I'm a professional troublemaker.
Saya ahlinya dalam berbuat onar.
(Laughter)
(Tertawa)
As my job is to critique the world, the shoddy systems and the people who refuse to do better, as a writer, as a speaker, as a shady Nigerian --
Karena saya bertugas untuk mengkritik dunia, sistem yang buruk, dan mereka yang menolak untuk berbuat lebih baik, sebagai seorang penulis, pembicara, dan orang Nigeria berkulit gelap --
(Laughter)
(Tertawa)
I feel like my purpose is to be this cat.
Saat dirasa, tujuan saya adalah menjadi seperti kucing ini.
(Laughter)
(Tertawa)
[Tatapan Penuh Kritik]
I am the person who is looking at other people, like, "I need you to fix it." That is me. I want us to leave this world better than we found it. And how I choose to effect change is by speaking up, by being the first and by being the domino.
Dengan ekspresi itu, saya menatap mereka seolah berkata, “Anda perlu memperbaiki hal itu.” Itulah saya. Saya ingin kita meninggalkan dunia ini dengan kondisi yang lebih baik. Cara saya untuk membuat perubahan adalah dengan berani berbicara, dengan menjadi yang pertama, dan menjadi domino.
For a line of dominoes to fall, one has to fall first, which then leaves the other choiceless to do the same. And that domino that falls, we're hoping that, OK, the next person that sees this is inspired to be a domino. Being the domino, for me, looks like speaking up and doing the things that are really difficult, especially when they are needed, with the hope that others will follow suit. And here's the thing: I'm the person who says what you might be thinking but dared not to say. A lot of times people think that we're fearless, the people who do this, we're fearless. We're not fearless. We're not unafraid of the consequences or the sacrifices that we have to make by speaking truth to power. What happens is, we feel like we have to, because there are too few people in the world willing to be the domino, too few people willing to take that fall. We're not doing it without fear.
Agar barisan domino bisa rebah semua, satu domino harus direbahkan terlebih dahulu, sehingga sisanya juga ikut rebah. Kita berharap bahwa satu domino yang direbahkan itu dapat menginspirasi orang lain untuk ikut serta. Bagi saya, menjadi domino berarti berani berbicara dan melakukan sesuatu yang sangat sulit, terutama ketika hal itu dibutuhkan, dengan harapan agar orang lain dapat ikut serta. Intinya: saya adalah orang yang mengutarakan hal yang mungkin ada di pikiran Anda, tapi tidak berani Anda katakan. Banyak orang berasumsi, kami yang bertingkah seperti ini tidak punya rasa takut. Kami bukannya tidak takut. Kami bukannya tidak takut akan konsekuensi atau pengorbanan yang harus kami lakukan agar bisa mengemukakan kebenaran. Tapi, kami merasa harus melakukannya, karena terlalu sedikit jumlah orang yang bersedia menjadi domino, dan mengambil risiko. Bukan berarti kami tidak takut.
Now, let's talk about fear. I knew exactly what I wanted to be when I grew up. I was like, "I'm going to be a doctor!" Doctor Luvvie was the dream. I was Doc McStuffins before it was a thing.
Nah, mari bicara tentang rasa takut. Saya tahu persis impian saya sejak kecil. Saya bergumam, “Saya akan jadi dokter!” Saya bermimpi menjadi Dokter Luvvie. Bahkan sebelum Dokter McStuffins di seri anak-anak terkenal.
(Laughter)
(Tertawa)
And I remember when I went to college, my freshman year, I had to take Chemistry 101 for my premed major. I got the first and last D of my academic career.
Lalu, saya ingat saat kuliah, saya harus mengambil mata pelajaran Kimia 101 di tahun pertama untuk jurusan pra-kedokteran. Untuk pertama dan terakhir kalinya, saya mendapatkan nilai D.
(Laughter)
(Tertawa)
So I went to my advisor, and I was like, "OK, let's drop the premed, because this doctor thing is not going to work, because I don't even like hospitals. So ..."
