Whitney Pennington Rodgers: Each of us, no matter who we are, have dreams for ourselves. and all of us also have fears. Luvvie Ajayi Jones has spent lots of time thinking about the intersection of these two things, namely, how you can overcome your fears to accomplish your dreams. Here to break this all down for us is Luvvie Ajayi Jones. Welcome, Luvvie.
Whitney Pennington Rodgers: Kita semua, siapapun itu, memiliki mimpi sendiri. kita semua juga punya ketakutan. Luvvie Ajayi Jones sudah menghabiskan waktu berpikir mengenai dua hal tersebut, misalnya, bagaimana supaya tidak takut dan meraih mimpi. Hadir untuk kita disini adalah Luvvie Ajayi Jones Selamat datang, Luvvie.
Luvvie Ajayi Jones: Hi!
Luvvie Ajayi Jones: Hai!
WPR: Hi, Luvvie. How are you doing?
WPR: Halo juga, Luvvie. Apa kabar?
LAJ: Doing well. Doing well.
LAJ: Kabar baik. Kabar baik.
WPR: Why do you use the term "professional troublemaker" to describe yourself? Why is that sort of the term that you've landed on to define what you are, who you are?
WPR: Kenapa kamu bertitel “Pembuat Onar Profesional” untuk menjelaskan diri? Kenapa titel ini yang kamu pilih untuk menjelaskan apa dan siapa kamu?
LAJ: Yeah. You know, some of us have been called troublemakers growing up. When you are too loud in the class or, you know, your mom tells you to eat vegetables and you say no, and you're like, you're a troublemaker. I want to reclaim what that means. I think about the late, great John Lewis, who said we have to be ready to make necessary trouble, good trouble, and really was the lens of: we are going to have to do things that are going to disrupt the status quo in this world. If we're going to do anything of impact and of note and make any type of positive change, we are going to have to "make trouble." And making trouble is not about being a contrarian randomly. It's not about being a troll. It's not just simply because you want to make people uncomfortable. It's that, often, when you are the person who thinks different from everybody else in the room, it does feel like trouble. You know, when you are not going along with the group, it feels like trouble. But sometimes, it's actually what you need to do to not just honor yourself, but honor the world and honor who you want to be. So if making trouble looks like we actually end up being better off for it, then we have to make trouble. I think it's an obligation for us to make trouble, the type that leaves our kids better, that leaves the rooms that we are in elevated, the types that lets us be proud of ourselves.
LAJ: Iya. Kau tahu, beberapa dari kita disebut pembuat onar saat kecil. Saat kalian terlalu berisik di kelas, atau kau tahu, saat diminta ibu makan sayur dan kau jawab tidak mau, dan kau seperti, kau adalah pembuat onar. Aku ingin klaim ulang artinya. Kalau tidak salah, almarhum John Lewis, pernah berkata kalau kita harus siap membuat onar, keonaran baik, dan itulah kacamata dari hal ini: kita akan membuat keonaran positif. Kita akan mengganggu tatanan status quo di dunia. Jika kita mau melakukan sesuatu dengan akibat baik dan membuat hal apapun untuk perubahan positif, kita akan membuat “keonaran”. Dan membuat onar bukan selalu asal membuat kericuhan. Bukan bermaksud menjadi penginjak. Bukan hanya karena ingin membuat orang lain jadi sungkan. Biasanya, seperti itu, saat kau merasa pikiranmu berbeda dari anak lain di ruangan, seperti melakukan keonaran. Kau tahu, saat kau tidak cocok di grup, rasanya seperti membuat onar. Namun terkadang, hal itu perlu bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi juga dunia ini dan menghargai mimpimu. Jika membuat keonaran seperti membuat kita menjadi lebih baik, kita harus membuat onar. Kurasa ini kewajiban supaya kita buat onar terus, supaya anak-anak kita menjadi lebih baik, sehingga saat pergi kita menjadi terangkat, membuat kita bangga pada diri sendiri.
Now, making trouble will not always go well, right? Let's keep -- I'm going to say that. It's not that when you speak the truth, somebody's going to always receive it properly. But you go to bed knowing that you at least tried, as opposed to saying, "What if I had tried?" It's a life of, "Oh, well," then "What if?" So I think that's why professional troublemaking is something that we should be proud of.
