One thing the world needs, one thing this country desperately needs is a better way of conducting our political debates. We need to rediscover the lost art of democratic argument. (Applause) If you think about the arguments we have, most of the time it's shouting matches on cable television, ideological food fights on the floor of Congress. I have a suggestion. Look at all the arguments we have these days over health care, over bonuses and bailouts on Wall Street, over the gap between rich and poor, over affirmative action and same-sex marriage. Lying just beneath the surface of those arguments, with passions raging on all sides, are big questions of moral philosophy, big questions of justice. But we too rarely articulate and defend and argue about those big moral questions in our politics.
Satu hal yang diperlukan dunia, Satu hal yang sangat diperlukan oleh negara ini adalah cara yang lebih baik untuk melakukan perdebatan politik. Kita perlu menemukan kembali seni perdebatan demokratis yang hilang. (Tepuk tangan) Jika anda berpikir tentang adu argumen yang ada, banyak waktu dihabiskan untuk saling berteriak di televisi kabel pertengkaran sengit tentang ideologi di dalam Kongres. Saya memiliki sebuah saran. Lihat pada semua argumen yang ada belakangan ini tentang kesehatan, tentang bonus dan bailout di Wall Street. tentang kesenjangan antara kaya dan miskin tentang kebijakan hak minoritas dan pernikahan sesama jenis. Berada di balik semua argumen-argumen itu, dengan semangat dari segala penjuru, terdapat pertanyaan-pertanyaan besar tentang filsafat moral. pertanyaan-pertanyaan besar tentang keadilan. Tapi kita terlalu jarang berbicara dan mempertahankan dan berdebat tentang pertanyaan-pertanyaan besar tentang moral itu dalam politik kita.
So what I would like to do today is have something of a discussion. First, let me take a famous philosopher who wrote about those questions of justice and morality, give you a very short lecture on Aristotle of ancient Athens, Aristotle's theory of justice, and then have a discussion here to see whether Aristotle's ideas actually inform the way we think and argue about questions today. So, are you ready for the lecture? According to Aristotle, justice means giving people what they deserve. That's it; that's the lecture.
Jadi yang ingin saya lakukan hari ini adalah mengadakan sebuah diskusi. Pertama, saya akan mengutip seorang filsuf terkenal yang menulis tentang pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan dan moralitas itu, dan memberikan kuliah singkat tentang Aristoteles dari Athena kuno, teori keadilan dari Aristoteles, dan lalu kita akan berdiskusi untuk melihat apakah ide Aristoteles sebenarnya menerangkan cara kita berpikir dan berdebat tentang pertanyaan-pertanyaan masa kini. Jadi, apakah anda siap untuk kuliah ini? Menurut Aristoteles keadilan berarti memberi kepada semua orang apa yang pantas mereka terima. Ya, itu saja; kuliahnya selesai.
(Laughter)
(Tawa)
Now, you may say, well, that's obvious enough. The real questions begin when it comes to arguing about who deserves what and why. Take the example of flutes. Suppose we're distributing flutes. Who should get the best ones? Let's see what people -- What would you say? Who should get the best flute? You can just call it out.
Sekarang, kalian mungkin berkata, ya, itu cukup jelas. Pertanyaan yang sebenarnya muncul saat kita memperdebatkan siapa pantas menerima apa dan mengapa. Ambil contoh tentang seruling. Andaikan kita membagi-bagikan seruling Siapa yang layak mendapat seruling terbaik? Mari kita lihat -- Bagaimana menurut kalian? Siapa yang layak mendapat seruling terbaik? Anda boleh langsung menjawab.
(Audience: Random.)
(Penonton: Acak.)
Michael Sandel: At random. You would do it by lottery. Or by the first person to rush into the hall to get them. Who else?
Michael Sandel: Secara acak. Dilakkukan dengan mengundi. Atau diberikan kepada orang pertama yang antri. Siapa lagi?
(Audience: The best flute players.)
(Penonton: Pemain seruling terbaik.)
MS: The best flute players. (Audience: The worst flute players.)
MS: Pemain seruling terbaik. (Penonton: Pemain seruling terburuk.)
MS: The worst flute players. How many say the best flute players? Why? Actually, that was Aristotle's answer too.
