback from it.
Kombinasi yang lain dari tantangan dan kemampuan menjadi kurang optimal. Relaksasi itu baik -- Anda masih merasa OK. Kebosanan mulai menjadi sangat aversif dan apati menjadi sangat negatif -- Anda tidak merasa Anda telah melakukan sesuatu, Anda tidak menggunakan kemampuan Anda tidak ada tantangan. Sayangnya, banyak orang mengalami apati. Satu penyumbang terbesar dari pengalaman tersebut adalah menonton televisi, yang satunya adalah di dalam kamar mandi, duduk. Dan, bahkan terkadang menonton televisi sekitar tujuh sampai delapan persen dari waktu ada dalam flow, tapi ketika Anda memilih program yang benar-benar ingin Anda tonton dan Anda mendapat umpan balik darinya.
So the question we are trying to address -- and I'm way over time -- is how to put more and more of everyday life in that flow channel. And that is the kind of challenge that we're trying to understand. And some of you obviously know how to do that spontaneously without any advice, but unfortunately a lot of people don't. And that's what our mandate is, in a way, to do.
Jadi pertanyaan yang kita coba untuk jawab -- dan saya kehabisan waktu -- adalah bagaimana membuat lebih dan lebih banyak lagi kehidupan sehari-hari kita dalam keadaan flow. Dan ini adalah tantangan yang kita coba untuk pahami. Dan beberapa dari Anda secara jelas tahu cara untuk melakukannya secara spontan tanpa saran apa pun, tapi sayangnya banyak orang tidak. Dan amanat kita adalah sebuah cara untuk melakukannya. OK.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)