Nah, membuat keonaran tidak selalu berjalan baik, betul? Mari kita -- aku akan berkata itu. Tidak selalu saat kau berkata jujur, seseorang akan selalu menerimanya dengan baik. Tapi, yang terpenting saat kau tidur, kau tahu sudah berusaha, daripada berandai-andai “mengapa saya tidak berusaha?” Ini hidup yang “Oh, baiklah” ketimbang “Bagaimana kalau?” Jadi, kupikir itulah mengapa menjadi pembuat onar profesional harus kita banggakan.
WPR: So I know everyone is dying to know: How how do I become a professional troublemaker? You outlined this in your book. You talk a little bit about it in your talk. But I know there are three big things that you think you need to do to approach this idea of becoming a troublemaker. Will you share a little bit about that with us?
WPR: Semua ingin tahu: Bagaimana cara menjadi pembuat onar profesional? Kau menyampaikannya di bukumu. Kau bicara sedikit di paparanmu. Namun, aku tahu ada tiga hal utama yang kau rasa harus kau lakukan untuk menjadi pembuat onar profesional. Akankah kau bagikan sedikit dengan kami?
LAJ: Yes. So when you are in the room, and somebody says something that is not a great idea -- we've all been in meetings like that, where a campaign idea was brought forth or a slogan or just something, and you're just like, "Oof," but everybody else in the room is like, "This is a great idea! We love it! Yes, let's do it!" And usually you feel like you're standing on an island by yourself, because you're like, "If I'm the only person that has a problem with it, am I the problem?" So then oftentimes, we'll be quiet, the room will dissipate, we walk out, and we keep thinking about that moment, and we keep saying, "Should I have said something?" I don't like the feeling of thinking, "Should I have said something?" Because I'll sit on it, and I'll overthink it, and I'll think about it the day after, and I'll be like, "I should have said something."
LAJ: Ya. Jadi saat kalian ada di ruangan, dan seseorang menyampaikan pendapat, tetapi bukan ide yang baik. Kita semua pernah berada di situasi itu, saat ide kampanye dimajukan, atau slogan, atau apa pun, dan kau seperti, “Oof,” tapi orang-orang lain di ruangan itu berkata, “Ide bagus!” “Kita suka itu! Mari kita lakukan!” Dan biasanya kau jadi merasa berdiri sendiri di sebuah pulau, karena pikirmu, “Cuma aku yang bermasalah dengan hal itu,” “Apakah aku masalahnya?” Sehingga seringkali kita diam saja, sampai ruangan ditutup, kita keluar, dan berpikir saat itu, kita terus berkata, “Mestinya aku berbicara sesuatu?” Aku tidak suka rasanya berpikir, “Mestinya aku berbicara sesuatu?” Karena aku akan kepikiran aneh-aneh, sampai keesokan harinya, dan tersadar, “Semestinya aku berbicara sesuatu.”
So for those tough moments where you want to say something that feels like it's contrary to what everybody else is saying but you know you deeply believe it, I say ask yourself three questions. And if the answer is yes to all three, you say the thing. OK, so the three questions are: Do I mean it? This question is important because you're not just talking to hear your own voice. Do you actually mean what you're about to say? Can I defend it? OK, if somebody challenges you on this thing that you are also challenging, do you have a way to justify and back it up? Do you have a clear way to say, "These are the receipts I'm coming with"? And then: Can I say it thoughtfully? Because how you say it does matter. Now, it does not mean that you should be tone-policed, nor does it mean that everybody will think you're saying it thoughtfully. But if you at least try to run it through your own, "Am I trying to be as thoughtful as possible?" it's risk mitigation. So you're saying, "OK, I'm not going to be hateful about this. I'm not going to say this to demean somebody. And I'm not just saying it to blow the room up or make the room feel like a rocky place to be in." When the answer is yes to all three -- Do I mean it? Can I defend it? Can I say thoughtfully? -- say it, and then deal with whatever comes. Now, again -- I say risk mitigation. I'm not saying everybody will receive what you're going to say with the intention you meant, OK? But it is a way to check yourself, check in with yourself, check what you're about to say, check your tone a little bit so it doesn't come out as unthoughtful as it could. Because there are moments when things might be heated and you might want to speak really quickly. It slows you down just a little bit to say, all right, all right, you do want to say this thing, it is valid, but don't come at this person's neck. So I think it's important for me. It's a checkpoint that I've used for years that I kind of lead with. And most of the time it goes well.
