Every day, I listen to harrowing stories of people fleeing for their lives, across dangerous borders and unfriendly seas. But there's one story that keeps me awake at night, and it's about Doaa.
Setiap hari, saya mendengar kisah seram orang yang melarikan diri demi hidup, melintasi perbatasan berbahaya dan lautan yang ganas. Tapi ada satu kisah yang selalu membuat saya terjaga di malam hari, yaitu tentang Doaa.
A Syrian refugee, 19 years old, she was living a grinding existence in Egypt working day wages. Her dad was constantly thinking of his thriving business back in Syria that had been blown to pieces by a bomb. And the war that drove them there was still raging in its fourth year. And the community that once welcomed them there had become weary of them. And one day, men on motorcycles tried to kidnap her. Once an aspiring student thinking only of her future, now she was scared all the time.
Seorang pengungsi Suriah usia 19 tahun, ia hidup susah di Mesir sebagai pekerja upah harian. Ayahnya selalu memikirkan bisnisnya yang sukses di Suriah yang hancur berkeping-keping karena ledakan bom. Dan perang yang membawa mereka ke sana masih berlangsung setelah 4 tahun berlalu. Dan masyarakat yang pada awalnya menerima mereka di sana sudah lelah akan keberadaan mereka. Suatu hari, beberapa pria bermotor mencoba menculiknya. Ia yang dulunya seorang siswi cemerlang yang hanya berpikir tentang masa depan, sekarang ketakutan setiap saat.
But she was also full of hope, because she was in love with a fellow Syrian refugee named Bassem. Bassem was also struggling in Egypt, and he said to Doaa, "Let's go to Europe; seek asylum, safety. I will work, you can study -- the promise of a new life." And he asked her father for her hand in marriage.
Tapi ia juga penuh dengan harapan, karena ia jatuh cinta pada sesama pengungsi Suriah bernama Bassem. Bassem juga berjuang di Mesir, dan ia berkata pada Doaa, "Ayo kita ke Eropa; kita cari suaka, keamanan. Aku akan bekerja, kau bisa belajar -- sebuah hidup baru yang menjanjikan." Dan ia meminang Doaa.
But they knew to get to Europe they had to risk their lives, traveling across the Mediterranean Sea, putting their hands in smugglers', notorious for their cruelty. And Doaa was terrified of the water. She always had been. She never learned to swim.
Tapi mereka tahu, untuk mencapai Eropa mereka harus mempertaruhkan hidup mereka, menyeberangi Laut Mediterania, menyerahkan hidup mereka di tangan penyelundup yang terkenal kejam. Dan Doaa takut lautan. Ia takut lautan sejak dulu. Ia tak pernah belajar berenang.
It was August that year, and already 2,000 people had died trying to cross the Mediterranean, but Doaa knew of a friend who had made it all the way to Northern Europe, and she thought, "Maybe we can, too." So she asked her parents if they could go, and after a painful discussion, they consented, and Bassem paid his entire life savings -- 2,500 dollars each -- to the smugglers.
Waktu itu bulan Agustus, dan sudah ada 2,000 orang yang tewas mencoba menyeberangi Laut Mediterania, tapi Doaa kenal seorang teman yang berhasil sampai ke Eropa Utara, dan ia berpikir, "Mungkin kita juga bisa." Jadi ia minta izin pada orangtuanya untuk pergi, dan setelah perdebatan melelahkan, orangtuanya merestui, dan Bassem membayar dengan seluruh tabungan hidupnya, 2,500 dolar per orang, kepada penyelundup.
It was a Saturday morning when the call came, and they were taken by bus to a beach, hundreds of people on the beach. They were taken then by small boats onto an old fishing boat, 500 of them crammed onto that boat, 300 below, [200] above. There were Syrians, Palestinians, Africans, Muslims and Christians, 100 children, including Sandra -- little Sandra, six years old -- and Masa, 18 months. There were families on that boat, crammed together shoulder to shoulder, feet to feet. Doaa was sitting with her legs crammed up to her chest, Bassem holding her hand.