Lalu, saya menemui penasehat akademis dan berkata, “Saya akan keluar dari jurusan pra-kedokteran, karena sepertinya tidak akan membuahkan hasil, saya bahkan tidak suka rumah sakit. Jadi...”
(Laughter)
(Tertawa)
"Let's just consider that done for." And that same semester, I started blogging. That was 2003. So as that one dream was ending, another was beginning. And then what was a cute hobby became my full-time job when I lost my marketing job in 2010. But it still took me two more years to say, "I'm a writer." Nine years after I had started writing, before I said, "I'm a writer," because I was afraid of what happens without 401ks, without, "How am I going to keep up my shoe habit? That's important to me."
“Anggap saja sudah berlalu.” Pada semester yang sama, saya mulai menulis blog. Itu pada tahun 2003. Jadi, ketika satu mimpi berakhir, mimpi lain mulai tumbuh. Sesuatu yang awalnya adalah hobi akhirnya menjadi pekerjaan saya ketika saya kehilangan pekerjaan marketing saya tahun 2010. 9 tahun setelah saya mulai menulis, saya masih butuh waktu 2 tahun lagi untuk menyatakan, “Saya seorang penulis.” karena saya khawatir apa yang akan terjadi tanpa tabungan pensiun, “Bagaimana dengan hobi saya sebagai kolektor sepatu? Itu penting bagi saya!”
(Laughter)
(Tertawa)
So it took me that long to own this thing that was what my purpose was. And then I realized, fear has a very concrete power of keeping us from doing and saying the things that are our purpose. And I was like, "You know what? I'm not going to let fear rule my life. I'm not going to let fear dictate what I do." And then all of these awesome things started happening, and dominoes started to fall.
Jadi, butuh waktu sangat lama untuk meyakini inilah tujuan saya. Lalu saya sadar, rasa takut memiliki kekuatan untuk menahan kita berperilaku dan berkata sesuai dengan tujuan kita. Jadi, saya pikir, “Saya tidak akan membiarkan rasa takut menyelubungi saya. Saya tidak akan membiarkan rasa takut mengontrol perbuatan saya.” Lalu, hal-hal yang menakjubkan mulai terjadi, dan barisan domino mulai terjatuh.
So when I realized that, I was like, "OK, 2015,
Saya menyadari hal itu dan bertekad,
I turned 30, it's going to be my year of 'Do it anyway.' Anything that scares me, I'm going to actively pursue it." So, I'm a Capricorn. I like my feel solidly on the ground. I decided to take my first-ever solo vacation, and it was out of the country to the Dominican Republic. So on my birthday, what did I do? I went ziplining through the forests of Punta Cana. And for some odd reason, I had on business casual. Don't ask why.
“Baiklah, tahun 2015 ini, saya berumur 30 tahun, tahun ini akan menjadi tahun bagi saya untuk melakukan apapun tanpa rasa takut.” Saya seorang Capricorn. Saya suka memiliki tempat berpijak. Saya memutuskan untuk pergi liburan seorang diri ke Dominika Republik. Tahukah Anda apa yang saya lakukan di hari ulang tahun saya? Saya bermain zipline di dalam hutan Punta Cana. Anehnya, saat itu saya memakai baju kantoran. Saya tidak tahu kenapa.
(Laughter)
(Tertawa)
And I had an incredible time. Also, I don't like being submerged in water. I like to be, again, on solid ground. So I went to Mexico and swam with dolphins underwater. And then the cool thing that I did also that year that was my mountain was I wrote my book, "I'm Judging You: The Do-Better Manual," And I had to own --
Dan saya merasa luar biasa. Saya juga tidak suka menyelam. Saya lebih suka berpijak di atas tanah. Jadi, saya pergi ke Meksiko dan berenang dengan lumba-lumba di dalam air. Puncak dari hal keren yang saya lakukan di tahun itu adalah saya menulis buku berjudul “I’m Judging You: The Do-Better Manual,” Dan akhirnya --
(Applause)
(Tepuk tangan)
that whole writing thing now, right? Yes. But the very anti-me thing that I did that year that scared the crap out of me -- I went skydiving. We're about to fall out of the plane. I was like, "I've done some stupid things in life. This is one of them."
saya benar-benar menjadi seorang penulis. Tapi, sesuatu yang sangat saya takuti dan tidak mencerminkan diri saya, yang saya lakukan tahun itu adalah -- terjun bebas. Ketika kami akan terjun dari pesawat, saya berpikir, “Saya sudah berbuat banyak hal konyol. Inilah salah satunya.”
