It's a simple idea about nature. I want to say a word for nature because we haven't talked that much about it the last couple days. I want to say a word for the soil and the bees and the plants and the animals, and tell you about a tool, a very simple tool that I have found. Although it's really nothing more than a literary conceit; it's not a technology. It's very powerful for, I think, changing our relationship to the natural world and to the other species on whom we depend. And that tool is very simply, as Chris suggested, looking at us and the world from the plants' or the animals' point of view. It's not my idea, other people have hit on it, but I've tried to take it to some new places.
Ini adalah ide sederhana tentang alam dan saya ingin berbicara tentang alam karena selama beberapa hari ini kita tidak banyak membicarakannya. Saya ingin berbicara tentang tanah, lebah, dan flora dan fauna. Dan memberi tahu anda sebuah alat, alat sangat sederhana yang saya temukan. Sebenarnya alat ini tak lebih dari sebuah konsep pikiran -- ini bukanlah teknologi -- tapi menurut saya alat ini kuat, untuk mengubah hubungan kita dengan alam dan pada spesies lain yang kita butuhkan. Dan alat itu, sederhananya adalah, seperti yang disarankan Chris, melihat diri kita sendiri dari sudut pandang flora dan fauna. Ini bukan ide saya, orang lain sudah mengungkapkannya, tapi saya coba menggunakannya untuk hal baru.
Let me tell you where I got it. Like a lot of my ideas, like a lot of the tools I use, I found it in the garden; I'm a very devoted gardener. And there was a day about seven years ago: I was planting potatoes, it was the first week of May -- this is New England, when the apple trees are just vibrating with bloom; they're just white clouds above. I was here, planting my chunks, cutting up potatoes and planting it, and the bees were working on this tree; bumblebees, just making this thing vibrate.
Mari saya ceritakan di mana saya menemukannya. Seperti kebanyakan ide dan alat-alat yang saya pakai, saya menemukannya di kebun. Saya seorang tukang kebun yang tekun. Dan suatu hari sekitar tujuh tahun yang lalu, saya sedang menanam kentang. Waktu itu minggu pertama bulan Mei. Rumah saya di New England, itu saatnya pohon apel berbunga dengan semarak. Seperti awan putih di atas saya. Saya di sini, menanam potongan-potongan itu, memotong-motong kentang dan menanamnya. Lebah-lebah mengerumuni pohon apel ini. Lebah madu, yang berdengung-dengung.
And one of the things I really like about gardening is that it doesn't take all your concentration, you really can't get hurt -- it's not like woodworking -- and you have plenty of kind of mental space for speculation. And the question I asked myself that afternoon in the garden, working alongside that bumblebee, was: what did I and that bumblebee have in common? How was our role in this garden similar and different? And I realized we actually had quite a bit in common: both of us were disseminating the genes of one species and not another, and both of us -- probably, if I can imagine the bee's point of view -- thought we were calling the shots. I had decided what kind of potato I wanted to plant -- I had picked my Yukon Gold or Yellow Finn, or whatever it was -- and I had summoned those genes from a seed catalog across the country, brought it, and I was planting it. And that bee, no doubt, assumed that it had decided, "I'm going for that apple tree, I'm going for that blossom, I'm going to get the nectar and I'm going to leave."
Salah satu hal yang sangat saya suka dari berkebun adalah berkebun tidak mengambil seluruh konsentrasi anda. Anda tak akan cedera. Ini tidak seperti pekerjaan tukang kayu. Dan anda bisa -- anda punya banyak ruang pikiran untuk berspekulasi. Dan pertanyaan untuk diri saya sendiri siang itu di kebun adalah -- bekerja di samping para lebah madu itu -- adalah: Apa persamaan antara saya dan lebah madu itu? Bagaimana persamaan dan perbedaan peran kami di kebun ini? Saya menyadari bahwa kami punya beberapa kesamaan. Kami berdua menyebarkan gen satu spesies saja dan tidak yang lain. Dan kami berdua, mungkin saja, bila saya dapat membayangkan sudut pandang lebah, berpikir bahwa kamilah yang membuat keputusan di sini. Saya memutuskan kentang jenis apa yang mau saya tanam. Saya pilih jenis Emas Yukon atau Finn Kuning, atau apapun lainnya. Dan saya mengumpulkan gen-gen ini dari sebuah katalog benih nasional, membawanya ke sini, dan menanamnya. Lebah itu, pastinya, menganggap bahwa dia telah memutuskan, saya akan pergi ke pohon apel itu, pergi ke bunga itu, saya akan mengambil nektarnya dan pergi.
