As a singer-songwriter, people often ask me about my influences or, as I like to call them, my sonic lineages. And I could easily tell you that I was shaped by the jazz and hip hop that I grew up with, by the Ethiopian heritage of my ancestors, or by the 1980s pop on my childhood radio stations. But beyond genre, there is another question: how do the sounds we hear every day influence the music that we make? I believe that everyday soundscape can be the most unexpected inspiration for songwriting, and to look at this idea a little bit more closely, I'm going to talk today about three things: nature, language and silence -- or rather, the impossibility of true silence. And through this I hope to give you a sense of a world already alive with musical expression, with each of us serving as active participants, whether we know it or not.
Sebagai penyanyi dan penulis lagu, orang sering bertanya apa yang memengaruhiku, atau apa yang kusebut sebagai "silsilah suaraku." Aku bisa bilang padamu: aku terinspirasi oleh Jazz dan hip hop yang mengiringi masa kecilku, oleh warisan nenek moyangku dari Etiopia atau musik pop tahun 1980-an dari stasiun radio masa kecilku. Akan tetapi, di balik aliran musik, ada satu pertanyaan: bagaimana suara yang terdengar setiap hari memengaruhi musik yang kita buat? Aku percaya bahwa bunyi-bunyian harian bisa menjadi inspirasi paling tak terduga dalam penulisan lagu, dan untuk melongok pemikiran ini dengan lebih cermat Aku akan bicara tentang tiga hal hari ini: alam, bahasa dan keheningan -- tepatnya, kemustahilan dari keheningan mutlak. Kuharap ini membuatmu menyadari sensasi sebuah dunia yang hidup dengan ekspresi musikal, dengan masing-masing kita berperan aktif di dalamnya, entah kita menyadarinya atau tidak.
I'm going to start today with nature, but before we do that, let's quickly listen to this snippet of an opera singer warming up. Here it is.
Aku akan mulai dengan alam, tapi sebelum kita melakukannya, Mari dengarkan cuplikan pemanasan penyanyi opera ini. Ini dia.
(Singing)
(Nyanyian a cappella terdengar)
(Singing ends)
(Nyanyian berakhir)
It's beautiful, isn't it? Gotcha! That is actually not the sound of an opera singer warming up. That is the sound of a bird slowed down to a pace that the human ear mistakenly recognizes as its own. It was released as part of Peter Szöke's 1987 Hungarian recording "The Unknown Music of Birds," where he records many birds and slows down their pitches to reveal what's underneath. Let's listen to the full-speed recording.
Indah, bukan? Kena kalian! Ini bukan suara penyanyi opera yang sedang pemanasan. Ini suara kicauan burung, Ini suara burung woodlark yang diperlambat dan disangka telinga manusia sebagai suaranya sendiri. Ini adalah bagian dari rekaman Hungaria oleh Peter Szöke tahun 1987 "The Unknown Music of Birds" dimana ia merekam suara banyak burung dan memperlambatnya mengungkap yang ada di baliknya. Mari kita dengar dengan kecepatan normal.
(Bird singing)
(Suara burung berkicau)
Now, let's hear the two of them together so your brain can juxtapose them.
Mari kita dengar secara bersamaan, agar otak bisa membandingkannya.
(Bird singing at slow then full speed)
(Burung berkicau pelan, lalu makin cepat)
(Singing ends)
(Kicauan berakhir)
It's incredible. Perhaps the techniques of opera singing were inspired by birdsong. As humans, we intuitively understand birds to be our musical teachers.
Luar biasa. Mungkin teknik nyanyian opera terinspirasi oleh kicauan burung. Sebagai manusia, kita secara naluriah menganggap burung sebagai guru musik kita.
In Ethiopia, birds are considered an integral part of the origin of music itself. The story goes like this: 1,500 years ago, a young man was born in the Empire of Aksum, a major trading center of the ancient world. His name was Yared. When Yared was seven years old his father died, and his mother sent him to go live with an uncle, who was a priest of the Ethiopian Orthodox tradition, one of the oldest churches in the world. Now, this tradition has an enormous amount of scholarship and learning, and Yared had to study and study and study and study, and one day he was studying under a tree, when three birds came to him. One by one, these birds became his teachers. They taught him music -- scales, in fact. And Yared, eventually recognized as Saint Yared, used these scales to compose five volumes of chants and hymns for worship and celebration. And he used these scales to compose and to create an indigenous musical notation system. And these scales evolved into what is known as kiñit, the unique, pentatonic, five-note, modal system that is very much alive and thriving and still evolving in Ethiopia today.