(Laughter)
(Tertawa)
And then we come falling down to Earth, and I literally lose my breath as I see Earth, and I was like, "I just fell out of a perfectly good plane on purpose."
Saat kami terjun, saya merasa kehilangan napas, lalu seketika berpikir, “Mengapa saya rela terjun dari pesawat yang begitu aman?”
(Laughter)
(Tertawa)
"What is wrong with me?!" But then I looked down at the beauty, and I was like, "This is the best thing I could have done. This was an amazing decision." And I think about the times when I have to speak truth. It feels like I am falling out of that plane. It feels like that moment when I'm at the edge of the plane, and I'm like, "You shouldn't do this," but then I do it anyway, because I realize I have to. Sitting at the edge of that plane and kind of staying on that plane is comfort to me. And I feel like every day that I'm speaking truth against institutions and people who are bigger than me and just forces that are more powerful than me, I feel like I'm falling out of that plane. But I realize comfort is overrated. Because being quiet is comfortable. Keeping things the way they've been is comfortable. And all comfort has done is maintain the status quo. So we've got to get comfortable with being uncomfortable by speaking these hard truths when they're necessary. And I --
“Apa yang saya lakukan?!” Tapi, saya melihat pemandangan luar biasa, dan bergumam, “Ini hal terbaik yang pernah saya lakukan. Ini keputusan yang bagus.” Lalu, saya teringat ketika saya harus mengutarakan kebenaran. Rasanya sama seperti terjun dari pesawat itu. Rasanya saya sudah berada di ujung pesawat, dan berkata, “Saya tidak seharusnya melakukan ini,” tapi, tetap saya lakukan karena adanya rasa keharusan. Bagi saya, duduk di ujung pesawat dan berada di dalamnya adalah suatu kenyamanan. Setiap hari saya mengutarakan kebenaran dengan melawan lembaga dan kaum yang berkedudukan tinggi, serta orang-orang yang berkuasa, rasanya seperti terjun dari pesawat itu. Tapi, kenyamanan bukanlah segalanya. Berdiam itu nyaman. Hal yang selalu sama itu nyaman. Kenyamanan itu hanya untuk mempertahankan suatu keadaan. Maka, kita harus merasa nyaman dengan ketidaknyamanan dengan mengutarakan kebenaran meskipun itu sulit diterima. Dan saya --
(Applause)
(Tepuk tangan)
And for me, though, I realize that I have to speak these truths, because honesty is so important to me. My integrity is something I hold dear. Justice -- I don't think justice should be an option. We should always have justice. Also, I believe in shea butter as a core value, and --
Saya sadar bahwa saya harus mengutarakan kebenaran karena kejujuran sangatlah penting. Saya menjunjung tinggi kejujuran. Menurut saya, keadilan bukanlah suatu pilihan. Keadilan harus selalu ada. Saya juga percaya akan shea butter sebagai suatu nilai yang penting --
(Laughter)
(Tertawa)
and I think the world would be better if we were more moisturized. But besides that, with these as my core values, I have to speak the truth. I have no other choice in the matter.
Saya percaya dunia akan lebih baik jika kita sendiri lembab dan terawat. Dengan nilai-nilai ini yang penting bagi saya, saya harus mengutarakan kebenaran. Saya tidak punya pilihan lain.
