In Oxford in the 1950s, there was a fantastic doctor, who was very unusual, named Alice Stewart. And Alice was unusual partly because, of course, she was a woman, which was pretty rare in the 1950s. And she was brilliant, she was one of the, at the time, the youngest Fellow to be elected to the Royal College of Physicians. She was unusual too because she continued to work after she got married, after she had kids, and even after she got divorced and was a single parent, she continued her medical work.
Tahun 1950-an di Oxford, ada seorang doktor yang sangat luar biasa bernama Alice Stewart. Alice menjadi luar biasa, sebagian karena dia seorang wanita, sesuatu yang cukup jarang di tahun 1950-an. Dan dia sangat cerdas, dia adalah salah satu orang termuda yang terpilih menjadi anggota Royal College of Physicians. Dia juga luar biasa karena dia terus bekerja setelah menikah, setelah dia memiliki anak, bahkan setelah dia bercerai dan menjadi orang tua tunggal, dia terus bekerja.
And she was unusual because she was really interested in a new science, the emerging field of epidemiology, the study of patterns in disease. But like every scientist, she appreciated that to make her mark, what she needed to do was find a hard problem and solve it. The hard problem that Alice chose was the rising incidence of childhood cancers. Most disease is correlated with poverty, but in the case of childhood cancers, the children who were dying seemed mostly to come from affluent families. So, what, she wanted to know, could explain this anomaly?
Dan dia luar biasa karena dia benar-benar tertarik pada ilmu baru, pada epidemiologi yang sedang berkembang, kajian akan pola dari penyakit. Namun seperti setiap ilmuwan, dia paham bahwa agar namanya bisa dikenang, dia harus mencari masalah yang sulit dan menyelesaikannya. Masalah sulit yang dipilihnya adalah kanker pada anak-anak yang semakin meningkat. Sebagian besar penyakit berhubungan dengan kemiskinan, namun pada kanker anak-anak anak-anak yang menderita tampaknya sebagian besar berasal dari keluarga kaya. Jadi yang ingin dia ketahui adalah bagaimana menjelaskan keanehan ini?
Now, Alice had trouble getting funding for her research. In the end, she got just 1,000 pounds from the Lady Tata Memorial prize. And that meant she knew she only had one shot at collecting her data. Now, she had no idea what to look for. This really was a needle in a haystack sort of search, so she asked everything she could think of. Had the children eaten boiled sweets? Had they consumed colored drinks? Did they eat fish and chips? Did they have indoor or outdoor plumbing? What time of life had they started school?
Kini Alice kesulitan mencari dana untuk penelitiannya. Akhirnya, dia hanya mendapat 1.000 pound dari penghargaan Lady Tata Memorial. Dan itu artinya dia hanya memiliki satu kesempatan untuk mengumpulkan data. Lalu dia tidak tahu apa yang harus dicari. Ini benar-benar seperti mencari jarum dalam jerami, jadi dia menanyakan semua hal yang dia pikirkan. Apakah anak itu makan manisan yang direbus? Apakah mereka minum minuman berwarna? Apakah mereka makan ikan dengan kentang goreng? Apakah air minum mereka berasal dari jaringan di dalam atau di luar rumah? Pada usia berapa mereka mulai sekolah?
And when her carbon copied questionnaire started to come back, one thing and one thing only jumped out with the statistical clarity of a kind that most scientists can only dream of. By a rate of two to one, the children who had died had had mothers who had been X-rayed when pregnant. Now that finding flew in the face of conventional wisdom. Conventional wisdom held that everything was safe up to a point, a threshold. It flew in the face of conventional wisdom, which was huge enthusiasm for the cool new technology of that age, which was the X-ray machine. And it flew in the face of doctors' idea of themselves, which was as people who helped patients, they didn't harm them.
Dan saat angketnya mulai sampai hanya satu hal yang keluar dengan statistik yang jelas di mana sebagian besar ilmuwan hanya dapat mengimpikannya. Dengan perbandingan 2 berbanding 1 anak-anak yang meninggal memiliki ibu yang menjalani rontgen saat mengandung. Kini mencari sesuatu agar lenyap di hadapan kebijaksanaan konvensional. Kebijaksanaan konvensional yaitu segala sesuatu itu aman sampai pada suatu titik hal itu lenyap di hadapan kebijaksanaan konvensional. yaitu gairah yang besar akan teknologi baru yang keren pada saat itu, yaitu mesin sinar X. Dan pikiran dokter akan diri mereka saat itu sebagai orang-orang yang menolong para pasien, mereka tidak membahayakan pasien mereka.