Hari Sabtu pagi sewaktu mereka dihubungi, dan mereka dibawa dengan bus ke pantai, ada ratusan orang di sana. Lalu mereka dibawa dengan perahu kecil ke sebuah kapal pancing yang sudah tua, 500 orang berdesakan di kapal itu, 300 di bawah, 500 di atas. Mereka adalah orang Suriah, Palestina, Afrika, Muslim dan Kristen, 100 anak, termasuk juga Sandra -- Sandra kecil, berusia enam tahun -- dan Masa, 18 bulan. Ada juga keluarga di kapal itu, dengan bahu saling berdesakan, dan kaki saling berimpitan. Doaa duduk dengan kaki terlipat pada dadanya, Bassem menggenggam tangannya.
Day two on the water, they were sick with worry and sick to their stomachs from the rough sea.
Hari kedua di lautan, mereka penuh dengan kecemasan dan juga merasa mual karena terus diguncang di lautan.
Day three, Doaa had a premonition. And she said to Bassem, "I fear we're not going to make it. I fear the boat is going to sink." And Bassem said to her, "Please be patient. We will make it to Sweden, we will get married and we will have a future."
Hari ketiga, Doaa punya firasat. Dan ia berkata pada Bassem, "Aku takut kita tak akan berhasil. Aku takut kapalnya akan tenggelam." Dan Bassem berkata padanya, "Bersabarlah. Kita akan berhasil sampai ke Swedia, kita akan menikah dan kita akan punya masa depan."
Day four, the passengers were getting agitated. They asked the captain, "When will we get there?" He told them to shut up, and he insulted them. He said, "In 16 hours we will reach the shores of Italy." They were weak and weary. Soon they saw a boat approach -- a smaller boat, 10 men on board, who started shouting at them, hurling insults, throwing sticks, asking them to all disembark and get on this smaller, more unseaworthy boat. The parents were terrified for their children, and they collectively refused to disembark. So the boat sped away in anger, and a half an hour later, came back and started deliberately ramming a hole in the side of Doaa's boat, just below where she and Bassem were sitting. And she heard how they yelled, "Let the fish eat your flesh!" And they started laughing as the boat capsized and sank.
Hari keempat, penumpang mulai gelisah. Mereka bertanya pada kaptennya, "Kapan kita akan sampai?" Ia menyuruh mereka diam, dan mencela mereka. Katanya, "Dalam 16 jam, kita akan sampai di pesisir Italia." Mereka lemah dan lelah. Tak lama, mereka lihat ada kapal datang -- kapalnya lebih kecil, ada 10 orang di sana yang mulai berteriak pada mereka, melontarkan hinaan, melempari mereka dengan tongkat, menyuruh mereka semua untuk turun dan pindah ke kapal yang lebih kecil dan tak layak itu. Para orangtua takut akan keselamatan anak-anak mereka, dan mereka semua menolak untuk turun. Maka kapal itu pergi dengan marah, dan setengah jam kemudian kembali dan mulai menusuk kapal yang dinaiki Doaa, membuat lubang di sisi kapal, tepat di bawah tempat ia dan Bassem duduk. Dan ia mendengar mereka berteriak, "Biar ikan memakan daging kalian!" Dan mereka mulai tertawa saat kapalnya terbalik dan tenggelam.
The 300 people below deck were doomed. Doaa was holding on to the side of the boat as it sank, and watched in horror as a small child was cut to pieces by the propeller. Bassem said to her, "Please let go, or you'll be swept in and the propeller will kill you, too." And remember -- she can't swim. But she let go and she started moving her arms and her legs, thinking, "This is swimming." And miraculously, Bassem found a life ring. It was one of those child's rings that they use to play in swimming pools and on calm seas. And Doaa climbed onto the ring, her arms and her legs dangling by the side. Bassem was a good swimmer, so he held her hand and tread water. Around them there were corpses. Around 100 people survived initially, and they started coming together in groups, praying for rescue. But when a day went by and no one came, some people gave up hope, and Doaa and Bassem watched as men in the distance took their life vests off and sank into the water.