Di Etiopia, burung dianggap sebagai bagian penting dari asal-usul musik itu sendiri. Ceritanya seperti ini: 1.500 tahun lalu, seorang pemuda lahir di Kerajaan Aksum, sebuah pusat niaga di dunia kuno. Nama pemuda itu Yared. Ketika Yared berumur tujuh tahun, ayahnya meninggal, dan ibunya menyuruhnya tinggal dengan pamannya, seorang pendeta dari tradisi Ortodoks Etiopia, salah satu gereja tertua di dunia. Tradisi ini banyak mementingkan kecendekiaan dan pengajaran, dan Yared harus belajar, belajar, belajar, dan belajar, dan suatu hari, ia belajar di bawah pohon, dan tiga ekor burung menghampirinya. Satu persatu, burung-burung ini menjadi gurunya. Mereka mengajarinya musik -- tangga nada, sebenarnya. Yared, yang akhirnya dikenal sebagai Santo Yared, menggunakan tangga nada ini untuk menggubah 5 volume puji-pujian dan himne untuk ibadah dan perayaan. Dan ia menggunakan tangga nada ini untuk menyusun dan menciptakan sistem notasi musik pribumi. Tangga nada ini berkembang menjadi apa yang disebut kiñit, sistem pentatonik lima-nada unik yang masih sangat hidup dan berkembang serta berevolusi di Etiopia saat ini.
Now, I love this story because it's true at multiple levels. Saint Yared was a real, historical figure, and the natural world can be our musical teacher. And we have so many examples of this: the Pygmies of the Congo tune their instruments to the pitches of the birds in the forest around them. Musician and natural soundscape expert Bernie Krause describes how a healthy environment has animals and insects taking up low, medium and high-frequency bands, in exactly the same way as a symphony does. And countless works of music were inspired by bird and forest song. Yes, the natural world can be our cultural teacher.
Aku suka cerita ini karena benar dalam berbagai tingkatan. Santo Yared sosok yang benar-benar ada, dan alam dapat menjadi guru musik kita. Dan ada banyak contohnya: kaum Pigmi di Kongo menyetel alat musik mereka dengan nada burung-burung di hutan sekitar mereka. Menurut musisi dan pakar suara alam Bernie Krause lingkungan yang sehat punya hewan-hewan dan serangga yang memainkan frekuensi rendah, sedang dan tinggi, sama seperti sebuah simfoni. Dan banyak komposisi musik terinspirasi nyanyian burung dan hutan. Ya, alam bisa menjadi guru budaya kita.
So let's go now to the uniquely human world of language. Every language communicates with pitch to varying degrees, whether it's Mandarin Chinese, where a shift in melodic inflection gives the same phonetic syllable an entirely different meaning, to a language like English, where a raised pitch at the end of a sentence ... (Going up in pitch) implies a question?
Sekarang mari kita pindah ke dunia bahasa manusia yang unik. Setiap bahasa berkomunikasi dengan variasi perbedaan nada, entah itu bahasa Mandarin, dimana perpindahan nada suara memberikan silabus fonetis yang sama makna yang sangat berbeda, hingga bahasa Inggris, dimana nada suara yang naik di akhir kalimat... (menaikkan suara) bermakna pertanyaan?
(Laughter)
(Tertawa)
As an Ethiopian-American woman, I grew up around the language of Amharic, Amhariña. It was my first language, the language of my parents, one of the main languages of Ethiopia. And there are a million reasons to fall in love with this language: its depth of poetics, its double entendres, its wax and gold, its humor, its proverbs that illuminate the wisdom and follies of life. But there's also this melodicism, a musicality built right in. And I find this distilled most clearly in what I like to call emphatic language -- language that's meant to highlight or underline or that springs from surprise. Take, for example, the word: "indey." Now, if there are Ethiopians in the audience, they're probably chuckling to themselves, because the word means something like "No!" or "How could he?" or "No, he didn't." It kind of depends on the situation. But when I was a kid, this was my very favorite word, and I think it's because it has a pitch. It has a melody. You can almost see the shape as it springs from someone's mouth. "Indey" -- it dips, and then raises again. And as a musician and composer, when I hear that word, something like this is floating through my mind.
Sebagai wanita Amerika-Etiopia, aku tumbuh dengan bahasa Amharic, Amhariña.. Itu adalah bahasa pertamaku, bahasa orangtuaku, salah satu bahasa utama di Etiopia. Ada jutaan alasan untuk jatuh cinta dengan bahasa ini: kedalaman puitisnya, makna gandanya, kecemerlangannya, humornya, peribahasa yang menyorot kebijaksanaan dan kebodohan dalam hidup. Tapi, ada juga melodinya, musikalitas yang terbangun di dalamnya. Aku menyadari hal ini sangat jelas dalam apa yang kusebut bahasa empatik -- bahasa yang dimaksudkan untuk menegaskan atau yang muncul dari keterkejutan. Ambil contoh kata "indey." Kalau ada orang Etiopia di sini, mereka pasti akan tertawa, karena kata itu bermakna seperti "Tidak!" "Bisanya dia?" atau "Yang benar saja." Tergantung situasinya. Tapi, ketika aku masih kecil, itu adalah kata kesukaanku, dan kupikir itu karena kata tersebut punya nada. Ada melodinya. Kau nyaris bisa melihatnya saat muncul dari mulut seseorang. "Indey" -- turun, lalu naik lagi. Sebagai musisi dan komposer, ketika aku mendengar kata itu, sesuatu seperti ini muncul di benakku.