MS: Pemain seruling terburuk. Siapa yang setuju dengan pemain seruling terbaik? Mengapa? Sebenarnya, itu juga jawaban Aristoteles.
(Laughter)
(Tawa)
But here's a harder question. Why do you think, those of you who voted this way, that the best flutes should go to the best flute players?
Sekarang pertanyaannya lebih sulit. Mengapa kalian pikir, kalian yang setuju barusan, bahwa seruling terbaik seharusnya diberikan kepada pemain seruling terbaik?
Peter: The greatest benefit to all.
Peter: Memberi manfaat terbesar untuk semua orang.
MS: The greatest benefit to all. We'll hear better music if the best flutes should go to the best flute players. That's Peter? (Audience: Peter.)
MS: Manfaat terbesar untuk semua. Kita akan mendengar musik yang lebih bagus jika seruling terbaik diberikan kepada pemain seruling terbaik. Seperti itu Peter? (Penonton: Peter.)
MS: All right. Well, it's a good reason. We'll all be better off if good music is played rather than terrible music. But Peter, Aristotle doesn't agree with you that that's the reason. That's all right. Aristotle had a different reason for saying the best flutes should go to the best flute players. He said, that's what flutes are for -- to be played well. He says that to reason about just distribution of a thing, we have to reason about, and sometimes argue about, the purpose of the thing, or the social activity -- in this case, musical performance. And the point, the essential nature, of musical performance is to produce excellent music. It'll be a happy byproduct that we'll all benefit. But when we think about justice, Aristotle says, what we really need to think about is the essential nature of the activity in question and the qualities that are worth honoring and admiring and recognizing. One of the reasons that the best flute players should get the best flutes is that musical performance is not only to make the rest of us happy, but to honor and recognize the excellence of the best musicians.
MS: Baiklah. Ya, itu alasan yang bagus. Kita akan merasa lebih baik jika mendengarkan musik yang bagus dibandingkan dengan musik yang buruk. Namun Peter, Aristoteles tidak setuju dengan alasan anda. Tidak apa-apa. Aristoteles memiliki alasan lain mengapa seruling terbaik harus diberikan kepada pemain seruling terbaik. Dia berkata, itulah kegunaan seruling -- untuk dimainkan dengan baik. Dia berkata demikian sebagai alasan untuk membagi sesuatu. Kita harus mencari alasan untuk, dan terkadang berdebat tentang, kegunaan benda itu, atau untuk kegiatan sosial terkait, dalam hal ini, pertunjukan musik. Dan intinya, sifat dasar, dari pertunjukan musik adalah menghasilkan musik yang bagus. Sebuah produk samping yang membahagiakan yang menguntungkan kita semua. Namun saat kita berpikir tentang keadilan, Aristoteles berkata, apa yang benar-benar harus kita pikirkan adalah sifat dasar dari kegiatan tersebut dan kualitas yang pantas untuk dihormati dan dikagumi dan diakui. Salah satu alasan pemain seruling terbaik layak mendapatkan seruling terbaik adalah pertunjukan musik tidak hanya untuk membuat kita semua bahagia, tapi untuk menghormati dan mengakui keunggulan dari musisi-musisi terbaik.
Now, flutes may seem ... the distribution of flutes may seem a trivial case. Let's take a contemporary example of the dispute about justice. It had to do with golf. Casey Martin -- a few years ago, Casey Martin -- did any of you hear about him? He was a very good golfer, but he had a disability. He had a bad leg, a circulatory problem, that made it very painful for him to walk the course. In fact, it carried risk of injury. He asked the PGA, the Professional Golfers' Association, for permission to use a golf cart in the PGA tournaments. They said, "No. Now that would give you an unfair advantage." He sued, and his case went all the way to the Supreme Court, believe it or not, the case over the golf cart, because the law says that the disabled must be accommodated, provided the accommodation does not change the essential nature of the activity. He says, "I'm a great golfer. I want to compete. But I need a golf cart to get from one hole to the next."