Jadi, pada saat sulit, saat kau ingin bilang sesuatu yang berkebalikan dengan yang semua orang katakan tapi dalam hatimu kau percaya itu, kau harus tanyakan tiga hal ke dirimu. Dan, jika jawabanmu ya untuk ketiganya, kau sampaikan hal itu. Pertanyaannya adalah: Apa aku serius? Pertanyaan ini penting karena kau tidak berbicara hanya untuk didengar dirimu sendiri. Apa kau serius menyampaikan apa yang kau katakan? Apa aku bisa membelanya? Oke, jika seseorang menantangmu atau jika hal itu juga menantangmu, apa kau punya justifikasi untuk mendukung argumenmu? Apakah kau bisa bicara lantang, “Aku bicara seperti itu buktinya...” Lalu: bisakah aku sampaikan dengan baik? Karena penyampaianmu itu berpengaruh. Kini, bukan maksudnya kau harus ‘tone-policed’, atau jika semua akan berpikir kau menyampaikannya sudah baik. Tetapi, kau bisa coba ke dirimu sendiri, “Apa aku sudah coba sampaikan sebaik mungkin?” Ini mitigasi risiko. Kau berkata “Oke, aku takkan menjadi pembenci hal ini.” Bukan maksudku untuk menjahati orang lain. Dan, aku bukan berkata itu supaya satu ruangan kagum atau membuat orang-orang di ruangan itu menjadi tidak enak. Jika jawabanmu ya bagi ketiganya -- Apa aku serius? Bisakah kubela? Bisa kukatakan sebaik mungkin? -- katakanlah itu, dan bersiap apapun risikonya. Kini, lagi, aku katakan mitigasi risiko. Aku tidak berkata semua akan menerima pernyataanmu sebaik apapun intensimu, oke? Tapi kau bisa cek sendiri, cek dirimu sendiri, cek apa yang kau sampaikan, cek nada bicaramu sedikit sehingga tidak seperti kau tidak berpikir sebelum bicara. Karena ada momen dimana beberapa hal bisa menjadi ‘panas’ dan kau mungkin ingin bicara secepat mungkin. Itu akan sedikit menenangkanmu untuk bicara, baiklah, baiklah, kau ingin menyampaikan hal itu. Itu valid, tetapi jangan menyakiti orang lain. Jadi, kupikir bagiku sangatlah penting. Sebagai ‘checkpoint’ yang kugunakan bertahun-tahun, yang kupimpin. Kebanyakan, terlaksana dengan baik.
WPR: That is part of the tenets you outline. This is part of the "be" part. You have "be, say, do" -- Is that right? -- for tenets.
WPR: Hal itu adalah bagian dari prinsip yang kau sampaikan. Ini adalah bagian dari “Jadilah”. Ada “Jadilah, Katakan, Lakukan” -- betul? Untuk prinsip.
LAJ: Yes. Be, say, do.
Jadilah, Katakan, Lakukan.
WPR: Be, say, do. And Ahmed, he asks, "How do you recognize professional trouble rather than regular trouble?"
WPR: Jadilah, Katakan, lakukan. Dan Ahmed, dia bertanya, “Bagaimana membedakan pembuat onar profesional
LAJ: I think it just really comes down to the heart from which you're doing it.
dengan pembuat onar biasa?”
You know, I really do think professional troublemaking, what it means is to disrupt for the greater good. You're not just disrupting because you don't like the person that's sitting across from you. You're disrupting because you know what you're saying or doing is going to be better for somebody else or somebody who looks like you or somebody who doesn't even look like you, right? It is ... it's mission-driven. And it is sometimes brave, because a lot of troublemaking is going to be scary. If it's not scary, it's probably not troublemaking, right? If it does not give you a little bit of, "Uhh ... I'm about to do this," it's probably not troublemaking. Because if it was easy, everybody would do it. If something was easy to say or do, everybody would do it, so it wouldn't be special.
LAJ: Itu kembali ke hati masing-masing mengapa kau melakukan itu. Kau tahu, aku percaya bahwa pembuat onar profesional, adalah mengganggu kenyamanan, untuk tujuan yang lebih baik. Kau tidak hanya mengganggu karena kau tidak suka sama orang yang duduk di seberangmu. Kau mengganggu karena kau tahu apa yang kau katakan dan lakukan akan membuat perubahan baik kepada orang lain atau orang-orang sepertimu atau juga orang-orang yang tidak sepertimu, betul? Itu adalah... didorong oleh misi. Dan ini terkadang berani, Karena banyak keonaran yang akan menjadi menakutkan. Jika tidak menakutkan, bukan membuat onar namanya, betul? Jika kamu tidak merasa “Uhh.. Aku akan melakukan hal ini”, mungkin itu bukan membuat onar. Karena kalau mudah, semua bisa melakukannya. Jika sesuatu mudah dikatakan atau dilakukan, semua akan melakukan, dan itu tidak spesial.