But people like me, the professional troublemakers, should not be the only ones who are committed to being these dominoes who are always falling out of planes or being the first one to take this hit. People are so afraid of these acute consequences, not realizing that there are many times when we walk in rooms and we are some of the most powerful people in those rooms -- we might be the second-most powerful, third-most powerful. And I firmly believe that our job in those times is to disrupt what is happening. And then if we're not the most powerful, if two more of us band together, it makes us powerful. It's like cosigning the woman in the meeting, you know, the woman who can't seem to get her word out, or just making sure that other person who can't make a point is being heard. Our job is to make sure they have room for that. Everyone's well-being is community business. If we made that a point, we'd understand that, for the times when we need help, we wouldn't have to look around so hard if we made sure we were somebody else's help.
Tapi, bukan pembuat onar handal seperti saya saja yang seharusnya berani berkomitmen menjadi domino, yang selalu terjun dari pesawat, atau menjadi orang pertama yang melawan. Banyak orang yang takut akan konsekuensi tersebut, tanpa menyadari bahwa banyak kalanya di suatu ruangan, kita adalah salah satu orang terkuat -- mungkin orang kedua atau ketiga yang terkuat. Saya percaya tugas kita di keadaan itu adalah mengacaukan apa yang sedang terjadi. Dan meskipun kita bukanlah yang terkuat, jika dua orang bersatu, kita dapat menjadi lebih kuat. Hal ini seperti mewakili seseorang di suatu rapat ketika mereka tidak dapat mengutarakan sesuatu dengan tepat, atau memastikan mereka didengarkan saat mereka kesulitan menyampaikan pendapatnya. Tugas kita adalah memastikan mereka memiliki dukungan. Kesejahteraan semua orang adalah urusan bersama. Jika kita tanamkan dan mengerti hal itu, jika kita pastikan untuk menolong sesama, mencari bantuan akan lebih mudah ketika kita membutuhkannya.
And there are times when I feel like I have taken very public tumbles and falls, like the time when I was asked to speak at a conference, and they wanted me to pay my way there. And then I did some research and found out the white men who spoke there got compensated and got their travel paid for. The white women who spoke there got their travel paid for. The black women who spoke there were expected to actually pay to speak there. And I was like, "What do I do?" And I knew that if I spoke up about this publicly, I could face financial loss. But then I also understood that my silence serves no one. So I fearfully spoke up about it publicly, and other women started coming out to talk about, "I, too, have faced this type of pay inequality." And it started a conversation about discriminatory pay practices that this conference was participating in.
Ada juga kalanya saya merasa bahwa saya telah mengalami banyak tantangan dan kegagalan di muka umum, seperti saat saya diminta menjadi pembicara di konferensi, dan saya harus membayar biaya transportasi sendiri. Lalu, saya menemukan bahwa mereka membayar biaya transportasi seorang pria berkulit putih yang berbicara di konferensi itu. Begitu juga dengan seorang wanita berkulit putih. Sedangkan wanita berkulit hitam harus membayar biaya itu sendiri. Jadi, apa yang harus saya lakukan? Saya tahu jika saya membicarakannya di muka umum, saya akan rugi. Tapi, hanya berdiam diri juga tidak akan berguna bagi siapapun. Dengan rasa takut, saya membicarakannya di muka umum, dan ada wanita lain yang berkata, “Saya juga menghadapi masalah yang sama.” Sehingga mulailah perbincangan tentang masalah ketidaksetaraan upah dalam konferensi itu.
I felt like I was the domino the time I read a disturbing memoir by a public figure and wrote a piece about it. I knew this person was more powerful than me and could impact my career, but I was like, "I've got to do this. I've got to sit at the edge of this plane," maybe for two hours. And I did. And I pressed "Publish," and I ran away.
Saya merasa telah menjadi domino. Saya pernah membaca memoar yang merisaukan dari seorang tokoh publik lalu menulis pendapat saya. Orang itu memiliki kedudukan tinggi dan dapat memengaruhi karir saya, tapi saya bertekad selama dua jam, “Saya harus berani mengambil risiko dan melakukannya.” Saya menerbitkan tulisan itu dan segera melarikan diri.
(Laughter)
(Tertawa)
And I came back to a viral post and people being like, "Oh my God, I'm so glad somebody finally said this." And it started a conversation about mental health and self-care, and I was like, "OK. Alright. This thing that I'm doing, I guess, alright, it's doing something."