Sekarang, seruling bisa dibilang .. pembagian seruling kasus yang sepele. Mari kita bicara contoh yang lebih modern tentang perselisihan keadilan. Ini berhubungan dengan golf. Casey Martin -- beberapa tahun yang lalu, Casey Martin -- apakah ada yang pernah mendengar tentang dia? Dia pemain golf yang sangat hebat, tapi dia memiliki cacat. Dia memiliki masalah sirkulasi pada kakinya, yang membuatnya sangat kesakitan jika berjalan sepanjang pertandingan. Bahkan, itu membawa risiko cedera. Dia meminta PGA, Asosiasi Pemain Golf Professional, supaya diijinkan menggunakan mobil golf dalam pertandingan PGA. Mereka berkata "Tidak. Hal itu memberikan anda keuntungan yang tidak adil." Dia menuntut, dan kasusnya terus melaju sampai ke Mahkamah Agung, percaya atau tidak, kasus tentang mobil golf ini. Karena hukum berkata bahwa orang cacat harus diakomodasikan jika hal itu tidak mengubah sifat dasar yang penting dari kegiatan itu. Dia berkata, "Saya seorang pegolf yang hebat. Saya ingin bertanding. Tapi saya perlu mobil golf untuk pindah dari lubang satu ke lubang berikutnya."
Suppose you were on the Supreme Court. Suppose you were deciding the justice of this case. How many here would say that Casey Martin does have a right to use a golf cart? And how many say, no, he doesn't? All right, let's take a poll, show of hands. How many would rule in favor of Casey Martin? And how many would not? How many would say he doesn't? All right, we have a good division of opinion here. Someone who would not grant Casey Martin the right to a golf cart, what would be your reason? Raise your hand, and we'll try to get you a microphone. What would be your reason?
Andaikan kalian berada di Mahkamah Agung. Andaikan kalian memutuskan keadilan untuk kasus ini. Berapa banyak di sini yang akan berkata bahwa Casey Martin berhak untuk mengunakan mobil golf? Dan berapa banyak yang berkata, tidak? Baik, mari kita adakan pemungutan suara, tunjukkan tangan kalian. Berapa banyak yang berpihak kepada Casey Martin? Berapa banyak yang tidak? Berapa banyak yang berkata dia tidak pantas? Baiklah, ada perbedaan pendapat yang bagus di sini. Bagi yang memutuskan untuk tidak memberikan Casey Martin hak untuk mobil golfnya apa yang menjadi alasan anda? Angkat tangan anda, dan kami akan memberikan mikrofon. Apa yang menjadi alasan anda?
(Audience: It'd be an unfair advantage.)
(Penonton: Itu keuntungan yang tidak adil.)
MS: It would be an unfair advantage if he gets to ride in a golf cart. All right, those of you, I imagine most of you who would not give him the golf cart worry about an unfair advantage. What about those of you who say he should be given a golf cart? How would you answer the objection? Yes, all right.
MS: Keuntungan yang tidak adil jika dia dapat mengendarai mobil golf. Baiklah, kalian semua, Saya pikir sebagian besar kalian yang setuju untuk tidak memberikannya mobil golf berpikir tentang keuntungan yang tidak adil. Bagaimana dengan mereka yang berkata dia sebaiknya diberikan mobil golf? Bagaimana anda menjawab keberatan itu? Ya, anda.
Audience: The cart's not part of the game.
Penonton: Mobil golf bukanlah bagian dari pertandingan.
MS: What's your name? (Audience: Charlie.)
MS: Siapa nama anda? (Penonton: Charlie.)
MS: Charlie says -- We'll get Charlie a microphone in case someone wants to reply. Tell us, Charlie, why would you say he should be able to use a golf cart?
MS: Charlie berkata -- Kita akan memberikan Charlie mikrofon jika ada seseorang yang ingin membalas. Beritahu kita, Charlie, mengapa anda berkata kalau dia harus diperbolehkan menggunakan mobil golf?
Charlie: The cart's not part of the game.
Charlie: Mobil itu bukan bagian dari pertandingan.
MS: But what about walking from hole to hole?
MS: Namun, bagaimana tentang berjalan dari lubang ke lubang?
Charlie: It doesn't matter; it's not part of the game.
Charlie: Itu tidak masalah: itu juga bukan bagian dari pertandingan.
MS: Walking the course is not part of the game of golf?
MS: Berjalan di lapangan bukan bagian dari pertandingan golf?
Charlie: Not in my book, it isn't.
Charlie: Menurut saya tidak, itu bukan (bagian dari pertandingan).
MS: All right. Stay there, Charlie.