Nevertheless, Alice Stewart rushed to publish her preliminary findings in The Lancet in 1956. People got very excited, there was talk of the Nobel Prize, and Alice really was in a big hurry to try to study all the cases of childhood cancer she could find before they disappeared. In fact, she need not have hurried. It was fully 25 years before the British and medical -- British and American medical establishments abandoned the practice of X-raying pregnant women. The data was out there, it was open, it was freely available, but nobody wanted to know. A child a week was dying, but nothing changed. Openness alone can't drive change.
Namun, Alice Stewart dengan segera menerbitkan penemuan awalnya di The Lancet pada tahun 1956. Orang-orang sangat tertarik, ada yang berbicara tentang Hadiah nobel dan Alice benar-benar dengan cepat mencoba mempelajari semua kasus kanker di masa anak-anak yang dia temukan sebelum kasus itu menghilang. Sebenarnya, dia tidak perlu tergesa-gesa. Masih 25 tahun lagi sampai lembaga medis -- lembaga medis Inggris dan Amerika Serikat tidak lagi melakukan sinar X pada wanita hamil. Datanya ada di sana dan tersedia secara bebas, namun tidak ada yang ingin mengetahuinya. Setiap minggu ada anak yang sekarat namun tidak ada yang berubah. Keterbukaan saja tidak dapat mendorong perubahan.
So for 25 years Alice Stewart had a very big fight on her hands. So, how did she know that she was right? Well, she had a fantastic model for thinking. She worked with a statistician named George Kneale, and George was pretty much everything that Alice wasn't. So, Alice was very outgoing and sociable, and George was a recluse. Alice was very warm, very empathetic with her patients. George frankly preferred numbers to people. But he said this fantastic thing about their working relationship. He said, "My job is to prove Dr. Stewart wrong." He actively sought disconfirmation. Different ways of looking at her models, at her statistics, different ways of crunching the data in order to disprove her. He saw his job as creating conflict around her theories. Because it was only by not being able to prove that she was wrong, that George could give Alice the confidence she needed to know that she was right.
Jadi selama 25 tahun Alice Stewart menjalani pertempuran besar. Bagaimana dia tahu kalau dia benar? Dia memiliki model berpikir yang luar biasa. Dia bekerja bersama seorang ahli statistik bernama George kneale dan George sangat berbeda dengan Alice. Alice sangat ramah dan mudah bergaul, sedangkan George seperti pertapa. Alice sangat hangat dan bersimpati dengan para pasiennya. George lebih menyukai angka dibandingkan orang. Namun dia mengatakan hal ini tentang hubungan kerja mereka. "Tugasku adalah membuktikan Dr. Stewart salah." Dia terus mencari bukti kesalahan itu. Melihat model dan statistiknya dengan berbagai cara, mencoba menghancurkan datanya dengan berbagai cara untuk membuktikan bahwa dia salah. Dia melihat pekerjaannya adalah mencari pertikaian pada teorinya. Karena hanya dengan tidak dapat membuktikan bahwa Alice salah, George dapat memberikan kepercayaan diri yang diperlukan Alice untuk tahu bahwa dirinya benar.
It's a fantastic model of collaboration -- thinking partners who aren't echo chambers. I wonder how many of us have, or dare to have, such collaborators. Alice and George were very good at conflict. They saw it as thinking.
Ini model kerja sama yang luar biasa -- rekan berpikir yang tidak saling mengikuti. Saya penasaran berapa banyak dari kita yang memiliki, atau berani memiiliki, rekan seperti itu. Alice dan George sangat bagus dalam pertikaian. Mereka melihat hal itu sebagai berpikir.
So what does that kind of constructive conflict require? Well, first of all, it requires that we find people who are very different from ourselves. That means we have to resist the neurobiological drive, which means that we really prefer people mostly like ourselves, and it means we have to seek out people with different backgrounds, different disciplines, different ways of thinking and different experience, and find ways to engage with them. That requires a lot of patience and a lot of energy.
Jadi apa yang diperlukan pertikaian yang membangun seperti itu? Pertama, kita harus mencari orang yang sangat berbeda dari diri kita. Itu artinya kita harus mengatasi dorongan neurobiologi yang mengatakan kita menyukai orang yang mirip dengan kita dan itu berarti kita harus mencari orang dengan latar belakang, disiplin ilmu, cara berpikir, dan pengalaman yang berbeda dan mencari cara untkk bergabung dengan mereka. Hal itu memerlukan banyak kesabaran dan energi.
And the more I've thought about this, the more I think, really, that that's a kind of love. Because you simply won't commit that kind of energy and time if you don't really care. And it also means that we have to be prepared to change our minds. Alice's daughter told me that every time Alice went head-to-head with a fellow scientist, they made her think and think and think again. "My mother," she said, "My mother didn't enjoy a fight, but she was really good at them."