300 orang di bagian bawah geladak tak bisa menyelamatkan diri. Doa berpegangan pada sisi kapal ketika kapalnya mulai tenggelam, dan melihat dengan kengerian saat seorang anak terpotong baling-baling. Bassem bilang padanya, "Lepaskan, atau kau juga akan tersapu dan terbunuh oleh baling-baling juga." Dan ingat -- ia tak bisa berenang. Tapi ia melepaskan pegangannya dan mulai menggerakan tangan dan kakinya, berpikir, "Ini berenang." Dan ajaibnya, Bassem menemukan pelampung. Pelampung anak yang biasa digunakan untuk bermain di kolam renang dan di laut tenang. Dan Doaa memanjat ke pelampung itu, tangan dan kakinya menggantung di sisinya. Bassem seorang perenang yang ulung, jadi ia menggenggam tangan Doaa dan menggerakkan mereka berdua. Di sekitar mereka ada banyak mayat. Awalnya ada sekitar 100 orang yang selamat dan mereka mulai berkumpul, berdoa untuk pertolongan. Tapi saat sehari berlalu dan tak ada yang datang, beberapa orang putus asa, dan Doaa dan Bassem menyaksikan saat para pria di kejauhan menanggalkan baju pelampungnya dan tenggelam di air.
One man approached them with a small baby perched on his shoulder, nine months old -- Malek. He was holding onto a gas canister to stay afloat, and he said to them, "I fear I am not going to survive. I'm too weak. I don't have the courage anymore." And he handed little Malek over to Bassem and to Doaa, and they perched her onto the life ring. So now they were three, Doaa, Bassem and little Malek.
Seorang pria mendatangi mereka dengan bayi mungil di punggungnya, usianya sembilan bulan -- Malek. Ia berpegangan pada sebuah tabung gas untuk mengapung, dan ia berkata, "Saya takut saya tidak bisa selamat. Saya terlalu lemah. Saya tak punya semangat lagi." Dan ia menyerahkan Malek kecil kepada Bassem dan Doaa, dan mereka meletakannya di atas pelampung. Jadi sekarang mereka bertiga, Doaa, Bassem, dan Malek kecil.
And let me take a pause in this story right here and ask the question: why do refugees like Doaa take these kinds of risks? Millions of refugees are living in exile, in limbo. They're living in countries [fleeing] from a war that has been raging for four years. Even if they wanted to return, they can't. Their homes, their businesses, their towns and their cities have been completely destroyed. This is a UNESCO World Heritage City, Homs, in Syria. So people continue to flee into neighboring countries, and we build refugee camps for them in the desert. Hundreds of thousands of people live in camps like these, and thousands and thousands more, millions, live in towns and cities. And the communities, the neighboring countries that once welcomed them with open arms and hearts are overwhelmed. There are simply not enough schools, water systems, sanitation. Even rich European countries could never handle such an influx without massive investment. The Syria war has driven almost four million people over the borders, but over seven million people are on the run inside the country. That means that over half the Syrian population has been forced to flee. Back to those neighboring countries hosting so many. They feel that the richer world has done too little to support them. And days have turned into months, months into years. A refugee's stay is supposed to be temporary.