So I think a lot of times about troublemaking the thing to really understand is: it's going to be scary. But what we sometimes will think is that if it's scary, that means I need to not do it. That's not true. That's how we end up not living the lives that we want to live. That's how we end up passing on opportunities that are meant to transform our lives. That's how we end up regretting our silence in rooms. One of the things that I actually ask myself whenever I'm in a room and I feel like I need to say something that feels tough is, I also ask myself, "Will my silence make me proud? This thing that feels like trouble, if I don't do it, will I be proud of myself?" Because ultimately, we are all our own biggest critics. Like, I could disappoint other people and still be able to deal with it. But when I disappoint myself, it's really tough. So I'm always like, "I'm making trouble so I don't disappoint myself. I'm making trouble so my silence is not something that will convict me." Because if I was there, I have to justify what I did in any room. And I want to be able to say, "At least I tried."
Jadi aku berpikir mengenai membuat onar, hal yang harus dipahami adalah: hal ini akan menakutkan. Namun yang biasa kita pikirkan adalah, jika menakutkan, artinya aku tidak usah melakukannya. Hal itu tidak benar. Itulah mengapa kita tidak hidup sesuai dengan impian kita. Itulah mengapa kita selalu melewatkan kesempatan yang semestinya bisa merubah hidup kita. Itulah mengapa kita selalu menyesal kalau kita diam saja. Satu hal yang kutanya ke diri sendiri saat aku sedang di situasi itu dan aku ingin berkata sesuatu yang terasa berat adalah, aku juga tanya ke diri sendiri, “Apa keheninganku membuatku bangga? Hal yang terasa mengganggu itu, jika aku tidak bicara, apa aku akan bangga? Karena, kita adalah kritikus terkejam bagi diri sendiri. Aku bisa saja mengecewakan orang, namun masih bisa berurusan dengan hal itu. Tapi jika diri sendiri yang kecewa, pasti sangat berat. Jadi aku selalu, “Aku membuat onar supaya tak kecewa sendiri. Aku membuat onar agar keheninganku bukan sesuatu yang akan menghukumku.” Karena jika aku di situ, aku harus menjustifikasi sikapku di ruangan itu. Dan aku ingin bisa berkata, “Yang penting sudah kucoba”.
WPR: And to this point, Dennis asks, "How do you pick your battles to maintain your energy every day? How do you decide which trouble's worth making?"
WPR: Dan pada titik ini, Dennis bertanya, “Bagaimana kau berkompetisi untuk menjaga energimu setiap hari? Bagaimana kau memutuskan keonaran mana yang layak dibuat?”
LAJ: Great question. Sometimes, I just ... don't have the energy to make trouble on that day. What that means is, if I am in a meeting, and on that day, I'm wiped, and I'm just like, "I don't have the energy to even be the one that's challenging," on that day, I might be quiet. So I just need more people to feel the obligation to also make the good trouble, so the one person who's always doing it can take a rest.
LAJ: Pertanyaan bagus. Terkadang, aku hanya... tidak punya energi untuk membuat onar hari itu. Berarti, jika aku di sana, dan pada hari itu aku sedang capek, aku hanya, “Aku tidak punya energi untuk membuat onar hal menarik sekalipun”, di hari itu, mungkin aku diam. Jadi, aku butuh banyak orang lain untuk merasa wajib untuk turut membuat keonaran baik, sehingga siapapun pelaku sebelumnya bisa istirahat dulu.
WPR: I mean, it sounds like a big part of this is understanding yourself, right? Is understanding the sorts of things you want to go after. And we have an anonymous question where somebody asks, "I think being a troublemaker also requires us to identify what we truly want. What's your advice on finding out what you want?"
WPR: Maksudku, seperti bagian besar di sini adalah paham diri sendiri, benar? adalah memahami hal-hal apa saja yang ingin kau kejar. Dan kita ada pertanyaan tanpa nama, yang menanyakan, “Kurasa menjadi pembuat onar juga membuat kita untuk idenfikasi apa yang kita mau. Apa saranmu saat menemukan apa yang kamu cari?”