MS: Baik. Tunggu sebentar, Charlie.
(Laughter)
(Tawa)
Who has an answer for Charlie? All right, who has an answer for Charlie? What would you say?
Siapa yang ingin menanggapi Charlie? Baiklah, siapa yang punya tanggapan untuk Charlie? Apa yang ingin anda katakan?
Audience: The endurance element is a very important part of the game, walking all those holes.
Penonton: Daya tahan adalah bagian yang paling penting dari pertandingan, berjalan dari lubang ke lubang.
MS: Walking all those holes? That's part of the game of golf? (Audience: Absolutely.)
MS: Berjalan dari lubang ke lubang? Itu bagian dari pertandingan golf? (Penonton: Sudah pasti.)
MS: What's your name? (Audience: Warren.)
MS: Siapa namamu? (Penonton: Warren.)
MS: Warren. Charlie, what do you say to Warren?
MS: Warren. Charlie, apa yang hendak anda katakan kepada Warren?
Charley: I'll stick to my original thesis.
Charley: Saya tetap pada pendirian saya.
(Laughter)
(Tawa)
MS: Warren, are you a golfer?
MS: Warren, apakah anda seorang pegolf?
Warren: I am not a golfer.
Warren: Bukan.
Charley: And I am. (MS: Okay.) (Laughter)
Charley: Saya pemain golf. (MS: Baik.) (Tawa)
(Applause)
(Tepuk tangan)
You know, it's interesting. In the case, in the lower court, they brought in golfing greats to testify on this very issue. Is walking the course essential to the game? And they brought in Jack Nicklaus and Arnold Palmer. And what do you suppose they all said? Yes. They agreed with Warren. They said, yes, walking the course is strenuous physical exercise. The fatigue factor is an important part of golf. And so it would change the fundamental nature of the game to give him the golf cart. Now, notice, something interesting -- Well, I should tell you about the Supreme Court first.
Kalian tahu, ini menarik. Dalam kasus ini, di pengadilan rendah, mereka membawa pemain golf hebat untuk bersaksi tentang masalah ini. Apakah berjalan merupakan hal penting dari pertandingan? Dan mereka mendatangkan Jack Nicklaus dan Arnold Palmer. Dan menurut kalian apa yang mereka semua katakan? Ya. Mereka setuju dengan Warren. Mereka berkata, ya, berjalan di lapangan adalah latihan fisik berat. Faktor kelelahan adalah bagian penting dari golf. Jadi hal itu akan mengubah sifat dasar yang penting dari pertandingan jika ia diberikan mobil golf. Sekarang, perhatikan, sesuatu yang menarik -- Seharusnya, saya membahas tentang Mahkamah Agung terlebih dahulu.
The Supreme Court decided. What do you suppose they said? They said yes, that Casey Martin must be provided a golf cart. Seven to two, they ruled. What was interesting about their ruling and about the discussion we've just had is that the discussion about the right, the justice, of the matter depended on figuring out what is the essential nature of golf. And the Supreme Court justices wrestled with that question. And Justice Stevens, writing for the majority, said he had read all about the history of golf, and the essential point of the game is to get very small ball from one place into a hole in as few strokes as possible, and that walking was not essential, but incidental.
Mahkamah Agung memutuskan. Menurut kalian apa yang mereka katakan? Mereka berkata ya, Casey Martin harus diberikan mobil golf. Tujuh melawan dua. Apa yang menarik dari keputusan mereka dan dari diskusi yang baru saja kita lakukan adalah diskusi tentang hak dan keadilan tentang sesuatu tergantung kepada mencari tahu apakah sifat dasar yang penting dari pertandingan golf itu. Dan keputusan Mahkamah Agung bergumul tentang pertanyaan itu. Dan Hakim Stevens, menulis untuk mayoritas hakim, bahwa dia telah membaca semua sejarah golf, dan hal terpenting dari pertandingan adalah untuk memasukkan bola yang sangat kecil dari satu tempat ke dalam lubang dengan sesedikit mungkin pukulan, dan berjalan bukanlah hal yang penting, tapi insidental.