Saya akan berhenti sejenak disini dan bertanya: mengapa pengungsi seperti Doaa mengambil resiko semacam ini? Jutaan pengungsi hidup dalam pengasingan, tidak jelas nasibnya. Mereka hidup [lari dari] di Negara dimana terjadi peperangan selama empat tahun. Bahkan jika mereka ingin kembali, mereka tak bisa. Rumah mereka, usaha mereka, kampung dan kota mereka sudah hancur sepenuhnya. Ini adalah Kota Warisan Sejarah Dunia UNESCO, Homs, di Suriah. Jadi orang-orang terus kabur ke negara tetangga, dan kita membangun kamp pengungsian untuk mereka di gurun. Ratusan ribu orang hidup di kamp seperti ini, dan ribuan lainnya, jutaan, hidup di perkampungan dan perkotaan. Dan masyarakatnya, negara tetangga yang tadinya menerima mereka dengan tangan dan hati terbuka menjadi kewalahan. Benar-benar tak ada cukup sekolah, sistem perairan, sanitasi. Bahkan negara-negara Eropa kaya tak bisa menangani gelombang pengungsi sebanyak itu tanpa investasi berskala besar. Perang Suriah telah mengusir hampir empat juta orang melewati perbatasan, tapi lebih dari tujuh juta orang berada dalam pelarian di dalam Suriah sendiri. Itu artinya lebih dari separuh populasi Suriah terpaksa melarikan diri. Kembali pada negara-negara tetangga yang menerima banyak pengungsi. Mereka merasa negara-negara yang lebih kaya tak banyak membantu mereka. Dan hari berlalu menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Status pengungsi seharusnya sementara.
Back to Doaa and Bassem in the water. It was their second day, and Bassem was getting very weak. And now it was Doaa's turn to say to Bassem, "My love, please hold on to hope, to our future. We will make it." And he said to her, "I'm sorry, my love, that I put you in this situation. I have never loved anyone as much as I love you." And he released himself into the water, and Doaa watched as the love of her life drowned before her eyes.
Kembali ke Doaa dan Bassem di lautan. Di hari kedua mereka, Bassem mulai lemah. Dan sekarang Doaa-lah yang berkata pada Bassem, "Cintaku, teruslah berharap, pada masa depan kita. Kita akan mencapainya." Dan Bassem mengatakan, "Maafkan aku, sayangku, karena membawamu pada situasi ini. Aku tak pernah mencintai orang lain sebesar aku mencintaimu." Dan ia melepaskan dirinya ke dalam air, dan Doaa menyaksikan belahan jiwanya tenggelam di depan matanya.
Later that day, a mother came up to Doaa with her small 18-month-old daughter, Masa. This was the little girl I showed you in the picture earlier, with the life vests. Her older sister Sandra had just drowned, and her mother knew she had to do everything in her power to save her daughter. And she said to Doaa, "Please take this child. Let her be part of you. I will not survive." And then she went away and drowned.
Pada hari itu juga, seorang ibu datang pada Doaa dengan anak perempuannya berusia 18 bulan, Masa. Ini adalah anak perempuan yang saya tunjukkan fotonya sebelumnya, dengan baju pelampung. Kakak perempuannya, Sandra, baru saja tenggelam, dan ibunya tahu ia harus melakukan apapun dengan segenap kekuatannya untuk menyelamatkan anak perempuannya. Dan ia berkata pada Doaa, "Tolong ambil anak ini. Biarkan ia bersamamu. Saya takkan selamat." Dan ia pergi dan tenggelam.
So Doaa, the 19-year-old refugee who was terrified of the water, who couldn't swim, found herself in charge of two little baby kids. And they were thirsty and they were hungry and they were agitated, and she tried her best to amuse them, to sing to them, to say words to them from the Quran. Around them, the bodies were bloating and turning black. The sun was blazing during the day. At night, there was a cold moon and fog. It was very frightening. On the fourth day in the water, this is how Doaa probably looked on the ring with her two children.
Jadi Doaa, sorang pengungsi berusia 19 tahun yang takut air, yang tak bisa berenang, tiba-tiba bertanggung jawab atas dua bayi kecil. Dan mereka kehausan, kelaparan, dan gelisah, dan ia berusaha semampunya untuk menghibur mereka, bernyanyi untuk mereka, membacakan ayat-ayat Quran. Di sekitar mereka, mayat-mayat mengapung dan menghitam. Matahari berkilau di siang hari. Di malam hari, bulan dan kabut begitu dingin. Sangat meakutkan. Pada hari keempat di lautan, beginilah Doaa mungkin terlihat di atas pelampung dengan dua anaknya.