We have a grammar that suggests that's who we are; that we are sovereign subjects in nature, the bee as well as me. I plant the potatoes, I weed the garden, I domesticate the species. But that day, it occurred to me: what if that grammar is nothing more than a self-serving conceit? Because, of course, the bee thinks he's in charge or she's in charge, but we know better. We know that what's going on between the bee and that flower is that bee has been cleverly manipulated by that flower. And when I say manipulated, I'm talking about in a Darwinian sense, right? I mean it has evolved a very specific set of traits -- color, scent, flavor, pattern -- that has lured that bee in. And the bee has been cleverly fooled into taking the nectar, and also picking up some powder on its leg, and going off to the next blossom. The bee is not calling the shots. And I realized then, I wasn't either.
Kita punya pemikiran bahwa kita tahu siapa diri kita, bahwa kita adalah penguasa di alam, lebah itu dan juga saya. Saya menanam kentang, saya menyiangi kebun, saya menernakkan hewan. Tapi terjadi sesuatu pada saya hari itu, bagaimana bila pemikiran itu tak lebih dari pendapat menyombongkan diri sendiri? Karena pasti lebah itu berpikir dia yang berkuasa. Dan -- tapi kita tahu lebih dari itu. Kita tahu apa yang terjadi antara lebah dan bunga itu adalah bahwa lebah ditipu dengan cerdiknya oleh bunga itu. Dan ketika saya bilang ditipu, saya berbicara dalam pengertian Darwinian, ya kan? Maksud saya bunga itu telah mengembangkan kumpulan sifat yang khas -- warna, wangi, rasa, pola -- yang telah memancing lebah itu datang. Dan lebah itu ditipu dengan cerdiknya untuk mengambil nektar, sekaligus membawa sebagian tepung sari di kakinya, dan pergi ke bunga lain. Lebah itu bukan pemimpin di sana. Lalu saya sadar, saya juga bukan pemimpin di sini.
I had been seduced by that potato and not another into planting its -- into spreading its genes, giving it a little bit more habitat. And that's when I got the idea, which was, "Well, what would happen if we kind of looked at us from this point of view of these other species who are working on us?" And agriculture suddenly appeared to me not as an invention, not as a human technology, but as a co-evolutionary development in which a group of very clever species, mostly edible grasses, had exploited us, figured out how to get us to basically deforest the world. The competition of grasses, right? And suddenly everything looked different. And suddenly mowing the lawn that day was a completely different experience.
Saya telah dibujuk oleh kentang itu, bukan lainnya, untuk menanamnya -- untuk menyebarkan gennya, memberikan tempat hidup baginya. Ketika saya mendapatkan gagasan itu -- apa yang akan terjadi bila kita melihat diri kita dari sudut pandang spesies lain yang mempekerjakan kita? Tiba-tiba pertanian nampak bukan sebagai penemuan, bukan teknologi manusia, tapi perkembangan ko-evolusioner di mana sekelompok spesies sangat cerdas, terutama rumput yang dapat dimakan, telah mengeksploitasi kita, mereka menemukan cara membuat kita membersihkan hutan. Ingat kompetisi antar rumput kan? Tiba-tiba semuanya terlihat berbeda. Tiba-tiba memotong rumput halaman jadi pengalaman yang sangat berbeda hari itu.
I had thought always -- and in fact, had written this in my first book; this was a book about gardening -- that lawns were nature under culture's boot, that they were totalitarian landscapes, and that when we mowed them we were cruelly suppressing the species and never letting it set seed or die or have sex. And that's what the lawn was. But then I realized, "No, this is exactly what the grasses want us to do. I'm a dupe. I'm a dupe of the lawns, whose goal in life is to outcompete the trees, who they compete with for sunlight." And so by getting us to mow the lawn, we keep the trees from coming back, which in New England happens very, very quickly.