Now, there were two dissenters, one of whom was Justice Scalia. He wouldn't have granted the cart, and he had a very interesting dissent. It's interesting because he rejected the Aristotelian premise underlying the majority's opinion. He said it's not possible to determine the essential nature of a game like golf. Here's how he put it. "To say that something is essential is ordinarily to say that it is necessary to the achievement of a certain object. But since it is the very nature of a game to have no object except amusement, (Laughter) that is, what distinguishes games from productive activity, (Laughter) it is quite impossible to say that any of a game's arbitrary rules is essential."
Sekarang, ada dua pembangkang, salah satunya adalah Hakim Scalia. Dia tidak akan memberikan mobil golf itu, dan dia memiliki pendapat yang sangat menarik. Hal ini menarik karena dia menolak dasar pemikiran Aristoteles yang mendasari pendapat dari mayoritas hakim. Dia berkata tidak mungkin untuk menentukan sifat penting dari sebuah pertandingan seperti golf Dia berkata seperti ini. "Untuk mengatakan bahwa sesuatu itu penting kita harus berkata bahwa hal itu diperlukan untuk mencapai sesuatu. Namun karena pada dasarnya sebuah pertandingan tidak punya tujuan lain selain hiburan. (Tawa) itulah, yang membedakan pertandingan dari kegiatan produktif. (Tawa) jadi tidak mungkin kita berkata bahwa peraturan pertandingan apa pun itu penting."
So there you have Justice Scalia taking on the Aristotelian premise of the majority's opinion. Justice Scalia's opinion is questionable for two reasons. First, no real sports fan would talk that way. (Laughter) If we had thought that the rules of the sports we care about are merely arbitrary, rather than designed to call forth the virtues and the excellences that we think are worthy of admiring, we wouldn't care about the outcome of the game. It's also objectionable on a second ground. On the face of it, it seemed to be -- this debate about the golf cart -- an argument about fairness, what's an unfair advantage. But if fairness were the only thing at stake, there would have been an easy and obvious solution. What would it be? (Audience: Let everyone use the cart.) Let everyone ride in a golf cart if they want to. Then the fairness objection goes away.
Di sini kita punya Hakim Scalia yang menentang pemikiran Aristoteles dan pendapat mayoritas. Pendapat Hakim Scalia dapat dipertanyakan karena dua alasan. Pertama, tidak seorangpun penggemar olahraga yang akan berkata demikian. (Tawa) Jika kita berpikir tentang peraturan dari olahraga yang kita gemari benar-benar asal, dan bukan dirancang untuk menunjukkan kebaikan dan keunggulan yang menurut kita layak untuk dikagumi, kita tidak akan peduli tentang hasil pertandingan itu. Hal yang juga pantas dipertanyakan dari segi kedua. Pada kenyataannya, tampaknya -- debat tentang mobil golf ini -- argumen tentang keadilan, sebuah keuntungan yang tidak adil. Namun jika keadilan adalah satu-satunya alasan ada jalan keluar yang mudah dan jelas. Apakah itu? (Penonton: Ijinkan semua orang menggunakan mobil golf.) Ijinkan semua orang mengendarai mobil golf jika mereka mau. Dan semua masalah keadilan akan hilang.
But letting everyone ride in a cart would have been, I suspect, more anathema to the golfing greats and to the PGA, even than making an exception for Casey Martin. Why? Because what was at stake in the dispute over the golf cart was not only the essential nature of golf, but, relatedly, the question: What abilities are worthy of honor and recognition as athletic talents? Let me put the point as delicately as possible: Golfers are a little sensitive about the athletic status of their game. (Laughter) After all, there's no running or jumping, and the ball stands still. (Laughter) So if golfing is the kind of game that can be played while riding around in a golf cart, it would be hard to confer on the golfing greats the status that we confer, the honor and recognition that goes to truly great athletes. That illustrates that with golf, as with flutes, it's hard to decide the question of what justice requires, without grappling with the question, "What is the essential nature of the activity in question, and what qualities, what excellences connected with that activity, are worthy of honor and recognition?"