LAJ: Yeah, I think it's important to know what your core values are and what the thing that you will fight for is, which is why I started the book with a chapter called "Know Thyself." That was important because we have to be doubly clear on who we are, what we hold dear, why we are who we are, because it's what's going to inform what we want to speak up about. It's what's going to inform what drives us to fight. It's what's going to inform the why of it all. It's what pushes you past the fear to say, "I have to do this anyway." So if you're not clear about who you are and what's important to you, you're going to find it hard to know, "What am I actually going to be standing up for?"
LAJ: Ya, penting untuk paham apa nilai-nilai utama dirimu dan hal apa yang akan dipertaruhkan, oleh karena itu aku memulai sebuah buku dengan bab bernama “Kenali Diri Sendiri”. Hal ini penting karena kita jadi memiliki kejelasan akan diri kita sendiri, apa yang lekat di hati kita, mengapa kita menjadi diri kita sekarang, karena itu akan menginformasikan apa yang ingin kita katakan. Ini akan menginformasikan apa pendorong kita. Ini juga akan menginformasikan semua pertanyaan “mengapa”. Ini mendorongmu lawan ketakutan untuk bilang, “Aku harus melakukan ini”. Maka, jika kamu tidak tahu siapa dirimu dan apa hal terpentingmu, kamu akan merasa sulit mengerti, “Apa yang sebenarnya aku bela di sini?”
WPR: You've gone back to these tenets, then, in answering this question, this idea of being the troublemaker that you want to be. And then what you shared earlier is the saying of the asking the three questions. And then there's a third part of this, the doing element. Could you talk a little bit about what that looks like?
WPR: Kamu kembali ke prinsip kamu lagi, saat menjawab pertanyaan ini, ide ini untuk menjadi pembuat onar yang kamu inginkan. Dan apa yang kamu bagikan sebelumnya adalah untuk bertanya tiga pertanyaan dan ada bagian ketiga dari sini, yakni elemen “lakukan”. Apa kau bisa bagikan sedikit seperti apa?
LAJ: Yeah, you know, you can talk a good talk, but if you're not doing work, then what's the point of the talk? Ultimately, we have to put action to our beliefs, to our ideas, to our convictions. So you can be like, yes, you know, Black lives matter. But if you're a boss who hasn't promoted your most senior Black staff, and somebody who just started got promoted over them, then the words that you said did not matter. So the "do" of it all is important; it's an exclamation point, because first you fix your mindset with the "be," then you start putting words to it with the "say," and then now you actually put action to it with the "do." And we cannot have the other two without the do. I think what ends up happening a lot is that people feel really good about what they said, but they haven't made it actually match with their action. So be who you say you are, you know, whether people are watching or not. Be who you say you are in private and in public, in the rooms where it's easy and in the rooms where it's tough and you face opposition. Because a lot of us are walking with privilege that we're not using. So every day you're trying to figure out in what ways can you use your voice, your access, your social currency in service of people who don't have it as much as you do.
LAJ: Ya, kau tahu, kau bisa bicara lantang, namun jika tidak diikuti tindakan, lalu apa gunanya berbicara? Pada akhirnya, kita harus menaruh aksi di kepercayaan kita, pada ide kita, ke opini kita. Jadi kau bisa, ya, kau tahu, bilang “Black Lives Matter” Tapi jika kalian tidak mempromosikan staff senior kalian yang berkulit hitam, dan orang lain yang dipilih ketimbang dia, maka apa yang kau katakan tidak ada artinya. Maka “Lakukan” ini penting; hal ini adalah seruan, karena pertama kau fokus dengan “Jadikan”, lalu kau “Katakan”, dan kini kau tuntaskan dengan bertindak di “Lakukan”. Kita tak bisa punya dua hal lain jika “Lakukan” tidak ada. Menurutku, yang sering terjadi adalah orang-orang terlanjur nyaman dengan perkataan mereka saja, namun tidak diikuti tindakan. Maka, jadilah orang yang sesuai perkataan dan tindakan, kau tahu, dilihat orang lain maupun tidak. Jadilah apa yang kau katakan pribadi maupun di depan umum, di ruangan yang mudah maupun di ruangan yang sulit, dan ada lawanmu di sana. Karena kebanyakan dari kita berjalan dengan kenyamanan yang tidak kita gunakan. Maka setiap hari saat kau mencari tahu jalan apa yang bisa menyerukan suaramu, aksesmu, kurs sosialmu untuk melayani orang-orang yang tidak semampu dirimu.