Saya selalu berpikir bahwa -- bahkan saya tulis ini di buku pertama saya -- itu buku tentang berkebun -- halaman rumput adalah alam yang ditindas oleh budaya manusia. Halaman rumput adalah pemandangan totaliter. Ketika kita memotongnya kita sedang menekan spesies itu dengan kejam tidak membiarkannya berbiji, atau mati, atau berhubungan seks. Itulah halaman rumput yang sebenarnya. Tapi lalu saya menyadari, "Tidak, inilah yang sebenarnya diinginkan rumput-rumput itu dari kita. Saya dibodohi. Saya dibodohi rumput-rumput itu, yang tujuan hidupnya adalah mengalahkan pohon, yang bersaing berebut sinar matahari dengan mereka." Dengan membuat kita memotong rumput, kita membuat pohon-pohon tidak tumbuh, yang terjadi di New England dengan sangat-sangat cepat.
So I started looking at things this way and wrote a whole book about it called "The Botany of Desire." And I realized that in the same way you can look at a flower and deduce all sorts of interesting things about the taste and the desires of bees -- that they like sweetness, that they like this color and not that color, that they like symmetry -- what could we find out about ourselves by doing the same thing? That a certain kind of potato, a certain kind of drug, a sativa-indica Cannabis cross has something to say about us. And that, wouldn't this be kind of an interesting way to look at the world?
Jadi saya mulai melihat banyak hal dengan cara ini, dan menulis buku tentang itu semua berjudul "The Botany of Desire." (Hasrat Botani) Saya menyadari bahwa anda dapat melihat bunga dengan cara yang sama dan menyimpulkan semua hal menarik tentang selera dan hasrat lebah madu, bahwa mereka suka kemanisannya, dan mereka suka warna ini dan bukannya itu, bahwa mereka suka simetri. Apa yang dapat kita temukan tentang diri kita dengan melakukan hal serupa? Bahwa jenis kentang tertentu, jenis obat tertentu, silangan sativa-indica-cannabis punya cerita untuk diberitahukan pada kita. Bukankah ini akan jadi cara yang menarik untuk melihat dunia?
Now, the test of any idea -- I said it was a literary conceit -- is what does it get us? And when you're talking about nature, which is really my subject as a writer, how does it meet the Aldo Leopold test? Which is, does it make us better citizens of the biotic community? Get us to do things that leads to the support and perpetuation of the biota, rather than its destruction? And I would submit that this idea does this. So, let me go through what you gain when you look at the world this way, besides some entertaining insights about human desire.
Sekarang, ujian untuk semua gagasan -- saya tadi bilang ini adalah konsep pikiran -- apa gunanya bagi kita? Dan ketika anda berbicara tentang alam, yang merupakan subyek saya sebagai penulis, bagaimana -- apakah ide itu lulus tes Aldo Leopold? Yaitu, apakah ide itu membuat kita menjadi bagian komunitas makhluk hidup yang lebih baik? Membuat kita melakukan hal yang mendukung dan memperbanyak biota, daripada menghancurkannya? Saya yakin ide ini lulus tes tersebut. Maka biarkan saya memberi tahu apa yang anda dapat ketika melihat dunia dengan cara ini, di samping, anda tahu, berita menghibur tentang keinginan manusia.
As an intellectual matter, looking at the world from other species' points of view helps us deal with this weird anomaly, which is -- and this is in the realm of intellectual history -- which is that we have this Darwinian revolution 150 years ago ... Ugh. Mini-Me. (Laughter) We have this intellectual, this Darwinian revolution in which, thanks to Darwin, we figured out we are just one species among many; evolution is working on us the same way it's working on all the others; we are acted upon as well as acting; we are really in the fiber, the fabric of life. But the weird thing is, we have not absorbed this lesson 150 years later; none of us really believes this. We are still Cartesians -- the children of Descartes -- who believe that subjectivity, consciousness, sets us apart; that the world is divided into subjects and objects; that there is nature on one side, culture on another. As soon as you start seeing things from the plant's point of view or the animal's point of view, you realize that the real literary conceit is that -- is the idea that nature is opposed to culture, the idea that consciousness is everything -- and that's another very important thing it does.