(Music and singing "Indey")
(Menyanyikan "Indey" diiringi musik)
(Music ends)
(Musik berakhir)
Or take, for example, the phrase for "It is right" or "It is correct" -- "Lickih nehu ... Lickih nehu." It's an affirmation, an agreement. "Lickih nehu." When I hear that phrase, something like this starts rolling through my mind.
Atau, ambil contoh frase "itu benar" atau "itu betul" -- "Lickih nehu...Lickih nehu." Itu afirmasi, persetujuan. "Lickih nehu." Ketika aku mendengarnya, seuatu seperti ini muncul di pikiranku,
(Music and singing "Lickih nehu")
(Menyanyikan "Lickih nehu" diiringi musik)
(Music ends)
(Musik berakhir)
And in both of those cases, what I did was I took the melody and the phrasing of those words and phrases and I turned them into musical parts to use in these short compositions. And I like to write bass lines, so they both ended up kind of as bass lines.
Dalam keduanya, aku mengambil melodi dan pengucapan kata-kata serta frase itu mengubahnya menjadi potongan musikal untuk komposisi pendek. Aku suka baris-baris bas, sehingga mereka jadi mirip baris-baris bas.
Now, this is based on the work of Jason Moran and others who work intimately with music and language, but it's also something I've had in my head since I was a kid, how musical my parents sounded when they were speaking to each other and to us. It was from them and from Amhariña that I learned that we are awash in musical expression with every word, every sentence that we speak, every word, every sentence that we receive. Perhaps you can hear it in the words I'm speaking even now.
Ini bisa ditemukan dalam karya Jason Moran dan lainnya yang berkecimpung dalam musik dan bahasa, tapi ini juga ada di benakku sejak aku kecil, betapa musikalnya suara orangtuaku saat mereka bicara berdua dan pada kami. Dari mereka dan bahasa Amhariña aku belajar bahwa kita kaya akan ekspresi musikal dalam tiap kata, tiap kalimat yang kita ucapkan, tiap kata, tiap kalimat yang kita dengar. Mungkin kau bisa mendengarnya dari kata-kataku saat ini.
Finally, we go to the 1950s United States and the most seminal work of 20th century avant-garde composition: John Cage's "4:33," written for any instrument or combination of instruments. The musician or musicians are invited to walk onto the stage with a stopwatch and open the score, which was actually purchased by the Museum of Modern Art -- the score, that is. And this score has not a single note written and there is not a single note played for four minutes and 33 seconds. And, at once enraging and enrapturing, Cage shows us that even when there are no strings being plucked by fingers or hands hammering piano keys, still there is music, still there is music, still there is music. And what is this music? It was that sneeze in the back.
Akhirnya, kita ke Amerika Serikat tahun 1950-an serta karya terawal komposisi avant-garde abad ke-20: "4:33" karya John Cage, yang digubah untuk instrumen atau kombinasi instrumen apa saja. Para musisi diundang ke panggung dengan stopwatch dan kemudian memulai komposisinya yang kemudian dibeli oleh Museum of Modern Art -- komposisinya, maksudku. Tak ada satupun nada ditulis dari komposisi ini dan tak ada satupun nada yang dimainkan selama empat menit dan 33 detik. Dengan menggetarkan dan menakjubkan, Cage menunjukkan bahwa walaupun tak ada senar yang dipetik oleh jemari, atau tangan menekan tuts piano, masih ada musik, masih ada musik, masih ada musik. Dan musik apakah itu? Itu adalah suara bersin di belakang sana.
(Laughter)
(Tertawa)
It is the everyday soundscape that arises from the audience themselves: their coughs, their sighs, their rustles, their whispers, their sneezes, the room, the wood of the floors and the walls expanding and contracting, creaking and groaning with the heat and the cold, the pipes clanking and contributing. And controversial though it was, and even controversial though it remains, Cage's point is that there is no such thing as true silence. Even in the most silent environments, we still hear and feel the sound of our own heartbeats. The world is alive with musical expression. We are already immersed.