WPR: So, Anushka, she asks, "As someone who's young and often seen as inexperienced, how do I gain the space to speak and have others realize my worth?"
WPR: Lalu, Anushka, ia bertanya, “Sebagai anak muda yang sering dianggap belum mampu, bagaimana aku dapat ruang bicara dan orang lain sadar kemampuanku?”
LAJ: You won't gain the space to speak. People won't let go of their power that they perceive. Basically, you have to take it. Now, that means you might have to interrupt and say, "Hi. I've been trying to speak for the last 20 minutes. I have a point of view that I'd love to offer up." It is being -- it is taking up space even when people don't give it to you. And it does not mean you're going to be rude. It doesn't mean you're going to be arrogant. It means your voice is necessary, just like everybody else's. In the places where your voice is not given space, sometimes, you either have to take it, or you walk away, knowing that's not the space for you. Because if you have to constantly fight to be heard, that's exhausting. People might look at you with all types of weird projections of what they think you do or don't know. Do not let it shift what you see as your own value. That is also why you cannot attach your value to how other people are treating you or how other people are projecting things onto you. If you do that, you will very quickly be told that you don't fit into spaces. You'll be very, very quickly told that you're not worthwhile or that your ideas are terrible, and then you will absorb it. And then you'll go, like, "Oh, I guess I won't use my voice." You got to fortify yourself and know that your voice is just as important as anybody else's in the room and that you as somebody who's learning, who's growing, who is already in the room, you have already proven yourself to be valuable. And whether or not people see it is not ... it's not your fault, but affirm yourself and make yourself known. You know, take up space, even if they're not giving it to you, don't wait for their permission to speak. Be brilliant whether or not they want you to be.
LAJ: Kau tak akan dapat ruang bicara. Orang-orang tidak akan melepas kekuasaan yang mereka anggap ada pada mereka. Intinya, kau harus meraihnya. Kini, mungkin maksudnya kau harus menginterupsi dan berkata, “Halo. aku sudah mencoba berbicara di 20 menit terakhir. Aku punya pandangan sendiri yang ingin kutawarkan.” Itu menjadi -- Itu meraih ruangan bahkan saat orang lain tidak memberikanmu. Dan, itu tidak berarti kau menjadi tak sopan. Bukan berarti kau bisa menjadi arogan. Itu artinya suaramu juga penting, sama seperti orang lain di sana. Pada tempat di mana suaramu tidak diberikan ruang bicara, terkadang, kau harus rebut, atau pergi saja, tahu bahwa di situ bukanlah ruanganmu. Karena jika kau berjuang terus supaya didengar, itu sangat capek. Orang-orang akan melihatmu dengan berbagai proyeksi aneh. dari apa yang mereka pikir kau tahu atau tidak tahu. Jangan biarkan itu merubah apa nilai-nilai yang kau miliki. Itulah mengapa juga, kau tidak bisa melampirkan nilai-nilaimu ke setiap orang yang memperlakukanmu atau bagaimana orang berpikir tentangmu. Jika kau melakukannya, kau akan cepat diusir dari situ, dianggap tidak cocok. Kau akan cepat-cepat diusir karena kau tidak berharga atau idemu sangat buruk, dan kau akan kepikiran. Dan kau akan berpikir, “Oh, suaraku tidak pantas didengar”. Kau harus membela dirimu sendiri dan tahu bahwa suaramu sama pentingnya dengan orang lain di ruangan itu dan kau adalah seseorang yang sedang belajar, bertumbuh, yang sudah ada di ruangan itu, dan kau sudah membuktikan bahwa dirimu bernilai. Dan jika orang lain tidak berpikir begitu... bukan salahmu, tapi buktikan dirimu dan buat dirimu dikenal. Kau tahu, raih saja ruang itu, meski mereka tidak memberikan, tidak usah tunggu izin bicara dari mereka. Jadilah brilian, meskipun mereka mau atau tidak.
WPR: Well, thank you so much, Luvvie, I know we're all going to be waiting with bated breath for the news around this book.
WPR: Baik, terima kasih Luvvie, Aku tahu kita akan menunggu dengan tidak sabar lebih lanjut mengenai buku ini.
LAJ: Thank you so much for having me. TED has been so significant in my journey.
LAJ: Terima kasih sudah mengundangku. TED sudah signifikan di perjalanan hidupku.