Secara ilmiah, melihat dunia melalui kacamata spesies lain membantu kita menghadapi anomali aneh, yang menjelaskan -- dan ini berada di dalam sejarah intelektual -- yang menjelaskan mengapa kita mengalami revolusi Darwin 150 tahun lalu -- Uh. Ada saya -- kita punya revolusi intelektual Darwin, terima kasih pada Darwin, yang membuat kita menemukan bahwa kita hanyalah satu di antara banyak spesies. Evolusi sedang terjadi pada kita sama halnya sedang terjadi pada makhluk lain. Selain bertindak kita juga dikenai tindakan. Kita benar-benar adalah benang di dalam tenunan kehidupan ini. Tapi hal yang anehnya, kita tidak -- kita belum menyerap pelajaran selama 150 tahun terakhir. Tidak ada dari kita yang benar-benar mempercayainya. Kita masih kelompok Kartesian -- anak-anak Descartes -- yang percaya bahwa subyektivitas dan kesadaran diri, membedakan kita dari makhluk lain. Dunia ini dibagi menjadi subyek dan obyek. Ada alam di satu sisi, dan budaya di sisi lainnya. Segera setelah anda mulai melihat semua hal dari sudut pandang tanaman atau hewan, anda sadar bahwa itulah konsep pemikiran sebenarnya. Inilah -- gagasan bahwa alam bertentangan dengan budaya manusia. Gagasan bahwa kesadaran diri adalah segalanya. Dan itu adalah hal penting lain yang terbentuk karenanya.
Looking at the world from other species' points of view is a cure for the disease of human self-importance. You suddenly realize that consciousness -- which we value and we consider the crowning achievement of nature, human consciousness -- is really just another set of tools for getting along in the world. And it's kind of natural that we would think it was the best tool. But, you know, there's a comedian who said, "Well, who's telling me that consciousness is so good and so important? Well, consciousness." So when you look at the plants, you realize that there are other tools and they're just as interesting.
Melihat dunia melalui sudut pandang spesies lain adalah obat dari penyakit mementingkan diri yang dialami manusia. Anda tiba-tiba sadar bahwa kesadaran, yang kita hargai dan kita anggap, anda tahu, mahkota -- mahkota pencapaian alam, kesadaran manusia adalah hanya perangkat lain untuk hidup bersama di dunia. Dan memang alamiah untuk kita berpikir itu adalah alat yang terbaik. Tapi, seperti yang anda tahu, layaknya -- ada komedian yang berkata, "Baiklah, siapa yang bilang bahwa kesadaran itu sangat baik dan penting? Hmm, kesadaran sendiri." Jadi, ketika anda lihat tanaman, anda menyadari bahwa mereka adalah alat lain, dan mereka sama menariknya.
I'll give you two examples, also from the garden: lima beans. You know what a lima bean does when it's attacked by spider mites? It releases this volatile chemical that goes out into the world and summons another species of mite that comes in and attacks the spider mite, defending the lima bean. So what plants have -- while we have consciousness, tool making, language, they have biochemistry. And they have perfected that to a degree far beyond what we can imagine. Their complexity, their sophistication, is something to really marvel at, and I think it's really the scandal of the Human Genome Project. You know, we went into it thinking, 40,000 or 50,000 human genes and we came out with only 23,000. Just to give you grounds for comparison, rice: 35,000 genes. So who's the more sophisticated species? Well, we're all equally sophisticated. We've been evolving just as long, just along different paths. So, cure for self-importance, way to sort of make us feel the Darwinian idea. And that's really what I do as a writer, as a storyteller, is try to make people feel what we know and tell stories that actually help us think ecologically.