Namun mengijinkan semua orang mengendarai mobil golf akan lebih menjadi, dugaan saya sebuah kutukan bagi pemain-pemain golf hebat dan bagi PGA, daripada membuat pengecualian kepada Casey Martin. Mengapa? Karena yang dipersoalkan dalam sengketa mobil golf ini bukan hanya hal dasar yang penting dari golf, namun lebih berhubungan dengan pertanyaan lain, kemampuan apa yang berharga untuk dihormati dan diakui sebagai talenta atlet? Saya akan berkata sehalus mungkin: Pemain golf agak kurang peka tentang status keatletan mereka. (Tawa) Bagaimanapun, mereka tidak perlu lari atau lompat. dan bola itu tetap diam. (Tawa) Jadi jika golf adalah pertandingan yang dapat dimainkan dengan mengendarai mobil golf, akan sulit menganugerahkan pemain-pemain golf yang hebat status yang kita telah anugerahkan, penghormatan dan pengakuan yang diberikan kepada atlet yang benar-benar hebat. Hal ini menunjukkan bahwa golf, sama seperti seruling, sulit untuk menjawab pertanyaan tentang keadilan yang diperlukan, tanpa bergulat dengan pertanyaan "Apakah hal dan sifat terpenting dari kegiatan yang dipersoalkan, dan kualitas apa, keunggulan apa yang berhubungan dengan kegiatan itu, yang pantas untuk dihormati dan diakui?"
Let's take a final example that's prominent in contemporary political debate: same-sex marriage. There are those who favor state recognition only of traditional marriage between one man and one woman, and there are those who favor state recognition of same-sex marriage. How many here favor the first policy: the state should recognize traditional marriage only? And how many favor the second, same-sex marriage? Now, put it this way: What ways of thinking about justice and morality underlie the arguments we have over marriage? The opponents of same-sex marriage say that the purpose of marriage, fundamentally, is procreation, and that's what's worthy of honoring and recognizing and encouraging. And the defenders of same-sex marriage say no, procreation is not the only purpose of marriage; what about a lifelong, mutual, loving commitment? That's really what marriage is about. So with flutes, with golf carts, and even with a fiercely contested question like same-sex marriage, Aristotle has a point. Very hard to argue about justice without first arguing about the purpose of social institutions and about what qualities are worthy of honor and recognition.
Mari kita ambil contoh terakhir yang menonjol dalam perdebatan politik modern: pernikahan sesama jenis. Ada yang mendukung jika negara mengakui pernikahan tradisional antara seorang pria dan wanita, dan ada juga yang mendukung jika negara mengakui pernikahan sesama jenis. Berapa banyak di sini yang mendukung peraturan pertama: bahwa negara harus mengakui pernikahan tradisional saja? Dan berapa banyak yang mendukung pernikahan sesama jenis? Sekarang, mari kita berpikir begini, cara berpikir tentang keadilan dan moralitas yang seperti apakah yang kita miliki yang mendasari pendapat kita tentang pernikahan? Penentang pernikahan sesama jenis berkata bahwa tujuan pernikahan pada dasarnya, adalah untuk beranak cucu dan hal itulah yang pantas untuk dihargai dan diakui dan dianjurkan. Dan pendukung pernikahan sesama jenis berkata tidak. Beranak cucu bukanlah tujuan tunggal dari pernikahan. Bagaimana tentang komitmen untuk saling mencintai seumur hidup? Itulah tujuan utama dari pernikahan. Jadi baik seruling, mobil golf, dan bahkan tentang pertanyaan yang lebih sengit diributkan seperti pernikahan sesama jenis, Aristoteles benar. Sangat sulit untuk berdebat tentang keadilan tanpa memperdebatkan tentang manfaat lembaga-lembaga sosial dan tentang kualitas yang pantas untuk dihormati dan dihargai.
So let's step back from these cases and see how they shed light on the way we might improve, elevate, the terms of political discourse in the United States, and for that matter, around the world. There is a tendency to think that if we engage too directly with moral questions in politics, that's a recipe for disagreement, and for that matter, a recipe for intolerance and coercion. So better to shy away from, to ignore, the moral and the religious convictions that people bring to civic life. It seems to me that our discussion reflects the opposite, that a better way to mutual respect is to engage directly with the moral convictions citizens bring to public life, rather than to require that people leave their deepest moral convictions outside politics before they enter. That, it seems to me, is a way to begin to restore the art of democratic argument.