Itu adalah suara sehari-hari yang dibuat para penonton: batuk, desahan, desiran, bisikan, bersin, ruangan, kayu di lantai dan dinding mengembang dan menyempit, berderit dan mengerang bersama panas dan dingin, pipa-pipa berkelontang dan berkontribusi. Walaupun saat itu kontroversial, dan masih sampai sekarang, Maksud Cage adalah tak ada yang namanya keheningan mutlak. Bahkan di lingkungan paling senyap, kita masih mendengar dan merasakan suara dari detak jantung kita. Dunia ini hidup dengan ekspresi musikal. Kita terlibat di dalamnya.
Now, I had my own moment of, let's say, remixing John Cage a couple of months ago when I was standing in front of the stove cooking lentils. And it was late one night and it was time to stir, so I lifted the lid off the cooking pot, and I placed it onto the kitchen counter next to me, and it started to roll back and forth making this sound.
Aku sempat menggubah ulang karya John Cage beberapa bulan yang lalu ketika aku berdiri di depan kompor, memasak kacang. Saat itu larut malam, dan sudah waktunya mengaduk, jadi aku mengangkat tutup panci, dan meletakkannya di meja dapur di sebelahku, dan tutup itu mulai bergoyang maju mundur membuat suara ini.
(Sound of metal lid clanking against a counter)
(Suara tutup logam menyentuh meja dapur)
(Clanking ends)
(Suara berakhir)
And it stopped me cold. I thought, "What a weird, cool swing that cooking pan lid has." So when the lentils were ready and eaten, I hightailed it to my backyard studio, and I made this.
Dan itu membuatku terdiam. Kupikir, "goyangan tutup panci ini aneh dan keren sekali." Ketika kacangnya sudah matang dan kumakan, aku bergegas ke studio belakang rumahku, dan aku membuat ini.
(Music, including the sound of the lid, and singing)
(Musik dengan suara tutup panci dan nyanyian)
(Music ends)
(Musik berakhir)
Now, John Cage wasn't instructing musicians to mine the soundscape for sonic textures to turn into music. He was saying that on its own, the environment is musically generative, that it is generous, that it is fertile, that we are already immersed.
John Cage tidak menyuruh para musisi mengambil bebunyian sebagai tekstur sonik untuk dijadikan musik. Dia berkata bahwa, secara alami, lingkungan sekitar kaya musikalitas, sangat melimpah, sangat subur, dan kita sudah terlibat di dalamnya.
Musician, music researcher, surgeon and human hearing expert Charles Limb is a professor at Johns Hopkins University and he studies music and the brain. And he has a theory that it is possible -- it is possible -- that the human auditory system actually evolved to hear music, because it is so much more complex than it needs to be for language alone. And if that's true, it means that we're hard-wired for music, that we can find it anywhere, that there is no such thing as a musical desert, that we are permanently hanging out at the oasis, and that is marvelous. We can add to the soundtrack, but it's already playing.
Musisi, peneliti musik, ahli bedah dan pakar pendengaran Charles Limb adalah profesor di John Hopkins University dan dia memelajari musik dan otak. Dia punya teori bahwa sangat memungkinkan sistem auditori manusia sebenarnya berevolusi untuk mendengar musik, karena otak lebih rumit dari sekedar untuk berbahasa. Dan jika itu benar, artinya kita disetel untuk mendengar musik, bahwa kita bisa menemukannya di mana saja, tak ada yang namanya kering musikalitas, dan kita selalu berada di oase, dan itu luar biasa. Kita bisa menambahkan lagu, tapi lagu itu sudah bermain.
And it doesn't mean don't study music. Study music, trace your sonic lineages and enjoy that exploration. But there is a kind of sonic lineage to which we all belong. So the next time you are seeking percussion inspiration, look no further than your tires, as they roll over the unusual grooves of the freeway, or the top-right burner of your stove and that strange way that it clicks as it is preparing to light. When seeking melodic inspiration, look no further than dawn and dusk avian orchestras or to the natural lilt of emphatic language. We are the audience and we are the composers and we take from these pieces we are given. We make, we make, we make, we make, knowing that when it comes to nature or language or soundscape, there is no end to the inspiration -- if we are listening.
Bukannya tidak harus memelajari musik. Pelajari musik, telusuri warisan suaramu, nikmati penjelajahan itu. Akan tetapi, ada warisan suara yang kita semua memilikinya. Kali berikutnya kau mencari inspirasi musik perkusi, lihatlah ban mobilmu saat berputar di atas permukaan tak rata di jalan tol, atau tungku kompormu dan suara klik-klik anehnya saat kompor hendak dinyalakan. Ketika mencari inspirasi melodi, dengarkan orkestra burung saat fajar dan petang atau ritme alami bahasa empatik. Kita adalah penonton dan komposer dan kita mengambil sepotong-sepotong dari yang kita dapat. Kita mencipta, mencipta dan mencipta, tahu bahwa di alam, bahasa atau bunyi-bunyian, inspirasi tak ada habisnya -- jika kita mendengarkan.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)