Saya akan beri dua contoh, juga dari kebun. Kacang lima. Anda tahu apa yang dilakukan kacang lima saat diserang kutu laba-laba? Dia melepaskan senyawa kimia volatil ke mana-mana dan memanggil spesies kutu lain yang datang dan menyerang kutu laba-laba, melindungi kacang lima itu. Jadi apa yang tumbuhan punya, ketika kita punya kesadaran, kemampuan membuat alat, berbahasa, tanaman punya kemampuan biokimia. Dan mereka telah menyempurnakannya sampai tahap yang tak bisa lagi kita bayangkan. Kerumitannya, kecanggihannya, adalah sesuatu yang perlu dikagumi. Saya pikir inilah skandal Proyek Genom Manusia. Anda tahu, kita berpikir ada 40 atau 50 ribu gen manusia. Ternyata dari hasilnya hanya ada 23 ribu. Untuk perbandingan saja, padi: 35 ribu gen. Jadi spesies mana yang lebih canggih? Baiklah, kita semua sama canggihnya. Kita masih berevolusi -- berevolusi sepanjang waktu yang sama, hanya melalui jalur yang berbeda. Jadi, obat untuk penyakit mementingkan diri sendiri, cara membuat kita merasakan ide Darwin. Itulah yang saya lakukan sebagai penulis dan sebagai pencerita, berusaha membuat orang-orang merasakan apa yang kita ketahui dan menceritakan hal yang membuat kita -- membantu kita berpikir secara ekologis.
Now, the other use of this is practical. And I'm going to take you to a farm right now, because I used this idea to develop my understanding of the food system and what I learned, in fact, is that we are all, now, being manipulated by corn. And the talk you heard about ethanol earlier today, to me, is the final triumph of corn over good sense. (Laughter) (Applause) It is part of corn's scheme for world domination. (Laughter) And you will see, the amount of corn planted this year will be up dramatically from last year and there will be that much more habitat because we've decided ethanol is going to help us.
Sekarang, kegunaan lain hal ini adalah hal praktis. Saya akan berbicara -- saya akan membawa anda ke sebuah pertanian sekarang. Saya menggunakan ide ini untuk mengembangkan pemahaman saya tentang sistem pangan dan apa yang saya pelajari, adalah kita terbukti ditipu oleh jagung sekarang. Ceramah tentang etanol yang anda dengar tadi pagi, bagi saya adalah puncak kemenangan jagung atas akal sehat. (Tawa) Hal itu adalah bagian -- (Tepuk tangan) dari rencana jagung untuk menguasai dunia. (Tawa) Anda akan lihat jumlah jagung yang ditanam tahun ini akan jauh lebih banyak dari tahun lalu, dan akan ada habitat jagung yang jauh lebih banyak, karena kita telah memutuskan bahwa etanol akan membantu kita.
So it helped me understand industrial agriculture, which of course is a Cartesian system. It's based on this idea that we bend other species to our will and that we are in charge, and that we create these factories and we have these technological inputs and we get the food out of it or the fuel or whatever we want. Let me take you to a very different kind of farm.
Jadi -- biarkan saya -- sebab hal itu membantu saya memahami pertanian industri, yang jelas-jelas merupakan sistem Kartesian. Hal itu didasarkan pada ide bahwa kita memaksa spesies lain memenuhi keinginan kita, bahwa kitalah yang memegang kepemimpinan dan kita yang membuat pabrik-pabrik itu, dan kita yang punya teknologi, dan kita mendapat makanan dari sana, atau bahan bakar, atau apapun yang kita mau. Saya akan membawa anda ke pertanian yang sangat berbeda.
This is a farm in the Shenandoah Valley of Virginia. I went looking for a farm where these ideas about looking at things from the species' point of view are actually implemented, and I found it in a man. The farmer's name is Joel Salatin. And I spent a week as an apprentice on his farm, and I took away from this some of the most hopeful news about our relationship to nature that I've ever come across in 25 years of writing about nature. And that is this: the farm is called Polyface, which means ... the idea is he's got six different species of animals, as well as some plants, growing in this very elaborate symbiotic arrangement.