A woman came on the fourth day and approached her and asked her to take another child -- a little boy, just four years old. When Doaa took the little boy and the mother drowned, she said to the sobbing child, "She just went away to find you water and food." But his heart soon stopped, and Doaa had to release the little boy into the water.
Seorang wanita datang di hari keempat dan menghampirinya dan memintanya membawa satu anak lagi -- bocah laki-laki, usia empat tahun. Ketika Doaa mengambil anak itu dan ibunya tenggelam, ia bilang pada anak yang menangis itu, "Ia hanya pergi mencarikanmu air dan makanan." Tapi tak lama jantungnya berhenti berdetak, dan Doaa harus melepaskan anak itu ke dalam laut.
Later that day, she looked up into the sky with hope, because she saw two planes crossing in the sky. And she waved her arms, hoping they would see her, but the planes were soon gone.
Pada hari itu juga, ia melihat ke langit dengan harapan, karena ia melihat dua pesawat melintas. Dan ia melambaikan tangannya, berharap mereka melihatnya, tapi pesawat itu cepat sekali menghilang.
But that afternoon, as the sun was going down, she saw a boat, a merchant vessel. And she said, "Please, God, let them rescue me." She waved her arms and she felt like she shouted for about two hours. And it had become dark, but finally the searchlights found her and they extended a rope, astonished to see a woman clutching onto two babies.
Tapi sore itu, saat matahari terbenam, ia melihat kapal, sebuah kapal dagang. Dan ia berkata, "Ya Tuhan, biarkan mereka menyelamatkanku." Ia melambaikan tangannya dan ia merasa seperti berteriak selama dua jam. Dan hari menjadi gelap, tapi akhirnya lampu sorot menemukannya dan mereka menjatuhkan seutas tali, tercengang melihat seorang wanita menggenggam dua bayi.
They pulled them onto the boat, they got oxygen and blankets, and a Greek helicopter came to pick them up and take them to the island of Crete.
Mereka menariknya ke kapal, mereka memberikan oksigen dan selimut, dan sebuah helikopter Yunani datang menjemput mereka dan membawa mereka ke Pulau Crete.
But Doaa looked down and asked, "What of Malek?" And they told her the little baby did not survive -- she drew her last breath in the boat's clinic. But Doaa was sure that as they had been pulled up onto the rescue boat, that little baby girl had been smiling.
Tapi Doaa melihat ke bawah dan bertanya, "Bagaimana dengan Malek?" Dan mereka bilang bahwa bayi mungil itu tak selamat -- bayi itu menghembuskan nafas terakhirnya di klinik kapal. Tapi Doaa yakin saat mereka ditarik ke kapal penyelamat, bayi perempuan mungil itu tersenyum.
Only 11 people survived that wreck, of the 500. There was never an international investigation into what happened. There were some media reports about mass murder at sea, a terrible tragedy, but that was only for one day. And then the news cycle moved on.
Hanya 11 orang selamat dari kecelakaan itu, dari 500. Tak pernah ada investigasi internasional atas apa yang terjadi. Ada beberapa laporan media tentang pembunuhan massal di lautan, tragedi yang sangat menyedihkan, tapi itu juga hanya sehari saja. Dan media massa berpindah pada berita berikutnya.
Meanwhile, in a pediatric hospital on Crete, little Masa was on the edge of death. She was really dehydrated. Her kidneys were failing. Her glucose levels were dangerously low. The doctors did everything in their medical power to save them, and the Greek nurses never left her side, holding her, hugging her, singing her words. My colleagues also visited and said pretty words to her in Arabic. Amazingly, little Masa survived.