Jadi marilah kita bercermin pada kasus-kasus ini dan lihat bagaimana mereka menyinari jalan kita untuk meningkatkan, mengangkat, wacana politik di Amerika Serikat, dan juga di seluruh dunia. Ada kecenderungan untuk berpikir jika kita terlalu terlibat langsung pada pertanyaan moral dalam politik, itu merupakan resep perselisihan, dan untuk masalah ini, resep bagi intoleransi dan pemaksaan. Jadi, lebih baik kita menghindar mengingkari, moral dan keyakinan agama yang dibawa ke kehidupan sehari-hari. Nampaknya diskusi kita menunjukkan sebaliknya, bahwa cara terbaik untuk saling menghormati adalah terlibat langsung dengan keyakinan moral yang dibawa dalam kehidupan sehari-hari daripada meminta orang-orang untuk meninggalkan keyakinan moral terdalam mereka di luar politik sebelum mereka masuk ke dalamnya. Bagi saya, inilah cara untuk mulai mengembalikan seni perdebatan demokratis.
Thank you very much.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)
Thank you very much. Thanks. Thank you. Chris. Thanks, Chris.
Terima kasih. Terima kasih. Chris. Terima kasih, Chris.
Chris Anderson: From flutes to golf courses to same-sex marriage -- that was a genius link. Now look, you're a pioneer of open education. Your lecture series was one of the first to do it big. What's your vision for the next phase of this?
Crhris Anderson: Dari seruling ke lapangan golf hingga pernikahan sesama jenis. Rantai hubungan yang jenius. Baiklah, anda adalah perintis pendidikan terbuka. Kuliah-kuliah anda adalah salah satu perintis yang berhasil. Apa visi anda untuk tahap berikutnya dari hal ini?
MS: Well, I think that it is possible. In the classroom, we have arguments on some of the most fiercely held moral convictions that students have about big public questions. And I think we can do that in public life more generally. And so my real dream would be to take the public television series that we've created of the course -- it's available now, online, free for everyone anywhere in the world -- and to see whether we can partner with institutions, at universities in China, in India, in Africa, around the world, to try to promote civic education and also a richer kind of democratic debate.
MS: Saya rasa hal ini dapat dilakukan. Di dalam kelas, kami beradu pendapat tentang hal yang paling seru keyakinan moral yang dimiliki oleh para mahasiswa tentang pertanyaan publik yang besar. Dan saya rasa kita juga dapat melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi mimpi saya adalah untuk menyiarkan perdebatan di televisi yang telah kita lakukan di dalam kuliah -- yang sudah tersedia sekarang, online, gratis untuk semua orang di mana saja -- dan agar kita dapat bekerjasama dengan lembaga, dengan universitas di Cina, di India, di Afrika, di seluruh dunia, untuk mendorong pendidikan sipil dan juga memperkaya debat demokratis.
CA: So you picture, at some point, live, in real time, you could have this kind of conversation, inviting questions, but with people from China and India joining in?
CA: Jadi di dalam gambaran anda, pada suatu hari, secara langsung, anda dapat mengadakan percakapan, mengundang pertanyaan, dengan orang-orang dari Cina dan India?
MS: Right. We did a little bit of it here with 1,500 people in Long Beach, and we do it in a classroom at Harvard with about 1,000 students. Wouldn't it be interesting to take this way of thinking and arguing, engaging seriously with big moral questions, exploring cultural differences and connect through a live video hookup, students in Beijing and Mumbai and in Cambridge, Massachusetts and create a global classroom. That's what I would love to do.
MS: Ya, kami melakukannya di sini dengan 1.500 orang di Long Beach, dan kita melakukannya dari ruang kelas di Harvard dengan sekitar 1.000 mahasiswa. Bukankah ini menarik mengambil cara berpikir dan berdebat terlibat serius dalam pertanyaan moral yang besar, menjelajahi perbedaan budaya dalam sebuah percakapan video, siswa di Beijing dan Mumbai dan di Cambridge, Massachusetts dan menciptakan ruang kelas global. Itulah yang saya ingin lakukan.
(Applause)
(Tepuk tangan)
CA: So, I would imagine that there are a lot of people who would love to join you in that endeavor. Michael Sandel. Thank you so much. (MS: Thanks so much.)
CA: Jadi, saya membayangkan ada banyak orang yang ingin bergabung dengan usaha anda tersebut. Michael Sandel. Terima kasih banyak. (MS: Terima kasih banyak.)