Dan semakin saya memikirkan hal ini, itu ternyata benar-benar sejenis rasa cinta. Karena Anda tidak akan mengeluarkan energi dan waktu sebanyak itu jika Anda tidak peduli. Dan itu berarti kita harus bersiap mengubah cara berpikir kita. Putri Alice memberi tahu saya bahwa setiap kali Alice bertemu langsung dengan rekan ilmuwannya, mereka membuat Alice berpikir dan berpikir lagi. "Ibu saya," katanya, "tidak menyukai pertikaian namun dia sangat pandai bertikai."
So it's one thing to do that in a one-to-one relationship. But it strikes me that the biggest problems we face, many of the biggest disasters that we've experienced, mostly haven't come from individuals, they've come from organizations, some of them bigger than countries, many of them capable of affecting hundreds, thousands, even millions of lives. So how do organizations think? Well, for the most part, they don't. And that isn't because they don't want to, it's really because they can't. And they can't because the people inside of them are too afraid of conflict.
Itulah salah satu cara melakukannya dalam hubungan antara 2 orang. Namun hal ini memberikan masalah paling besar yang kita hadapi, sebagian besar bencana yang kita alami tidaklah datang dari satu orang, namun datang dari organisasi, beberapa di antaranya lebih besar daripada negara, banyak di antaranya yang dapat mempengaruhi ratusan, ribuan, bahkan jutaan hidup. Jadi bagaimana cara organisasi berpikir? Sebagian besar di antaranya, Anda tidak tahu. Dan itu bukanlah karena mereka tidak mau namun mreka tidak bisa. Mereka tidak bisa karena orang di dalam diri mereka terlalu takut pada pertikaian
In surveys of European and American executives, fully 85 percent of them acknowledged that they had issues or concerns at work that they were afraid to raise. Afraid of the conflict that that would provoke, afraid to get embroiled in arguments that they did not know how to manage, and felt that they were bound to lose. Eighty-five percent is a really big number. It means that organizations mostly can't do what George and Alice so triumphantly did. They can't think together. And it means that people like many of us, who have run organizations, and gone out of our way to try to find the very best people we can, mostly fail to get the best out of them.
dalam survei terhadap para eksekutif Eropa dan Amerika,a 85 persen dari mereka mengaku mereka memiliki masalah dan persoalan dalam pekerjaan yang takut mereka uagkapkan. Takut akan pertikaian yang memicu takut untuk terlibat dalam perdebatan yang mereka tidak tahu cara mengatasinya, dan merasa bahwa mereka telah kalah. 85 persen benar-benar angka yang besar. Itu berarti sebagian besar organisasi tidak dapat melakukan apa yang sukses dilakukan George dan Alice. Mereka tidak bisa berpikir bersama. Dan itu berarti orang-orang seperti kita kebanyakan yang menjalankan organisasi dan keluar untuk mencari orang terbaik yang bisa kita dapatkan sebagian besar gagal mendapat hal terbaik dari mereka.
So how do we develop the skills that we need? Because it does take skill and practice, too. If we aren't going to be afraid of conflict, we have to see it as thinking, and then we have to get really good at it. So, recently, I worked with an executive named Joe, and Joe worked for a medical device company. And Joe was very worried about the device that he was working on. He thought that it was too complicated and he thought that its complexity created margins of error that could really hurt people. He was afraid of doing damage to the patients he was trying to help. But when he looked around his organization, nobody else seemed to be at all worried. So, he didn't really want to say anything. After all, maybe they knew something he didn't. Maybe he'd look stupid. But he kept worrying about it, and he worried about it so much that he got to the point where he thought the only thing he could do was leave a job he loved.
Jadi bagaimana kita mengembangkan keterampilan yang diperlukan? Karena keterampilan juga memerlukan latihan. Jika kita tidak takut pada pertikaian, kita harus melihatnya sebagai cara berpikir, lalu kita harus menguasainya. Baru-baru ini, saya bekerja bersama seorang eksekutif bernama Joe yang bekerja untuk perusahaan alat medis. Joe sangat khawatir akan alat yang sedang dia kerjakan. Dia merasa alat itu terlalu rumit dan dia merasa bahwa kerumitan itu akan membuat kesalahan yang dapat membuat orang sakit. Dia takut dia akan merusak pasien yang dia ingin tolong. Namun saat dia melihat pada organisasinya, tampaknya tidak ada yang khawatir. Jadi dia tidak ingin mengucapkan apapun. Bagaimanapun, mungkin mereka tahu sesuatu yang dia tidak tahu. Mungkin dia akan terlihat bodoh. Namun dia tetap khawatir akan hal itu dan dia khawatir sampai pada suatu titik di mana dia berpikir satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah keluar dari pekerjaan yang dicintainya.