Sementara itu, di rumah sakit anak di Crete, Bayi Masa berada di ujung kematian. Ia mengalami dehidrasi parah. Ginjalnya mengalami kegagalan. Tingkat glukosanya jauh di bawah rata-rata. Dokter melakukan segalanya dalam kemampuan mereka untuk menyelamatkan mereka, dan para suster Yunani selalu berada di sisinya, menggendong, memeluk, menyanyikan lagu untuknya. Rekan kerja saya juga mengunjunginya dan mengatakan kata-kata indah dalam bahasa Arab. Alangkah luar biasa, Masa kecil selamat.
And soon the Greek press started reporting about the miracle baby, who had survived four days in the water without food or anything to drink, and offers to adopt her came from all over the country.
Dan tak lama, media Yunani mulai memberitakan tentang bayi ajaib itu, yang selamat setelah empat hari di lautan tanpa makanan atau minuman, dan tawaran untuk mengadopsinya datang dari penjuru negeri.
And meanwhile, Doaa was in another hospital on Crete, thin, dehydrated. An Egyptian family took her into their home as soon as she was released. And soon word went around about Doaa's survival, and a phone number was published on Facebook. Messages started coming in.
Sementara itu, Doaa berada di rumah sakit lain di Crete, kurus, dehidrasi. Ada keluarga Mesir yang membawanya pulang segera setelah ia keluar rumah sakit. Dan tak lama, tersebar desas-desus tentang keselamatan Doaa, dan sebuah nomor telepon disebarkan di Facebook. Pesan-pesan segera berdatangan.
"Doaa, do you know what happened to my brother? My sister? My parents? My friends? Do you know if they survived?"
"Doaa, apa kau tahu apa yang terjadi pada saudara laki-lakiku? Saudara perempuanku? Orangtuaku? Temanku? Apa kau tahu apakah mereka selamat?"
One of those messages said, "I believe you saved my little niece, Masa." And it had this photo. This was from Masa's uncle, a Syrian refugee who had made it to Sweden with his family and also Masa's older sister. Soon, we hope, Masa will be reunited with him in Sweden, and until then, she's being cared for in a beautiful orphanage in Athens.
Salah satu pesan itu berkata, "Saya percaya kamu menyelamatkan keponakan kecil saya, Masa." Foto ini dikirimkan bersamanya. Ini dari paman Masa, seorang pengungsi Suriah yang berhasil mencapai Swedia dengan keluarganya dan juga kakak perempuan Masa. Tak lama, kami harap, Masa akan bergabung dengannya di Swedia, dan sampai saat itu tiba, ia dirawat di panti asuhan yang indah di Athena.
And Doaa? Well, word went around about her survival, too. And the media wrote about this slight woman, and couldn't imagine how she could survive all this time under such conditions in that sea, and still save another life. The Academy of Athens, one of Greece's most prestigious institutions, gave her an award of bravery, and she deserves all that praise, and she deserves a second chance. But she wants to still go to Sweden. She wants to reunite with her family there. She wants to bring her mother and her father and her younger siblings away from Egypt there as well, and I believe she will succeed. She wants to become a lawyer or a politician or something that can help fight injustice. She is an extraordinary survivor.
Dan Doaa? Kabar tentang keselamatannya juga tersebar. Dan media menuliskan tentang wanita kurus ini, dan tak bisa membayangkan bagaimana ia bisa selamat selama itu dalam kondisi seperti itu di lautan, dan masih juga menyelamatkan nyawa lain. The Academy of Athens, salah satu institusi Yunani yang paling bergengsi, memberinya penghargaan atas keberaniannya, dan ia pantas mendapat semua pujian itu, dan ia pantas mendapat kesempatan kedua. Tapi ia masih ingin pergi ke Swedia. Ia ingin berkumpul dengan keluarganya di sana. Ia ingin membawa ibu, ayah, dan adik-adiknya juga pergi dari Mesir, dan saya percaya dia akan berhasil. Ia ingin menjadi pengacara atau politikus atau sesuatu yang bisa membantu melawan ketidakadilan. Ia adalah penyintas yang luar biasa.