Ini adalah pertanian di Lembah Shenandoah di Virginia. Saya mencari pertanian yang menerapkan ide untuk melihat segalanya dari sudut pandang spesies lain. Dan saya menemukannya di seorang lelaki, nama petani itu Joel Salatin, dan saya menghabiskan seminggu sebagai murid di pertaniannya. Saya mendapat berita tentang hubungan kita dan alam, yang paling menumbuhkan harapan sejak saya mulai menulis tentang alam 25 tahun yang lalu. Inilah dia. Pertanian itu dinamakan Polyface. Yang berarti -- dia punya enam spesies binatang yang berbeda, juga beberapa tanaman, yang hidup dengan tatanan simbiosis yang sangat rumit.
It's permaculture, those of you who know a little bit about this, such that the cows and the pigs and the sheep and the turkeys and the ... what else does he have? All the six different species -- rabbits, actually -- are all performing ecological services for one another, such that the manure of one is the lunch for the other and they take care of pests for one another. It's a very elaborate and beautiful dance, but I'm going to just give you a close-up on one piece of it, and that is the relationship between his cattle and his chickens, his laying hens. And I'll show you, if you take this approach, what you get, OK? And this is a lot more than growing food, as you'll see; this is a different way to think about nature and a way to get away from the zero-sum notion, the Cartesian idea that either nature's winning or we're winning, and that for us to get what we want, nature is diminished.
Itulah permakultur, bagi mereka yang tahu sedikit tentang ini, jadinya ada sapi, ada babi, ada domba, ada kalkun, dan -- apalagi, apalagi yang dia punya? Semua keenam spesies berbeda itu -- oh ya, kelinci -- saling melakukan pelyanan ekologi untuk satu sama lain, sehingga kotoran satu spesies menjadi makanan spesies lainnya dan mereka saling mengendalikan hama satu sama lain. Dan saya tak bisa (menjelaskannya) -- sangat rumit dan layaknya tarian yang indah tapi saya akan coba memberikan anda rincian di satu bagian kecilnya saja. Dan ini adalah tentang hubungan antara sapi dan ayam di sana, ayam petelur. Saya akan menunjukkan apa yang anda dapat kalau menggunakan pendekatan ini, oke? Anda akan lihat, ini lebih dari sekedar menghasilkan bahan pangan. Ini adalah jalan berpikir berbeda terhadap alam, dan jalan untuk pergi dari pemikiran impas -- gagasan Kartesian tentang apakah alam yang menang atau kita yang menang dan dengan cara itu, untuk memenuhi keinginan kita, alam akan berkurang.
So, one day, cattle in a pen. The only technology involved here is this cheap electric fencing: relatively new, hooked to a car battery; even I could carry a quarter-acre paddock, set it up in 15 minutes. Cows graze one day. They move, OK? They graze everything down, intensive grazing. He waits three days, and then we towed in something called the Eggmobile. The Eggmobile is a very rickety contraption -- it looks like a prairie schooner made out of boards -- but it houses 350 chickens. He tows this into the paddock three days later and opens the gangplank, turns them down, and 350 hens come streaming down the gangplank -- clucking, gossiping as chickens will -- and they make a beeline for the cow patties.
Jadi suatu hari di sana, sapi-sapi di kandang. Satu-satunya teknologi yang terlibat di sini adalah pagar listrik yang murah, cukup baru, disambungkan ke baterai mobil. Bahkan saya saja dapat membawa pagar untuk lahan seribu meter persegi, dan memasangnya dalam 15 menit. Sapi-sapi merumput untuk satu hari. Lalu mereka pindah, oke? Mereka memakan semua rumput di sana -- penggembalaan intensif. Dia menunggu tiga hari. Lalu dia membawa sesuatu yang disebut eggmobile. Eggmobile itu sebuah kandang yang sangat rapuh. Terlihat seperti kapal yang terbuat dari papan di padang rumput, tapi di dalamnya tinggal 350 ekor ayam. Dia menarik kandang itu ke tempat gembala tiga hari kemudian dan membuka pintunya, lalu 350 ekor ayam keluar lewat pintu kandang itu -- bersuara dan bermain semau mereka. Mereka langsung menuju kotoran-kotoran sapi yang ada.