In the end, Joe and I found a way for him to raise his concerns. And what happened then is what almost always happens in this situation. It turned out everybody had exactly the same questions and doubts. So now Joe had allies. They could think together. And yes, there was a lot of conflict and debate and argument, but that allowed everyone around the table to be creative, to solve the problem, and to change the device.
Akhirnya, saya dan joe menemukan cara untuk mengungkapkan kekhawatirannya. Dan yang terjadi adalah apa yang hampir selalu terjadi pada keadaan seperti ini. Ternyata semua orang memiliki pertanyaan dan keraguan yang sama. Kini Joe memiliki sekutu. Mereka dapat berpikir bersama. Dan memang ada banyak pertikaian, debat, dan argumen, namun hal itu membuat semua orang menjadi kreatif, untuk memecahkan masalah itu dan mengubah alatnya.
Joe was what a lot of people might think of as a whistle-blower, except that like almost all whistle-blowers, he wasn't a crank at all, he was passionately devoted to the organization and the higher purposes that that organization served. But he had been so afraid of conflict, until finally he became more afraid of the silence. And when he dared to speak, he discovered much more inside himself and much more give in the system than he had ever imagined. And his colleagues don't think of him as a crank. They think of him as a leader.
Joe adalah apa yang dianggap oleh banyak orang sebagai "pengungkap aib," kecuali bahwa tidak seperti pengungkap aib yang biasanya, dia bukanlah orang gila, dia sangat berbakti pada organisasinya dan pada tujuan organisasinya yang lebih tinggi. Namun dia sangat khawatir akan terjadi pertikaian, hingga akhirnya dia menjadi lebih khawatir jika terus diam. Dan saat dia berani berbicara, dia menemukan banyak hla di dalam dirinya dan memberikan lebih banyak hal daripada yang pernah dia bayangkan. Dan rekan-rekannya tidak menganggapnya sebagai orang gila. Mereka mengganggap Joe sebagai pemimpin.
So, how do we have these conversations more easily and more often? Well, the University of Delft requires that its PhD students have to submit five statements that they're prepared to defend. It doesn't really matter what the statements are about, what matters is that the candidates are willing and able to stand up to authority. I think it's a fantastic system, but I think leaving it to PhD candidates is far too few people, and way too late in life. I think we need to be teaching these skills to kids and adults at every stage of their development, if we want to have thinking organizations and a thinking society.
Jadi bagaimana kita dapat lebih mudah dan lebih sering membicarakan hal ini? Universitas Delft meminta para mahasiswa doktoralnya mengumpulkan 5 pernyataan bahwa mereka bersedia mempertahankan. Tidak masalah pernyataan itu tentang apa masalahnya adalah para calon doktor ingin dan dapat menantang kekuasaan. Saya rasa itu adalah sistem yang fantastis namun saya merasa memberikan kepada beberapa calon doktor itu terlalu sedikit dan terlalu terlambat. Saya rasa kita harus mengajarkan kemampuan ini pada anak-anak dan orang dewasa pada setiap tahap perkembangan mereka jika kita ingin memiliki organisasi pemikir dan masyarakat pemikir.
The fact is that most of the biggest catastrophes that we've witnessed rarely come from information that is secret or hidden. It comes from information that is freely available and out there, but that we are willfully blind to, because we can't handle, don't want to handle, the conflict that it provokes. But when we dare to break that silence, or when we dare to see, and we create conflict, we enable ourselves and the people around us to do our very best thinking.
Kenyataannya adalah sebagian besar bencana yang kita saksikan jarang datang dari informasi yang rahasia atau disembunyikan, Namun datang dari informasi yang tersedia secara luas namun kita pura-pura tidak melihatnya karena kita tidak bisa mengatasi, tidak ingin mengatasi pertikaian yang ditimbulkannya. Namun saat kita berani untuk bicara atau kita berani melihat dan menciptakan pertikaian, kita membuat diri kita dan orang-orang di sekitar kita mampu memberikan pikiran terbaiknya.
Open information is fantastic, open networks are essential. But the truth won't set us free until we develop the skills and the habit and the talent and the moral courage to use it. Openness isn't the end. It's the beginning.
Informasi terbuka sungguh luar biasa, jaringan terbuka sangat penting. Namun kenyataan itu tidak akan membebaskan kita sampai kita mengembangkan keterampilan, kebiasaan, bakat, dan keberanian moral untuk menggunakannya. Keterbukaan bukanlah akhir. Itu adalah permulaan.
(Applause)
(Tepuk tangan)