But I have to ask: what if she didn't have to take that risk? Why did she have to go through all that? Why wasn't there a legal way for her to study in Europe? Why couldn't Masa have taken an airplane to Sweden? Why couldn't Bassem have found work? Why is there no massive resettlement program for Syrian refugees, the victims of the worst war of our times? The world did this for the Vietnamese in the 1970s. Why not now? Why is there so little investment in the neighboring countries hosting so many refugees? And why, the root question, is so little being done to stop the wars, the persecution and the poverty that is driving so many people to the shores of Europe? Until these issues are resolved, people will continue to take to the seas and to seek safety and asylum.
Tapi saya harus bertanya: bagaimana seandainya ia tak harus mengambil risiko itu? Mengapa ia harus melalui semua itu? Mengapa tak ada cara legal baginya untuk belajar di Eropa? Mengapat Masa tak bisa naik pesawat saja ke Swedia? Mengapa Bassem tak bisa mendapat pekerjaan? Mengapa tak ada program transmigrasi berskala besar bagi para pengungsi Suriah, korban peperangan terburuk di masa kini? Dunia melakukannya untuk orang Vietnam di tahun 1970-an. Mengapa sekarang tidak? Mengapa tak banyak investasi di negara tetangga yang menerima banyak pengungsi? Dan, akar pertanyaannya, mengapa tak banyak yang dilakukan untuk menghentikan peperangan, penganiayaan dan kemiskinan yang menggiring begitu banyak orang ke pesisir Eropa? Sampai masalah ini terselesaikan, mereka akan terus menantang lautan dan mencari keamanan dan suaka.
And what happens next? Well, that is largely Europe's choice. And I understand the public fears. People are worried about their security, their economies, the changes of culture. But is that more important than saving human lives? Because there is something fundamental here that I think overrides the rest, and it is about our common humanity. No person fleeing war or persecution should have to die crossing a sea to reach safety.
Dan apa yang akan terjadi selanjutnya? Itu akan menjadi pilihan Eropa. Dan saya mengerti ketakutan publik. Orang khawatir tentang keamanan mereka, ekonomi, dan perubahan budaya. Tapi apakah itu lebih penting daripada menyelamatkan hidup manusia? Karena ada sesuatu yang mendasar di sini yang menurut saya jauh lebih penting daripada hal-hal lainnya, dan itu adalah rasa kemanusiaan kita. Seharusnya tak seorang pun yang kabur dari perang atau penganiayaan mati saat menyeberangi lautan untuk mencari keamanan.
(Applause)
(Tepuk tangan)
One thing is for sure, that no refugee would be on those dangerous boats if they could thrive where they are. And no migrant would take that dangerous journey if they had enough food for themselves and their children. And no one would put their life savings in the hands of those notorious smugglers if there was a legal way to migrate.
Satu hal yang pasti, tak akan ada pengungsi yang menaiki kapal yang berbahaya itu jika mereka bisa hidup di mana mereka berada. Dan tak ada migran yang akan melalui perjalanan berbahaya itu jika ada cukup makanan untuk mereka dan anak-anak mereka. Dan takkan ada yang menyerahkan tabungan hidupnya ke tangan penyelundup kejam jika ada cara legal untuk bermigrasi.
So on behalf of little Masa and on behalf of Doaa and of Bassem and of those 500 people who drowned with them, can we make sure that they did not die in vain? Could we be inspired by what happened, and take a stand for a world in which every life matters?
Jadi, atas nama Masa kecil dan atas nama Doaa dan Bassem dan 500 orang yang tenggelam bersama mereka, dapatkah kita memastikan bahwa kematian mereka tak sia-sia? Dapatkah kita terinspirasi dari kejadian ini, dan membangun dunia di mana setiap nyawa itu berharga?
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)