And what they're doing is very interesting: they're digging through the cow patties for the maggots, the grubs, the larvae of flies. And the reason he's waited three days is because he knows that on the fourth day or the fifth day, those larvae will hatch and he'll have a huge fly problem. But he waits that long to grow them as big and juicy and tasty as he can because they are the chickens' favorite form of protein.
Apa yang mereka lakukan sangat menarik. Mereka menggali kotoran-kotoran sapi itu untuk mendapatkan belatung, larva-larva lalat. Dan alasannya dia menunggu tiga hari karena dia tahu pada hari keempat atau kelima larva-larva itu akan menjadi lalat, dan mereka akan punya masalah lalat yang parah. Dia menunggu cukup lama agar larva-larva itu besar, berair, dan lezat sebab larva-larva itu adalah sumber protein favorit bagi ayam.
So the chickens do their kind of little breakdance and they're pushing around the manure to get at the grubs, and in the process they're spreading the manure out. Very useful second ecosystem service. And third, while they're in this paddock they are, of course, defecating madly and their very nitrogenous manure is fertilizing this field. They then move out to the next one, and in the course of just a few weeks, the grass just enters this blaze of growth. And within four or five weeks, he can do it again. He can graze again, he can cut, he can bring in another species, like the lambs, or he can make hay for the winter.
Jadi ayam-ayam itu semacam menari-nari, dan mereka mengais-ngais kotoran sapi untuk mendapatkan belatung, dalam proses itu mereka meratakan kotoran sapi di lahan tersebut. Sangat berguna. Itu pelayanan lingkungan yang kedua. Ketiga, ketika mereka ada di lahan gembala ini, tentu saja mereka berak semau mereka kotoran mereka yang kaya nitrogen menyuburkan tempat ini. Lalu mereka pergi ke tempat selanjutnya, dalam beberapa minggu rumput-rumput di sana akan tumbuh cepat. Dan dalam empat atau lima minggu, Joel dapat mengulangi proses itu. Dia dapat menggembalakan sapi lagi, atau memotong rumputnya, atau membawa spesies lain, seperti domba, atau dia dapat membuat jerami untuk musim dingin.
Now, I want you to just look really close up onto what's happened there. So, it's a very productive system. And what I need to tell you is that on 100 acres he gets 40,000 pounds of beef; 30,000 pounds of pork; 25,000 dozen eggs; 20,000 broilers; 1,000 turkeys; 1,000 rabbits -- an immense amount of food.
Sekarang, saya mau anda melihat lebih dekat apa yang terjadi di sana. Itu adalah sistem yang sangat produktif. Yang perlu saya beritahu pada anda adalah di lahan 40 hektar itu dia mendapatkan 18,1 ton daging sapi, 13,6 ton daging babi, 37,5 ton telur ayam, 20.000 ekor ayam potong, 1.000 kalkun, 1.000 kelinci -- makanan yang sangat banyak.
You know, you hear, "Can organic feed the world?" Well, look how much food you can produce on 100 acres if you do this kind of ... again, give each species what it wants, let it realize its desires, its physiological distinctiveness. Put that in play.
Anda pernah dengar, "Dapatkah sistem organik memberi makan dunia?" Baiklah, lihat berapa banyak yang bisa anda dapatkan dari 40 hektar lahan dengan cara ini -- sekali lagi, berikan pada tiap spesies hewan itu yang mereka inginkan. Biarkan mereka mendapat keinginannya, yang unik secara fisiologis. Masukkan itu dalam prosesnya.
But look at it from the point of view of the grass, now. What happens to the grass when you do this? When a ruminant grazes grass, the grass is cut from this height to this height, and it immediately does something very interesting. Any one of you who gardens knows that there is something called the root-shoot ratio, and plants need to keep the root mass in some rough balance with the leaf mass to be happy. So when they lose a lot of leaf mass, they shed roots; they kind of cauterize them and the roots die. And the species in the soil go to work basically chewing through those roots, decomposing them -- the earthworms, the fungi, the bacteria -- and the result is new soil. This is how soil is created. It's created from the bottom up. This is how the prairies were built, the relationship between bison and grasses.