Tulisan itu kemudian menjadi populer, dan orang-orang berkata, “Akhirnya ada seseorang yang mengungkapkannya.” Lalu mulailah perbincangan tentang kesehatan mental dan perawatan diri, dan saya berpikir, “Baiklah! Setidaknya hal yang saya lakukan membawa dampak yang baik.”
And then so many people have been the domino when they talk about how they've been assaulted by powerful men. And it's made millions of women join in and say, "Me Too." So, a shout-out to Tarana Burke for igniting that movement.
Dan banyak juga orang yang telah menjadi domino saat mereka berbicara tentang pelecehan yang dilakukan oleh pria yang berkuasa. Hal ini membuat jutaan wanita bersatu dan berkata, “Saya juga(Me Too).” Penghormatan kepada Tarana Burke yang memulai pergerakan itu.
(Applause)
(Tepuk tangan)
People and systems count on our silence to keep us exactly where we are. Now, being the domino sometimes comes down to being exactly who you are. So, I've been a shady somebody since I was three.
Publik dan sistem kini ingin kita bungkam untuk mempertahankan kondisi yang ada. Nah, menjadi domino juga sama seperti menjadi diri Anda yang sesungguhnya. Sejak berumur 3 tahun, saya adalah orang yang gelap.
(Laughter)
(Tertawa)
This is me on my third birthday. But I've been this girl all my life, and I feel like even that's been the domino, because in a world that wants us to walk around as representatives of ourselves, being yourself can be a revolutionary act. And in a world that wants us to whisper, I choose to yell.
Inilah saya di ulang tahun ke-3. Saya masih tetap sama dengan gadis di foto ini, dan saya merasa itulah arti menjadi domino, karena di dunia yang menginginkan kita untuk sekedar menjadi representasi atas diri kita, menjadi diri sendiri adalah tindakan revolusioner. Di dalam dunia yang menginginkan kita untuk berbisik, saya memutuskan untuk berteriak.
(Applause)
(Tepuk tangan)
When it's time to say these hard things, I ask myself three things. One: Did you mean it? Two: Can you defend it? Three: Did you say it with love? If the answer is yes to all three, I say it and let the chips fall. That's important. That checkpoint with myself always tells me, "Yes, you're supposed to do this." Telling the truth -- telling thoughtful truths -- should not be a revolutionary act. Speaking truths to power should not be sacrificial, but they are. But I think if more of us chose to do this for the greater good, we'd be in better spaces than we are right now.
Saat ingin mengatakan hal-hal yang sulit ini, saya bertanya 3 hal. Satu: Apakah saya bersungguh-sungguh? Dua: Apakah ada kebenarannya? Tiga: Apakah saya mengatakannya dengan tulus? Jika semua jawabannya ‘ya’, bagaimanapun hasilnya, saya akan mengatakannya. Ini sangatlah penting. Pertanyaan itu membimbing saya untuk menetapkan, “Inilah yang harus saya lakukan.” Mengutarakan kebenaran yang sesungguhnya tidak seharusnya menjadi tindakan revolusioner, ataupun memerlukan pengorbanan, tapi kenyataannya berbeda. Tapi, saya pikir jika banyak dari kita yang ingin melakukannya, kita akan berada di keadaan yang lebih baik.
Speaking of the greater good, I think we commit ourselves to telling truths to build bridges to common ground, and bridges that aren't based on truth will collapse. So it is our job, it is our obligation, it is our duty to speak truth to power, to be the domino, not just when it's difficult -- especially when it's difficult.
Untuk mencapai keadaan yang lebih baik, kita dapat membangun suatu jembatan berdasarkan nilai-nilai persamaan dengan mengutarakan kebenaran, dan jembatan yang tidak dibangun atas dasar kebenaran akan hancur. Jadi, inilah tugas kita, keharusan kita, kewajiban kita untuk mengutarakan kebenaran, untuk menjadi domino, bukan hanya di kondisi yang sulit, tapi terlebih lagi di kondisi yang genting.
Thank you.
Terima kasih.
(Applause)
(Tepuk tangan)