Tapi coba sekarang kita lihat dari sudut pandang rumput. Apa yang terjadi pada rumput saat anda melakukan sistem ini? Ketika hewan memamah biak makan rumput, rumput itu terpotong antara tinggi sekian sampai sekian. Dan rumput segera melakukan hal yang sangat menarik. Anda yang berkebun tahu ada sesuatu yang disebut rasio akar-tunas. Tanaman perlu menjaga massa akarnya kurang lebih seimbang dengan massa daunnya agar mereka sehat. Jadi ketika mereka kehilangan banyak daun, mereka menggugurkan akar. Semacam menghentikan pasokan, dan akarnya akan mati. Spesies yang ada dalam tanah akan bekerja, mengunyah akar-akar mati itu, menguraikan mereka -- cacing tanah, jamur, bakteri -- hasilnya adalah tanah yang baru. Begitulah bagaimana tanah terbuat. Tanah terbuat dari bawah ke atas. Beginilah proses terbentuknya padang rumput, hubungan antara bison dan rumput.
And what I realized when I understood this -- and if you ask Joel Salatin what he is, he'll tell you he's not a chicken farmer, he's not a sheep farmer, he's not a cattle rancher; he's a grass farmer, because grass is really the keystone species of such a system -- is that, if you think about it, this completely contradicts the tragic idea of nature we hold in our heads, which is that for us to get what we want, nature is diminished. More for us, less for nature. Here, all this food comes off this farm, and at the end of the season there is actually more soil, more fertility and more biodiversity.
Saya menyadari sesuatu ketika mengerti hal ini -- bila Anda tanya Joel Salatin siapa dirinya, dia akan memberi tahu anda dia bukan peternak ayam, dia bukan peternak domba, bukan penggembala sapi, dia adalah petani rumput, karena rumput adalah spesies paling penting dari sistem tersebut -- bila anda memikirkan itu, gagasan itu berlawanan dengan ide tragis tentang alam yang ada di kepala kita, yaitu untuk mendapat apa yang kita inginkan, alam akan berkurang. Makin banyak untuk kita, makin sedikit untuk alam. Banyak makanan yang dihasilkan pertanian ini, dan di akhir musim ada lebih banyak tanah, lebih subur dan lebih beragam.
It's a remarkably hopeful thing to do. There are a lot of farmers doing this today. This is well beyond organic agriculture, which is still a Cartesian system, more or less. And what it tells you is that if you begin to take account of other species, take account of the soil, that even with nothing more than this perspectival idea -- because there is no technology involved here except for those fences, which are so cheap they could be all over Africa in no time -- that we can take the food we need from the Earth and actually heal the Earth in the process.
Hal itu adalah hal baik yang perlu dilakukan. Ada banyak petani yang menerapkan ini belakangan. Hal ini lebih jauh dibanding pertanian organik, yang kurang lebih masih merupakan sistem Kartesian. Dan apa pesan moralnya adalah jika anda mulai memikirkan spesies lain, memikirkan keadaan tanah, cukup dengan ide dan cara pandang yang baru ini -- karena tak ada teknologi selain pagar itu yang terlibat, yang mungkin, anda tahu, pagar itu juga bisa sangat murah dan bisa diterapkan di seantero Afrika dalam waktu singkat -- maka anda bisa, kita bisa mendapatkan makanan yang kita butuhkan dari Bumi, dan menyembuhkan Bumi dalam proses tersebut.
This is a way to reanimate the world, and that's what's so exciting about this perspective. When we really begin to feel Darwin's insights in our bones, the things we can do with nothing more than these ideas are something to be very hopeful about.
Ini adalah jalan untuk menghidupkan kembali dunia kita. Itulah yang sangat menarik dari perspektif ini. Ketika kita benar-benar mulai merasakan pemikiran Darwin, hal-hal yang dapat kita lakukan dengan ide sederhana ini adalah hal-hal yang sangat bisa diharapkan.
Thank you very much.
Terima kasih banyak.